• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM

2.2 Tokoh Utama Protagonis

Kardi merupakan tokoh utama protagonis dalam novel Kabut dan Mimpi karya Budi Sardjono. Hal ini didasari oleh banyaknya frekuensi kemunculannya serta intensitas keterlibatan tokoh tersebut dalam cerita. Kardi hadir hampir di seluruh jalannya cerita, dan dia memegang peran yang sangat dominan serta penting.

Secara fisik atau lahiriah Kardi digambarkan sebagai seorang pemuda yang kuat, berbadan kekar serta berkulit hitam. Keadaan alam yang keras serta cuaca yang tak menentu, justru membentuk tubuh para penambang pasir seperti Kardi, menjadi lebih kuat menghadapi kerasnya alam. Itu juga yang memnyebabkan Kardi tidak mudah sakit. Hal itu ditunjukkan pada kutipan (1) dan (2).

(1) Kardi tersenyum. Keduanya mirip dua onggok batu gunung di atas tanggul kali. hujan yang menyiram tubuh keduanya seperti menyiram batu gunung yang keras. Alam telah menempa tubuh

keduanya sampai berwarna hitam legam. Otot-otot disekujur tubuh yang menonjol seperti kawat baja, itu bukti bahwa keduanya bekerja sangat keras (hlm. 15).

(2) Sekali lagi lelaki itu menguap. Kepalanya terasa pusing. Angin malam terasa semakin dingin menerpa tubuhnya. Angin itu tidak akan mendatangkan penyakit bagi tubuhnya yang Cuma mengenakan kaos singlet. Karena itu ia membiarkannya saja. Tidak ada bedanya angin siang dan angin malam (hlm.32).

Dikeluarganya, Kardi digambarkan sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Seperti umumnya anak bungsu pada masyarakat jawa, Kardi sangat disayang ibunya. Kardi juga digambarkan sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, dan mirip dengan Ibunya. Hal itu dapat terlihat pada kutipan (3).

(3) Entah kenapa, terhadap anak bungsunya itu batinnya seperti diikat lebih erat dibanding dengan dua anaknya yang lain. Jika menatap wajah Kardi, ia seperti menatap cermin. Wajah anaknya itu memang mirip dengan dirinya. Wajah bulat telur, hidung agak mancung, dua garis gigi rapi berjejer, dagu melebar dan di pelipis ada dua garis otot tampak menonjol. Andaikata kulit anaknya itu tidak sehitam sekarang. Garis otot itu tentu berwarna kebiru-biruan. Ia masih ingat benar, kira-kira tiga puluh lima tahun yang lalu, saat berdandan dan berkaca ia bisa melihat dua garis otot yang kebiru-biruan. Konon banyak pemuda yang jatuh hati padanya setelah melihat dua garis otot tersebut (hlm. 24).

Untuk masyarakat Jawa terutama yang hidup dan tinggal di kampung seperti Kardi, Pemuda seusianya sudah sangat cukup umur untuk menikah. Kardi yang sudah berumur dua puluh tiga tahun belum menikah, keadaannya itu sering dijadikan bahan ejekan bagi temannya-temannya, karena dianggap tidak berani berhubungan dengan wanita. Hal itu sering membuatnya gelisah dan berpikir karena belum bisa menikah seperti teman-teman sebayanya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan (4) dan (5) .

(4) “Sudah sejak dulu yang namanya Kardi itu gendeng. Tapi belum edan. Sebab masih bisa menghitung duit. Ha…ha….”

“Tapi tidak berani sama perempuan. Ha…ha….” Sahut Jamil bercanda (hlm.12).

(5) Kardi mencoba tersenyum. Hari-hari terakhir ini hatinya memang sering diamuk gelisah. Umurnya sudah dua puluh tiga tahun, secara kasar orang sering mengatakan sudah mendekati seperempat abad. Di dusunya ia sudah memperoleh predikat joko tuwo, atau bujang lapuk karena belum berkeluarga. Dari pemuda seusianya, hanya dia sendiri yang masih bujang (hlm.25).

Kardi sebagai anak, sangat sayang dan berbakti kepada orang tuanya terutama kepada Ibunya. Rasa sayang dan baktinya itu terlihat pada sikapnya yang selalu menurut dan memenuhi keinginan ibunya. sikap itu dilakukan supaya orang tuanya tidak marah kepadanya, sebab dia sendiri tidak menghendaki Ibunya marah terutama kepadanya. Terlihat pada kutipan (6).

(6) Selama hidup ia selalu berusaha menurut kehendak mbok-nya. Ia tidak mau perempuan yang sangat mencintainya itu sampai marah atau jengkel. Ia sangat hormat, meski tidak sampai menyembah atau mencium kaki segala (hlm.37).

Secara fisik Kardi terlihat lebih tua untuk pemuda seusianya, hal itu disebabkan karena dia bekerja sebagai kuli penambang pasir di Kali Boyong, terik matahari yang dan hujan yang dihadapinya setiap hari membuat tubuhnya terlihat lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Ketika orang sebayanya memanggil Kardi dengan sebutan Mas, dia tersinggung dan merasa malu, sebab dia sebenarnya masih muda. Terlihat pada kutipan (7).

(7) Kardi benar-benar terpojok sekaligus agak tersinggung. Mereka yang sebaya dirinya itu memanggil mas Kardi. Apakah saya sudah nampak lebih tua dibanding Soleh dan Munif? (hlm.49).

Secara ekonomi keluarga Kardi digambarkan sangat miskin. Kemiskinan itulah yang menyebabkan Kardi hanya lulus SMEA. Berbekal ijazah SMEAnya, dia mencoba mencari pekerjaan formal namun dia tidak pernah mendapatkannya. Sudah empat tahun dia menggunakan ijazahnya untuk mencari pekerjaan, namun usahanya itu belum berhasil dan selalu gagal dalam tes. Untuk bekerja formal sebagai satpam sebenarnya dia bisa, namun dia tidak mempunyai uang untuk ”menyuap” kepala keamanan pabrik. Hal itu tergambar pada kutipan (8) dan (9).

(8) Dan selama ini, selama hampir empat tahun ia menawarkan ijazah SMEA yang dimiliki, tak satu perusahaan pun melirik. Juga instansi pemerintah. Pernah dua kali ia ikut mendaftar jadi pegawai negeri. Dua kali gagal. Tak pernah lolos dari seleksi awal. Gagal dalam tes tertulis. Dua temanya yang di terima harus merelakan sawah warisan yang dimiliki pindah tangan alias dijual (hlm.25-26).

(9) Perempuan itu mengangguk-angguk. Dalam temaram cahaya lampu minyak, ia bisa melihat wajah anak bungsunya itu. Wajah yang beberapa hari terakhir ini tampak keruh. Meski berusaha ditutupi dengan ketegaran. Hal itu terjadi setelah lamarannya untuk menjadi satpam di sebuah pabrik mebel ditolak. Bukan karena tidak memenuhi syarat, tetapi karena tidak mempunyai duit untuk menyogok kepala keamanan pabrik itu. Dua juta rupiah agar bisa di terima bekerja sebagai satpam. Dari mana duit sebanyak itu akan diperoleh? (hlm.22-23).

Sebagai kuli penambang pasir Kardi sudah terbiasa berhadapan dengan bahaya alam seperti longsor dan banjir lahar dingin, namun bahaya itu tetap harus dihadapi setiap harinya, sebab hanya menambang pasir itulah pekerjaan yang dimilikinya sekarang. Ketidakpedulian Kardi pada keselamatan kerja itu disebabkan kebutuhan ekonomi yang selalu mendesak untuk dipenuhi, sehingga meski resiko kerja yang

dihadapi cukup besar dan sangat berbahaya dia tidak mempunyai pilihan lain untuk tidak

bekerja di penambangan itu. Ditunjukkan pada kutipan (10). (10) “Ini peringatan terakhir. Saya minta untuk naik. Lihat di atas sana,

mendung tebal sekali. Bisa berbahaya. Sekali lagi, bisa bahaya!” teriak Pak Mandor sambil memegang erat payungnya. “Bagaimana, masih tetap bandel?”

“Kalau Pak Mandor mau pergi, silahkan. Cari tempat yang teduh. Nanti masuk angin. Kalau kami sudah biasa begini,” jawab Kardi. “Tapi bahaya, Di.”

“Itu urusanku. Kalau toh nanti diseret banjir dan modar, maka yang modar kami. bukan Pak Mandor.”

“Oo, dasar Kardi gendeng!” (hlm.11-12).

Masa kanak-kanak adalah saat yang paling menyenangkan bagi kebanyakan orang karena setiap hari bisa dihabiskan untuk bermain. Berbeda sekali dengan masa kecil Kardi, sudah sejak kecil kardi mau tidak mau harus bekerja sebagai penambang pasir. Pekerjaan itu harus dilakukannya untuk membiayai keperluan sekolah. Sejak kecil Kardi sudah merasakan penderitaan dan kemiskinan sehingga masa kecilnya tidak cukup menyenangkan baginya, sebab dia harus bekerja menambang pasir untuk biaya sekolahya. Terlihat pada kutipan (11).

(11) Maka saat sekolah dulu, baginya itu sudah merupakan perjuangan yang sangat berat. Sepulang dari sekolah ia langsung turun ke kali boyong. Ikut menjadi kuli pengangkut pasir. Jika tidak mau bekerja seperti itu, maka tak ada biaya untuk berbagai keperluan sekolah (hlm.27-28).

Saat sekolah dulu, dia masih bisa merasakan senang karena di sekolah dia bisa bercerita dan bercanda dengan teman-temannya. Sehingga dia bisa melupakan beban atas pekerjaan yang selalu dikerjakannya sepulang sekolah. Dari teman-temannya di sekolah itu juga dia bisa mendapatkan berita perkembangan situasi negara yang didapat

teman-temannya baik dari media cetak maupun elektronik. Di rumah dia tidak mungkin bisa mendapatkan berita seperti taman-temannya. Hal terlihat pada kutipan (12).

(12) Ketika sekolah, irama hidupnya masih ada variasi. Pagi hari ia bisa bercanda dengan teman-teman. Melupakan beban berat yang harus dipikul sepulang sekolah. Dari teman-temannya ia bisa mendapat kabar mengenai situasi negaranya. Teman-temannya itu memperoleh kabar dari koran, majalah, televisi (hlm.31).

Kardi adalah seorang yang pendiam. Seperti orang kampung pada umumnya jika berada di tengah orang yang lebih pintar, dia merasa minder. Tidak berani menonjolkan diri dan asal bicara takut kalau salah. Hal itu ditunjukkan pada kutipan (13).

(13) Lupa-lupa ingat sekilas ia bisa menilai bahwa Kardi termasuk pemuda pendiam. Pemuda dusun, jika berada di tengah kelompok yang status sosialnya lebih tinggi dibanding dirinya, biasanya minder. Tak punya nyali untuk menonjolkan diri. Apalagi berada di tengah-tengah mahasiswa. Bisa-bisa mirip kambing congek (hlm.127-128).

Kardi adalah sosok pemuda yang berjiwa tidak mudah putus asa. Meski kondisi tubuhnya sudah luka parah akibat dianiaya dan di lempar ke jurang di lereng Gunung Merapi, oleh Pak Mandor dan beberapa orang suruhan Noto Kawignyo, dia tidak mudah menyerah dan masih mempunyai semangat untuk tetep hidup. Kondisi tubuhnya yang sakit dan luka parah akibat dianiaya tidak membuat hilang semangat hidupnya. Hal itu dibuktikan pada kutipan (14) dan (15).

(14) Di jalan setapak yang jauh dari jalan yang biasa dilewati para peziarah, dalam kegelapan malam itu terdapat sesosok tubuh yang bergerak-gerak. Terkadang ia merangkak beberapa meter. Jika kuat ia berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Kedua tangannya berusaha menemukan akar pepohonan yang menjulur di jalan-jalan untuk pegangan. Wajahnya yang pucat dan mulutnya yang berdarah, tak bisa segera tampak dalam kegelapan itu. Tapi bukan hanya itu

penderitaan yang dialaminya. Sebab dua iga kirinya patah, dari telinga keluar darah, dan kulit di sekujur tubuhnya nyaris tak ada yang utuh. Hanya karena kebaikan sang nasib, maut enggan menjemput nyawanya.

“Saya harus hidup. Saya belum ingin mati,” desisnya terbata-bata. Andai ia tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat, pasti sudah ambruk sejak tadi (hlm.141).

(15) Ia tidak peduli dengan luka di lutut yang makin lebar. Juga telapak tangan yang berdarah-darah. Ia terus merangkak, merangkak dan merangkak (hlm.145).

Setelah selamat akibat dilemparkan ke jurang di lereng Gunung Merapi, oleh Pak Mandor dan beberapa orang suruhan Noto Kawignyo. Kardi dievakuasi dan di sembunyikan di rumah Tante Santi oleh para mahasiswa yang menemukannya. Di sana dia mendapat perawatan dari dokter yang disediakan oleh para mahasiswa Yogya. Kardi merasa bingung dan terharu atas perhatian dan pertolongan para mahasiswa yang luar biasa baginya. Dia heran, mengapa dia sangat diperhatikan seolah-olah bagai orang penting. Hal itu terlihat pada kutipan (16).

(16) Kardi benar-benar tidak mengira bahwa dirinya diterima di tengah-tengah kalangan mahasiswa dan mahasiswi Yogya. Ia masih ingat pada hari-hari awal tinggal di kamar itu. Dalam kondisi tubuh yang nyaris remuk, ia dirawat oleh anak-anak muda yang mengaku berasal dari berbagai perguruan tinggi di Yogya. Ada dokter yang secara khusus memeriksa dirinya sehari dua kali. Ada dua perawat yang menjaga dirinya selama dua puluh empat jam!

“Kenapa saya diperlakukan seperti orang penting?” tanyanya kala itu penuh rasa haru.

“pokoknya kamu sembuh dulu. Kalau sudah sembuh, pertanyaanmu baru kami jawab,” jawab Gantang mewakili teman-temannya. “dan yang penting, Mas Kardi aman disini. Noto Kawignyo pasti tidak bisa menemukanmu. Mungkin dia sudah mengadakan pesta, bagi-bagi duit, karena mengira kamu sudah mati dimangsa harimau,” seloroh Arimbi (hlm.156).

Meski dalam keadaan sakit, Kardi masih ingat dan peduli terhadap teman-temannya yang berada di kampungnya. Dia menghawatirkan apakah mereka juga mengalami penganiayaan oleh orang-orang suruhan Noto Kawignyo. Kardi juga mengkhawatirkan dari mana teman-teman mereka dapat nafkah jika tidak lagi menambang pasir di Kali Boyong. Hal itu tergambar pada kutipan (17).

(17) “Bagaimana nasib teman-teman saya di Kali Boyong?” Tanya Kardi lebih lanjut. Dalam kondisi sakit itu wajah teman-teman senasib seperti Jamil, Marjan, Surip, Slamet, dan masih banyak yang lain, tiba-tiba melintas dalam benaknya. “Apa mereka juga mengalami nasib seperi saya?”

Gantang dan kawan-kawan menggeleng.

“mereka aman. Begitu juga keluargamu. Ada beberapa teman yang mengawasi dan mendampingi,” kata soleh

“Tapi sudah beberapa hari ini mereka tidak bekerja di Kali Boyong,” sambung Kholik. “Kali Boyong sepi sejak peristiwa pemogokan dulu. Truk-truk sekarang larinya ke kali Krasak, Kali Putih. Sebagian ke Kali Blongkeng.”

“Lalu darimana mereka memperoleh nafkah?”

“Kamu tidak usah khawatir. Kami bisa mencari donatur untuk membantu mereka. Jumlahnya tak seberapa, namun lumayan untuk menyambung hidup” (hlm.156-157).

Kardi tidak dapat memungkiri perasaannya yang telah jatuh cinta kepada Tante Santi. Di rumahnya Tante Santi Kardi dirawat dan disembunyikan dari kejaran orang-orang suruhan Noto Kawignyo. Perasaan cinta itu tumbuh akibat mereka setiap hari berinteraksi, perasaan cinta itu juga yang membuat Kardi berat untuk meninggalkan Tante Santi meski hanya untuk pulang ke kampungnya. Dia tidak ingin mengecewakan Tante Santi dengan meninggalkan sendirian di rumahnya. Hal itu digambarkan pada kutipan (18).

(18) Jika langsung ke desa, Tante Santi pasti kecewa. Perempuan itu dengan sepenuh hati pesan agar dirinya kembali kesana. Kembali

kedalam pelukan perempuan setegah baya itu? Kardi tersenyum dalam hati. Jujur ia mengakui bahwa hatinya pun ingin selalu berdekatan dengan perempuan tersebut (hlm.168).

Tante Santi adalah wanita pertama yang membut mengenalkan Kardi pada hubungan seks. Dari pengalaman melakukan hubungan seks itu membuat Kardi sering teringat Tante Santi dan tidak ingin meninggalkannya. Terlihat pada kutipan (19).

(19) Dialah perempuan pertama yang telah membuka cakrawala hubungan laki-laki dan perempuan. Selama ini belum pernah sekalipun ia tahu seluk-beluk tubuh perempuan jika tanpa dibalut selembar kain. Baru tubuh Tante Santi yang putih itu yang ia lihat. Tidak sekedar dilihat, namun telah menerbangkan gelora kelaki-lakiannya ke atas mega-mega. Entah sudah berapa kali keduanya melakukan hubungan itu…Kardi beranjak dari kursi lalu membayar makan dan minuman yang telah masuk kedalam perutnya. Tekadnya sudah pasti, ia harus kembali ke rumah Tante Santi (hlm.169).

Kardi adalah sosok pejuang bagi masyarakat Kali Boyong. Terutama bagi sesama kuli penambang pasir di Kali Boyong. Dialah orang yang menyulut semangat perubahan untuk sesamanya sehingga masyrakat yang tadinya hanya diam dan mengeluh dibelakang, sekarang berani berunjuk rasa untuk menuntut haknya kepada Pak Mandor kaki tangan Noto Kawignyo. Hal itu dibuktikan pada kutipan (20) dan (21).

(20) Begitu jeep itu melesat pergi, orang-orang bertepuk tangan. “Hidup Kardi! Hidup Kardi! Hidup kuli-kuli pasir Kali Boyong!” teriak mereka. Penduduk desa yang semula menonton di seberang jalan, lalu berjingkrak-jingkrak di tengah jalan. Mereka seperti merayakan suatu kemenangan (hlm.89).

(21) “Ya. Sama seperti Kardi. Kami berjuang untuk perubahan, Pak Karso. Bukankah Kardi juga berjuang untuk teman-temannya sesama pencari pasir di Kali Boyong?” ujar Soleh (hlm.120).

Setelah lolos dari kematian karena dilemparkan ke jurang oleh orang suruhan Noto Kawignyo, Kardi ditawari uang sepuluh juta rupiah oleh kaki tangan Noto Kawignyo, Bahkan akan diberi pekerjaan menggantikan Mandor lama, jabatan sebagi kepala Desa, dan jabatan sebagai anggota DPR. Dengan syarat, pertama mau memaafkan Noto Kawignyo, Kedua tidak bergaul lagi dengan para mahasiswa dan Ketiga bersedia memimpin organisasi pemuda yang akan dibentuk oleh Noto Kawignyo. Kardi bimbang karena jumlah uang sebanyak sepuluh juta rupiah yang dijanjikan sangat besar baginya. Dia tidak menginginkan jabatan sebagai Mandor, karena dia tidak tega jika harus memeritah kawan-kawannya sendiri. Uang sepuluh juta rupiah bagi Kardi cukup banyak, untuk membayangkan saja dia tidak sanggup apa lagi untuk memilikinya sepertinya tidak mungkin. Terbukti Pada kutipan (22).

(22) “Saudara tidak perlu takut atau cemas, kami tidak akan melukai atau memperlakukan saudara dengan semena-mena. Tidak. Justru kamu akan menawarkan suaatu kerjasama yang baik, kerja sama yang saling menguntungkan. Setuju?”…. Nah, kerjasama yang kami tawarkan tadi, kami akan memberimu uang sepuluh juta. Kontan. Uangnya kami bawa sekarang. Itu yang pertama. Yang kedua, Bung Kardi akan di jadikan Mandor di Kali Boyong. Menggantikan Pak Mandor yang lama, nanti kami akan mengusahakan bagaimana caranya Bung Kardi bisa jadi kepala desa. Bahkan jika perlu, kalau bung Kardi mau, menjadi anggota DPR pun kami bisa mengusahakan. Kerja sama yang enak, bukan?”

Kardi menelan ludah

“Jika kamu mau, tentu saja ada syaratnya. Kami tadi sudah menjanjikan tiga hal. Uang, jabatan mandor, kepala Desa, anggota DPR. Eh, malah empat. Sekarang kami minta tiga syarat dari kamu. Setuju?”

“Apakah saya bisa memenuhinya?” Tanya Kardi.

“Pasti bisa. Soalnya gampang.” Orang itu tertawa kecil. “Pertama, kami mohon Bung Kardi memaafkan Pak Noto Kawignyo…. Syarat kedua, Bung Kardi harus kembali ke Desa

dan jangan bergaul lagi dengan para mahasiswa…. Nah, syarat yang ketiga, Bung Kardi sanggup jadi pimpinan organisasi pemuda yang akan kami bentuk. Organisasi biasa. Bukan partai politik….Kardi menghela nafas. Uang sepuluh juta, hemm, membayangkan pun ia tidak sanggup. Sebab tidak mungkin ia akan mempunyai uang sebanyak itu. Jabatan Mandor Kali Boyong, ohh, ia tak pernah memimpikan. Ia tidak mau memerintah teman-teman sendiri. Rasanya tidak enak (hlm.173-175).

Bagi Kardi yang miskin, tawaran kaki-tangan Noto Kawignyo cukup menggiurkan, namun Kardi bimbang untuk memutuskan menerima atau menolak tawaran itu bagus itu. Dia sangat yakin kalau Noto Kawignyo mampu menjadikannya kepala Desa. Untuk menjadi anggota DPR dia tidak pernah memikirkan dan terlalu tinggi baginya meski sangat mungkin terlaksana. Kalau untuk memimpin organisasi pemuda dia yakin mampu, namun dia berpikir teman-temannya mahasiswa pasti tidak setuju kalau dia menerima tawaran seperti itu. Kardi bingung, sebab jika dia menolak tawaran tadi nasibnya sebagai kuli penambang pasir tetap akan begitu-begitu saja selamanya. Dia sangat bingung untuk memutuskan menerima atau tidak tawaran tadi. Hal itu tergambar pada kutipan (23).

(23) Mungkinkah saya memaafkan Noto Kawignyo? Pertanyaan itu benar-benar mengusik hati Kardi. Dan hatinya sendiri yang menjawab dan membeberkan alasan jika menolak atau menerima syarat tersebut. Jika ia tidak mau memaafkan, maka uang sepuluh juta rupiah akn melayang lepas dari tangannya. Bukan hanya uang sepuluh juta yang lepas, juga jabatan sebagai kepala desa. Ia yakin bahwa dengan kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Noto Kawignyo, mudah baginya untuk mendudukkan seorang pada jabatan kepala desa atau lurah. Untuk wilayah Sleman Utara, hampir semua kepala Desa yang ada sekarang ini adalah orang-orang pilihan Noto Kawignyo.

Jadi apa susahnya, jika mau memaafkan Noto Kawignyo, untuk menduduki jabatan kepala Desa? Untuk menjadi anggota DPRD

bagi Kardi, hal itu terlalu jauh. Jika disuruh memimpin organisasi pemuda, ia sanggup melakukannya.

Tapi bagaimana dengan Gantang, Sholeh, Munif, dan kawan-kawannya itu? Apakah mereka juga setuju jika dirinya memaafkan Noto Kawignyo? Kemungkinan tidak. Kardi tahu sendiri sikap para mahasiswa itu. Mereka benar-benar tidak kenal kompromi dengan urusan yang bertentangan dengan hukum. Justru mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menyeret Noto Kawignyo menjadi terdakwa usaha pembunuhan. Mereka ingin melihat lelaki kuat dari tepi Kali Krasak itu masuk penjara.

Dengan dijebloskannya Noto Kawignyo ke penjara apa urusan udah selesai?....

“Saya tidak yakin,” ucap Kardi lirih, seolah ingin meyakinkan suara hatinya yang benar-benar diamuk kebimbangan (hlm.183-184).

Kardi bingung untuk memberikan keputusan atas tawaran yang disampaikan orang suruhan Noto Kawignyo. Kemudian dia pulang mengurung diri di kamar dan berpuasa dua hari dua malam. Dengan laku prihatinnya itu dia berharap dapat mengambil keputusan. Setelah dua hari dua malam dia mengurung diri di kamar dia keluar untuk menyudahi lakunya. Setelah keluar dan melihat banyak perubahan pada tetangga-tetangganya di kampungnya, semua nampak segar dan ceria. Dia bertanya pada bapaknya ”kenapa orang-orang semua terlihat berubah?” bapaknya menjawab ”Presiden telah lengser dan Noto Kawignyo sudah di tahan polisi”. Mendapat kabar seperti itu Kardi nampak bingung dan kecewa, karena tawaran uang dan jabatan dari Noto Kawignyo dengan sendirinya batal. Hal itu diperlihatkan pada kutipan (24).

Dokumen terkait