BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL
2.2.1 Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun dikenai kejadian Nurgiyantoro (2005:177). Peranan
tokoh utama dalam sebuah penceritaan tergolong diutamakan jika dibandingkan dengan tokoh tambahan. Dalam novel, kemunculan tokoh utama sering ditampilkan pada tiap bab. Hal ini bertujuan untuk menunjang kelangsungan cerita, serta membantu pembaca dalam mengenal tokoh berdasarkan peranannya. Jumlah dialog ataupun kejadian yang menyangkut tokoh utama juga lebih banyak, jika kita bandingkan dengan tokoh tambahan.
2.2.1.1 Dewa
Seperti tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, yang berperan sebagai tokoh utama. Peranan Dewa sebagai tokoh utama terlihat dari banyaknya petikan monolog, maupun kejadian yang menceritakan Dewa dalam tiap babnya. Dewa digambarkan oleh pengarang sebagai anak tunadaksa, kondisi tubuhnya tidak seperti anak-anak bertubuh normal lainnya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut:
( 1 ) “ Aku disebut sebagai anak tunadaksa, yakni memiliki lebih dari satu cacat, dan salah satunya adalah tunawicara. Menurut pemeriksaan, aku dilahirkan dengan kelainan sistem peredaran darah, yang membuat tubuhku tidak berkembang. Aku juga disebut mempunyai kecenderungan autistik, mataku terbuka tapi tidak melihat, telingaku bisa menangkap bunyi tapi tak mendengar, tentu karena jaringan otakku yang ternyata rusak. Leherku selalu miring, kepalaku selalu tertunduk-ya, pandanganku selalu terarah ke bawah. Aku seperti bayi tua, tubuhku kecil, tetapi wajah lebih berusia : anak-anak kecil suka memanggilku anak tuyul atau anak genderuwo, semuanya setan-setan gentayangan yang hanya mereka kira-kira saja bentuk rupanya “ (Ajidarma, 2004:7).
Tokoh Dewa adalah sosok yang kritis, ia dapat mengkritisi suatu hal lalu mengkaitkan hasil analisanya dengan kondisi dirinya yang cacat. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut:
( 2 ) “ Kebudayaan bisa membebaskan, kebudayaan bisa membatasi, tetapi kaum tunadaksa seperti aku bagaikan berada di luar kebudayaan-setidaknya di
tepi yang sangat luar sekali, di tepinya yang paling tepi. Tidak dianggap dan tidak terlalu berarti “ (Ajidarma, 2004:45).
Meskipun Dewa cacat, tetapi tidak membatasi kemampuan indera lainnya, terbukti ia dapat mendengar suara hati orang lain dan mengetahui kondisi batin orang lain. Berikut penggalan kutipannya :
( 3 ) “ Aku tetap tertunduk, apalah yang bisa kulakukan ? Aku sering tidak mengerti, kenapa aku diberi nama Dewa, kalau kemudian diketahui aku tidak bisa mengangkat kepala seperti ini. Namun, sebenarnya nama Dewa juga bukan nama kosong, setidaknya kalau dibandingkan dengan dewa-dewa dari dunia pewayangan, yang bisa berkelebat ke sembarang tempat, di dalam maupun di luar dunia ini, menembus berbagai macam dimensi. Hanya tampaknya saja aku tidak mampu melihat dan mendengar sesuatu, tetapi aku mampu menangkap getaran jiwa dan mendengar kata hati ” (Ajidarma, 2004:9).
Kondisi fisik Dewa yang cacat, memang membatasi ruang geraknya sebagai manusia, tetapi tidak pada kemampuannya yang dapat berfilosofi tentang kehidupan. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut:
( 4 ) “ Masa depan dihadapi manusia dengan kecemasan, ketakutan, dan keprihatinan atas kemungkinan yang tiada akan pernah bisa dipastikan. Jadi, mereka yang percaya betul kepada ramalan mengandaikan dan mengandalkan terdapatnya harapan-celakanya tidak semua kartu tarot Mbak Wid memberikan harapan, dan itulah yang selalu terjadi setiap akan ada bayi mati di panti asuhan ini “ (Ajidarma, 2004:19).
( 5 ) “ Setiap orang hidup dengan masa lalunya, karena masa lalu tidak akan pernah pernah betul-betul berlalu. Setiap kali seseorang berniat melupakan sesuatu dari masa lalu itu sebetulnya ia telah mengguratkannya dalam hati. Seseorang bisa saja melupakan sesuatu namun sesuatu itu tidak akan pernah hilang bahkan tersimpan dalam peti-peti tertutup di relung kenangan yang tidak terpetakan. Dalam perjalanan hidup seseorang bisa saja bertemu kembali dengan peti-peti itu, tanpa sengaja membukanya, atau dengan sadar tidak akan pernah membukanya sama sekali, namun isi peti itu tidak akan pernah hilang. Bahkan dengan suatu cara ia kemudian seperti udara yang merembes keluar dari celah-celah peti, menempel dan melebur dalam darah yang menghidupkan kembali syaraf-syaraf perekam kenangan di otak, yang tanpa sadar mengingatnya meski tak tahu darimana datangnya “ (Ajidarma, 2004:64)
Dewa sebagai anak tunadaksa juga dapat melihat makhluk-makhluk halus yang kasat mata, serta melihat semut yang merayap di sela rumput di atas makam. Tokoh Dewa bahkan dapat mendengar suara angin. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
( 6 ) “ Hanya sunyi saja makam-makam ini. Angin yang menggoyang bunga kamboja, dan semut yang merayap di sela rumput di atas makam. Namun kesunyian bukanlah tanpa suara sedangkan suara-suara bukanlah sekadar bunyi saja. Angin kadang terdengar seperti bisikan dan betapa bisa bermakna suatu bisikan ketika mengundang seribu penafsiran. Alam semesta penuh dengan makna, bahkan orang yang sudah mati bisa berbicara lewat berbagai penanda-dengan cara itulah aku bisa mengalami penanda-dengan caraku sendiri, betapa kuburan ini tidaklah sesunyi tampaknya “ (Ajidarma, 2004:28).
Dewa sebagai anak tunadaksa, juga sangat menyayangi ibunya yang selalu merawat diri Dewa, meskipun terlihat tidak dapat mengutarakan emosinya melalui gerakan tubuh, tetapi sesungguhnya Dewa mengutarakannya dalam hati bahwa ia amat menyayangi ibunya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
( 7 ) “ Aku terduduk dan tertunduk dengan tatapan mata ke lantai, namun aku melayang ke sebuah semesta di mana kulihat sesosok bayangan yang sangat samar-samar seperti melambaikan tangan dengan penuh kerinduan. Bagaikan suatu tatapan dari balik kaca, mata bisa memandang tetapi tubuh tak mampu menembusnya. Jiwa mampu menyapa jiwa dan hati mampu menyentuh hati tetapi akal begitu terbatas kemampuannya untuk menjelaskan rasa. Hanya gelombang kerinduan, sesal tanpa alasan, cinta tanpa sambutan, dan perkabungan yang menyiksa...” (Ajidarma, 2004:57).
( 8 ) “ Umurku sudah hampir delapan tahun, dibanding Larasati yang hanya berumur lima hari, aku sudah hidup terlalu lama-namun aku masih ingin hidup lebih lama lagi. Aku ingin ibuku mengerti betapa aku juga mencintainya dengan sepenuh hati. Hanya itulah yang ingin kulakukan di dunia ini, menunjukkan cinta kepada ibuku, yang telah menyerahkan sisa hidupnya untuk mencintaiku “ (Ajidarma, 2004:29).
Sikap dewasa Dewa juga terlihat pada ungkapan syukurnya pada Tuhan, karena telah dipertemukan dengan Renjani, selain itu Dewa juga menunjukkan
sikap dewasanya dengan bercerita tentang fungsi panca indera dan kondisi jiwa pada manusia bertubuh sempurna, lalu membandingkannya dengan diri Dewa yang tunadaksa. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :
( 9 ) “ Bersyukurlah mereka yang hidupnya berlimpah dengan cinta. Aku bersyukur dipertemukan dengan ibuku, pada usia dua hari setelah ibu kandungku membuang aku. Pastilah aku makhluk yang beruntung. Aku juga merasa beruntung karena merasa betapa alam yang terindah diciptakan bagai hanya untukku. Ibuku menunjuk kupu-kupu yang hinggap di tangkai padi ” (Ajidarma, 2004:37).
( 10 ) “ Bahkan mereka kemudian tidak menggunakan matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar, dan telapak tangan untuk sekedar meraba. Jiwa mereka sering mendadak lebur dengan jiwa kami, namun bisa pula dengan sendirinya terlepas kembali: seandainya kami bisa berbicara, kami ingin memanggilnya agar jangan pergi, tetapi kami tidak memiliki sesuatu yang membuat kami bisa dimengerti-kami tidak mempunyai sarana untuk membahasakan diri kami “ (Ajidarma, 2004:4).
Tokoh Dewa juga terlihat bijaksana. Meskipun ia cacat, bukan berarti ia bersikap manja. Ia justru bersikap bijaksana, hal ini ditunjukkan oleh Dewa pada manusia bertubuh sempurna agar menghargai keberadaan mereka, agar tahu betapa besar sesungguhnya arti cinta. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :
( 11 ) “ Itulah masalahnya, kami melihat dunia dengan cara lain, menghayati dan mengalami dunia dengan cara yang sama sekali lain, namun itu tidak berarti kita harus tetap selalu tak saling mengerti-bila tubuh dan otak kami tiada mampu berbahasa, tidaklah berarti kami tiada berjiwa dan tiada berhenti sama sekali. Bukankah sudah berkali-kali kukatakan betapa cinta telah menghidupkan kami ? Sayangilah kami, maka ada sesuatu yang akan dikau mengerti; cintailah kami, maka tak akan pernah dikau kira betapa makna akan sangat berarti “ (Ajidarma, 2004:137).
( 12 ) “ Mereka memang mencintai kami, dan hati kami telah disejukkan oleh cinta mereka, namun keindraan mereka yang berbeda dari keindraan kami telah menjadikan hubungan kami dengan mereka yang mencntai kami itu penuh misteri. Demikianlah kami dan mereka bagaikan saling meraba dalam kegelapan dan saling mengulurkan tangan. Ujung jari-jari kami bagaikan saling bersentuhan ketika mencoba saling mengenal, namun bukanlah keindraan yang telah mempertemukan kami, karena ketika jiwa mendekat bagai tiada berjarak, keindraan itu telah dilampaui “ (Ajidarma, 2004:4).
Keterbatasan yang dimiliki Dewa tidak menjadi halangan bagi Dewa untuk menunjukkan kecerdasanya. Dewa mencoba membayangkan bagaimana ibunya mengharapkan Dewa menjadi kupu-kupu. Dewa juga menunjukkan kecerdasannya dengan mengandaikan senandung lagu ibunya yang sendu dengan sayap kupu-kupu. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :
( 13 ) “ Aku bisa membayangkan bagaimana ibuku mengharapkan aku suatu ketika akan menjadi kupu-kupu tapi aku tak tahu, apakah diriku dibandingkan dengan ulat yang meskipun lamban masih saja merayap kian kemari, ataukah dengan kepompong yang diam sendiri ketika waktu berlalu beku “ (Ajidarma, 2004:39).
( 14 ) “ Aku sedih jika mendengar nada nyanyian ibu yang seperti itu, bagaikan ia sedang melayang di langit kesedihan dari masa silam. Kesenduan lagunya membayangkan suatu gambaran tentang kupu-kupu yang sedang terbang di taman bunga, namun tiba-tiba diserang burung besar dan patah sayap-sayapnya. Betapa indah namun sekaligus betapa rapuhnya sayap kupu-kupu. Apakah kebebasan juga serapuh itu dan apakah kehidupan ini memang berlagu sendu seperti nyanyian ibuku ? “ (Ajidarma, 2004:42).