• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma : analisis psikologi sastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma : analisis psikologi sastra - USD Repository"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Yoshua Ajie Febrianto NIM: 034114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Yoshua Ajie Febrianto NIM: 034114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)

i

KETERAMPILAN INTRAPERSONAL TOKOH DEWA

DALAM NOVEL

BIOLA TAK BERDAWAI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Yoshua Ajie Febrianto NIM: 034114001

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

Dalam sebuah keterbatasan terdapat ruang

(7)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana karya ilmiah.

Yogyakarta, 21 Januari 2009 Penulis

Yoshua Ajie Febrianto

(8)

vi

ABSTRAK

Febrianto, Yoshua Ajie. 2009. Keterampilan Intrapersonal Tokoh Dewa dalam Novel Biola tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis Psikologi Sastra. Skripsi S1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mendeskripsikan keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai dengan pendekatan psikologi sastra. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis struktur yang dibatasi pada tokoh dan penokohan, kemudian hasil analisis itu digunakan untuk menganalisis keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai.

Kesimpulan hasil penelitian berupa pembagian tokoh menurut peran menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan; serta analisis keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai.

Tokoh utama adalah tokoh Dewa dan tokoh tambahan adalah tokoh Renjani, tokoh Mbak Wid, dan tokoh Bhisma. Tokoh Dewa adalah seorang penyandang tunadaksa, tokoh Dewa selalu membutuhkan bantuan Renjani untuk beraktifitas karena ia tidak dapat melakukan kegiatannya secara mandiri. Hal ini menyebabkan tokoh Dewa sangat menyayangi ibunya. Dewa memiliki kemampuan memahami orang-orang di sekitarnya dan lingkungan tempat ia tinggal, masuk ke dalam alam bawah sadar manusia, mendengar suara hati manusia, membaca masa lalu yang terjadi pada bawah sadar orang yang dimasukinya, dan ia dapat melihat roh anak-anak tunadaksa yang meninggal.

Tokoh Dewa juga seorang pemikir yang cerdas karena ia selalu bercerita mengenai berbagai hal yang dilihatnya. Tokoh Dewa juga seringkali bersolilokui, berfilsafat tentang kehidupan, tentang dirinya sendiri. Tokoh Dewa adalah sosok yang kritis, ia dapat mengkritisi suatu hal lalu mengkaitkan hasil analisisnya dengan kondisi dirinya yang cacat.

(9)

vii ABSTRACT

Febrianto, Yoshua Ajie. 2009. Intrapersonal Skill of the Character Dewa in the Novel of Biola Tak Berdawai Writtenby Seno Gumira Ajidarma: a Literary Psychology Analysis. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Sanata Dharma University.

This research describes the intrapersonal skill of Dewa, a character in the novel of Biola Tak Berdawai, using literature-psychology approach. The structural analysis is restricted to the the character and characterization. The method of the study is descriptive. The first step is to analyse the character and characterization,. The result is then used to analyse the intrapersonal skill.

The conclusions of this study are a description of characters according to their roles: main characters and additional characters; and an analysis of the intrapersonal skill of Dewa.

The main character is Dewa. The additional characters are Renjani, Mbak Wid, and Bhisma. Dewa is a disabled quadriplegic, the character named Dewa always needs help from Renjani to do his activities because he can not do his activity independently. It makes the character Dewa loves Renjani. Dewa has ability to understand human feelings in sorrounds him and also his neighbourhood, come to human’s subconcious, listen to human’s conscience, read the human’s past which was happened in human’s subsconciou’s whom he enters to, and he can see spirit of quadriplegic children who have died.

Dewa is also a smart thinker because he always tells about anything which he can see. Dewa sometimes doing soliloquy, philosophize about life and about himself. Dewa is a critical person, he can criticize something and then asociate his analysis with his defective condition.

(10)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Yoshua Ajie Febrianto Nomor Mahasiswa : 034114001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Keterampilan Intrapersonal pada Tokoh Dewa Dalam Novel Biola Tak Berdawai Karya Seno Gumira Ajidarma Analisis Psikologi Sastra”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 21 Januari 2009 Yang menyatakan

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyelesaikan skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan dan kemampuan serta pengetahuan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

Dalam menyusun skripsi ini penulis telah mendapat banyak bimbingan maupun dorongan yang bermanfaat untuk menyelesaikan skripsi ini. Pada lembar ini penulis ingin mengucapkan kepada:

1. Ibu S.E. Peni Adji, SS., M.Hum. Selaku pembimbing I yang telah memberikan perhatian, pengarahan dengan sabar dan teliti sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum. Selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

(12)

x

4. Bengkel Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Terima kasih atas proses pencarian jati diri yang harus ditempuh dengan peluh dan kerja keras.

5. Semua Angkatan Prodi Sastra Indonesia. Terima kasih karena bisa berproses bersama kalian untuk melebur menjadi satu.

6. Kakak, Ibu dan Bapak. Terima kasih atas saran, kritik yang membangun dan dorongan semangat untuk terus melangkah meniti masa depan yang cerah.

7. Rekan-rekan guru sekolah minggu GKI Ngupasan. Terima kasih karena menanyakan kabar skripsiku, sehingga memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

8. Sahabat-sahabatku di Sastra Indonesia angkatan 2003; Jati “Jatex”, Agus “Manu”, Anton “Pak Anton”, Riawan “Binyong”, Simpli “Komeng”, Icha “Big Bear”, Dhista “Cepot”, Bayu “Bayer”, Rinto “Kepleh”. Terima kasih buat dunia kedua yang kalian ciptakan untukku. Rekan-rekan angkatan 2003; Epita, Vony, Aix, Doan, Ratna, Lia, Ana, Tere, Yeni, Astri. Terima kasih untuk suka dukannya di Sastra Indonesia. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Kesempurnaan dan kekurangan skripsi ini semata-mata merupakan tanggung jawab penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

(13)
(14)

xii

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL

BIOLA TAK BERDAWAI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA... 2.1 Pengantar...

BAB III KETERAMPILAN INTRAPERSONAL TOKOH DEWA DALAM NOVEL

(15)

xiii

3.2.1 Kesadaran Emosi... 3.2.2 Penilaian Diri secara Akurat...

3.2.3 Kepercayaan Diri... 3.3 Rangkuman...

BAB IV PENUTUP... 4.1 Kesimpulan...

4.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA

BIOGRAFI

62 100 109

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek&Warren dalam Melani Budianta 1989:3). Sastra adalah sifat-sifat manusia yang dipaparkan dalam sebuah karya tulis. Karya sastra haruslah memberi pencerahan, dan membuat kita berpikir ulang tentang suatu hal. Hal itu bisa berupa nilai moral ataupun kesenangan yang bersifat menghibur, keduanya ini dapat kita temui dan kita petik dari sebuah karya sastra. Salah satu wujud karya sastra adalah novel. Kata novel sendiri berasal dari bahasa Itali novella, secara umum novella

memiliki yang berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams dalam Nurgiyantoro 1981:119). Setelah beberapa dekade istilah novella mempunyai pemahaman yang sama dengan novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 2005:9-10). Sebuah novel terdiri dari berbagai bagian yang menyatukannya; unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang (Nurgiyantoro, 2005:10).

(17)
(18)

menganggap diri saya sebagai tukang, dengan begitu saya merasa wajib mempelajari segala bentuk penulisan, agar mampu melayani semua pesanan. “Dalam kenyataannya, saya memang berusaha memenuhi segala pesanan“(sukab.wordpress.com). Pengertian yang dimaksud pesanan adalah pesanan untuk menulis buku. Penulis yang meraih Penghargaan S.E.A Write Award untuk bukunya yang berjudul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi ini adalah penulis yang kerap mengolah sebuah ide dari para kolegannya, dan menggunakan bahan tulisannya itu dengan maksimal tanpa harus kehilangan kebebasan mengembangkan gagasan-gagasannya yang liar, “Selama tidak bertele-tele, saya menanggapi segala pesanan sebagai katalisator gagasan: bagaimana caranya pesanan terpenuhi, tetapi gagasan saya tetap berkembang dengan bebas“ (sukab.wordpress.com). Sebagai penulis, Seno cukup produktif menghasilkan sejumlah karya tulis; puisi, roman, novel, esai, cerpen, dan nonfiksi (id.shvoong.com), selain itu Seno juga sempat menduduki jabatan sebagai wartawan di beberapa surat kabar ibukota.

(19)

memasukkan cerita Mahabarata sebagai latar belakang penunjang cerita, yang sifatnya sebagai pelengkap, sekaligus membantu pembaca dalam memahami cerita BTB, disamping itu Seno menambahi karyanya dengan visualisasi gambar kartu tarot dan penjabarannya ke dalam bentuk literer, sebagai sarana untuk memperjelas cerita novel BTB, serta penyingkap misteri masa depan dari para tokohnya (sukab.wordpress.com). Novel ini memang ditujukan Seno untuk anak-anak tunadaksa, seperti yang tertulis pada lembar pertama novel BTB, “demi anak-anak tunadaksa” (Ajidarma, 2004). Kelainan yang dimiliki Dewa adalah tunawicara, memiliki kelainan sistem peredaran darah, kecenderungan autistik, mata terbuka tapi tidak bisa melihat, telinga dapat menangkap bunyi tapi tak mendengar, jaringan otak yang rusak, leher selalu miring, kepala selalu tertunduk ke bawah (Ajidarma, 2004:6). Dewa tinggal di panti asuhan Rumah Asuh Ibu Sejati, dan dirawat oleh Renjani. Dewa sebagai tokoh utama, dapat menceritakan kondisi lingkungan tempatnya tinggal di Kotagede beserta keluarga kecilnya yang tinggal di Rumah Asuh Ibu Sejati dari batinnya. Dewa merupakan tokoh yang berbeda dari tokoh lainnya. Hal ini disebabkan Dewa dapat berfilosofi mengenai dirinya, mengetahui kemampuan dirinya, dan menyimpulkan berbagai peristiwa yang dialaminya lalu mencoba membandingkannya dengan kondisi diri Dewa yang tunadaksa.

(20)

sekelilingnya. Karya tulis ini menjadi menarik karena Dewa terlihat dewasa, dan bijaksana oleh sebab itu peneliti hendak meneliti keterampilan intrapersonal pada tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

Peneliti menggunakan tinjauan psikologi sastra untuk menunjukkan keterampilan intrapersonal dalam novel ini, selain itu juga karena sejauh yang peneliti tahu belum pernah ada yang menggunakan teori keterampilan intrapersonal pada novel Biola tak Berdawai. Untuk menunjang pemakaian teori psikologi sastra maka peneliti memakai teori keterampilan intrapersonal dalam penelitian ini, karena teori ini dapat menjelaskan kemampuan yang dimiliki oleh Dewa.

1.2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimanakah tokoh dan penokohan Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma ?

1.2.2 Bagaimanakah keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah :

(21)

3.2 Mendeskripsikan keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel

Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Memberikan sumbangan apresiasi terhadap sastra indonesia.

1.4.2 Membantu pembaca untuk memahami keterampilan intrapersonal yang dimiliki oleh penyandang tunadaksa pada tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

1.4.3 Memberikan sumbangan pada teori sastra dalam bidang psikologi sastra tentang keterampilan intrapersonal pada penyandang cacat anak tunadaksa.

1.5 Landasan Teori

Teori yang akan digunakan untuk menganalisa novel Biola tak Berdawai

adalah psikologi sastra. Ilmu psikologi dipakai dalam pengkajian sastra, sebab psikologi adalah ilmu mengenai jiwa manusia (Walgito, 2001:5). Manusia memang mempunyai sifat dan karakter yang beragam, oleh karena itu psikologi berperan dalam mempelajari tingkah laku manusia.

(22)

1.5.1 Tokoh dan Penokohan

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, sehingga peneliti lebih menitikberatkan tokoh Dewa sebagai objek penelitiannya serta teori tokoh dan penokohan sebagai alat untuk membantu peneliti dalam menyelesaikan peneltian.

Nurgiyantoro (2005:176-177) membedakan tokoh menurut segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh ke dalam dua bagian; a) tokoh utama dan, b) tokoh tambahan. Ditinjau dari segi peranan atau tingkat kepentingannya dalam sebuah cerita, tokoh utama (central character, main character,) lebih dominan jika dibandingkan dengan tokoh tambahan (peripheral character). Meskipun kehadirannya kadang hanya sebagai pelengkap tetapi, tetap saja tokoh tambahan membantu memunculkan watak serta sikap peranan tokoh utama dalam sebuah cerita.

Tokoh Dewa sebagai sosok penyandang tunadaksa dalam novel Biola Tak Berdawai berperan sebagai tokoh utama (main character). Hal ini terlihat dari banyaknya petikan dialog yang jumlahnya hampir mendominasi seluruh isi novel. Sedangkan untuk tokoh Renjani, Bhisma, dan Mbak Wid mereka bertiga termasuk dalam tokoh tambahan yang kemunculannya tidak terlalu sering.

(23)

kebiasaan hidup, cara pandang, ideologi, dan prinsip hidup. Penokohan sendiri menjelaskan ‘pelaku cerita’ dan berarti pula ‘perwatakan’.

1.5.2 Psikologi sastra

Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Psikologi sastra dapat dilangsungkan dilakukan secara deskriptif (Hartoko dan Rahmanto, 1986:126-127). Dalam novel Biola tak Berdawai teori psikologi sastra terlihat aplikasinya pada monolog yang diutarakan oleh Dewa dalam batinnya, terutama mengenai analisis tentang orang-orang di sekitarnya, dan dirinya sendiri. Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya (Ratna, 2004:342).

(24)

1.5.3 Keterampilan Intrapersonal

Keterampilan intrapersonal adalah teori yang digunakan peneliti untuk mengetahui dan menganalisa keterampilan intrapersonal yang dimiliki oleh tokoh Dewa. Tetapi, untuk dapat menjabarkan tentang keterampilan intrapersonal, terlebih dulu peneliti akan menjelaskan tentang pengertian kecerdasan intrapersonal. Kecerdasann intrapersonal adalah kecerdasan memahami diri sendiri, kecerdasan mengetahui siapa diri Anda sebenarnya (Armstrong, 2002:22). Kecerdasan intrapersonal juga mencakup kemampuan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan diri Anda, serta kecerdasan untuk merenungkan tujuan hidup sendiri dan untuk mempercayai diri sendiri (Armstrong, 2002:22). Perwujudan dari kecerdasan intrapersonal adalah keterampilan intrapersonal. Daniel Goleman (1998:65-66) membagi keterampilan intrapersonal kedalam tiga bagian :

1. Kesadaran Emosi, yaitu tahu tentang bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja diri, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai diri untuk memandu dalam pembuatan keputusan. Orang dengan tipe ini :

a) Tahu emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

b) Menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan.

c) Mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi kinerja.

(25)

2. Penilaian Diri secara Akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-kekuatan dan batas-batas pribadi kita, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan tipe ini:

a) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. b) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri.

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.

3. Kepercayaan Diri, yaitu keberanian yang datang dari kepastian tentang kemampuan, nila-nilai, dan tujuan kita. Orang dengan tipe ini:

a) Berani tampil dengan keyakinan diri; berani menyatakan eksistensinya. b) Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran.

c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang tidak pasti dan tertekan.

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Pengumpulan Data

(26)

meneliti data-data yang penulis dapat berasal dari buku, esai, karya tulis dan artikel yang berkaitan dengan permasalahan di atas.

1.6.2 Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis untuk meneliti novel Biola tak Berdawai ini adalah pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan sastra yang dilakukan dari sudut psikologi (Hartoko dan Rahmanto, 1986:126-127). Jadi kondisi psikologis (keterampilan intrapersonal tokoh) dianalisis, diteliti, lalu disimpulkan menggunakan premis-premis psikologi.

1.6.3 Metode Penelitian

(27)

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode teknik pengumpulan data. Data-data yang ada dalam dalam novel Biola tak Berdawai akan digunakan, dan diolah oleh peneliti untuk mendukung penelitian, selain itu peneliti juga menggunakan studi pustaka lain yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan.

1.6.5 Sumber Data Penelitian

Dikarenakan penelitian ini mengangkat tema tentang keterampilan intrapersonal tokoh Dewa, maka sumber data utama berasal dari novel itu sendiri, sedangkan sumber data lainnya adalah sebagaimana yang tersebut dalam daftar pustaka, yang digunakan untuk membantu menyelesaikan penelitian. Berikut data utama di bawah ini yang digunakan dalam penelitian.

Judul buku : Biola Tak Berdawai Penerbit : Akur

Kota terbit : Jakarta Tahun terbit : 2004

Halaman : 198 halaman 1.7 Sistematika Penyajian

(28)
(29)

BAB II

TOKOH DAN PENOKOHAN

DALAM NOVEL

BIOLA TAK BERDAWAI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

2.1 Pengantar

Dalam dunia kesusastraan unsur tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting. Sebab dalam sebuah novel unsur tokoh dan penokohan, mutlak diperlukan. Hal ini berfungsi membantu pembaca untuk memahami alur sebuah cerita dan memperjelas gambaran cerita yang dibangun dalam sebuah karya fiksi. Istilah tokoh menunjuk pada pelaku cerita Nurgiyantoro (2005:165). Jadi bisa disimpulkan, pelaku cerita adalah pemain watak yang memerankan peranan dalam sebuah karya fiksi. Melalui tokoh, cerita dalam sebuah karya fiksi menjadi lengkap, karena sebuah karya fiksi tidak akan menjadi utuh tanpa adanya pemeran watak yang melakonkan sebuah peran dalam karya fiksi.

Kita tidak akan tahu,“Siapa yang melakukan dialog ?“, “Hal apa yang dibicarakan dan diperbincangkan ?“, “Siapa yang diceritakan ? “, jika tidak ada tokoh dalam sebuah karya sastra. Tokoh dalam sebuah cerita, juga ikut membantu kita dalam menikmati sebuah cerita. Sebab pikiran kita dituntun untuk mencari kesamaan tokoh rekaan dalam sebuah karya fiksi, dengan tokoh di dunia nyata, sehingga membantu menciptakan tokoh fiktif yang sudah diciptakan oleh pengarang dalam imajinasi kita.

(30)

antara keduanya, baik itu dari; ciri-ciri fisik, perilaku, kebiasaan, adat-istiadat, dan sebagainya. Namun, karena perbedaan inilah kita justru menemukan perpaduan yang unik dalam tokoh, sehingga membaca sebuah cerita menjadi terasa menyenangkan dan tidak membosankan. Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan seperti yang disikapi dan dialami tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap kehidupan itu sendiri Nurgiyantoro (2005:166). Sebab, pengarang memiliki kebebasan untuk menciptakan karakter, status sosial, tipikal fisik tokoh sesuai dengan seleranya.

Ditinjau dari segi peranannya, tokoh dalam sebuah cerita ada yang terus-menerus ditampilkan, sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan berperan penting, di sisi lain ada juga tokoh yang kemunculannya tidak terlalu mendominasi, tetapi tetap berperan dalam sebuah cerita Nurgiyantoro (2005:176).

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah keterampilan intrapersonal pada tokoh utama. Sehingga kemampuan yang dimiliki oleh tokoh utama dijabarkan menggunakan teori tokoh dan penokohan untuk membantu menyelesaikan masalah.

Untuk memperjelas analisis tokoh dan penokohan, terlebih dahulu penulis memaparkan sinopsis novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma.

2.2 Tokoh dan Penokohan 2.2.1 Tokoh Utama

(31)

tokoh utama dalam sebuah penceritaan tergolong diutamakan jika dibandingkan dengan tokoh tambahan. Dalam novel, kemunculan tokoh utama sering ditampilkan pada tiap bab. Hal ini bertujuan untuk menunjang kelangsungan cerita, serta membantu pembaca dalam mengenal tokoh berdasarkan peranannya. Jumlah dialog ataupun kejadian yang menyangkut tokoh utama juga lebih banyak, jika kita bandingkan dengan tokoh tambahan.

2.2.1.1 Dewa

Seperti tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai, yang berperan sebagai tokoh utama. Peranan Dewa sebagai tokoh utama terlihat dari banyaknya petikan monolog, maupun kejadian yang menceritakan Dewa dalam tiap babnya. Dewa digambarkan oleh pengarang sebagai anak tunadaksa, kondisi tubuhnya tidak seperti anak-anak bertubuh normal lainnya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut:

( 1 ) “ Aku disebut sebagai anak tunadaksa, yakni memiliki lebih dari satu cacat, dan salah satunya adalah tunawicara. Menurut pemeriksaan, aku dilahirkan dengan kelainan sistem peredaran darah, yang membuat tubuhku tidak berkembang. Aku juga disebut mempunyai kecenderungan autistik, mataku terbuka tapi tidak melihat, telingaku bisa menangkap bunyi tapi tak mendengar, tentu karena jaringan otakku yang ternyata rusak. Leherku selalu miring, kepalaku selalu tertunduk-ya, pandanganku selalu terarah ke bawah. Aku seperti bayi tua, tubuhku kecil, tetapi wajah lebih berusia : anak-anak kecil suka memanggilku anak tuyul atau anak genderuwo, semuanya setan-setan gentayangan yang hanya mereka kira-kira saja bentuk rupanya “ (Ajidarma, 2004:7).

Tokoh Dewa adalah sosok yang kritis, ia dapat mengkritisi suatu hal lalu mengkaitkan hasil analisanya dengan kondisi dirinya yang cacat. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut:

(32)

tepi yang sangat luar sekali, di tepinya yang paling tepi. Tidak dianggap dan tidak terlalu berarti “ (Ajidarma, 2004:45).

Meskipun Dewa cacat, tetapi tidak membatasi kemampuan indera lainnya, terbukti ia dapat mendengar suara hati orang lain dan mengetahui kondisi batin orang lain. Berikut penggalan kutipannya :

( 3 ) “ Aku tetap tertunduk, apalah yang bisa kulakukan ? Aku sering tidak mengerti, kenapa aku diberi nama Dewa, kalau kemudian diketahui aku tidak bisa mengangkat kepala seperti ini. Namun, sebenarnya nama Dewa juga bukan nama kosong, setidaknya kalau dibandingkan dengan dewa-dewa dari dunia pewayangan, yang bisa berkelebat ke sembarang tempat, di dalam maupun di luar dunia ini, menembus berbagai macam dimensi. Hanya tampaknya saja aku tidak mampu melihat dan mendengar sesuatu, tetapi aku mampu menangkap getaran jiwa dan mendengar kata hati ” (Ajidarma, 2004:9).

Kondisi fisik Dewa yang cacat, memang membatasi ruang geraknya sebagai manusia, tetapi tidak pada kemampuannya yang dapat berfilosofi tentang kehidupan. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut:

( 4 ) “ Masa depan dihadapi manusia dengan kecemasan, ketakutan, dan keprihatinan atas kemungkinan yang tiada akan pernah bisa dipastikan. Jadi, mereka yang percaya betul kepada ramalan mengandaikan dan mengandalkan terdapatnya harapan-celakanya tidak semua kartu tarot Mbak Wid memberikan harapan, dan itulah yang selalu terjadi setiap akan ada bayi mati di panti asuhan ini “ (Ajidarma, 2004:19).

(33)

Dewa sebagai anak tunadaksa juga dapat melihat makhluk-makhluk halus yang kasat mata, serta melihat semut yang merayap di sela rumput di atas makam. Tokoh Dewa bahkan dapat mendengar suara angin. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

( 6 ) “ Hanya sunyi saja makam-makam ini. Angin yang menggoyang bunga kamboja, dan semut yang merayap di sela rumput di atas makam. Namun kesunyian bukanlah tanpa suara sedangkan suara-suara bukanlah sekadar bunyi saja. Angin kadang terdengar seperti bisikan dan betapa bisa bermakna suatu bisikan ketika mengundang seribu penafsiran. Alam semesta penuh dengan makna, bahkan orang yang sudah mati bisa berbicara lewat berbagai penanda-dengan cara itulah aku bisa mengalami penanda-dengan caraku sendiri, betapa kuburan ini tidaklah sesunyi tampaknya “ (Ajidarma, 2004:28).

Dewa sebagai anak tunadaksa, juga sangat menyayangi ibunya yang selalu merawat diri Dewa, meskipun terlihat tidak dapat mengutarakan emosinya melalui gerakan tubuh, tetapi sesungguhnya Dewa mengutarakannya dalam hati bahwa ia amat menyayangi ibunya. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

( 7 ) “ Aku terduduk dan tertunduk dengan tatapan mata ke lantai, namun aku melayang ke sebuah semesta di mana kulihat sesosok bayangan yang sangat samar-samar seperti melambaikan tangan dengan penuh kerinduan. Bagaikan suatu tatapan dari balik kaca, mata bisa memandang tetapi tubuh tak mampu menembusnya. Jiwa mampu menyapa jiwa dan hati mampu menyentuh hati tetapi akal begitu terbatas kemampuannya untuk menjelaskan rasa. Hanya gelombang kerinduan, sesal tanpa alasan, cinta tanpa sambutan, dan perkabungan yang menyiksa...” (Ajidarma, 2004:57).

( 8 ) “ Umurku sudah hampir delapan tahun, dibanding Larasati yang hanya berumur lima hari, aku sudah hidup terlalu lama-namun aku masih ingin hidup lebih lama lagi. Aku ingin ibuku mengerti betapa aku juga mencintainya dengan sepenuh hati. Hanya itulah yang ingin kulakukan di dunia ini, menunjukkan cinta kepada ibuku, yang telah menyerahkan sisa hidupnya untuk mencintaiku “ (Ajidarma, 2004:29).

(34)

sikap dewasanya dengan bercerita tentang fungsi panca indera dan kondisi jiwa pada manusia bertubuh sempurna, lalu membandingkannya dengan diri Dewa yang tunadaksa. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :

( 9 ) “ Bersyukurlah mereka yang hidupnya berlimpah dengan cinta. Aku bersyukur dipertemukan dengan ibuku, pada usia dua hari setelah ibu kandungku membuang aku. Pastilah aku makhluk yang beruntung. Aku juga merasa beruntung karena merasa betapa alam yang terindah diciptakan bagai hanya untukku. Ibuku menunjuk kupu-kupu yang hinggap di tangkai padi ” (Ajidarma, 2004:37).

( 10 ) “ Bahkan mereka kemudian tidak menggunakan matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar, dan telapak tangan untuk sekedar meraba. Jiwa mereka sering mendadak lebur dengan jiwa kami, namun bisa pula dengan sendirinya terlepas kembali: seandainya kami bisa berbicara, kami ingin memanggilnya agar jangan pergi, tetapi kami tidak memiliki sesuatu yang membuat kami bisa dimengerti-kami tidak mempunyai sarana untuk membahasakan diri kami “ (Ajidarma, 2004:4).

Tokoh Dewa juga terlihat bijaksana. Meskipun ia cacat, bukan berarti ia bersikap manja. Ia justru bersikap bijaksana, hal ini ditunjukkan oleh Dewa pada manusia bertubuh sempurna agar menghargai keberadaan mereka, agar tahu betapa besar sesungguhnya arti cinta. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

( 11 ) “ Itulah masalahnya, kami melihat dunia dengan cara lain, menghayati dan mengalami dunia dengan cara yang sama sekali lain, namun itu tidak berarti kita harus tetap selalu tak saling mengerti-bila tubuh dan otak kami tiada mampu berbahasa, tidaklah berarti kami tiada berjiwa dan tiada berhenti sama sekali. Bukankah sudah berkali-kali kukatakan betapa cinta telah menghidupkan kami ? Sayangilah kami, maka ada sesuatu yang akan dikau mengerti; cintailah kami, maka tak akan pernah dikau kira betapa makna akan sangat berarti “ (Ajidarma, 2004:137).

(35)

Keterbatasan yang dimiliki Dewa tidak menjadi halangan bagi Dewa untuk menunjukkan kecerdasanya. Dewa mencoba membayangkan bagaimana ibunya mengharapkan Dewa menjadi kupu-kupu. Dewa juga menunjukkan kecerdasannya dengan mengandaikan senandung lagu ibunya yang sendu dengan sayap kupu-kupu. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :

( 13 ) “ Aku bisa membayangkan bagaimana ibuku mengharapkan aku suatu ketika akan menjadi kupu-kupu tapi aku tak tahu, apakah diriku dibandingkan dengan ulat yang meskipun lamban masih saja merayap kian kemari, ataukah dengan kepompong yang diam sendiri ketika waktu berlalu beku “ (Ajidarma, 2004:39).

( 14 ) “ Aku sedih jika mendengar nada nyanyian ibu yang seperti itu, bagaikan ia sedang melayang di langit kesedihan dari masa silam. Kesenduan lagunya membayangkan suatu gambaran tentang kupu-kupu yang sedang terbang di taman bunga, namun tiba-tiba diserang burung besar dan patah sayap-sayapnya. Betapa indah namun sekaligus betapa rapuhnya sayap kupu-kupu. Apakah kebebasan juga serapuh itu dan apakah kehidupan ini memang berlagu sendu seperti nyanyian ibuku ? “ (Ajidarma, 2004:42).

2.2.2 Tokoh Tambahan

Tokoh tambahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam keseluruhan cerita lebih sedikit jika dibandingkan dengan tokoh utama, tidak dipentingkan, dan kehadiranya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung Nurgiyantoro (2005:177). Di samping itu, fungsi tokoh tambahan adalah sebagai pelengkap dalam sebuah cerita fiksi.

2.2.2.1 Renjani

(36)

ditunjukkan saat ia mendampingi Dewa dan membela tokoh Dewa saat diejek. Penggambaran Rumah Asuh Ibu Sejati dan karakter Renjani yang penyayang serta penyabar di ceritakan oleh Dewa. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :

( 15 ) “ Panti asuhan tempat anak-anak tunadaksa dirawat bernama Rumah Asuh Ibu Sejati. Terletak di daerah para pengrajin perak bernama Kotagede di pinggiran kota Yogyakarta yang biasa diucapkan sebagai Jogja. Ibuku menerima warisan sebuah rumah yang besar di sana, sebuah rumah berarsitektur gaya kolonial dengan sentuhan ukiran Jawa yang dibangun tahun 1887. Halaman mukanya luas, pintu utamanya terdiri dari dua lapis, yakni sebuah pintu jati besar dengan pintu setengah di depannya. Pintu ini menghadap ke sebuah teras besar yang tiang-tiangnya penuh dengan ukiran. Tegel untuk lantainya berasal dari Belanda “ (Ajidarma, 2004:9).

( 16 ) Saat itu kutelan makanan yang disuapkan ibuku.

“ Anak pintar, “ kata ibuku, “ makannya habis. Anak Ibu memang pintar, dan hanya anak-anak pintar seperti kamu Dewa, yang boleh tinggal di sini “.

Tapi Mbak Wid, entah kenapa, seperti tersinggung oleh perhatian ibuku yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi.

“ Anak-anak yang dibuang orangtuanya. Anak-anak yang bikin malu keluarganya. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya tidak lama ! “

Ibuku mengimbangi dengan perlahan. “ Ssstt..Mbak...Wid...ada Dewa...”

Maka Mbak Wid pun bicara tentang diriku.

“ Duuuhhh, Renjaniii, Renjani...Saya tahu kamu sangat sayang kepada Dewa, tapi anak itu tidak mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa. Dia bukan saja jaringan otaknya rusak, tapi juga autistik. Matanya terbuka tapi tidak melihat. Telinganya tidak mendengar. Kamu sendiri kan sudah melihat hasil test-nya.”

“ Tapi hasil test itu kan Cuma memberitahu keadaan fisiknya saja. Kita tidak pernah bisa tahu bagaimana perasaan Dewa “ (Ajidarma, 2004:18).

( 17 ) “ Ibuku lantas menggendong aku, karena kami melewati selokan pinggiran, dan naik ke arah di mana terdapat rel kereta api. Angin yang masih sejuk, cahaya kekuningan yang lembut, dan gemerisik sawah itu menenangkan diriku, setenang kepompong yang tenggelam dalam waktu sebelum menjadi kupu-kupu “ (Ajidarma, 2004:40).

(37)

memandang kami, kemudian memperhatikan aku, dan saling berpandangan. Mereka mempercakapkan aku dengan suara keras, bahkan seperti sengaja memperdengarkannya di celah deburan ombak “ (Ajidarma, 2004:46).

“ Seperti anak tuyul.“ “ Mukanya aneh.” “ Anak genderuwo ! “

Mereka kemudian lari sambil tertawa-tawa. Ibuku marah besar.

“ Kamu tunggu di sini ya ? “

“ Ibuku lari memburu kedua anak itu, tetapi aku tidak peduli, karena aku hanya melihat cahaya dan merasa melayang di antara cahaya. Aku merasa melangkah menuju ke suatu tempat yang sangat kukenal. Apakah aku pernah berada di tempat yang aku tuju ? Bagaimana mungkin ? Selamanya aku selalu berada di tangan ibuku. Namun kali ini aku melangkah sendiri, betul-betul dengan tubuhku sendiri, menuju ke lingkaran-lingkaran cahaya yang bagaikan membentuk sebuah gua. Di dalam gua cahaya aku melayang menuju ke suatu tempat yang seolah-olah sudah pernah kudatangi “ (Ajidarma, 2004:46).

Selain itu tokoh Renjani yang berstatus sebagai pemilik Rumah Asuh Ibu Sejati, juga mantan seorang penari balet. Kisah hidupnya di ceritakan secara singkat oleh Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(19) “ Para penari balet melayang dan bercinta dalam semesta tari. Sebuah dunia yang indah, namun yang bagi ibuku berarti malapetaka. Itukah sebabnya ibuku mengasingkan diri ke pinggiran kota ini ? ibuku meninggalkan dunianya yang gemerlapan di Jakarta, menenggelamkan diri dalam perawatan bayi-bayi tunadaksa. Benarkah ibuku tidak pernah merindukan dunianya yang dulu ? Tanpa peristiwa yang meninggalkan luka itu, dunia balet adalah dunia yang bisa membuat ibuku mengubah diri dari kepompong menjadi kupu-kupu dan bisa berkata, “ Inilah aku ! “. Tapi sekarang ibuku di sini, bersama aku, seperti kupu-kupu yang bermetamrfosa terbalik menjadi kepompong, sia-sia mencoba memahamiku “ (Ajidarma, 2004:81).

(20) “ Kamu suka sepatu ini ? Namanya sepatu balet. Ini punya ibu. Dari kecil Ibu sudah bercita-cita menjadi seorang penari balet, dan sudah menari di mana-mana. Tapi akhirnya Ibu harus berhenti menari. “ (Ajidarma, 2004:83).

(38)

permohonan cinta Bhisma di ceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(21) “ Gemerisik daun-daun itulah yang berkisah tentang tarian sepasang kupu-kupu yang beterbangan kian kemari ditimpa cahaya lembut matahari. Namun tiba-tiba mendadak langit menjadi gelap, matahari lenyap, dan salah satu kupu-kupu itu berubah menjadi burung hantu yang siap mematuk kupu-kupu yang kehilangan arah dalam kegelapan. Kemudian gemerisik daun-daun itu hilang, berganti denting piano yang menggambarkan daun-daun bambu kering diterbangkan angin. Guru tari itu memegang kedua tangan ibuku, mendorongnya terus sampai menabrak dinding cermin ”.

“Ayolah...”

Ia merayu, memaksa dan merayu, tapi lantas hanya memaksa.

Ibuku melawan. Ibuku menampar, tapi ditampar kembali. Sempat lolos dan lari, tetapi sampai di pintu tertangkap dan dengan kasar ditarik dan dilempar sehingga meluncur sepanjang lantai sampai menabrak dinding cermin lagi.

Guru tari itu memperkosa ibuku yang setengah pingsan (Ajidarma, 2004:78).

(22) “ Hatimu bilang apa ? Renjani, dia laki-laki baik. Bukan jenis yang cuma bisa jongkok di pertigaan. Jangan bisarkan masa lalumu menghalangi masa depanmu “.

Mbak Wid menyebut-nyebut masa lalu, membuat ibuku teringat masa lalu, yang begitu menyakitkan bagai tusukan sembilu.

“ Saya takut... ”

“ Laki-laki itu teka-teki yang paling aneh. Perempuan itu teka-teki yang paling tidak masuk akal. Belum tentu kamu bisa menemukan lagi laki-laki yang seperti dia, yang sudah bisa menerima Dewa seperti apa adanya “.

Malam semakin kelam. Lilin-lilin sebagian mati. Aku tepekur dalam keremangan (Ajidarma, 2004:129).

(23) “ Aku mohon, jangan singkirkan aku. Dewa sudah mengisi batinku. Kamu sudah mengisi hatiku. Tolong Renjani, jangan singkirkan aku “.

Mata ibuku berkaca-kaca. Dibelainya pipi Bhisma. Tangan Bhisma meraih tangan yang membelai itu dan dibelainya kembali.

“ Aku masih bingung,” kata ibuku, “ aku masih belum bisa berdamai dengan masa laluku. Beri aku waktu. Tapi kamu harus janji, kamu akan menyelesaikan lagu ini “ (Ajidarma, 2004:132).

(39)

juga termasuk orang yang lembut terhadap tokoh Dewa. Kegiatan mereka di Gajah Wong Cafe di ceritakan oleh tokoh Dewa Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(24) “ Sungai Gajah Wong melenggang dan melenggok pelahan. Kericik air di tepian seperti berkirim salam kepada pohon-pohon talas. Seperti bayi-bayi yang dihanyutkan, aku bersantai dan berhanyut sampai di Gajah Wong Cafe, lantas melayang dibawa angin ke tempat Bhisma dan ibuku bercengkerama di atas bale-bale beratap rumbia, menghadap pemandangan sawah subur menghijau. Tubuhku masih tertunduk di Rumah Asuh Ibu Sejati, namun jiwaku berada dalam diri ibuku. Kudengar percakapan mereka tanpa telinga “ (Ajidarma, 2004:114).

(25) “ Mana mungkin Mbak, umur saya delapan tahun lebih tua dari dia, dan saya merasa sudah sampai di masa depan saya. Di sini. Di rumah ini. Bersama Dewa dan bayi-bayi lainnya. Saya merasa sudah mapan. Tapi memang sekarang ketakutan...” (Ajidarma, 2004:128).

(26) “ Masih terlihat gundukan merah bayi Larasati-mereka semua yang telah mendahuluiku ada di sana, bayi-bayi dengan nama yang tidak pernah mereka dengar atau ucapkan sendiri. Entah kenapa aku tidak kunjung mati, padahal keadaan tubuhku tidak lebih dari mereka : otak rusak, peredaran darah tak beres, tubuh kerdil, autistik, menengok saja susah. Ibuku sangat sering melatihku berjalan, seperti Sumantri selalu menuntun Sukasrana. Kami berjalan di persawahan, kami berjalan di pantai, atau menengok makam-makam mungil dan memandang Merapi “ (Ajidarma, 2004:24).

(27) “ Di pantai Krakal, kami tenggelam dalam tempias cahaya yang berkilauan dari ombak yang memutih dan pantulan pasir basah yang begitu luas dan begitu berkilau seolah-olah bumi ini terbuat dari lempengan cahaya “

Ibuku menuntun aku melangkah di atas pasir yang terasa berat.

“ Melangkahlah Dewa, melangkah. Pasir ini akan membuat kakimu kuat “.

Lidah-lidah ombak mengempas dan berdesis, namun aku tidak berada di pantai karena aku merasa melayang di antara cahaya (Ajidarma, 2004:45).

(40)

(28) Saat itu kutelan makanan yang disuapkan ibuku.

“ Anak pintar, “ kata ibuku, “ makannya habis. Anak ibu memang pintar, dan hanya anak-anak pintar seperti kamu Dewa, yang boleh tinggal di sini “.

Tapi Mbak Wid, entah kenapa, seperti tersinggung oleh perhatian ibuku yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi.

“ Anak-anak yang dibuang orangtuanya. Anak-anak yang bikin malu keluarganya. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya tidak lama !”.

Ibuku mengimbangi dengan perlahan. “ Ssstt...Mbak Wid...ada Dewa...”

Maka Mbak Wid pun bicara tentang diriku.

“ Duuuhhh, Renjaniiii, Renjani...Saya tahu kamu sangat sayang kepada Dewa, tapi anak itu tidak mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa. Dia bukan saja jaringan otaknya rusak, tapi juga autistik. Matanya terbuka tapi tidak melihat. Telinganya tidak mendengar. Kamu sendiri kan sudah melihat hasil test-nya “.

“ Tapi hasil test itu kan cuma memberitahu keadaan fisiknya saja. Kita tidak pernah bisa tahu bagaimana perasaan Dewa “ (Ajidarma, 2004:18).

(29) “ Ibuku menuntunku di tengah hamparan sawah yang menguning. Dalam hembusan angin, batang-batang padi itu bagaikan sedang bersembahyang dan setiap kali tegak memuji kebesaran Tuhan. Kudengar suara sayap kupu-kupu yang kepaknya seperti desisan dan terbangnya capung yang berdenging lembut seperti impian. Telingaku memang tidak mendengar meski terbuka, namun selalu ada cara di mana jiwa bisa terhubungkan dengan jiwa. Ibuku menuntunku dengan sangat sabar. Kuhirup bau lumpur sawah yang membuatku merasa hidup-anak tunadaksa pun bukan anak yang mati bukan ?

“ Kiri dikit, terus maju, pinter anak ibu...” (Ajidarma, 2004:36).

2.2.2.2 Bhisma

Tokoh tambahan yang kedua adalah Bhisma, seorang anak muda yang juga pemain biola. Bhisma terlihat sedang memandangi Renjani sambil bermain biola di panggung. Tokoh Dewa mencoba menjelaskan sosok Bhisma sebagai pemain biola. Berikut ini penggalan kutipannya :

(41)

sorotannya tajam. Sepintas lalu ia tampak sopan dan manis-tapi jika permainan biolanya boleh dianggap sebagai pernyataan jiwa, terdengar sesuatu yang tidak terlalu manis, bahkan terbayang adanya suatu dunia yang liar di mana berbagai anasir masih bertarung untuk menguasai jiwanya “ (Ajidarma, 2004:103).

Tokoh Bhisma adalah pribadi yang sopan, ditunjukkan saat ia menawarkan bantuan pada Renjani. Sikap sopan Bhisma juga terlihat pada percakapnnya tentang foto bersama Renjani. Kepribadian Bhisma yang sopan di ceritakan oleh tokoh Dewa yang berada didekat Renjani. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan berikut :

(31) Lelaki itu juga masih di panggung, membereskan peralatannya-dan ia masih memperhatikan kami. Memang hanya tinggal kami berdua di kursi penonton. Ia melangkah ke arah kami sambil masih memegang biola dan tongkat penggeseknya.

“ Bisa saya bantu ? “

Ibuku sangat ragu menanggapinya. Aku tahu, ibuku benci kalau seseorang pura-pura kasihan kepadaku. Meski begitu aku tahu ibuku bukan tidak peduli, setidaknya ia menghargai para pemain musik di panggung tadi.

Lelaki itu mengulurkan tangannya . “ Bhisma .”

Dengan sopan ibuku menyambutnya. “ Renjani “.

Ibuku bicara tentang aku.

“Ini Dewa, anak saya yang paling pintar. Kasih tangan sama Mas Bhisma“.

Tanganku diajukannya untuk menyalami, Bhisma menyambutnya (Ajidarma, 2004:104-105).

(32) “ Bhisma melihat foto-foto balet di dinding dan fotoku di meja kerja ibuku, sementara ibuku masih bercerita dengan mata berbinar-meski aku tunduk selalu, bisa kurasakan kegembiraan ibuku yang selalu berduka.

Lantas Bhisma masuk ke persoalan yang seperti sudah lama ingin dia tanyakan.

“ Kalau Dewa ? Kamu ibunya. Bapaknya di mana ? “ Ibuku menggeleng.

(42)

Tokoh Bhisma sebagai pemain biola, juga memiliki akal yang cerdas, terbukti ia mencari cara agar dapat bertemu lagi dengan Renjani. Kecerdasan Bhisma, juga ditunjukkan saat ia mempertanyakan kegunaan kartu tarot pada Mbak Wid. Kemampuan Bhisma dipaparkan oleh tokoh Dewa. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(33) “ Bhisma lantas seperti punya cara, untuk tidak menjadikan perjumpaan dengan ibuku sebagai yang pertama sekaligus terakhir. Ia segera berujar. “ Dewa suka sama tongkat itu. Boleh dipegang, tapi kita pulang ya ? “ (Ajidarma, 2004:105).

(34) “ Mbak Wid memberikan tumpukan kartu kepada Bhisma untuk dikasut. Ia mengasutnya dengan kepala tergeleng-geleng tidak mengerti “

“ Kartu ini bisa menjawab teka-teki kehidupan Mbak Wid ? “ (Ajidarma, 2004:113).

Bhisma, yang sedang mengiringi Renjani bermain biola ternyata menjadi jatuh cinta pada Renjani. Bhisma adalah seorang pemain biola yang gigih untuk mendapatkan cinta Renjani, meskipun ia sempat ditolak, tetapi ia terus mencobanya. Usaha Bhisma yang pantang menyerah di ceritakan oleh tokoh Dewa. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini :

(35) “ Bhisma memandang ibuku tanpa berkedip, tak sepenhnya sadar dengan apa yang terjadi dalam dirinya. Ia tak melepaskan pelukannya. Nafasnya di pipi ibuku dan ia memeluk dengan kencang “.

“ Renjani...”

Ibuku semula juga merasa terseret arus dan terbakar dalam kehanyutan, namun segera teringat oleh ibuku sesuatu yang menyakitkan, seperti sayap kupu-kupunya yang putih cemerlang berubah menjadi coklat bulukan dan hancur lebur diterbangkan angin.

“ Bhsima! Lepaskan!”

Anak muda itu seperti kerasukan, merangsek dan merangsek, sampai ibuku berhasil mendorongnya dengan kasar.

“ Kamu keluar sekarang! Keluar!”

(43)

luruh, hancur lebur menjadi debu. Ia bahkan tak berani meminta maaf (Ajidarma, 2004:118).

(36) “ Aku tidak pernah butuh apapun untuk main musik. Aku tidak pernah butuh siapapun. Tapi sekarang semua nada sudah mati. Hatiku juga sudah mati “.

Lantas ditatapnya lagi mata ibuku dengan tajam.

“ Aku butuh kamu untuk menyelesaikan lagu ini. Aku butuh kamu “. Anak muda itu berlutut, dan meraih tangan ibuku.

“Aku mohon, jangan singkirkan aku. Dewa sudah mengisi batinku. Kamu sudah mengisi hatiku. Tolong Renjani, jangan singkirkan aku ”.

Mata ibuku berkaca-kaca. Dibelainya pipi Bhisma. Tangan Bhisma meraih tangan yang membelai itu dan dibelainya kembali.

“ Aku masih bingung, “ kata ibuku, “aku masih belum bisa berdamai dengan masa laluku. Beri aku waktu. Tapi kamu harus janji, kamu akan menyelesaikan lagu ini “.

Tangan ibuku mengusap rambut Bhisma.

“ Dan kamu memainkannya untukku dan Dewa...”

Bhisma mengecup tangan ibuku dengan lembut (Ajidarma, 2004:132). Bhisma sebagai pemain biola, juga termasuk orang yang melankolis. Bhisma terlihat merasa kehilangan Renjani dan Dewa, karena tidak datang lagi ke konser biolanya yang kedua. Sifat melankolis Bhisma juga ditunjukkan dengan mencoba memainkan sebuah lagu untuk Renjani. Tokoh Dewa terlihat menceritakan sifat Bhisma yang melankolis. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(37) “ Para pemain musik sudah pergi, para penonton juga sudah pergi, tinggal Bhisma memandangi dua kursi yang sudah dipesankan olehnya, dan sepanjang pergelaran kedua kursi itu tetap kosong. Hati Bhisma itulah yang menangis ? Sebetulnya boleh-boleh saja seorang lelaki menangis, kenapa tidak ? Barangkali saja setiap lelaki di dunia ini pernah menangis, apalagi jika hatinya terluka oleh cinta-tapi mungkin saja tidak pernah memperlihatkannya “ (Ajidarma, 2004:146).

(44)

Ia telah membuka kotak biolanya dan dari dalam kotak itu mengambil dua tangkai bunga mawar. Diletakkannya satu persatu di pusara ibuku.

“ Ibu...ini dari Dewa, “ kata Bhisma untukku. “ Ini dari aku Renjani “.

Lantas ia mengeluarkan biola dan tongkat penggesek dari kotak, siap memainkan lagu yang digubahnya untuk kami. Ia bicara kepadaku.

“ Aku mainkan lagu untuk ibu ya ?”

Tentu saja Bhisma tidak menunggu jawaban. Ia memandang langit. “ Renjani...ini untuk kamu “ (Ajidarma, 2004:185-186).

2.2.2.3 Mbak Wid

Tokoh Mbak Wid, adalah dokter di Rumah Asuh Ibu Sejati, pada pagi hari ia adalah seorang dokter, tetapi saat malam hari ia berubah menjadi peramal kartu tarot. Mbak Wid, adalah sosok yang misterius. Profesi serta karakter Mbak Wid yang misterius diceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(39) “ Namun perasaan Mbak Wid sudah kebal. Setiap pagi ia mengenakan baju putih-putih, sebagai dokter kepala di Rumah Asuh Ibu Sejati, namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi seorang perempuan berbaju hitam-hitam yang begitu percaya ramalan kartu-kartu. Pada pagi hari Mbak Wid adalah seorang dokter yang hidup dengan kepala dingin, pada malam hari Mbak Wid membuka gelung rambutnya, mengubah dandanannya menjadi seorang perempuan yang mempercayai ramalan kartu yang terkadang mengerikan Kematian bayi Larasati misalnya, memang seperti telah diramalkan, ketika kartu yang dibuka Mbak Wid adalah The Death alias Kematian “ (Ajidarma, 2004:16-17).

(40) “ Kartu-kartuku tidak pernah luput, “ kata Mbak Wid yang telah menenggelamkan dirinya ke dalam semesta yang penuh dengan takdir berkelebatan, berseliweran ke sana kemari seperti meteor di ruang angkasa. Ruang Lilin menjadi semesta di mana roh kehidupan bagaikan diacak-acak dan disebarkan ke langit untuk melayang-layang dalam sambaran meteor takdir yang berkelebat ke segala arah dari segala penjuru dengan desisan “ (Ajidarma, 2004:19).

(45)

saat ia merawat anak-anak cacat dengan sepenuh hati. Karakter Mbak Wid yang penuh pengabdian di ceritakan oleh Dewa. Dapat kita lihat pada kutipan berikut :

(41) “ Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani, begitulah nama ibuku, seperti selalu mencoba memaklumi Mbak Wid, yang betapapun seperti telah menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Dua perempuan di Ruang Lilin yang cahaya kekuningannya selalu bergetar-getar. Mbak Wid dalam busana hitam kelam seperti malam, dengan rambut bergelombang yang terurai, dengan anting-anting, gelang, cincin, dan kalung yang seperti ingin membuang jauh-jauh citra dokter berbaju putih yang tawar, tenggelam dalam dunia ketidak pastian nasib yang berusaha ditembus oleh kartu-kartu ramalan. Hampir setiap malam mereka berdua duduk di meja marmer yang bundar itu, Mbak Wid dengan kartu-kartunya dan ibuku dengan diriku “ (Ajidarma, 2004:18-19).

(42) “ Mereka tidak keliru, karena ibuku dan Mbak Wid merawatnya sepenuh hati. Ibuku juga selalu membebaskan para perawat panti asuhan, yang tampak merasa jijik kepada bayi-bayi itu, untuk pergi-dan tidak usah kembali “ (Ajidarma, 2004:27).

Tokoh Mbak Wid adalah seorang wanita yang belum bisa melepas masa lalunya, sebab ia selalu menggunakan cerita Mahabarata menjadi perbandingan bawah sadarnya dalam menghadapi segala sesuatu. Mbak Wid juga memiliki masa lalu yang suram, sebab ia hidup dari hasil uang ibunya yang melacur. Dapat kita lihat pada kutipan berikut :

(43) “ Ibuku seorang pelacur. Anak-anak memang tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Aku tidak pernah bertanya, apalagi menghakimi. Ibu melakukan semua itu untuk membesarkan dan menyekolahkan aku. Tapi ibu sering sekali hamil, hanya untuk digugurkan dan digugurkan kembali. Minggu ini dia menggugurkan kandungannya, minggu depan dia sudah melacur lagi “ (Ajidarma, 2004:62).

(46)

terdengar suara-suara yang kubenci aku membacanya lagi meski sudah membacanya berkali-kali”.

“ Tanpa kusadari Mahabarata masuk kedalam darahku dan meskipun banyak lagi pengetahuan kudapatkan dalam hidupku, Mahabarata menjadi perbandingan di bawah sadarku dalam menghadapi segala sesuatu, tetapi baru sekarang aku menyadarinya. Makanya aku bisa merasakan derita Gandari dan aku tahu bahwa penghinaan terbesar telah dialami Drupadi “ (Ajidarma, 2004:63).

2.3 Rangkuman

Penokohan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam novel BTB tokoh utama adalah tokoh Dewa, sedangkan tokoh tambahannya adalah tokoh Renjani, tokoh Bhisma, dan tokoh Mbak Wid.

(47)

Tokoh Renjani adalah seorang mantan penari balet. Tokoh Renjani memiliki trauma masa lalu karena diperkosa oleh guru baletnya. Tokoh Renjani ingin menebus kesalahannya dengan cara mendirikan Rumah Asuh Ibu Sejati. Ia adalah sosok seorang ibu asuh yang penuh pengabdian bagi anak-anak cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Tokoh Renjani juga tergolong seorang ibu yang perhatian, penyabar dan penyayang, terutama kepada Dewa. Hal ini terlihat pada seringnya Renjani mendampingi Dewa kemanapun Dewa pergi. Hampir bisa dipastikan bahwa dimana Renjani pergi selalu ada Dewa. Renjani juga termasuk wanita yang tulus, yang mau menghabiskan hidupnya di Rumah Asuh Ibu Sejati untuk menolong anak-anak yang cacat.

(48)
(49)

BAB III

KETERAMPILAN INTRAPERSONAL TOKOH DEWA

DALAM NOVEL

BIOLA TAK BERDAWAI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

3. 1 Pengantar

Dalam bab ini akan dibahas hasil analisis keterampilan intrapersonal tokoh Dewa dalam novel Biola tak Berdawai karya Seno Gumira Ajidarma. Berdasarkan hasil analisis tokoh dan penokohan dalam Bab II, diketahui bahwa tokoh utama dalam novel Biola tak Berdawai adalah Dewa.

Dewa adalah sosok dalam kehidupan kita yang kadang dilupakan orang karena memiliki tubuh yang tidak sempurna. Ia merupakan salah satu penyandang tunadaksa yang menjalani kehidupannya di Rumah Asuh Ibu Sejati dengan penuh rasa syukur, keingintahuan yang besar, serta kemampuan untuk menganalisis kondisi dirinya, orang-orang di lingkungan tempatnya tinggal, lalu menyimpulkannya dengan sudut pandang Dewa sendiri.

Seno Gumira Ajidarma tampaknya ingin membuat figur Dewa sebagai figur yang unik. Hal ini disebabkan, Ajidarma melakukan sudut pandang penceritaan dari Dewa. Seakan-akan kita dapat melihat apa yang dikatakan dan diceritakan oleh kondisi batin Dewa. Gaya penceritaan Ajidarma membantu kita untuk ikut terlibat, dan merasakan secara intens kondisi emosional yang dialami oleh Dewa. Mulai dari awal hingga akhir penceritaan novel Biola tak Berdawai.

(50)

dipastikan bercerita mengenai dirinya sendiri, orang-orang yang tinggal di Rumah Asuh Ibu Sejati, dan imajinasinya sendiri.

Biola tak Berdawai adalah sindiran terhadap masyarakat umum, yang cenderung beranggapan bahwa manusia yang bertubuh lengkap, dianggap lebih mampu melakukan aktifitas, dan dapat mewakili perasaannya melalui anggota tubuh mereka, dibandingkan dengan para anak-anak tunadaksa yang memilki tubuh cacat dan tidak bisa melakukan apa-apa. Kita mengetahui kondisi tubuh penyandang tunadaksa, sebagai manusia tidak dapat berfungsi secara utuh. Sehingga, gerak tubuh mereka terbatas, hanya bergantung pada kemurahan hati orang yang selalu mendampinginya, mereka tidak dapat melakukan kegiatan secara mandiri. Melalui tokoh Dewa, pengarang seolah ingin memberikan paradigma baru bahwa kekurangan fisik bukan menjadi penghalang bagi anak cacat seperti Dewa untuk menunjukkan kemampuan serta kepintarannya.

(51)

3.2 Keterampilan Intrapersonal Tokoh Dewa

Emosi adalah titik pusat jiwa manusia. Sehingga semua perasaan manusia berasal dari emosi. Dalam membaca karya sastra, emosi membantu kita dalam memahami alur penceritaan. Sehingga semua perasaan manusia berasal dari emosi. Di samping sebagai acuan bagi diri kita dalam menilai orang lain, emosi juga berfungsi sebagai penyeimbang kepada pikiran rasional. Emosi berperan dalam memberi masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional dan pikiran rasional menyaring dan memperbaiki masuknya emosi (Goleman, 1998:28). Howard Gardner menjelaskan bahwa bentuk dari kecerdasan emosional adalah kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan memahami diri sendiri, kecerdasan mengetahui siapa diri kita sebenarnya, kecerdasan mengetahui kekuatan dan kelemahan kita, termasuk kecerdasan untuk dapat merenungkan tujuan hidup sendiri dan mempercayai diri sendiri (Armstrong, 2005:22). Agar kecerdasan intrapersonal dapat diaplikasikan dalam kehidupan kita, maka harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkrit, yakni keterampilan intrapersonal. Keterampilan intrapersonal pada penelitian ini dilihat dari :

Kesadaran Emosi

Kesadaran emosi, yaitu mengetahui bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja diri, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai diri untuk memandu dalam membuat keputusan. Orang dengan kecakapan ini :

(52)

b) Menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan.

c) Mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi kinerja.

d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

Penilaian Diri secara Akurat

Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-kekuatan dan batas-batas pribadi kita, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan kecakapan ini :

a) Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. b) Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.

c) Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri.

d) Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.

Keercayaan Diri

Percaya diri, yaitu keberanian yang datang dari kepastian tentang kemampuan, nilai-nilai, dan tujuan kita. Orang dengan kecakapan ini :

(53)

c) Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan yang tidak pasti dan tertekan (Goleman, 1998:58-59).

3.2 Keterampilan Intrapersonal Tokoh Dewa 3.2.1 Kesadaran Emosi

Tokoh Dewa sedang memperhatikan Renjani dan Mbak Wid yang duduk di sebuah meja marmer yang bundar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :

(45) Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani, begitulah nama ibuku, seperti selalu mencoba memaklumi Mbak Wid, yang betapapun seperti telah menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di Rumah Asuh Ibu Sejati. Dua perempuan di Ruang Lilin yang cahaya kekuningannya selalu bergetar-getar. Mbak Wid dalam busana hitam kelam seperti malam, dengan rambut bergelombang yang terurai, dengan anting-anting, gelang, cincin, dan kalung yang seperti ingin membuang jauh-jauh citra dokter berbaju putih yang tawar, tenggelam dalam dunia ketidak pastian nasib yang berusaha ditembus oleh kartu-kartu ramalan. Hampir setiap malam mereka berdua duduk di meja marmer yang bundar itu, Mbak Wid dengan kartu-kartunya dan ibuku dengan diriku (Ajidarma, 2004:18).

(54)

Tokoh Dewa sedang dituntun oleh ibunya secara perlahan-lahan, di sebuah jalan setapak yang dipenuhi oleh bunga-bunga. Berikut ini penggalan kutipannya : (46) Ibuku menuntun aku pelahan-lahan. Aku menapak pelahan di jalan setapak yang dipenuhi bunga-bunga rumput. Kupu-kupu kuning, biru, dan hitam beterbangan di sana dan di sini. Di kejauhan, awan mendung melewati Gunung Merapi yang hari ini sungguh kelabu. Kudengar gelak tawa ceria di belakang punggungku. Makam-makam yang mungil itu telah menjadi sorga anak-anak tunadaksa (Ajidarma, 2004:29).

Melalui kutipan ini diceritakan tokoh Dewa dituntun perlahan-lahan oleh ibunya di jalan setapak yang dipenuhi bunga-bunga rumput, disekitarnya terdapat kupu-kupu berwarna kuning, biru, dan hitam yang beterbangan kian kemari. Dari kejauhan tampak awan mendung melewati Gunung Merapi yang kelabu. Tokoh Dewa mendengar gelak tawa ceria di belakang punggungnya. Makam-makam yang kecil telah berubah menjadi sorga bagi anak tunadaksa. Keterampilan intrapersonal dalam kutipan ini adalah saat tokoh Dewa mendengar gelak tawa ceria di belakang punggungnya sebab tokoh Dewa menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan. Keterampilan intrapersonal tokoh Dewa terlihat pada keinginannya untuk hidup lebih lama lagi jika dibandingkan dengan Larasati. Berikut ini penggalan kutipannya :

(47) Umurku sudah hampir delapan tahun, dibanding Larsati yang hanya berumur lima hari, aku sudah hidup terlalu lama-namun aku masih ingin hidup lebih lama lagi. Aku ingin ibuku mengerti betapa aku juga mencintainya dengan sepenuh hati. Hanya itulah yang ingin kulakukan di dunia ini, menunjukkan cinta kepada ibuku, yang telah menyerahkan sisa hidupnya untuk mencintaiku (Ajidarma, 2004:29).

(55)

ibunya mengerti bahwa ia juga mencintainya dengan sepenuh hati. Dewa hanya ingin menunjukkan cinta kepada ibunya, yang telah menyerahkan sisa hidupnya untuk mencintai Dewa. Penggalan kutipan ini termasuk dalam kesadaran emosi, sebab tokoh Dewa mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

Tokoh Dewa merasa bersyukur dan beruntung karena telah dipertemukan dengan ibunya, serta telah diberikan alam yang indah. Hal ini dapat kita lihat dalam penggalan kutipan berikut :

(48) Bersyukurlah mereka yang hidupnya berlimpah dengan cinta. Aku bersyukur dipertemukan dengan ibuku, pada usia dua hari setelah ibu kandungku membuang aku. Pastilah aku makhluk yang beruntung. Aku juga merasa beruntung karena merasa betapa alam yang terindah diciptakan bagai hanya untukku. Ibuku menunjuk kupu-kupu yang hinggap di tangkai padi. Ia berbisik (Ajidarma, 2004:37).

Dalam penggalan kutipan di atas tokoh Dewa terlihat memiliki kesadaran emosi, yaitu tahu emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa. Sebab ia merasa bersyukur karena dipertemukan dengan ibunya, dua hari setelah ibu kandungnya membuang Dewa. Tokoh Dewa juga merasa beruntung karena alam yang indah sepertinya diciptakan hanya untuknya.

Tokoh Dewa terlihat sedang digendong di dalam oleh ibunya, dan ia merasakan angin yang sejuk, cahaya yang lembut, dan gemerisik sawah yang menenangkan diri Dewa.

(56)

Pada kutipan di atas tokoh Dewa terlihat memiliki kesadaran emosi, yaitu ia mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa, hal ini ditunjukkan ia merasa sejuk saat angin berhembus, merasa tenang saat matahari menyinarinya, dan merasa tenang pada waktu sawah mengeluarkan bunyi gemerisik

(50) Maafkan aku atas perbincangan ini, karena ibuku mengatakan aku akan bisa terbang seperti kupu-kupu, pertanyaan-pertanyaanku itu sebetulnya berlaku bagi diriku-apakah aku ini sebenarnya ? Aku sering mengira kepompong itu juga sesuatu yang tunadaksa. Benarkah hidupku seperti ulat yang akan menjadi kepompong lantas menjadi kupu-kupu ? Aku juga sering terpesona dengan berbagai perubahan yang tidak sebanding : ulat itu begitu buruk, menjadi kupu-kupu yang bagus; atau ulatnya begitu berwarna-warni, tetapi berubah menjadi kupu-kupu yang buruk;bahkan ada kepompong yang berkilau seperti emas, jadinya hanyalah kupu-kupu yang tidak menarik sama sekali. Memang benar kupu-kupu itu seperti lebih bebas dari ulat, apalagi kepompong, tetapi perubahan itu ternyata tidak selalu menjadi sesuatu yang lebih indah-tepatnya, apa yang tampaknya lebih baik, seperti kebebasan, ternyata tidak selalu lebih indah. Jika memang terbangnya kupu-kupu bisa diibaratkan dengan kebebasan (Ajidarma, 2004:40-41).

Tokoh Dewa mengibaratkan bahwa kepompong adalah sesuatu yang tunadaksa, tokoh Dewa juga sadar bahwa dirinya terpesona oleh perubahan yang tidak sebanding antara ulat, kepompong dengan kupu-kupu. Ia juga sadar bahwa sebuah perubahan ternyata tidak selalu menjadi lebih indah-tepatnya apa yang tampaknya lebih baik, seperti kebebasan, ternyata tidak selalu lebih indah. Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa ialah mengetahui emosi mana yang yang sedang ia rasakan dan mengapa, serta tokoh Dewa juga mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

(57)

dunianya sendiri. Tokoh Dewa lalu mengumpamakan bahwa kupu-kupu mati dalam sehari, setelah ulat menghabiskan cukup banyak waktu menjadi kepompong, seperti sebuah kematian dalam puncak kegairahan. Kupu-kupu itu seperti meninggalkan telur yang akan berubah menjadi ulat, tokoh Dewa lalu menyamakannya dengan kehidupan yang sepertinya semakin maju, sebenarnya hanya berputar di tempat dan berputar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini :

(51) Tentu aku tidak akan pernah jadi kupu-kupu, namun aku tetap saja ingin tahu apakah aku akan terbebaskan dari keberadaan tubuhku. Jika tubuh bisa hancur dan jiwa hidup selamanya, betapa penasaran aku untuk segera tiba kepada kehidupan selanjutnya. Tetapi aku tidak bisa memastikan apakah memang ada kehidupan selanjutnya, dan itu berarti aku hanya bisa menjelajah dalam ketercakrawalaanku sendiri. Kupu-kupu mati dalam sehari, setelah ulat itu sekian lamanya menjadi kepompong-bagaikan suatu kematian dalam puncak kegairahan. Kupu-kupu itu meninggalkan telur yang akan jadi ulat dan begitulah kehidupan yang sepertinya semakin maju ini hanya berputar di tempat dan berputar (Ajidarma, 2004:42-43).

Kesadaran emosi yang dimiliki oleh tokoh Dewa ialah mengetahui emosi mana yang ia rasakan dan mengapa, mengetahui bagaimana perasaannya mempengaruhi kinerja, dan mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasarannya.

Tokoh Dewa mendengar debur ombak, menghirup bau angin yang asin. Tokoh Dewa juga tahu bahwa ibunya memanggil Dewa. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini :

(58)

Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa adalah menyadari keterkaitan antara perasaannya dengan apa yang ia pikirkan, perbuat, dan katakan. Hal ini terlihat dari tokoh Dewa yang mendengar debur ombak. Tokoh Dewa juga menghirup bau angin yang asin. Ia juga tahu bahwa Renjani memanggil Dewa, lalu ia mengibaratkan dirinya berada dalam lorong cahaya yang tidak kunjung berakhir. Tokoh Dewa seperti tersedot oleh pusaran cahaya yang putih kemilau, tidak melihat apa-apa tenggelam dalam cahaya.

Tokoh Dewa merasa dirinya tercekat, seolah-olah tubuhnya menjadi sangat kaku. Tidak ada satupun yang bisa dilakukannya. Ia melihat mata Renjani menerawang, pikirannya melayang menembus masa lalu. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini :

(53) Dalam diriku aku tercekat, seolah-olah tubuhku menjadi sangat kaku. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan. Mata ibuku menerawang, pikirannya melayang menembus masa lalu (Ajidarma, 2004:48).

Dalam kutipan ini kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa adalah ia mengetahui emosi mana yang ia rasakan dan mengapa, hal ini ditunjukkan pada kutipan di atas yang menjelaskan bahwa ia tidak mampu melakukan apapun.

(59)

karena rasa kehilangan dan perasaan berdosa yang tiada terkira. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan di bawah ini :

(54) Tapi bagaimana caranya ia mendengarku? Airmatanya mengalir berderai, matanya yang berkaca-kaca memantulkan cahaya temaram yang semakin terasa muram. Aku tahu tiada alasan bagi ibuku untuk menangis karena kata-kata Mbak Wid. Ibuku menangis karena rasa kehilangan dan perasaan berdosa yang tiada terkira (Ajidarma, 2004:55).

Tokoh Dewa sedang bingung, ia mencari cara bagaimana seorang anak yang tidak pernah ada memanggil-manggil dari balik kelam ?, ia lalu memperumpamakannya sebagai sebuah wajah, tapi belum menjadi wajah; menampakkan diri dalam kemurnian, tapi penuh kesamaran, keluar dan masuk kedalam ingatan dan angan-angan. Seperti suatu sosok, suatu jiwa, yang seolah-olah ingin menyatakan dirinya dan memanggil-manggil Renjani. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(55) Bagaimanakah caranya seorang anak yang tidak pernah memanggil-manggil dari balik kelam ? Seperti suatu wajah, tapi belum menjadi wajah; menampakkan diri dalam kemurnian, tapi penuh kesamaran, keluar masuk ingatan dan angan-angan. Suatu sosok, suatu jiwa, yang seolah-olah berkata, “Ini aku Ibu, ini aku...”(Ajidarma, 2004:56).

Kesadaran emosi yang dimiliki oleh Dewa terlihat pada ketidaktahuannya memanggil seorang anak yang tidak pernah ada dari balik kelam, hal ini termasuk ia mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

(60)

(56) Aku terduduk, terpaksa duduk, dan memang hanya mampu duduk, namun siapapun dia dengan hati dan jiwa memiliki ruang yang yang tidak terbatas dalam dirinya. Aku tercekat dan tercenung, masih terasa hangat airmata ibuku di pipi. Ibuku selalu teringat diriku bagaikan aku adalah segala-galanya bagi ibuku, tetapi apakah ibu kandung yang telah membuangku, ketika umurku masih dua hari, sekarang ini teringat aku ? (Ajidarma, 2004:58).

Kesadaran emosi tokoh Dewa ditunjukkan oleh tokoh Dewa yang tercekat dan tercenung. Kesadaran emosi tokoh Dewa termasuk mengetahui emosi mana yang sedang ia rasakan dan mengapa.

Tokoh Dewa bercerita tentang dua puluh bayi tunadaksa dalam kekelaman yang kelihatannya tidak mendengar tapi sebenarnya mendengar percakapan kedua perempuan itu di luar. Dewa beserta anak-anak tunadaksa lainnya saling mengerti satu sama lain, seperti memiliki satu hati. Ia sering tersentak oleh kenyataan semacam ini – kenyataan-kenyataan ajaib, kenyataan-kenyataan yang tak dapat dijelaskan. Dewa dan anak-anak tunadaksa lainnya yang dipandang dengan penuh belas kasihan, juga memandang dua puluh bayi tunadaksa lainnya dengan penuh belas kasihan. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut :

(57) Dua puluh bayi tunadaksa dalam kekelaman, mendengar meski tidak mendengar percakapan kedua perempuan itu di luar. Kami para bayi tunadaksa entah bagaimana caranya begitu saja saling mengerti seolah-olah mempunyai satu hati. Aku sering tersentak oleh kenyataan semacam ini-kenyataan-kenyataan ajaib, kenyataan-kenyataan tak terjelaskan. Kami yang dipandang dengan penuh belas memandang kembali dengan penuh belas (Ajidarma, 2004:66).

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh hasil belajar mata pelajaran produktif akuntansi, program praktik kerja industri, dan self efficacy terhadap kesiapan kerja siswa

Menyangkut masuknya Islam ke Aceh telah diadakan seminar sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978, sebagai kelanjutan seminar yang pernah diadakan sebelumnya di Medan tahun

Hasil perhitungan yang menghasilkan plot tegangan oxide dengan rapat arus terobosan pada gate oxide MOS yang dilakukan dengan metode integrasi Gauss-Legendre dibandingkan

Setelah diberikan perlakuan pada kedua kelas yang dijadikan sampel penelitian yaitu kelas eksperimen menggunakan pemberian tugas awal dengan model pembelajaran

[r]

Pada Proyek Pengembangan Simpang Susun Semanggi dipilih metode erection dari segment box girder dengan shoring system sebagai cara untuk menangani banana effect akibat

Hal ini terjadi kemungkinan pektin sebagai sorben telah terlampau jenuh, kemampuan daya serap akan semakin menurun karena permukaan tidak cukup kuat untuk mengikat kation logam

menentukan penggunaan tertinggi dan terbaik pada aset tanah kosong “X” milik swasta, dengan analisis Most Fitting Use (MFU) sehingga dapat memberikan masukan