• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Toksikologi

Menurut Paracelcus semua senyawa adalah racun, tidak ada satupun yang bukan racun, kemudian ditambahkan oleh Doull & Bruce bahwa takaran (dosis) yang tepatlah yang membedakan antara racun dan obat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat kekerabatan antara takaran senyawa dan respon tubuh. Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari berbagai pengaruh zat kimia yang merugikan sistem biologi (Donatus, 2001).

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (BPOM RI, 2014).

Kondisi pemejanan juga berpengaruh terhadap efek toksik suatu senyawa. Kondisi pemejanan meliputi jenis pemejanan, jalur pemejanan, lama pemejanan, kekerapan, saat pemejanan dan takaran pemejanan (Donatus, 2001).

Uji toksikologi dibagi menjadi dua, yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas.

1. Uji ketoksikan tak khas

Uji ketoksikan tak khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Uji ketoksikan tak khas terdiri dari tiga, yaitu uji ketoksikan akut, subkronis (subakut), dan kronis (Donatus, 2001).

a. Uji ketoksikan akut. Uji toksisitas akut, yaitu uji yang dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberian dalam jumlah tertentu. Biasanya pengamatan dilakukan selama kurang dari 24 jam. Data kuantitatif yang diperoleh adalah nilai LD50 sedangkan data kualitatif berupa penampakan klinis (gejala) dan morfologis efek toksik senyawa uji (Klaassen, 2001).

b. Uji ketoksikan subakut (subkronis). Uji toksisitas subakut adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji dan untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik tersebut berkaitan dengan takaran dosis. Hasil uji memberikan informasi tentang efek toksik utama senyawa uji dan organ-organ yang dipengaruhi, efek toksik lambat yang tidak diamati pada uji ketoksikan akut, kekerabatan antara dosis dan efek toksik, dan reversibilitas (Donatus, 2001).

c. Uji ketoksikan kronis. Uji ketoksikan kronis merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji selama lebih dari tiga bulan (selama sebagian besar masa hidup hewan uji) (Klaassen, 2001).

2. Uji ketoksikan khas

Uji ketoksikan khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas dari suatu senyawa pada semua hewan uji. Uji ketoksikan khas meliputi uji potensiasi, uji kekarsinogenetikan, uji kemutagenetikan, uji keteratogenetikan, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku (Donatus, 2001).

Berdasarkan atas alur peristiwa timbulnya efek toksik maka terdapat empat asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari toksikologi. Empat asas tersebut, yaitu:

a. Kondisi efek toksik. Kondisi efek toksik adalah keadaan atau faktor yang mempengaruhi keefektifan absorpsi, distribusi, dan eliminasi zat beracun didalam tubuh sehingga menentukan keberadaan (kadar dan lama tinggal) senyawa atau metabolitnya ditempat aksi dan keefektifan antar aksinya (mekanisme aksi). Keadaan ini bergantung pada kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup (Priyanto, 2009).

b. Mekanisme efek toksik. Mekanisme zat beracun dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian, berdasarkan sifat antaraksi antara racun dan tempat aksinya dan

berdasarkan risiko penumpukan racun dalam tubuh. Mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian dibedakan menjadi mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intrasel merupakan luka sel yang diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel sasaran. Mekanisme luka intrasel disebut juga mekanisme langsung atau primer, sedangkan mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung atau sekunder, dimana tempat kejadian awalnya di lingkungan ekstrasel. Mekanisme aksi berdasarkan sifat antaraksi digolongkan menjadi dua, yaitu aksi toksik yang didasarkan atas antaraksi yang terbalikkan dan yang tak terbalikkan antara racun dan tempat aksinya. Antaraksi yang terbalikkan artinya bila kadar racun yang ada di dalam reseptor habis, maka reseptor akan kembali pada kedudukan semula (normal), sehingga efek toksik yang ditimbulkan oleh racun akan hilang bila pemejanan dihentikan. Antaraksi tak terbalikkan memungkinkan penumpukan efek. Artinya kerusakan yang terjadi sifatnya sama sehingga akan terjadi penumpukan efek toksik, maka pemejanan dengan takaran yang sangat kecil dalam jangka yang panjang akan menimbulkan efek toksik yang seefektif dengan yang ditimbulkan oleh pemejanan racun dengan takaran besar dalam jangka waktu yang pendek. Mekanisme aksi berdasarkan penumpukan senyawa-senyawa yang sangat lipofil dan sulit dimetabolisme di dalam tubuh akan cenderung untuk disimpan di dalam gudang penyimpanan kompartemen lemak dalam keadaan tidak aktif sehingga relatif tidak membahayakan.

Namun secara perlahan senyawa racun tersebut akan terlepas menuju ke sirkulasi darah dan akan meningkatkan kadar senyawa yang ada di dalam cairan tubuh. Apabila kadar senyawa dalam darah melebihi kadar toksik minimum (KTM) maka dapat menimbulkan efek toksik yang tidak diinginkan (Donatus, 2001).

c. Wujud efek toksik. Wujud efek toksik merupakan hasil akhir dari aksi dan respon toksik. Respon toksik merupakan proses dimana sel, jaringan, atau organ menanggapi adanya luka dalam komponen tubuh. Wujud efek toksik terdiri dari perubahan biokimia, perubahan fisiologi (fungsional) dan perubahan struktural. Respon yang terjadi merupakan hasil akhir dari perubahan biokimia, yaitu perubahan kadar SGPT dan SGOT darah terhadap luka sel akibat antaraksi racun dan tempat aksinya, yang termasuk wujud efek toksik jenis ini diantaranya penghambatan respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan gangguan pasok energi. Perubahan biokimia berupa perubahan kadar SGPT dan SGOT ini bersifat terbalikkan. Respon yang lain dilihat dari perubahan fisiologi (fungsional) yang berkaitan dengan antaraksi racun dengan reseptor sehingga dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Perubahan ini bersifat terbalikkan, yang termasuk wujud efek toksik jenis ini diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, perubahan kontraksi dan relaksasi otot, gangguan sistem saraf pusat. Wujud efek toksik yang ketiga adalah perubahan struktural, yang biasanya sudah diawali oleh perubahan biokimia dan perubahan fungsional, yang masuk dalam wujud

efek toksik ini, yaitu nekrosis, perlemakan, karsinogenesis dan teratogenesis (Donatus, 2001).

d. Sifat efek toksik. Sifat efek toksik terdiri dari sifat terbalikkan (reversibilitas) dan sifat tak terbalikkan (irreversibilitas). Dikatakan sifat efek toksik yang terbalikkan jika kerusakan dapat kembali seperti keadaan normal. Keterbalikkan ini bergantung pada berbagai faktor, yaitu tingkat paparan (waktu dan jumlah racun) dan kemampuan jaringan yang terkena untuk memperbaiki diri. Dikatakan mengalami sifat tak terbalikkan jika efek toksik yang terjadi tidak dapat kembali seperti keadaan normal (Donatus, 2001). Sifat efek toksik yang tak terbalikkan adalah apabila kerusakan yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga menimbulkan terjadinya penumpukan efek toksik sehingga efek yang ditimbulkan antara pemejanan dengan takaran kecil jangka panjang sebanding dengan pemejanan dosis besar jangka pendek. Zat atau racun yang dapat menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi atau sangat sulit di eliminasi (Priyanto, 2009).

C. Toksisitas Subakut

Uji ketoksikan subakut atau sering disebut dengan subkronis merupakan pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji yang dilakukan kepada hewan coba dengan sedikitnya tiga tingkat dosis berulang dalam jangka waktu kurang dari tiga bulan (selama 28 hari- 90 hari).

Penelitian toksisitas subakut pada umumnya, bertujuan untuk memperluas uji toksisitas dengan menentukan dosis minimal dan dosis maksimal yang dapat ditoleransi. Dosis toksik minimal adalah dosis terkecil yang masih memberikan efek terapi. Dosis maksimal adalah dosis terbesar yang tidak menimbulkan gejala toksik. gara pemberian obat dan besarnya dosis yang diberikan bergantung pada kebutuhan uji klinik (Donatus, 2001).

Tujuan lain dari uji toksisitas subakut adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu (BPOM, 2014).

Uji toksisitas subakut dilakukan untuk mengeksplorasi secara luas keseluruhan efek biologis yang ditimbulkan pada tempat aksi yang diberikan pada rentang dosis tertentu. Uji toksisitas subakut dapat menentukan toksisitas secara kuantitatif (pengaruh atau efek yang ditimbulkan terhadap jaringan dan plasma darah) dan secara kualitatif (organ target dan efek yang ditimbulkan) dari pemberian dosis berualang pada hewan uji (Gad, 2002).

Hewan uji yang disarankan paling tidak satu jenis hewan dewasa sehat, baik jantan ataupun betina. Hewan yang dipilih adalah hewan yang peka dan mempunyai pola metabolisme terhadap senyawa uji yang semirip mungkin dengan manusia (Donatus, 2001). Hewan dimasukkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang dilakukan pengambilan sampel secara acak atau random (Gad, 2002). Menurut Derelanko and Hollinger (2002) jumlah kelompok hewan uji paling tidak sebanyak empat kelompok, yaitu satu

kelompok kontrol dan tiga kelompok peringkat dosis. Jumlah hewan uji untuk jangka waktu penelitian selama empat minggu, paling tidak terdapat lima jantan dan lima betina dalam tiap kelompok perlakuan. Hewan uji harus diadaptasikan terlebih dahulu selama beberapa hari sebelum dilakukan percobaan supaya kondisi hasil percobaan yang akan diperoleh benar-benar merupakan pengaruh pemberian perlakuan bukan karena lingkungan yang baru bagi hewan uji.

Takaran dosis yang diberikan untuk hewan uji paling tidak merupakan peringkat dosis. Penelitian toksisitas subakut biasanya menggunakan setidaknya tiga atau lebih peringkat dosis. Takaran dosis senyawa uji diberikan sekali sehari selama kurun waktu uji ketoksikan subakut melalui jalur pemberian sesuai dengan jalur yang digunakan oleh manusia (Donatus, 2001).

Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dalam uji toksisitas subakut meliputi: Perubahan berat badan yang diukur paling tidak tujuh hari sekali, asupan pakan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan uji yang ditimbang paling tidak tujuh hari sekali, gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari, pemeriksaan hematologi yang diukur sebanyak dua kali, yaitu pada saat sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan (pada akhir uji toksisitas), pemeriksaan kimia darah yang diukur sebanyak dua kali, yaitu pada saat sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan (pada akhir uji toksisitas), analisis urin yang dilakukan paling tidak sekali, pemeriksaan histopatologi organ hewan uji pada akhir uji toksisitas (Donatus, 2001).

D. Hati

Dokumen terkait