• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 TOKSISITAS IN VITRO DAN IN VIVO DARI EKSTRAK KASAR TETRODOTOKSIN IKAN BUNTAL PISANG

Pendahuluan Latar belakang

Pengujian toksisitas merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan racun yang terdapat pada suatu bahan. Toksisitas erat kaitannya dengan organisme yang digunakan. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penetrasi racun terhadap organisme, menentukan organ sasaran dan kepekaannya terhadap racun. Salah satu racun yang terkenal adalah tetrodotoksin. Tetrodotoksin merupakan neurotoksin yang stabil terhadap panas yang dapat menghambat penetrasi sodium dan transmisi saraf, sehingga menyebabkan kelumpuhan dan berpotensi pada kematian. Racun ini ditemukan di berbagai organisme laut, seperti beberapa spesies ikan gobi, gurita, bintang laut, kepiting, gastropoda dan yang paling terkenal racun ini ditemukan pada ikan buntal (Ahmed et al. 2013).

Tetrodotoksin 10.000 kali lebih mematikan bila dibandingkan dengan racun sianida, kadar mematikan racun ini adalah 1-2 mg untuk orang dewasa (Leung et al. 2011). Salah satu ikan buntal yang banyak terdapat di perairan Indonesia adalah ikan buntal pisang. Ikan buntal pisang memiliki kandungan racun yang tinggi pada jaringan ototnya yaitu lebih dari 1000 MU/g, sedangkan pada kulit ikan ini mempunyai kandungan racun antara 100-1000 MU/g. Tingkat toksisitas yang rendah terdapat pada bagian ovari, testis, hati dan usus ikan ini yaitu kurang dari 10 MU/g. Darah ikan buntal pisang tidak terdeteksi racun tetrodotoksin (Noguchi dan Arakawa 2008). 1 MU/g merupakan banyaknya toksik yang dapat membunuh satu ekor mencit jantan dengan berat 20 g selama 30 menit. Jumlah tersebut sama dengan 0,2 µg TTX (Noguchi dan Arakawa 2008).

Penentuan toksisitas pada racun ikan buntal bisa dilakukan menggunakan dua tahapan yaitu secara in vitro dan in vivo. Pengujian in vitro ini bersifat menyerang organ dari lingkungan, sedangkan untuk in vivo menyerang organ di dalam tubuh organisme. Dasar dari pengujian in vitro adalah LC50 dan in vivo adalah LD50 (Lu 1995). Pengujian toksisitas in vitro secara umum dilakukan menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test). Metode BSLT merupakan salah satu cara yang cepat dan murah untuk mengetahui toksisitas dari sebuah ekstrak dengan menggunakan hewan laut yaitu larva udang Artemia salina Leach (Meyer et al. 1982). Uji toksisitas dengan metode BSLT ini memiliki spektrum aktivitas farmakologi yang luas, prosedurnya sederhana, cepat dan tidak membutuhkan biaya yang besar, serta hasilnya dapat dipercaya (Frengki et al. 2014). Pengujian toksisitas in vivo dilakukan dengan metode toksisitas akut yang meliputi Lethal Dose 50 (LD50) dan histopatologi hati menggunakan tikus sebagai hewan uji. Kajian mengenai toksisitas dari ikan buntal ini dapat membantu dalam penentuan bagian tubuh ikan buntal yang dapat dikonsumsi, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi ikan buntal tersebut.

Bahan dan Metode Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai Juli 2014. Penelitian dilaksanakan di beberapa tempat yaitu di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium, Laboratorium Bedah dan Radiologi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Balai Veteriner Cimanggu.

Bahan dan alat penelitian

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak ikan buntal pisang. Hewan percobaan yang digunakan adalah Artemia salina dan tikus Sprague Dawley jantan dan betina 6-7 minggu yang didapatkan dari hasil breeding. Bahan lainnya yaitu air laut, pakan tikus, air mineral, pewarna hematoksilin, pewarna eosin dan formalin. Alat yang digunakan yaitu plat BSLT, kandang tikus dari boks plastik, tempat makan dari aluminium, tempat minum berupa botol, timbangan tikus, syringe, mikroskop Olympus CX41.

Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan yang pertama adalah pengujian ekstrak secara in vitro menggunakan metode BSLT dan yang ke dua adalah pengujian LD50 dan histopatologi hati. Gambar 9 menunjukkan diagram alir pengujian toksisitas in vitro dan in vivo ekstrak ikan buntal pisang.

Gambar 9 Diagram alir uji toksisitas in vitro dan in vivo ekstrak ikan buntal pisang

Ekstrak jeroan, daging, dan kulit Ikan buntal pisang

Pencekokan ekstrak pada tikus menggunakan sonde lambung

Hasil uji LC50 BSLT

Pemeliharaan tikus 14 hari

Hasil uji toksisitas akut Pengamatan:

fisik tikus, LD50, histopatologi hati, organ dalam tikus dan pertumbuhan bobot tikus

Uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Meyer et al. 1982; McLaughlin et al. 1998; dan Carballo et al. 2002)

Menurut Carballo et al. (2002), metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) biasanya digunakan dalam uji pendahuluan untuk penapisan aktivitas farmakologis pada produk alam. Uji ini digunakan larva A. salina sebagai hewan uji. Mula-mula telur A. salina ditetaskan di dalam air laut di bawah lampu TL 40 watt selama 48 jam. Sebanyak 10 ekor larva A. salina dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dimasukkan larutan ekstrak sampel dengan konsentrasi masing-masing 5 ppm; 10 ppm; 50 ppm; 100 ppm; 500 ppm; dan 1000 ppm dan ditambahkan air laut sampai volume 5 mL. Air laut tanpa pemberian ekstrak (0 ppm) digunakan sebagai kontrol. Semua tabung reaksi diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam di bawah penerangan lampu TL 40 watt. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah A. salina yang mati pada tiap konsentrasi penentuan harga LC50 (ppm) dilakukan menggunakan analisis probit dan persamaan regresi.

Pemeliharaan, pengamatan dan analisis tikus percobaan (Organisation for Economic Co-ooperation and Development Test Guideline: 2009)

a) Adaptasi

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus berjumlah 130 ekor dengan jenis kelamin jantan dan betina, berumur 6-7 minggu dengan berat badan 175-200 gram. Tikus berasal dari breeding di IndoLab Bogor. Setiap tikus ditempatkan di dalam kandang boks plastik dengan suhu kamar dan pengaturan gelap terang secara alami. Tikus diadaptasikan selama 1 minggu dan selama masa adaptasi tikus diberi percobaan pakan AIN (1976) dan air secara ad libitum. Tikus dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar yaitu perlakuan pemberian ekstrak daging, jeroan dan kulit yang diuji secara akut. Perlakuan selanjutnya adalah kelompok pemberian ekstrak dengan dosis 5 g/kg BB, 10 g/kg BB, 15 g/kg BB dan 20 g/kg BB. Pemberian ekstrak dilakukan secara oral menggunakan sonde lambung, sebelum perlakuan tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 4 jam. b) Perlakuan

Pada setiap kelompok perlakuan toksisitas akut masing-masing digunakan 5 ekor tikus jantan dan 5 ekor tikus betina. Setiap kelompok mendapat perlakuan sebagai berikut.

Kelompok A : Kontrol tikus jantan, diberikan akuades. Kelompok B : Kontrol tikus betina, diberikan akuades.

Kelompok C : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak daging 5 g/kg BB. Kelompok D : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak daging 10 g/kg BB. Kelompok E : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak daging 15 g/kg BB. Kelompok F : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak daging 20 g/kg BB. Kelompok G : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak daging 5 g/kg BB. Kelompok H : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak daging 10 g/kg BB. Kelompok I : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak daging 15 g/kg BB. Kelompok J : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak daging 20 g/kg BB. Kelompok K : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak jeroan 5 g/kg BB. Kelompok L : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak jeroan 10 g/kg BB. Kelompok M : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak jeroan 15 g/kg BB. Kelompok N : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak jeroan 20 g/kg BB.

Kelompok O : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak jeroan 5 g/kg BB. Kelompok P : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak jeroan 10 g/kg BB. Kelompok Q : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak jeroan 15 g/kg BB. Kelompok R : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak jeroan 20 g/kg BB. Kelompok S : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak kulit 5 g/kg BB. Kelompok T : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak kulit 10 g/kg BB. Kelompok U : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak kulit 15 g/kg BB. Kelompok V : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak kulit 20 g/kg BB. Kelompok W : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak kulit 5 g/kg BB. Kelompok X : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak kulit 10 g/kg BB. Kelompok Y : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak kulit 15 g/kg BB. Kelompok Z : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak kulit 20 g/kg BB. c) Analisis

Pada perlakuan akut dilakukan pengamatan selama 14 hari. Pengamatan dilakukan pada hari ke 1, 2, 3, 7, 10 dan 14. Pengamatan yang dilakukan meliputi terjadinya kematian, perubahan fisik dan tingkah laku, konsumsi pakan. Adapun jenis pengamatan fisik dan tingkah laku dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis pengamatan fisik dan tingkah laku tikus percobaan Pengamatan

fisik

Pengamatan Tanda-tanda umum Hasil

Sistem saraf pusat dan somatomor

Perilaku Gelisah Ya/tidak

Gerakan Tremor/getaran Konvulsi/ kejang Ya/tidak Ya/tidak Keaktifan terhadap aneka rangsang Keaktifan Kepasifan Ya/tidak Ya/tidak Pernafasan Laju pernafasan Dypnea/sesak nafas Ya/tidak Saluran pencernaan Feses Diare Bentuk feses Warna feses Ya/tidak Padat/berair Utuh/tidak Kulit dan bulu Warna bulu

Keutuhan bulu

Warna bulu Keutuhan bulu

Putih/lainnya Ya/tidak

Mata Bulu mata

Bola mata

Bulu mata utuh Warna mata Kejernihan

Ya/tidak merah/lainnya Ya/tidak

Mulut Pendarahan Pendarahan

Pembengkakan

Ya/tidak Ya/tidak

Hidung Pendarahan Pendarahan

Pembengkakan

Ya/tidak Ya/tidak Genitourinari Kelenjar mamae

Penis Pembengkakan Pembengkakan Ya/tidak Ya/tidak

Hati yang diambil langsung dicuci dengan buffer salin fosfat dan kemudian ditimbang. Hati yang telah dikeluarkan kemudian diambil lobus bagian tengahnya dan langsung direndam dalam larutan fiksatif buffer netral formalin. Metode pengamatan preparat histologi yang dilakukan pada jaringan hati yaitu:

jaringan hati pada 5 lapang pandang sekitar vena porta dengan perbesaran lensa objektif 40 kali. Hepatosit diamati berkaitan dengan terjadinya lesio degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis. Jumlah sel yang mengalami lesio dihitung persentasenya dari jumlah seluruh sel yang diamati.

Analisis Data (Steel dan Torrie 1993)

Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Modelnya yaitu:

Yij = μ + αi + εij

Keterangan:

Yij = Respon pengaruh perlakuan pada taraf i ulangan ke-j

μ = Pengaruh rata-rata umum

αi = Pengaruh perlakuan pada taraf i

εij = Pengaruh acak (galat percobaan pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j) j = Ulangan 1,2,3

Hasil dan Pembahasan Toksisitas in vitro

Hasil BSLT dengan larva A. salina menunjukkan nilai kematian terbanyak pada ekstrak daging. Larva A. Salina tersebut merupakan indikator toksisitas dari ekstrak ikan buntal pisang dari beberapa bagian yang diujikan. Gambar 10 menunjukkan hasil toksisitas in vitro ekstrak ikan buntal pisang.

Keterangan : ekstrak daging log (ekstrak daging) ekstrak jeroan log (ekstrak jeroan) ekstrak kulit log (ekstrak kulit)

Gambar 10 Toksisitas in vitro ekstrak ikan buntal pisang

y = 1.7653x - 4.4767 R² = 0.9903 ekstrak daging y = 2.3312x - 6.1996 R² = 0.9517 ekstrak jeroan y = 1.7937x - 4.0048 R² = 0.9564 ekstrak kulit 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 n il a i pro b it m o rt a li ta s

Toksisitas in vitro digunakan sebagai metode untuk menduga adanya toksin yang terkandung di dalam sebuh bahan. Metode ini digunakan hanya untuk mengetahui nilai toksisitas bukan untuk konfirmasi adanya racun didalam sebuah bahan. Konfirmasi racun yang terdapat pada suatu bahan bisa menggunakan metode kimia yaitu LC-MS (Liquid Chromatography-Mass Spectrophotometry). Hasil pengujian BSLT dengan larva A. salina menunjukkan nilai kematian terbanyak pada ekstrak daging. Larva A. Salina tersebut merupakan indikator toksisitas dari ekstrak ikan buntal pisang dari beberapa bagian yang diujikan. Nilai LC50 yang terdapat pada ekstrak daging sebesar 104.3498 μg/mL, ekstrak jeroan sebesar 105.4564 μg/mL, dan ekstrak kulit sebesar 104.9637 μg/mL. Hasil tersebut menggambarkan bahwa ekstrak daging, jeroan dan kulit pada ikan buntal pisang kurang toksik. Hasil penelitian Uddin et al. (2013) menunjukkan bahwa toksisitas LC50 dari hati ikan buntal T. cutcutia adalah 0,75 μg/mL. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa hati ikan buntal T. cutcutia sangat toksik. Deskawati et al. (2014) menyebutkan bahwa Arothron hispidus dari Pameungpeuk, Garut yang paling toksik adalah pada bagian ovariumnya yaitu 29,65 μg/mL. Menurut Meyer et al. (1982) suatu zat dianggap sangat toksik jika nilai LC50<30 ppm, toksik jika nilai LC50 30-1000 ppm, dan kurang toksik jika nilai LC50>1000 ppm. Menurut Noguchi dan Arakawa (2008) racun TTX pada ikan buntal terdistribusi di organ hati dan ovarium (paling tinggi), diikuti oleh usus dan kulit. Daging dan testis merupakan organ yang tidak toksik atau toksisitasnya lemah, kecuali pada spesies L. lunaris dan Chelonodon patoca. Pertumbuhan dan konsumsi pakan tikus percobaan

Pengamatan pertumbuhan dilakukan pada hari ke 1, 7, 10 dan 14. Pengamatan pertumbuhan tikus merupakan salah satu parmeter dari efek toksik. Menurut Lu (1995), berkurangnya pertambahan bobot badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif. Gambar 11, 12, 13 dan 14 menunjukkan pertumbuhan tikus dengan dosis yang berbeda.

Gambar 11 Pertumbuhan tikus dengan dosis 5 g/kg BB

175 180 185 190 195 200 205 210 0 5 10 15 bo bo t tik us ( g ) hari jantan daging jantan jeroan jantan kulit betina daging betina jeroan betina kulit kontrol jantan kontrol betina

Gambar 12 Pertumbuhan tikus dengan dosis 10 g/kg BB

Gambar 13 Pertumbuhan tikus dengan dosis 15 g/kg BB

175 180 185 190 195 200 205 210 215 0 5 10 15 b o b o t t ik u s (g ) hari jantan daging jantan jeroan jantan kulit betina daging betina jeroan betina kulit kontrol jantan kontrol betina 175 180 185 190 195 200 205 210 215 220 0 5 10 15 bo bo t tik us ( g ) hari jantan daging jantan jeroan jantan kulit betina daging betina jeroan betina kulit kontrol jantan kontrol betina

Gambar 14 Pertumbuhan tikus dengan dosis 20 g/kg BB

Hasil pada Gambar 11, 12, 13 dan 14 terlihat adanya peningkatan rata-rata bobot badan tikus selama pengamatan dengan kisaran 1,61-2,30 % untuk masing- masing perlakuan. Adanya perbedaan bobot badan tiap perlakuan berhubungan dengan kondisi dan konsumsi pakan dari tikus percobaan. Konsumsi pakan tikus selama pengamatan mengalami fluktuatif berkisar antara 18,00-20,00 g/ekor/hari untuk masing-masing perlakuan. Levine dan Saltzman (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan tikus normal rata-rata sebesar 1,5-3,0 % dari berat awal. Nilai tersebut didasarkan pada asumsi pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang sesuai dengan tikus percobaan. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pertumbuhan tikus tidak mengalami gangguan sehingga semua ekstrak yang diberikan tidak toksik. Ekstrak dari ikan buntal pisang tidak mengandung senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada penyerapan nutrisi, sehingga tubuh dapat memanfaatkan nutrisi dengan baik dan dapat meningkatkan bobot badan tikus.

Pengamatan parameter fisik tikus

Tikus jantan dan betina yang diberi ekstrak daging, jeroan dan kulit dari ikan buntal pisang dari hari pertama kemudian diamati parameter fisiknya. Hasil pengamatan fisik tikus jantan dan betina untuk semua perlakuan selama 14 hari dapat dilihat pada Tabel 6.

175 180 185 190 195 200 205 210 215 220 0 5 10 15 bo bo t tik us ( g ) hari jantan daging jantan jeroan jantan kulit betina daging betina jeroan betina kulit kontrol jantan kontrol betina

Tabel 6 Pengamatan parameter fisik tikus jantan dan betina

Pengamatan fisik Pengamatan Tanda-tanda umum Hasil Sistem saraf

pusat dan somatomor

Perilaku Gelisah Tidak

Gerakan Tremor/getaran Konvulsi/ kejang Tidak Tidak Keaktifan terhadap aneka rangsang Keaktifan Kepasifan Normal Tidak Pernafasan Laju pernafasan Dypnea/sesak nafas Tidak Saluran pencernaan Feses Diare Bentuk feses Warna feses Tidak Normal Normal Kulit dan bulu Warna bulu

Keutuhan bulu

Warna bulu Keutuhan bulu

Normal Normal

Mata Bulu mata

Bola mata

Bulu mata utuh Warna mata Kejernihan

Normal Normal Normal

Mulut Pendarahan Pendarahan

Pembengkakan

Tidak Tidak

Hidung Pendarahan Pendarahan

Pembengkakan

Tidak Tidak Genitourinari Kelenjar mamae

Penis

Pembengkakan Pembengkakan

Tidak Tidak

Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dari tikus uji pada Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daging, jeroan dan kulit ikan buntal pisang pada dosis 5, 10, 15 dan 20 g/kg BB tidak menyebabkan adanya tanda- tanda keracunan pada tikus uji. Pengamatan terhadap sistem saraf pusat, tidak terjadi perubahan selama pengamatan 14 hari serta tidak terjadi perubahan tingkat keaktifan dari tikus uji. Pengamatan terhadap saluran pernafasan juga tidak menunjukkan adanya dypnea/sesak napas atau 100% sampel tikus yang diberikan kedua ekstrak dalam kondisi normal laju pernafasannya. Saluran pencernaan tikus juga dalam kondisi normal. Hal ini dapat diamati dari warna dan bentuk feses yang normal serta tidak adanya tikus yang menceret selama 14 hari pengamatan. Hal ini diduga, bahwa ekstrak daging, jeroan dan kulit ikan buntal pisang tidak mengandung zat atau senyawa-senyawa yang dapat mengganggu pencernaan tikus. Pengamatan pada mulut, hidung dan genitourinari tidak menunjukkan adanya gejala keracunan seperti pembengkakan dan pendarahan selama 14 hari pengamatan.

Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik pada tikus jantan dan betina yang diberikan ekstrak daging, jeroan dan kulit dosis 5, 10, 15 dan 20 g/kg BB dan diamati selama 14 hari tidak ditemukan adanya tikus percobaan yang mati pada tiap tingkatan dosis. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui derajat toksisitas untuk semua ekstrak menurut klasifikasi toksisitas adalah tidak toksik dengan nilai LD50>15 g/kg BB (Lu 1995). Hal ini disebabkan tidak ditemukan adanya tikus percobaan yang mati pada dosis tersebut.

Nilai LD50 bukan suatu tetapan biologi yang mutlak, melainkan hanya merupakan salah satu petunjuk toksisitas akut (Siregar et al. 1991). Menurut

Lu (1995), jika sejumlah zat yang diberikan kepada hewan uji dengan dosis tinggi dan tidak ada hewan uji yang mati, maka dianggap bahwa semua toksisitas akut yang berbahaya dapat diabaikan. Hasil pengamatan fisik pada toksisitas akut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya spesies, keragaman individu, jenis kelamin, umur, berat badan, cara pemberian, kesehatan hewan dan lingkungan (Balls et al. 1991).

Pengamatan organ dalam tikus

Pengamatan organ dalam untuk uji toksisitas akut dilakukan secara makroskopik. Pengamatan terhadap organ bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji dalam kaitannya dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut. Adapun organ yang diamati diantaranya hati, jantung, paru-paru, ginjal dan limpa. Hasil pengamatan organ diketahui sebagai berikut: Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 5 g/kg BB)

Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 10 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 15 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 20 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Betina (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 5 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Betina (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 10 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Betina (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 15 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Betina (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 20 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak jeroan ikan buntal 5 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak jeroan ikan buntal 10 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak jeroan ikan buntal 15 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

Dokumen terkait