• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kandungan Tetrodotoksin Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kandungan Tetrodotoksin Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TETRODOTOKSIN IKAN BUNTAL PISANG

(

Tetraodon lunaris

) DARI PERAIRAN KABUPATEN CIREBON

GINANJAR PRATAMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Kajian Tetrodotoksin Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten

Cirebon” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

(4)
(5)

RINGKASAN

GINANJAR PRATAMA. Kajian Tetrodotoksin Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh NURJANAH dan RUDDY SUWANDI.

Ikan buntal pisang diketahui memiliki racun yang tinggi pada jaringan otot dan kulitnya, tetapi masyarakat nelayan di Kabupaten Cirebon mengonsumsi daging ikan ini. Menurut mereka ikan buntal pisang beracun pada bagian jeroannya dan bukan pada daging atau kulitnya. Racun dari ikan buntal pisang dikenal dengan nama tetrodotoksin. Tetrodotoksin bersifat eksogenus sehingga pada tiap perairan berbeda kadar racunnya. Penyebab berbedanya kandungan tetrodotoksin pada tiap spesies adalah jenis makanan, musim, ukuran, habitat dan bagian ikan buntal itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan lokasi penangkapan dan identifikasi jenis makanan ikan buntal pisang, menganalisis kandungan gizi dan senyawa aktif pada ikan buntal pisang, serta menentukan toksisitas secara in vitro dan in vivo dari tiga bagian tubuh ikan buntal pisang (daging, kulit dan jeroan).

Wilayah penangkapan ikan buntal pisang yang dilakukan terletak pada posisi 108˚42’41” - 108˚45’19” BT dan 6˚44’59” - 6˚45’49” LS, dengan ukuran 10-13 cm pada bulan Juli. Jenis makanan yang didapatkan dari usus ikan buntal pisang yaitu ikan pepetek, cumi-cumi, serasah dan unidentified. Rendemen pada ikan buntal pisang meliputi daging 37,80%, tulang 45,71%, jeroan 7,25% dan kulit 9,23%. Kandungan protein pada daging, kulit dan jeroan memiliki nilai yang tinggi berdasarkan basis kering. Hasil uji fitokimia dari ekstrak daging terdeteksi alkaloid dan karbohidrat. Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan tetrodotoksin diduga terdapat pada daging ikan buntal pisang, karena senyawa tetrodotoksin memiliki gugus guanidium yang terindikasi dari alkaloid dan gugus glikosida yang terindikasi dari molisch.

Pengujian toksisitas in vitro menggambarkan ekstrak daging, jeroan dan kulit dari ikan buntal pisang tidak toksik, karena nilai LC50nya lebih dari 1000 ppm. Pengujian toksisitas akut dilakukan menggunakan tikus jantan dan betina galur Sprague Dawley, dengan perlakuan penambahan ekstrak daging, jeroan dan kulit dengan dosis masing-masing ekstrak 5, 10, 15 dan 20 g/kg. Pengamatan yang dilakukan dari semua perlakuan menggambarkan parameter fisik, pertumbuhan bobot tikus dan organ dalam yang normal. Hasil histopatologi hati tidak terindikasi adanya simtom sehingga bisa disimpulkan bahwa ikan buntal pisang dengan ukuran 10-13 cm yang ditangkap pada bulan Juli di perairan Kabupaten Cirebon aman untuk di konsumsi.

(6)
(7)

SUMMARY

GINANJAR PRATAMA. Study of Tetrodotoxin Green Rough-Backed Puffer (Tetraodon lunaris) from Cirebon District. Supervised by NURJANAH and RUDDY SUWANDI.

Green rough-backed puffer is known to have high toxicity on it’s muscle tissue and skin. The toxin from green rough-backed puffer was called tetrodotoxin. Several communities of fishermans at Gebang, Cirebon eats this meat fish. According to them the toxin of green rough-backed puffer located in viscera and not in the flesh or skin.Toxin of puffer fish is exogenous so that in each habitat will have different toxicity. Cause of different content of tetrodotoxin on each species were type of feed, season, size, habitat and part of fish. The objective of this study is to determine the fishing location of the sample and identification of the type of puffer fish feed, analyzing the nutrients and bioactive compounds of pufferfish and determine the toxicity in vitro and in vivo from three part of fish (flesh, skin and viscera).

The fish sample were caught in offshore Cirebon (108˚42'41"-108˚45'19" BT and 6˚44'59 "-6˚45'49" LS). Type of feed in the gut from green rough-backed puffer were pepetek fish, squid, organic matters and unidentified. The yield of green rough-backed puffer was 37.80% meat, 45.71% bones and heads, 7.25% viscera and 9.23% skin. Protein content of meat, skin and viscera have a high value based on dry basis. The test results of the phytochemical meat extract detected alkaloids and carbohydrate. These results indicated that the content of tetrodotoxin estimated found in puffer fish meat, because tetrodotoxin compound has guanidium and glycosides are indicated group of alkaloid and molisch.

In vitro toxicity testing describe extracts of meat, viscera and skin of puffer fish are non toxic, because the value LC50 more than 1000 ppm. Acute toxicity testing was conducted using male and female Sprague Dawley strain, with the addition treatment of meat, viscera and skin extract with each dose of the extract 5, 10, 15 and 20 g/kg BB. The observations made of all treatment parameters describe the physical and internal organs were normal. Liver histopathology results doesn’t indicated the presence of the symptomps so that it can be concluded that the green rough-backed pufferfish with 10-13 cm size caught in July from Cirebon are safe for consumption.

(8)
(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

KAJIAN TETRODOTOKSIN IKAN BUNTAL PISANG

(

Tetraodon lunaris

) DARI PERAIRAN KABUPATEN CIREBON

GINANJAR PRATAMA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Kajian Kandungan Tetrodotoksin Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon. Nama : Ginanjar Pratama

NRP : C351120131

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Nurjanah, MS Dr Ir Ruddy Suwandi, MS, MPhil

Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Hasil Perairan

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan. Judul penelitian ini adalah Kajian Tetrodotoksin Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) dari Perairan Kabupaten Cirebon.

Keberhasilan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1 Prof Dr Ir Nurjanah, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Ruddy Suwandi, MS, MPhil sebagai anggota komisi pembimbing atas kesediaan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini.

2 Dr Ir Wini Trilaksani, MSc selaku ketua program studi S2 THP yang telah memberikan arahan dan masukan pada saat penyelesaian tesis ini.

3 Dr Sunarya selaku penguji luar komisi yang telah memberikan kritikan serta saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan tesis ini.

4 Keluarga besar penulis teruntuk Ayahanda Alm. Sutaman dan Ibunda Gayah serta adik-adik tercinta Ginawati Dwitama dan Ginanda Nurochman atas motivasi, doa, semangat dan dukungan baik moril maupun materiil selama penulis menempuh studi.

5 Dr Ir Agoes M Jacoeb, Dipl,-Biol dan Dr Mala Nurilmala, SPi, MSi yang selalu memberikan saran dan kerjasama yang baik untuk penelitian ini.

6 Teman yang selalu menemani pada saat penelitian Medal Lintas Perceka, Alhana dan drh Aulia.

7 Sempur Kaler 71 (Pak Elang dan keluarga, Mas Hans, Mas Nur, Mba Fitri, Mas Marto, Mas Dadan dan Riki) atas kekeluargaan yang selalu dibangun untuk masa depan.

8 Dolpiners (Wahyu, Bang Titot, Wayan, Andra, Beny, Ozy, Tante Diana, Nabila, Tante Imel) atas semangat dan kebersamaannya selama ini.

9 Penghuni Mikroalga (Bejo, Opunk, Bang Tiyo, Bayu, Bocil, Ayu) atas bantuannya selama penyusunan tesis.

10 Ikatan Kekeluargaan Cirebon sebagai wadah naungan berkeluh kesah selama penelitian berlangsung.

11 Teman-teman S2 THP 2011, 2012 dan 2013 atas kerjasama yang baik selama studi.

12 Semua pihak yang telah membantu tersusunnya tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih ada kekurangan. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Bogor, Maret 2015

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup 3

Luaran 3

2 PENENTUAN KAWASAN PENANGKAPAN DAN IDENTIFIKASI

MAKANAN IKAN BUNTAL PISANG 4

Pendahuluan 4

Bahan dan Metode 5

Hasil dan Pembahasan 6

Simpulan 10

3 KARAKTERISTIK KIMIA DAN UJI FITOKIMIA EKSTRAK KASAR TETRODOTOKSIN DARI DAGING, KULIT DAN JEROAN

IKAN BUNTAL PISANG 11

Pendahuluan 11

Bahan dan Metode 12

Hasil dan Pembahasan 16

Simpulan 20

4 UJI TOKSISITAS SECARA IN VITRO DAN IN VIVO DARI KETIGA

EKSTRAK BAGIAN TUBUH IKAN BUNTAL PISANG 21

Pendahuluan 21

Bahan dan Metode 22

Hasil dan Pembahasan 25

Simpulan 37

5 PEMBAHASAN UMUM 38

Simpulan dan Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN 44

(18)

DAFTAR TABEL

1 Proksimat basis basah bagian-bagian ikan buntal pisang 17 2 Proksimat basis kering bagian-bagian ikan buntal pisang 17 3 Fitokimia dari bagian-bagian ikan buntal pisang 19

4 Fitokimia bagian-bagian Tetraodon cutcutia 20

5 Jenis pengamatan fisik dan tingkah laku tikus percobaan 24 6 Pengamatan parameter fisik tikus jantan dan betina 29

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir metode penentuan kawasan dan identifikasi jenis makanan

ikan buntal pisang 5

2 Peta lokasi penangkapan nelayan di perairan Kabupaten Cirebon 7

3 Morfologi ikan buntal pisang 8

4 Komposisi jenis makanan ikan buntal pisang 8

5 Hubungan panjang dan bobot ikan buntal pisang 9 6 Diagram alir metode karakteristik kimia dan uji fitokimia ekstrak

ikan buntal pisang 12

7 Rendemen ikan buntal pisang 16

8 Struktur tetrodotoksin 19

9 Diagram alir uji toksisitas in vitro dan in vivo ekstrak ikan buntal pisang 22 10 Toksisitas in vitro ekstrak ikan buntal pisang 25

11 Pertumbuhan tikus dengan dosis 5 g/kg BB 26

12 Pertumbuhan tikus dengan dosis 10 g/kg BB 27

13 Pertumbuhan tikus dengan dosis 15 g/kg BB 27

14 Pertumbuhan tikus dengan dosis 20 g/kg BB 28

15 Histopatologi organ hati tikus 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lokasi penangkapan menggunakan ArcGIS desimal 45 2 Hasil identifikasi jenis makanan ikan buntal pisang 45 3 Nilai panjang, lebar, tinggi dan bobot ikan buntal pisang 45

4 Rendemen ikan buntal pisang 45

5 Hasil analisis proksimat 46

6 Hasil uji in vitro 46

7 Pengamatan fisik dan organ dalam tikus 47

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Puffer fish (Tetraodontiformes) dalam Bahasa Indonesia disebut ikan buntal, merupakan ikan yang memiliki adaptasi tingkah laku dan anatomi yang tinggi pada perairan karang. Jenis ikan ini pada umumnya menetap di perairan karang dan hanya beberapa jenis yang tidak menetap di perairan karang yaitu triggerfish dan molas (Grzimek 1974). Kelompok ikan ini juga ada yang hidup di perairan tawar, pada umumnya mereka menyukai daerah perairan yang tenang dan berlumpur (Kottelat et al. 1993). Semua jenis ikan ini umumnya memiliki kepala yang besar dengan bukaan mulut yang kecil. Terdapat dua subordo dari jenis puffer fish yaitu triggerfish (Balistoidei) dengan familinya spikefishes, triggerfishes, dan trunkfishes, dan puffer (Tetraodontidae) dengan familinya puffers, triodontids, porcupinefish, dan molas (Grzimek 1974).

Ikan buntal terkenal dengan kandungan racunnya yaitu tetrodotoksin (TTX). Tetrodotoksin adalah senyawa yang larut dalam air, tidak berwarna, tidak berbau, stabil oleh panas dan tidak akan terdegradasi oleh proses pemasakan (Him 2007). Racun ini merupakan neurotoksin dan belum ada penawar racunnya (Nieto et al. 2012). Potensi racun pada ikan buntal ini berasal dari makanannya. Jenis makanan ikan buntal yang mengandung tetrodotoksin yaitu gastropoda Monodonta lineata dan Gibbula Umbilicalis (Silva et al. 2012), kepiting suku Xanthidae (Wahyudi 2006), bintang laut (Noguchi et al. 2011) dan sebagainya. Tetrodotoksin tersebut sebenarnya diproduksi dari bakteri laut seperti Vibrio alginolyticus, Shewanella algae, Shewanella putrefaciens dan Alteromonas tetraodonis yang terdistribusi pada ikan buntal melalui rantai makanan (Noguchi et al. 2011).

Penelitian Auawithoothij dan Noomhorm (2012) menyebutkan bahwa racun tetrodotoksin pada ikan buntal Lagocephalus lunaris dari Kepulauan Chang di Thailand diakumulasi dari bakteri Shewanella putrefaciens dan Vibrio alginolyticus. Bakteri utama penyebab tetrodotoksin yang terakumulasi pada ikan buntal pisang adalah Shewanella putrefaciens. Bakteri ini akan tumbuh subur

pada perairan dengan suhu yang rendah yaitu 25˚C (Auawithoothij dan Noomhorm 2012). Hasil penelitian tersebut didukung oleh Noguchi dan Arakawa (2008) yang menyatakan bahwa kandungan tetrodotoksin yang terdapat pada ikan buntal dipengaruhi oleh makanannya sedangkan menurut Williams (2010) berasal dari kondisi perairannya.

Tetrodotoksin adalah racun saraf dengan berat molekul rendah berbentuk prisma kristal yang dapat menghambat konduksi saraf dan otot, dan secara selektif dapat memblokir saluran natrium sehingga mengakibatkan kelumpuhan pernafasan dan menyebabkan kematian. Potensi mematikan racun ini adalah 5.000-6.000 MU/mg [1 MU (mouse unit) didefinisikan sebagai jumlah toksin yang dibutuhkan untuk membunuh 20-g tikus jantan dalam waktu 30 menit atau

1μg TTX]. Minimum dosis lethal (MLD) bagi manusia diperkirakan sekitar

10.000 MU (≈ 2 mg) (Noguchi dan Arakawa 2008).

(20)

didapatkan bahwa kandungan tetrodotoksin berbeda walaupun pada spesies yang sama (Noguchi dan Arakawa 2008).

Salah satu ikan buntal yang ditemukan beracun adalah ikan buntal pisang. Ikan buntal pisang merupakan ikan buntal yang mempunyai kandungan racun yang tinggi pada jaringan ototnya yaitu lebih dari 1000 MU/g, sedangkan pada kulit ikan ini mempunyai kandungan racun antara 100-1000 MU/g. Tingkat toksisitas yang rendah terdapat pada bagian ovari, testis, hati dan usus ikan ini yaitu kurang dari 10 MU/g. Darah ikan buntal pisang tidak mengandung tetrodotoksin. (Noguchi dan Arakawa 2008). Ikan tersebut merupakan ikan yang terkenal di Jepang dengan nama dokusabafugu (Tetraodon lunaris, Gastrophysus lunaris, Lagocephalus lunaris) (Abe 1960). Ikan ini ditemukan beracun di Kamboja (Ngy et al. 2008), Thailand (Chulanetra et al. 2011), Taiwan (Hwang et al. 1992), Florida (Deeds et al. 2008) dan sebagainya.

Ikan buntal pisang secara empiris sangat digemari oleh nelayan-nelayan di daerah Gebang, Kabupaten Cirebon. Nelayan di daerah Cirebon mengonsumsi daging ikan ini karena rasanya yang lezat. Jika kita merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Noguchi dan Arakawa (2008) sangat bertolak belakang, karena kandungan tetrodotoksin pada ikan ini sangat tinggi di dalam jaringan ototnya. Noguchi dan Arakawa (2008) menjabarkan bahwa TTX yang selama ini diyakini terdapat pada ikan buntal bersifat eksogenus (berasal dari lingkungan luar dan terakumulasi) dan bukan endogenus (dihasilkan oleh ikan buntal sendiri). Hasil penelitian terakhir juga ditemukan bahwa distribusi TTX banyak terdapat pada organisme lain, yaitu pada bintang laut dan beberapa jenis kerang-kerangan. Distribusi tersebut menguatkan dugaan bahwa racun TTX pada ikan buntal sebenarnya bersifat eksogenus dan bukan endogenus, karena berasal dari rantai makanannya (Noguchi dan Arakawa 2008).

Penelitian tentang ikan buntal pisang di Indonesia hanya sebatas pada musim pemijahan (Sulistiono et al. 2001), anatomi pencernaan (Yusfiati et al. 2006), kandungan gizi (Nurjanah et al. 2014) dan jenis makanan (Suryati dan Prianto 2008). Penelitian tentang tetrodotoksin yang terdapat di perairan Indonesia masih belum sepenuhnya dikembangkan. Deskawati et al. (2014) meniliti tentang tetrodotoksin yang berasal dari ikan buntal jenis Arothron hispidus dari perairan Pameungpeuk, Garut.. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya data tentang distribusi tetrodotoksin di Indonesia sehingga masyarakat yang biasa mengonsumsi ikan buntal bisa mengetahui jenis ikan serta waktu dan lokasi penangkapan yang aman untuk dimanfaatkan.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menentukan batas wilayah penangkapan ikan buntal pisang yang ditangkap di perairan Kabupaten Cirebon.

2. Menganalisis kandungan gizi dan senyawa hasil ekstrak kasar dari daging, kulit dan jeroan ikan buntal pisang.

(21)

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kawasan penangkapan ikan buntal yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di Cirebon.

2. Mengetahui jenis makanan ikan buntal pisang.

3. Mengetahui kandungan gizi yang terdapat dari tiga bagian (daging, kulit dan jeroan) ikan buntal pisang

4. Mengetahui senyawa yang terdapat dari hasil ekstrak kasar tetrodotoksin dari daging, kulit dan jeroan ikan buntal pisang.

5. Mengetahui toksisitas ekstrak kasar tetrodotoksin terhadap hewan uji.

6. Mengetahui efek yang ditimbulkan oleh ekstrak kasar tetrodotoksin terhadap hati hewan uji.

Ruang Lingkup

1. Melakukan kajian kawasan penangkapan ikan buntal pisang yang biasa ditangkap oleh nelayan di Cirebon.

2. Melakukan identifikasi makanan di dalam usus ikan buntal pisang.

3. Melakukan analisis proksimat dan fitokimia dari daging, kulit dan jeroan ikan buntal pisang.

4. Melakukan uji toksisitas secara in vitro dan in vivo ekstrak dari ketiga bagian (daging, kulit dan jeroan) ikan buntal pisang.

Luaran

(22)

2 PENENTUAN KAWASAN PENANGKAPAN DAN IDENTIFIKASI MAKANAN IKAN BUNTAL PISANG

Pendahuluan

Latar belakang

Habitat merupakan salah satu penyebab terjadinya distribusi makanan yang berbeda pada jenis ikan tertentu. Habitat sangat berpengaruh terhadap kandungan yang terdapat pada setiap ikan yang ditangkap, contohnya adalah perbedaan kandungan gizi, mikroorganisme dan toksin. Setiap wilayah perairan memiliki kondisi yang berbeda-beda. Hal utama yang bisa dijadikan dasar perbedaan kandungan pada setiap ikan adalah makanannya. Setiap makanan memiliki komposisi yang berbeda sehingga kandungan yang terdapat pada ikan mengikuti komposisi makanannya selain dari proses pencernaan yang terdapat pada ikan tersebut.

Ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris) adalah salah satu ikan yang memiliki daya adaptasi yang tinggi. Ikan ini bisa ditemukan di perairan laut, tawar dan payau (Grzimek 1974). Daerah sebaran ikan ini meliputi perairan Atlantik seperti Samudera Hindia dan Pasifik. Ikan ini menyebar di berbagai negara antara lain India, Ceylon, Andaman, Thailand, Singapuran dan lain sebagainya (Weber dan de Beaufort 1962). Ikan buntal pisang menyebar hampir di seluruh perairan Indonesia antara lain Pulau Weh, Sumatera (Bagan Siapi-api, Sibolga dan Deli), Sungai Musi, Pulau Bintang, Pulau Bangka, Pulau Jawa (Jakarta, Karawang, Subang, Cirebon, Cilacap, Semarang, Surabaya), Madura, Kalimantan (Pemangkat, Singkawang, Pontianak, hilir Sungai Kapuas, Banjarmasin, Sungai Mahakam, Sulawesi dan Papua (Weber dan de Beaufort 1962).

Ikan ini terkenal dengan racunnya, sehingga belum dimanfaatkan secara optimal. Kasus keracunan dan kematian dari ikan ini ditemukan di berbagai negara. Kandungan racun ikan buntal pisang ditemukan di beberapa negara yaitu Kamboja (Ngy et al. 2008), Thailand (Chulanetra et al. 2011), Taiwan (Hwang et al. 1992), Florida (Deeds et al. 2008) dan sebagainya. Kandungan racun yang ditemukan di berbagai negara tersebut memiliki kandungan toksisitas yang berbeda-beda.

(23)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi penangkapan di perairan Kabupaten Cirebon dan mengidentifikasi makanan yang terdapat di dalam usus ikan serta mengetahui hubungan panjang dan bobot ikan buntal pisang.

Bahan dan Metode

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di beberapa tempat yaitu Perairan Kabupaten Cirebon untuk penentuan batas wilayah penangkapan, Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Bio-Makro Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor untuk identifikasi jenis makanan.

Bahan dan alat penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan buntal pisang. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, kapal nelayan, pisau, talenan, plastik HDPE, penggaris baja, timbangan digital satorius dan trace bag. Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yang pertama adalah penentuan lokasi penangkapan, penentuan batas wilayah penangkapan dan identifikasi jenis makanan. Diagram alir metode penentuan kawasan dan identifikasi jenis makanan ikan buntal pisang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir metode penentuan kawasan dan identifikasi jenis makanan ikan buntal pisang

Perairan Kabupaten Cirebon

Penentuan lokasi dan penangkapan

ikan GPS

Ikan buntal pisang Batas wilayah penangkapan

Identifikasi jenis makanan (Buku Day & Dance)

(24)

Batas wilayah dan pemetaan (Wiyono 2010)

Survei dilakukan dengan cara mengikuti operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dogol/payang. Penggunaan GPS untuk mengetahui titik koordinat dengan batas wilayah penangkapan yang dilakukan oleh Nelayan. Pemetaan dilakukan menggunakan Software Arc GIS.

Pengambilan sampel

Pengambilan sampel ikan buntal pisang dilakukan di perairan Kabupaten Cirebon pada bulan Juli 2013. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan payang oleh nelayan pada pukul 03.00 sampai pukul 14.00 WIB. Ukuran dari ikan buntal yang diambil dengan panjang 10 sampai 13 cm.

Identifikasi (Saanin 1984)

Sampel ikan buntal yang telah didapat kemudian diidentifikasi menggunakan buku identifikasi dari Saanin (1984). Pengidentifikasian dilakukan dengan cara mencocokkan ciri-ciri yang ada dengan buku identifikasi sesuai dengan spesies ikan buntal tersebut.

Identifikasi jenis makanan (Day 1967, Dance 1977)

Pengidentifikasian makanan yang terdapat di dalam usus ikan buntal pisang menggunakan buku Day (1967) dan Dance (1977). Jika terdapat makanan yang tidak dapat teridentifikasi selanjutnya disebut unidentified.

Perhitungan hubungan panjang dan bobot ikan (Sirisha dan Rao 2013) Pengukuran panjang total menggunakan penggaris baja dengan ketelitian 1 mm dan timbangan digital satorius dengan ketelitian 0,01 g, dengan rumus:

W=aLb Keterangan

W : bobot (g) L : panjang (cm) a,b : konstanta

Hasil dan Pembahasan

Penentuan lokasi penangkapan

Lokasi penangkapan di perairan Cirebon yaitu pada posisi 108˚42’41” BT

(25)

indeks kematangan gonad pada ikan buntal pisang antara jantan dan betina yang tertinggi terjadi pada bulan Mei. Gambar 2 menunjukkan peta lokasi penangkapan ikan buntal pisang.

Gambar 2 Peta lokasi penangkapan nelayan di perairan Kabupaten Cirebon Morfologi ikan buntal pisang

Ikan buntal pisang termasuk ke dalam Ordo Tetraodontiformes. Nama Tetraodontiformes berasal dari morfologi ikan ini, yaitu memiliki empat gigi besar pada rahang atas dan bawahnya. Morfologi ikan buntal pisang dapat dilihat pada Gambar 3. Klasifikasi ikan buntal pisang menurut Saanin (1984) adalah: Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei

Ordo : Pleognathi (Tetraodontiformes) Famili : Tetraodontidae

Genus : Tetraodon

Spesies : Tetraodon lunaris (buntal pisang)

(26)

punggung, satu sirip ekor, satu sirip dubur, dan sepasang sirip dada. Sirip punggung memiliki 12-13 jari-jari lemah. Sirip dubur memiliki 10-11 jari-jari lemah dan sirip dada memiliki 16 jari-jari lemah. Gurat sisinya terlihat dari bagian anterior mata sampai ke dorsal dan berakhir di pangkal ekor (Yusfiati et al. 2006). Morfologi ikan buntal pisang ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Morfologi ikan buntal pisang

Ikan buntal pisang memiliki kantung lambung yang dapat membesar dengan cara memasukkan air/udara ke dalam lambungnya. Kemampuan menggelembung ini disebabkan oleh bekerjanya otot esofagika-kardia dan otot sfingter pilorik (Yusfiati et al. 2006). Air atau udara yang mengisi lambung pada saat pengosongan kantung lambung dikeluarkan melalui celah insang yang berada di bagian anterior sirip dada. Modifikasi lambung ikan buntal digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dirinya dari predator (Lagler et al. 1977).

Jenis makanan

Komposisi jenis makanan yang didapatkan dari usus ikan buntal pisang di Cirebon yaitu jenis ikan dari famili leognathidae, cumi-cumi, serasah dan beberapa tidak teridentifikasi (unidentified). Ikan buntal pisang dari perairan Mayangan, Subang memiliki komposisi makanan yaitu ikan, kerang, gastropoda, udang, kepiting, cumi-cumi, serasah dan unidentified (Noviyanti 2004) sedangkan jenis makanan ikan buntal yang didapatkan dari sungai Musi, Palembang (Suryati dan Prianto 2008) yaitu udang, serasah dan unidentified. Komposisi jenis makanan ikan buntal pisang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Komposisi jenis makanan ikan buntal pisang

ikan pepetek 41%

cumi-cumi 30% serasah 25% unidentified

(27)

Komposisi jenis makanan pada ikan buntal pisang yang terbanyak di dalam usus adalah jenis ikan pepetek yaitu 41%. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Wiyono (2010) yang menyatakan bahwa ikan pepetek di perairan Cirebon selalu ada di setiap musim. Tingginya dominasi ikan pepetek diduga disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor yang pertama adalah lingkungan perairan. Kisaran suhu antara suhu perairan Cirebon yaitu 27º-29ºC dan kisaran salinitas antara 31-34 ‰ pada kedalaman perairan antara 0-30 m, ekosistem perairan utara Cirebon diduga merupakan daerah yang cocok untuk berkembangnya pepetek. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wedjatmiko (2007), yang menyatakan bahwa habitat famili leognathidae adalah di laut daerah tropis dengan kisaran suhu 26º-29ºC, dengan swimming layer pada kedalaman 10–50 m dan hidup bergerombol (schooling) di dekat dasar perairan. Faktor kedua yang menyebabkan tingginya ikan pepetek di perairan dasar pantai adalah faktor biologi ikan pepetek itu sendiri. Pada kondisi tingkat penangkapan ikan yang sangat intensif, maka jumlah ikan pepetek akan ada sepanjang tahun dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan spesies lain yang tingkat pemijahannya tidak secepat ikan pepetek (Wiyono 2010).

Komposisi jenis makanan yang kedua terbanyak adalah cumi-cumi dengan persentasi sebanyak 30%. Pada bulan Juli merupakan musim terbanyak dari ikan pepetek dan cumi-cumi. Komposisinya yaitu 97,71% untuk ikan pepetek dan 2,27% untuk cumi-cumi (Wiyono 2010). Komposisi jenis makanan dari ikan buntal pisang sangat bergantung pada kelimpahan jenis makanannya di alam. Yusfiati et al. (2006) menjelaskan bahwa secara biometrik dan anatomi ikan ini merupakan jenis ikan karnivora. Noguchi dan Arakawa (2008) menyatakan bahwa kandungan tetrodotoksin yang terdapat ikan buntal dipengaruhi oleh makanannya sedangkan menurut Williams (2010) berasal dari kondisi perairannya.

Hubungan panjang dan bobot ikan

Kisaran panjang total yang diambil untuk penelitian adalah 10-13 cm dengan berat 20-44 g dari 30 sampel yang digunakan. Kisaran panjang ikan buntal pisang yang diambil dari Sungai Musi, Palembang yang terbanyak adalah 6,8-7,1 cm dengan kisaran berat yaitu 6,19-7,04 g (Suryati dan Prianto 2008). Gambar 5 menunjukkan hubungan panjang dan bobot ikan buntal pisang dari perairan Cirebon.

Gambar 5 Hubungan panjang dan bobot ikan buntal pisang

(28)

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari hubungan panjang bobot ikan buntal pisang diperoleh nilai b sebesar 2,5986 (b<3) yang menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan buntal pisang bersifat allometrik negatif. Hasil penelitian Suryati dan Prianto (2008) menunjukkan pola yang sama dengan nilai b sebesar 1,1641 (b<3), sehingga pertambahan panjang ikan buntal pisang lebih cepat daripada pertambahan bobot tubuhnya. Nilai R2 yang dihasilkan menggambarkan tingkat hubungan yang erat pada panjang dan bobot ikan buntal pisang.

Hasil rataan ukuran panjang ikan buntal pisang yaitu 11,20±0,93 cm dan bobotnya yaitu 30,33±7,44 g. Nunez-Vazquez et al. (2012) menyatakan bahwa panjang 10,56±8,96 cm dan bobot 34,04±3,9 g adalah ikan buntal juvenil pada jenis ikan Sphoeroides annulatus. Panjang dan bobot ikan buntal sangat berpengaruh terhadap kandungan gizi dan kandungan tetrodotoksin yang terdapat pada ikan buntal (Nunez-Vazquez et al. 2012).

Simpulan

(29)

3 KARAKTERISTIK KIMIA DAN UJI FITOKIMIA EKSTRAK KASAR TETRODOTOKSIN DARI DAGING, KULIT DAN JEROAN

IKAN BUNTAL PISANG

Pendahuluan

Latar belakang

Ikan buntal merupakan ikan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi. Ikan ini sangat digemari di Jepang sebagai menu masakan yang mempunyai cita rasa yang sangat lezat dan bergizi. Salah satunya adalah ikan buntal jenis Takifugu rubripes. Takifugu rubripes memiliki kandungan gizi pada dagingnya yaitu, air 78,9%, protein 16,5%, lemak 0,7%, karbohidrat 2,5% dan abu 1,4% (Saito dan Kunisaki 1998). Harga ikan buntal jenis Lagocephalus lunaris di restoran Osaka, Jepang adalah 10.500 yen atau setara dengan Rp. 840.000,00 (Suryati dan Prianto 2008). Kandungan gizi pada daging ikan buntal pisang yang berasal dari Parengipettai, India memiliki kadar air 80,32%, abu 0,96%, lemak 11,25%, protein 9,2% dan karbohidrat 1,96%(Eswar et al. 2014).

Rasa yang lezat dan kandungan gizi yang tinggi pada ikan buntal belum sepenuhnya aman karena ikan ini memiliki kandungan racun yang sangat mematikan. Racun ikan buntal bernama tetrodotoksin. Tetrodotoksin adalah senyawa yang larut dalam air, tidak berwarna, tidak berbau, stabil oleh panas dan tidak akan terdegradasi oleh proses pemasakan (Him 2007). Racun ini merupakan neurotoksin dan belum ada penawar racunnya (Nieto et al. 2012). Racun ini menghambat saluran sodium sehingga penetrasi sodium di sel saraf tidak berjalan dan mengakibatkan berhentinya proses pernafasan (Lawrence dan Caterall 1981).

Semua jenis ikan buntal memiliki racun yang bersifat eksogenus. Salah satu ikan buntal yang beracun pada dagingnya adalah ikan buntal jenis Lagocephalus lunaris (Noguchi dan Arakawa 2008). Ikan buntal pisang memiliki kandungan racun yang tinggi pada jaringan ototnya yaitu lebih dari 1000 MU/g, sedangkan pada kulit ikan ini mempunyai kandungan racun antara 100-1000 MU/g. Tingkat toksisitas yang rendah terdapat pada bagian ovari, testis, hati dan usus ikan ini yaitu kurang dari 10 MU/g. Darah ikan buntal pisang tidak terdeteksi racun tetrodotoksin (Noguchi dan Arakawa 2008). Ikan tersebut merupakan ikan yang terkenal di Jepang dengan nama dokusabafugu (Tetraodon lunaris, Gastrophysus lunaris, Lagocephalus lunaris) (Abe 1960).

(30)

penelitian untuk mendapatkan kepastian letak kandungan racun yang terdapat pada ikan buntal pisang di Kabupaten Cirebon.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji rendemen, kandungan gizi dan senyawa dari ekstrak tetrodotoksin yang terkandung dalam daging, kulit serta jeroan dari ikan buntal pisang.

Bahan dan Metode

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai Januari 2014. Preparasi, pengukuran, perhitungan rendemen, ekstraksi, dan uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis proksimat dilakukan di Pusat Antar Universitas, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan alat penelitian

Bahan utama yang digunakanpada penelitian ini adalah ikan buntal pisang dari perairan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Bahan lain yang digunakan yaitu akuades, H2SO4 pekat, etanol, asam asetat dan bahan untuk pengujian fitokimia. Alat-alat yang digunakan yaitu sentrifugasi Himac CR21G, gelas piala, sudip, batang pengaduk, corong gelas ukur, tabung reaksi, pipet volumetrik, pipet mikro, oven Yamato DV 41, penangas air, vorteks, dan shaker WiseShakeSHO-1D.

Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yang pertama adalah perhitungan rendemen, analisis proksimat, ekstraksi dan uji fitokimia. Gambar 6 menunjukkan diagram alir metode karakteristik kimia dan uji fitokimia.

Gambar 6 Diagram alir metode karakterisasi kimia dan uji fitokimia ekstrak ikan buntal pisang

Filtrat

Rendemen dan analisis proksimat Ikan buntal pisang

Preparasi kulit, daging dan jeroan

Ekstraksi (Zhou & Shun2003)

Analisis fitokimia (Harborne 1987)

(31)

Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh ikan buntal dari bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berkut:

(%) Rendemen =

x 100% Analisis proksimat (AOAC 2005)

Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan termasuk didalamnya analisis kandungan air, lemak, abu, protein dan karbohidrat.

Analisis kadar air (AOAC 2005)

Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam, selanjutnya cawan dimasukkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sebanyak 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan, kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan ditimbang.

Perhitungan kadar air :

B - C

B - A

Keterangan : A : Berat cawan kosong (gram)

B : Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C : Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan abu dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam, didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

Kadar abu ditentukan dengan rumus: C - A B - A

Keterangan : A : Berat cawan porselen kosong (gram) B : Berat cawan dengan sampel (gram)

C : Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 0,25 g selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL

% kadar air =

% kadar abu = x 100%

(32)

yang berisi campuran 10 mL asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcresol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 mL dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% kadar protein = % N x faktor konversi

(mL HCl – mL blanko) x N HCl x 14,007 Mg contoh x faktor koreksi alat Keterangan : Faktor konversi : 6,25

Faktor koreksi alat : 2,5% Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana), kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak:

(W1- W2) W3

Keterangan : W1 : Berat sampel (gram)

W2 : Berat labu lemak kosong (gram) W3 : Berat labu lemak dengan lemak (gram) Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2005)

Analisis karbohidrat dilakukan by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis kadar karbohidrat dapat dihitung dengan persamaan berikut:

% karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)

Ekstrak sampel (Zhou dan Shun 2003)

Sampel yang digunakan berasal dari tiga bagian ikan buntal pisang yaitu daging, kulit dan jeroan. Sampel di tangkap pada bulan Juli 2013 di perairan Kabupaten Cirebon. Sebanyak 100 g dari masing-masing bagian dicincang halus, lalu ditambah 150 mL air deionisasi dan 0,15 mL asam asetat. Campuran dimaserasi 150 rpm selama 10 jam pada suhu kamar, lalu disaring menggunakan nylon ukuran 100 mesh yang ditahan dengan saringan stainless steel ukuran 40 mesh. Sebanyak 150 mL air deionisasi ditambahkan ke dalam residu, kemudian dilakukan

% N =

% kadar lemak = x 100%

(33)

pengekstraksian kembali sebanyak empat kali. Filtrat lalu dipanaskan pada suhu

80˚C selama 5 menit, lalu didinginkan.

Analisis Fitokimia (Harborne 1987)

Identifikasi senyawa kimia tetrodotoksin secara kualitatif dilakukan menggunakan uji fitokimia yang difragmentasi maupun yang tidak difragmentasi dilakukan terhadap senyawa-senyawa yaitu alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, biuret dan ninhidrin. Alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, terbentuk endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan terbentuk endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

Steroid/triterpenoid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi. Anhrida asetat ditambahkan sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan asam sulfat pekat 3 tetes ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif mengandung steroid dan triterpenoid yaitu dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.

Flavonoid

Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

Saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.

Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)

Sejumlah sampel diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Hasil uji positif sampel mengandung fenol hidrokuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru.

Molisch

(34)

Benedict

Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 mL pereaksi Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Hasil uji positif sampel mengandung gula pereduksi ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna hijau, kuning atau endapan merah bata.

Biuret

Sebanyak 1 mL larutan sampel ditambahkan 4 mL pereaksi Biuret. Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif sampel mengandung senyawa peptida dengan terbentuknya larutan berwarna ungu.

Ninhidrin

Sebanyak 2 mL larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin 0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Hasil uji positif sampel mengandung asam amino ditunjukkan warna biru.

Hasil dan Pembahasan

Rendemen

Rendemen tertinggi ikan buntal pisang adalah tulang dan kepala yaitu 45,17%. Abe (1960) menyatakan bahwa kepala ikan buntal lebih besar bila dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya. Pemanfaatan kepala dan tulang dari ikan buntal pisang belum banyak dikembangkan sehingga belum menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi pada bagian ini. Rendemen terendah adalah jeroan ikan buntal pisang yaitu 7,25%. Rendemen daging ikan buntal pisang adalah 37,80%. Daging ikan inilah yang menjadi primadona bagi para pencinta makanan karena rasanya yang lezat dan nikmat, sehingga mampu memikat para konsumennya. Rendemen kulit ikan ini tidak berbeda dengan nilai rendemen jeroan ikan buntal pisang yaitu sebesar 9,23%. Gambar 7 menunjukkan hasil rendemen ikan buntal pisang.

Gambar 7 Rendemen ikan buntal pisang

(35)

Menurut Nurjanah et al.(2014) rendemen ikan buntal pisang memiliki persentase kepala 45,17%, jeroan 7,13%, daging 38,28% dan kulit 8,87%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan ikan buntal pisang yang digunakan untuk penelitian ini. Kulit ikan ini biasanya dimanfaatkan menjadi kerupuk kulit ikan oleh masyarakat Kabupaten Cirebon.

Proksimat

Proksimat ikan buntal pisang yang didapatkan merupakan hasil dari 30 sampel yang dihomogenkan. Hasil ini adalah salah satu gambaran yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik kandungan gizi ikan buntal pisang dari tiga bagian yaitu daging, kulit dan jeroan. Tabel 1 memperlihatkan nilai proksimat dari tiga bagian ikan buntal pisang.

Tabel 1 Proksimat basis basah bagian-bagian ikan buntal pisang Analisis menggambarkan bahwa pada daging dan jeroan banyak terdapat kandungan air sedangkan pada kulit lebih sedikit. Kulit pada ikan memiliki karakteristik jaringan yang bersifat kompak sehingga kadar airnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan daging dan jeroan (Piez dan Gross 1960). Pengaruh air terhadap suatu bahan baku menjadikan proporsi nilai gizi kurang valid karena pada bahan yang kering sekalipun masih terdapat kandungan air. Nilai yang valid didapatkan dengan cara mengasumsikan perhitungan kandungan gizi tanpa kandungan air atau dengan kata lain kandungan air harus diabaikan. Hal tersebut dianggap sebagai hasil yang valid karena dengan mengabaikan kandungan air suatu bahan maka dapat terlihat perbandingan nilai gizinya. Tabel 2 memperlihatkan analisis proksimat basis kering ikan buntal pisang.

(36)

menyukainya. Potensi yang terkandung di dalam protein ikan buntal pisang secara basis kering terlihat bahwa nilai kandungan tertinggi protein terdapat pada dagingnya, yang kedua adalah kulitnya dan yang ketiga adalah jeroannya. Kandungan protein pada kulit ikan buntal pisang secara basis basah memiliki nilai 25,31%. Kulit ikan buntal pisang merupakan salah satu potensi yang sangat tinggi untuk pembuatan gelatin dan kolagen karena kandungan proteinnya yang tinggi (Handoko et al. 2011). Kulit ikan ini sangat elastis layaknya kulit ikan belut. Ikan ini mempunyai duri di sekitar punggung dan perutnya (Grzimek 1974). Jeroan ikan ini pun bisa dijadikan hidrolisat protein.

Lemak pada daging ikan buntal pisang adalah 0,11%, nilai ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan T. rubripes (0,7%) (Saito dan Kunisaki 1998) dan lebih rendah dibandingkan dengan L. lunaris dari India yaitu 11,25% (Eswar et al. 2014). Kandungan lemak yang tertinggi menurut perhitungan basis kering dari hasil penelitian adalah pada jeroannya yaitu 26,59%. Kandungan lemak yang tinggi pada jeroan ikan buntal pisang tidak terlepas dari ukuran dan umur dari ikan buntal itu sendiri (Sirisha dan Rao 2013). Jeroan merupakan limbah yang memiliki kandungan lemak yang tinggi (Deliana dan Nirwana 2013). Lemak yang terdapat di dalam jeroan ikan buntal merupakan salah satu potensi untuk dijadikan minyak ikan.

Abu pada daging ikan buntal pisang memiliki nilai yang lebih rendah bila dibandingkan dengan T. rubripes (1,4%) dari Jepang dan lebih tinggi bila dibandngkan dengan L. lunaris (0,96%) dari India. Karakteristik abu yang berbeda ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan, musim dan ukuran dari spesies yang digunakan (Eswar et al. 2014). Abu pada jeroan ikan buntal pisang memiliki nilai yang paling tinggi berdasarkan basis keringnya. Nilai tersebut dipengaruhi oleh komponen non organik yang terdapat pada jeroan ikan buntal tersebut. Jeroan merupakan salah satu limbah yang memiliki banyak potensi karena di dalam jeroan terjadi proses pencernaan sehingga zat non organik berkumpul di dalamnya, mineral yang terakumulasi pun biasanya berbeda tergantung habitat dan jenis makanannya (Deliana dan Nirwana 2013).

Nilai karbohidrat dihitung berdasarkan perhitungan by difference. Karbohidrat (0,18%) pada daging ikan buntal pisang memiliki nilai yang lebih rendah bila dibandingkan dengan T. rubripes (2,5%) dari Jepang dan L. lunaris (1,96%) dari India. Nilai karbohidrat tertinggi terdapat pada kulit ikan ini berdasarkan perhitungan basis keringnya. Nurjanah et al. (2008) menyebutkan bahwa karbohidrat yang terdapat pada seafood tidak mengandung serat biasanya dalam bentuk glikogen. Nilai karbohidrat yang didapatkan kurang valid karena berdasarkan perhitungan yang dilakukan masih terdapat kandungan lain selain karbohidrat.

Fitokimia

(37)

Tabel 3 Fitokimia dari bagian-bagian ikan buntal pisang Pereaksi Ekstrak daging Ekstrak Jeroan Ekstrak Kulit Alkaloid

Wagner Dragendroff Meyer

+ + +

- + +

+ + +

Steroid/Terpenoid - - -

Flavonoid - - -

Saponin - - -

Fenol Hidrokuinon - - -

Molisch + - -

Benedict - - -

Biuret - - -

Ninhidrin - - -

Keterangan: (+) terdeteksi, (-) tidak terdeteksi

Hasil fitokimia ikan buntal pisang dari seluruh pengujian ekstrak daging, jeroan dan kulit memiliki nilai positif untuk pereaksi alkaloid, sedangkan pereaksi lain memiliki nilai negatif kecuali ekstrak daging yang memiliki nilai positif pada uji molisch. Tetrodotoksin merupakan senyawa yang memiliki gugus fungsi guadinium (Cordell et al. 1993). Gugus guanidium ini adalah gugus yang bersifat basa dan memiliki kandungan nitrogen yang membentuk cincin. Gugus guanidium ini dapat terikat pada reseptor neurotoxin site 1 di subunit-α serambi luar VGSC (Voltage-Gate Sodium Channels) dan memblokir masuknya ion natrium dengan menyumbat pori saluran (French et al. 2010). Ikatan ini akan menghambat penjalaran aksi potensial, sehingga melumpuhkan fungsi syaraf dan otot (Lee et al. 2008). Harborne (1987) menyatakan pengujian alkaloid didasarkan pada senyawa-senyawa yang bersifat basa yang memiliki unsur nitrogen (umumnya berbentuk cincin). Pendugaan kandungan tetrodotoksin ini diperkuat oleh penelitian Uddin et al. (2013) yang menyatakan bahwa jenis racun tetrodotoksin pada uji fitokimia terdeteksi pada uji alkaloid dan glikosida. Tetrodotoksin akan aktif apabila adanya glikosida (karbohidrat), karena racun tersebut dapat disintesis bila terdapat kuinon atau karbohidrat (Bane et al. 2014). Gambar 8 menunjukkan senyawa tetrodotoksin.

(38)

Hasil fitokimia menunjukkan bahwa daging ikan buntal pisang diduga memiliki kandungan tetrodotoksin tetapi jumlahnya belum diketahui. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Noguchi dan Arakawa (2008) yang menyebutkan bahwa racun ikan buntal pisang terdapat pada jaringan ototnya sesuai dengan hasil yang didapatkan dari penelitian ini.

Tabel 4 Fitokimia bagian-bagian Tetraodon cutcutia Ektrak kasar ikan

buntal

Alkaloid Steroid Alkohol Amida Glikosida

Hati + - + - +

Daging bagian dorsal

- - + + +

Kepala - - + + +

Ekor - - + + +

Sumber : Uddin et al. (2013)

Simpulan

(39)

4 TOKSISITAS IN VITRO DAN IN VIVO DARI EKSTRAK KASAR TETRODOTOKSIN IKAN BUNTAL PISANG

Pendahuluan

Latar belakang

Pengujian toksisitas merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan racun yang terdapat pada suatu bahan. Toksisitas erat kaitannya dengan organisme yang digunakan. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penetrasi racun terhadap organisme, menentukan organ sasaran dan kepekaannya terhadap racun. Salah satu racun yang terkenal adalah tetrodotoksin. Tetrodotoksin merupakan neurotoksin yang stabil terhadap panas yang dapat menghambat penetrasi sodium dan transmisi saraf, sehingga menyebabkan kelumpuhan dan berpotensi pada kematian. Racun ini ditemukan di berbagai organisme laut, seperti beberapa spesies ikan gobi, gurita, bintang laut, kepiting, gastropoda dan yang paling terkenal racun ini ditemukan pada ikan buntal (Ahmed et al. 2013).

Tetrodotoksin 10.000 kali lebih mematikan bila dibandingkan dengan racun sianida, kadar mematikan racun ini adalah 1-2 mg untuk orang dewasa (Leung et al. 2011). Salah satu ikan buntal yang banyak terdapat di perairan Indonesia adalah ikan buntal pisang. Ikan buntal pisang memiliki kandungan racun yang tinggi pada jaringan ototnya yaitu lebih dari 1000 MU/g, sedangkan pada kulit ikan ini mempunyai kandungan racun antara 100-1000 MU/g. Tingkat toksisitas yang rendah terdapat pada bagian ovari, testis, hati dan usus ikan ini yaitu kurang dari 10 MU/g. Darah ikan buntal pisang tidak terdeteksi racun tetrodotoksin (Noguchi dan Arakawa 2008). 1 MU/g merupakan banyaknya toksik yang dapat membunuh satu ekor mencit jantan dengan berat 20 g selama 30 menit. Jumlah tersebut sama dengan 0,2 µg TTX (Noguchi dan Arakawa 2008).

(40)

Bahan dan Metode Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai Juli 2014. Penelitian dilaksanakan di beberapa tempat yaitu di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium, Laboratorium Bedah dan Radiologi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Balai Veteriner Cimanggu.

Bahan dan alat penelitian

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak ikan buntal pisang. Hewan percobaan yang digunakan adalah Artemia salina dan tikus Sprague Dawley jantan dan betina 6-7 minggu yang didapatkan dari hasil breeding. Bahan lainnya yaitu air laut, pakan tikus, air mineral, pewarna hematoksilin, pewarna eosin dan formalin. Alat yang digunakan yaitu plat BSLT, kandang tikus dari boks plastik, tempat makan dari aluminium, tempat minum berupa botol, timbangan tikus, syringe, mikroskop Olympus CX41.

Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan yang pertama adalah pengujian ekstrak secara in vitro menggunakan metode BSLT dan yang ke dua adalah pengujian LD50 dan histopatologi hati. Gambar 9 menunjukkan diagram alir pengujian toksisitas in vitro dan in vivo ekstrak ikan buntal pisang.

Gambar 9 Diagram alir uji toksisitas in vitro dan in vivo ekstrak ikan buntal pisang

Ekstrak jeroan, daging, dan kulit Ikan buntal pisang

Pencekokan ekstrak pada tikus menggunakan sonde lambung

Hasil uji LC50 BSLT

Pemeliharaan tikus 14 hari

Hasil uji toksisitas akut Pengamatan:

(41)

Uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Meyer et al. 1982; McLaughlin et al. 1998; dan Carballo et al. 2002)

Menurut Carballo et al. (2002), metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) biasanya digunakan dalam uji pendahuluan untuk penapisan aktivitas farmakologis pada produk alam. Uji ini digunakan larva A. salina sebagai hewan uji. Mula-mula telur A. salina ditetaskan di dalam air laut di bawah lampu TL 40 watt selama 48 jam. Sebanyak 10 ekor larva A. salina dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dimasukkan larutan ekstrak sampel dengan konsentrasi masing-masing 5 ppm; 10 ppm; 50 ppm; 100 ppm; 500 ppm; dan 1000 ppm dan ditambahkan air laut sampai volume 5 mL. Air laut tanpa pemberian ekstrak (0 ppm) digunakan sebagai kontrol. Semua tabung reaksi diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam di bawah penerangan lampu TL 40 watt. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah A. salina yang mati pada tiap konsentrasi penentuan harga LC50 (ppm) dilakukan menggunakan analisis probit dan persamaan regresi.

Pemeliharaan, pengamatan dan analisis tikus percobaan (Organisation for Economic Co-ooperation and Development Test Guideline: 2009)

a) Adaptasi

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus berjumlah 130 ekor dengan jenis kelamin jantan dan betina, berumur 6-7 minggu dengan berat badan 175-200 gram. Tikus berasal dari breeding di IndoLab Bogor. Setiap tikus ditempatkan di dalam kandang boks plastik dengan suhu kamar dan pengaturan gelap terang secara alami. Tikus diadaptasikan selama 1 minggu dan selama masa adaptasi tikus diberi percobaan pakan AIN (1976) dan air secara ad libitum. Tikus dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar yaitu perlakuan pemberian ekstrak daging, jeroan dan kulit yang diuji secara akut. Perlakuan selanjutnya adalah kelompok pemberian ekstrak dengan dosis 5 g/kg BB, 10 g/kg BB, 15 g/kg BB dan 20 g/kg BB. Pemberian ekstrak dilakukan secara oral menggunakan sonde lambung, sebelum perlakuan tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 4 jam. b) Perlakuan

Pada setiap kelompok perlakuan toksisitas akut masing-masing digunakan 5 ekor tikus jantan dan 5 ekor tikus betina. Setiap kelompok mendapat perlakuan sebagai berikut.

Kelompok A : Kontrol tikus jantan, diberikan akuades. Kelompok B : Kontrol tikus betina, diberikan akuades.

(42)

Kelompok O : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak jeroan 5 g/kg BB. Kelompok P : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak jeroan 10 g/kg BB. Kelompok Q : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak jeroan 15 g/kg BB. Kelompok R : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak jeroan 20 g/kg BB. Kelompok S : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak kulit 5 g/kg BB. Kelompok T : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak kulit 10 g/kg BB. Kelompok U : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak kulit 15 g/kg BB. Kelompok V : Kelompok tikus jantan, diberikan ekstrak kulit 20 g/kg BB. Kelompok W : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak kulit 5 g/kg BB. Kelompok X : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak kulit 10 g/kg BB. Kelompok Y : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak kulit 15 g/kg BB. Kelompok Z : Kelompok tikus betina, diberikan ekstrak kulit 20 g/kg BB. c) Analisis

Pada perlakuan akut dilakukan pengamatan selama 14 hari. Pengamatan dilakukan pada hari ke 1, 2, 3, 7, 10 dan 14. Pengamatan yang dilakukan meliputi terjadinya kematian, perubahan fisik dan tingkah laku, konsumsi pakan. Adapun jenis pengamatan fisik dan tingkah laku dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis pengamatan fisik dan tingkah laku tikus percobaan Pengamatan

fisik

Pengamatan Tanda-tanda umum Hasil

Sistem saraf Pernafasan Laju pernafasan Dypnea/sesak nafas Ya/tidak Saluran Kulit dan bulu Warna bulu

Keutuhan bulu

Mulut Pendarahan Pendarahan

Pembengkakan

Ya/tidak Ya/tidak

Hidung Pendarahan Pendarahan

(43)

jaringan hati pada 5 lapang pandang sekitar vena porta dengan perbesaran lensa objektif 40 kali. Hepatosit diamati berkaitan dengan terjadinya lesio degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis. Jumlah sel yang mengalami lesio dihitung persentasenya dari jumlah seluruh sel yang diamati.

Analisis Data (Steel dan Torrie 1993)

Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Modelnya yaitu:

Yij = μ + αi + εij

Keterangan:

Yij = Respon pengaruh perlakuan pada taraf i ulangan ke-j

μ = Pengaruh rata-rata umum

αi = Pengaruh perlakuan pada taraf i

εij = Pengaruh acak (galat percobaan pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j) j = Ulangan 1,2,3

Hasil dan Pembahasan

Toksisitas in vitro

Hasil BSLT dengan larva A. salina menunjukkan nilai kematian terbanyak pada ekstrak daging. Larva A. Salina tersebut merupakan indikator toksisitas dari ekstrak ikan buntal pisang dari beberapa bagian yang diujikan. Gambar 10 menunjukkan hasil toksisitas in vitro ekstrak ikan buntal pisang.

Keterangan : ekstrak daging log (ekstrak daging) ekstrak jeroan log (ekstrak jeroan) ekstrak kulit log (ekstrak kulit)

Gambar 10 Toksisitas in vitro ekstrak ikan buntal pisang

(44)

Toksisitas in vitro digunakan sebagai metode untuk menduga adanya toksin yang terkandung di dalam sebuh bahan. Metode ini digunakan hanya untuk mengetahui nilai toksisitas bukan untuk konfirmasi adanya racun didalam sebuah bahan. Konfirmasi racun yang terdapat pada suatu bahan bisa menggunakan metode kimia yaitu LC-MS (Liquid Chromatography-Mass Spectrophotometry). Hasil pengujian BSLT dengan larva A. salina menunjukkan nilai kematian terbanyak pada ekstrak daging. Larva A. Salina tersebut merupakan indikator toksisitas dari ekstrak ikan buntal pisang dari beberapa bagian yang diujikan. Nilai LC50 yang terdapat pada ekstrak daging sebesar 104.3498 μg/mL, ekstrak jeroan sebesar 105.4564 μg/mL, dan ekstrak kulit sebesar 104.9637 μg/mL. Hasil tersebut menggambarkan bahwa ekstrak daging, jeroan dan kulit pada ikan buntal pisang kurang toksik. Hasil penelitian Uddin et al. (2013) menunjukkan bahwa toksisitas LC50 dari hati ikan buntal T. cutcutia adalah 0,75 μg/mL. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa hati ikan buntal T. cutcutia sangat toksik. Deskawati et al. (2014) menyebutkan bahwa Arothron hispidus dari Pameungpeuk, Garut yang paling toksik adalah pada bagian ovariumnya yaitu 29,65 μg/mL. Menurut Meyer et al. (1982) suatu zat dianggap sangat toksik jika nilai LC50<30 ppm, toksik jika nilai LC50 30-1000 ppm, dan kurang toksik jika nilai LC50>1000 ppm. Menurut Noguchi dan Arakawa (2008) racun TTX pada ikan buntal terdistribusi di organ hati dan ovarium (paling tinggi), diikuti oleh usus dan kulit. Daging dan testis merupakan organ yang tidak toksik atau toksisitasnya lemah, kecuali pada spesies L. lunaris dan Chelonodon patoca. Pertumbuhan dan konsumsi pakan tikus percobaan

Pengamatan pertumbuhan dilakukan pada hari ke 1, 7, 10 dan 14. Pengamatan pertumbuhan tikus merupakan salah satu parmeter dari efek toksik. Menurut Lu (1995), berkurangnya pertambahan bobot badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif. Gambar 11, 12, 13 dan 14 menunjukkan pertumbuhan tikus dengan dosis yang berbeda.

Gambar 11 Pertumbuhan tikus dengan dosis 5 g/kg BB

(45)

Gambar 12 Pertumbuhan tikus dengan dosis 10 g/kg BB

Gambar 13 Pertumbuhan tikus dengan dosis 15 g/kg BB

(46)

Gambar 14 Pertumbuhan tikus dengan dosis 20 g/kg BB

Hasil pada Gambar 11, 12, 13 dan 14 terlihat adanya peningkatan rata-rata bobot badan tikus selama pengamatan dengan kisaran 1,61-2,30 % untuk masing-masing perlakuan. Adanya perbedaan bobot badan tiap perlakuan berhubungan dengan kondisi dan konsumsi pakan dari tikus percobaan. Konsumsi pakan tikus selama pengamatan mengalami fluktuatif berkisar antara 18,00-20,00 g/ekor/hari untuk masing-masing perlakuan. Levine dan Saltzman (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan tikus normal rata-rata sebesar 1,5-3,0 % dari berat awal. Nilai tersebut didasarkan pada asumsi pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang sesuai dengan tikus percobaan. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pertumbuhan tikus tidak mengalami gangguan sehingga semua ekstrak yang diberikan tidak toksik. Ekstrak dari ikan buntal pisang tidak mengandung senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada penyerapan nutrisi, sehingga tubuh dapat memanfaatkan nutrisi dengan baik dan dapat meningkatkan bobot badan tikus.

Pengamatan parameter fisik tikus

(47)

Tabel 6 Pengamatan parameter fisik tikus jantan dan betina

Pengamatan fisik Pengamatan Tanda-tanda umum Hasil Sistem saraf Pernafasan Laju pernafasan Dypnea/sesak nafas Tidak Saluran Kulit dan bulu Warna bulu

Keutuhan bulu

Mulut Pendarahan Pendarahan

Pembengkakan

Tidak Tidak

Hidung Pendarahan Pendarahan

Pembengkakan

Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dari tikus uji pada Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daging, jeroan dan kulit ikan buntal pisang pada dosis 5, 10, 15 dan 20 g/kg BB tidak menyebabkan adanya tanda-tanda keracunan pada tikus uji. Pengamatan terhadap sistem saraf pusat, tidak terjadi perubahan selama pengamatan 14 hari serta tidak terjadi perubahan tingkat keaktifan dari tikus uji. Pengamatan terhadap saluran pernafasan juga tidak menunjukkan adanya dypnea/sesak napas atau 100% sampel tikus yang diberikan kedua ekstrak dalam kondisi normal laju pernafasannya. Saluran pencernaan tikus juga dalam kondisi normal. Hal ini dapat diamati dari warna dan bentuk feses yang normal serta tidak adanya tikus yang menceret selama 14 hari pengamatan. Hal ini diduga, bahwa ekstrak daging, jeroan dan kulit ikan buntal pisang tidak mengandung zat atau senyawa-senyawa yang dapat mengganggu pencernaan tikus. Pengamatan pada mulut, hidung dan genitourinari tidak menunjukkan adanya gejala keracunan seperti pembengkakan dan pendarahan selama 14 hari pengamatan.

Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik pada tikus jantan dan betina yang diberikan ekstrak daging, jeroan dan kulit dosis 5, 10, 15 dan 20 g/kg BB dan diamati selama 14 hari tidak ditemukan adanya tikus percobaan yang mati pada tiap tingkatan dosis. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui derajat toksisitas untuk semua ekstrak menurut klasifikasi toksisitas adalah tidak toksik dengan nilai LD50>15 g/kg BB (Lu 1995). Hal ini disebabkan tidak ditemukan adanya tikus percobaan yang mati pada dosis tersebut.

(48)

Lu (1995), jika sejumlah zat yang diberikan kepada hewan uji dengan dosis tinggi dan tidak ada hewan uji yang mati, maka dianggap bahwa semua toksisitas akut yang berbahaya dapat diabaikan. Hasil pengamatan fisik pada toksisitas akut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya spesies, keragaman individu, jenis kelamin, umur, berat badan, cara pemberian, kesehatan hewan dan lingkungan (Balls et al. 1991).

Pengamatan organ dalam tikus

Pengamatan organ dalam untuk uji toksisitas akut dilakukan secara makroskopik. Pengamatan terhadap organ bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji dalam kaitannya dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut. Adapun organ yang diamati diantaranya hati, jantung, paru-paru, ginjal dan limpa. Hasil pengamatan organ diketahui sebagai berikut: Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 5 g/kg BB)

Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 10 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 15 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan,ukuran kanan dan kiri sama.

Jantung : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan

Paru-paru : Tidak ada pembengkakan pada tiap lobus, warna cerah Limpa : Normal, Warna merah pada semua bagian, tidak ada

pembengkakan

Kelompok Jantan (Pemberian ekstrak daging ikan buntal 20 g/kg BB) Hati : Warna merah pada semua bagian, tidak ada pembengkakan Ginjal : Warna merah pada semua bagian, tidak ada

Gambar

Gambar 1 Diagram alir metode penentuan kawasan dan identifikasi jenis makanan
Gambar 2 Peta lokasi penangkapan nelayan di perairan Kabupaten Cirebon
Gambar 3 Morfologi ikan buntal pisang
Gambar 5 Hubungan panjang dan bobot ikan buntal pisang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tegemist pole küll ametlikult registreeritud rahvusühendusega (külarahvas polevat nõus maksma registreerimistasu), kuid Tomski Rahvaloomingu Keskuses on Kase- küla eestlased kirjas

Perhitungan laju sedimentasi di dalam waduk dihitung berdasarkan hasil sedimen yang didapat pada pengukuran tersebut.. Perhitungan sedimen dan laju sedimentasi waduk dapat

Koefisien aroma (X 4 ) sebesar 0,089 dengan signifikan uji t sebesar 0,113 yang berarti bahwa semakin baik aromanya maka kepuasan akan semakin tinggi, tetapi tidak ada pengaruh

Mengkondisikan mahasiswa dalam diskusi kelompok-kelompok kecil untuk mendiskusikan tentang SP-afektif: pengertian, tujuan, peran guru, dan langkah-langkah pelaksanaan

Pada gambar 6 dapat dilihat grafik menunjukkan hasil pengujian 1 atau pertamapada suara yang telah dilatih antara suara pria dan wanita menghasilkan tingkat

Secara kualitatif terdapat perbedaan antara model pembelajaran tematik terpadu bila dibandingkan dengan model pembelajaran lainnya, yaitu dalam hal

Jenis hidrokoloid yang digunakan yaitu CMC dan alginate dengan hasil pengamatan yaitu overrun tertinggi pada velva nanas yang menggunakan CMC 0,75%, rasa

Permasalahan yang mungkin ditimbulkan dari kondisi ini adalah: Belum diketahui hubungan antara penggunaan antibiotika pada terapi empiris dari segi intensitas penggunaan