• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.4 Tolak Ukur Evaluasi

Suatu program dapat dievaluasi apabila ada tolak ukur yang menantinya dijadikan penilaian suatu program. Berhasil atau tidaknya program berdasarkan tujuan yang dibuat sebelumnya harus memiliki tolak ukur, dimana tolak ukur ini harus dicapai dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya.

Adapun yang menjadi tolak ukur dalam evaluasi suatu program adalah 1. Ketersediaan sarana untuk mencapai tujuan tersebut

2. Apakah hasil proyek sesuai dengan hasil yang diinginkan

3. Apakah sarana atau kegiatan yang benar-benar membutuhkannya

4. Apakah sarana yang disediakan benar-benar dilakukan untuk tujuan semula 5. Berapa persen jumlah atau luasan sasaran sebenarnya yang dapat dijangkau

oleh program

6. Bagaimana mutu pekerjaan atau sasaran yang dihasilkan dari program

7. Berapa banyak sumber daya (tenaga, dana, barang) yang sudah digunakan (diinvestasikan) untuk mencapai tujuan tersebut

8. Apakah sumber daya dan kegiatan yang dilakukan benar-benar dimanfaatkan secara maksimal

9. Apakah kegiatan yang dilakukan benar-benar memberikan masukan terhadap perubahan

2.2 Pengertian Program

Program merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Manila (dalam Jones, 2001: 43) mengemukakan bahwa program akan menunjang implementasi, karena dalam program telah dimuat berbagai aspek antara lain:

a. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

b. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil dalam mencapai tujuan itu.

c. Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. d. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

2.3 Pengertian Evaluasi Pelaksanaan Program

Evaluasi dalam pelaksanaan suatu program yaitu, melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, di dalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan (Siagian & Suriadi, 2010: 117-118). Dapat diketahui bahwa evaluasi pelaksanaan program adalah sejauhmana pelaksanaan suatu program, yaitu sosialisasi yang dilakukan, ketepatan sasaran dan waktu program, pelayanan program yang diberikan, manfaat dan tujuan serta penanganan dari pengaduan masyarakat terhadap program.

2.4 Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial 2.4.1. Kebijakan Publik

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula gevermance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinyamerupakan keputuan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengolaan dan pendistribusian sumber daya alam, financial, dan manusia demi kepentingan public, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara.

Banyak definisi mengenai kebijakan public. Sebagian ahli member pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan sesuatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak bagi kehidupan warganya. Kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengeni “whatever government choose to do or not to do”. Artinya kebijakan publik adalah

“apa saja yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan” (Brigdman dan Davis, dalam Suhartono, 2009: 3).

Tidak berarti bahwa kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi non pemerintah, organisasi sosial dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena kebijakan mereka tidak memakai sumber daya publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.

Kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut (Hogwood dan Gunn, dalam Suhartono, 2009: 5)) :

1. Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai.

2. Proposal tertentuyang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih.

3. Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah. 4. Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan

sumber daya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.

5. Keluaran, yaitu apa yang nyata tlah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu.

6. Teori yang menjelaskan bahwa jika melakukan X maka diikuti oleh Y

7. Proses yang panjang dalam periode waktu tertentu yang relative panjang (Hogwood dan Gunn, dalam Suhartono, 2009: 5).

Brigdman dan Davis (2004: 4-7)menerngkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan yakni:

Kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untul mencapai sebuah tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didisain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai kenstituen pemerintah.

2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal

Melalui kebijakan–kebijakan, pemerintah membuat ciri khas kewenangannya. Artinya, kompleksitas dunia politik disederhanakan menjadi pilihan-pilihan tindakan yang sah atau legal untuk mencapai ttujuan tertentu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik.

3. Kebijakan publik sebagai hipotesis

Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu menngandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan juga selalu memuat disinsetif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu.

2.4.2. Kebijakan Sosial

Kebijakan publik adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak (Bessant, Watts, dan Smith, dalam Suhartono, 2009: 10).

Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yaitu perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan. Berdasarkan

kategori ini, maka dapat ditanyakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan berbentuk perundang-undangan.

Kebijakan sosial sering kali melibatkan program-program bantuan yang sulit dilihat secara kasat mata. Karenanya,masyarakat luas kadang-kadang sulit mengenali kebijakan sosial dan membedakannya dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum kebijakan publik lebih luas daripada kebijkan sosial. Kebijakan Transportasi.Jalan raya,Air bersih,Pertahanan Dan Keamanan merupakan beberapa kebijakan publik. Sedangkan,kebijakan mengenai jaminan sosial,seperti bantuan sosial dan asuransi sosial yang umumnya diberikan bagi kelompok mikin atau rentat,adalah contoh kebijakan sosial (Suhartono,2009: 11-12).

Kebijakan sosial sejatinya merupakan kebijakan kesejahteraan (welfare policy), yakni kebijakan pemerintah yang secara khusus melibatkan program-program pelayanan sosial bagi kelompok-kelompok kurang beruntung yakni para pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial seperti keluarga miskin, anak terlantar, pekerja anak, korban HIV/AIDS, penyalahguna narkoba dan kelompok-kelompok rentan lainnya, baik secara ekonomi maupun psikososial. Setiap Negara memiliki perbedaan dalam mengkategorikan kebijakan public dan kebijakan sosial.

2.5. Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Menurut UU No.3 tahun 1992 Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari hasil yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia (Kansil, 1997: 25).

Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya risikorisiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.

Jaminan Sosial Tenaga Kerja memiliki beberapa aspek, yaitu:

1. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi tenaga kerja beserta keluarganya.

2. Merupakan penghargaan bagi tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikiranya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.

Berdasarkan ketentuan UU No 3 tahun 1992 pasal 6 , ruang lingkup program Jaminan Sosial Tenaga Kerja meliputi:

1. Jaminan Kecelakaan Kerja 2. Jaminan Kematian

3. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan 4. Jaminan Hari Tua

Pembiayaan jaminan sosial tenaga kerja ditanggung oleh perusahaan dan tenaga kerja sesuai dengan jumlah yang tidak memberatkan beban keuangan kedua belah pihak. Pembiayaan jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan pemeliharaan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan, karena perusahaan harus bertanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Sedangkan pembiayaan jaminan hari tua ditanggung bersama oleh pengusaha dan tenaga kerja karena merupakan penghargaan dari perusahaan kepada

tenaga kerjanya yang telah bertahun-tahun bekerja di perusahaan, dan sekaligus merupakan tanggung jawab tenaga kerja untuk hari tuanya sendiri.

Berdasarkan ketentuan pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun1992 tentang Jaminan Sosial Tenga Kerja memberi sanksi kepada perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan, antara lain:

1. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaiman dikenakan denda sebesar 2% untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya dibayar.

2. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaiman dimaksud dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dikenakan 1% dari jumlah jaminn sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, untuk setiap hari keterlambatan dan dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan (Kansil, 1997: 55-56).

Dokumen terkait