• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 Total Jumlah Bakteri (TPC) dan Kapang

Jumlah mikroba dalam suatu bahan pangan merupakan salah satu parameter mikrobiologis dalam menentukan layak atau tidaknya bahan pangan tersebut dikonsumsi. Analisis terhadap jumlah mikroba ditujukan untuk mengetahui jumlah total mikroba dalam suatu produk dan mengetahui tingkat pertumbuhannya selama penyimpanan. Jumlah mikroba dalam bahan pangan mempengaruhi cepat lambatnya kerusakan suatu bahan pangan. Pada dasarnya pertumbuhan sel mikroba dapat berlangsung tanpa batas, akan tetapi karena pertumbuhan sel mikroba berlangsung dengan mengkonsumsi nutrien sekaligus mengeluarkankan produk-produk metabolisme yang terbentuk, maka setelah waktu tertentu laju pertumbuhan akan menurun dan akhirnya pertumbuhan berhenti sama sekali. Berhentinya pertumbuhan dapat disebabkan karena berkurangnya beberapa nutrien esensial dalam medium atau karena terjadinya akumulasi aututuksin dalam medim atau kombinasi dari keduanya (Hasanah etal.

2012).

Hasil analisis ragam tempoyak non pasteurisasi menunjukkan bahwa jenis dan teknik pengemasan tidak berpengaruh sangat nyata terhadap TPC. Hal ini dikarenakan menjelang akhir kerusakan produk terjadi peningkatan jumlah mikroba yang lebih banyak dari pada tempoyak non pasteurisasi. Hasil analisis ragam tempoyak pasteurisasi menunjukkan bahwa jenis dan teknik pengemasan berpengaruh sangat nyata terhadap TPC. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tempoyak yang dikemas dengan teknik pengemasan vakum berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Oksigen merupakan nutrisi kunci untuk mikroba anaerob, biasanya ditemukan sebagai penyusun air selular dan komponen organik. Mikroba yang mendapatkan energi dari proses metabolisme, membutuhkan oksigen sebagai final oksigen atau elektron acceptor. Metabolisme yang menggunakan glukosa sebagai substratnya membutuhkan oksigen lebih banyak. Ketersediaan oksigen dalam proses fermentasi yang menggunakan glukosa sebagai substrat lebih terbatas karena terus digunakan secara cepat untuk proses metabolisme. Sehingga dapat dipahami jika dalam kondisi vakum jumlah bakteri lebih sedikit, dikarenakan ketersediaan oksigen tidak mencukupi sehingga proses metabolisme terganggu.

Gambar 19 menunjukkan bahwa TPC tempoyak pasteurisasi lebih rendah dari pada tempoyak non pasteurisasi. Total jumlah bakteri tempoyak pasteurisasi pada awal penyimpanan setelah difermentasi secara spontan adalah 177×104 dan meningkat menjadi 223×109, kemudian mengalami penurunan menjadi 182.3×103 cfu/g dengan rata-rata sebesar 155.58×108 Cfu/g. Total jumlah bakteri tempoyak non pasteurisasi pada awal penyimpanan sebesar 77.8×1019 Cfu/g dan turun menjadi 101.4×103 Cfu/g dengan rata-rata 84,31×1018 Cfu/g. Laju penurunan jumlah TPC pada tempoyak pasteurisasi dan non pasteurisasi dengan jenis kemasan PET dan teknik pengemasan MAP yaitu perlakuan PPM dan NPM berjalan lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Faktor penyebabnya sama dengan penjelasan pada Subbab 4.4.

TPC (Gambar 19) mengikuti nilai dari jumlah BAL (Gambar 17), apabila jumlah TPC lebih tinggi artinya ada mikroorganisme non BAL. Hal ini dikarenakan pada saat inokulasi media yang digunakan untuk TPC merupakan

media umum yang bisa ditumbuhi oleh semua bakteri, seperti BAL. Namun, pada akhir menjelang kerusakan produk total jumlah bakteri lebih besar dari pada jumlah bakteri asam laktat. Hal ini diduga media lingkungan untuk pertumbuhan BAL tidak menguntungkan lagi untuk bertahan hidup, seperti ketersediaan kadar gula sebagai sumber energi untuk pertumbuhan BAL mulai habis (Gambar 11). Hal demikian dapat menyebabkan sejumlah BAL mati. Wirawati (2002) melaporkan bahwa ketersedian BAL dalam tempoyak sangat penting, karena BAL mampu memproduksi bakteriosin, sebagai senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan perusak. Dengan demikian, apabila jumlah BAL sedikit atau habis maka dapat menyebabkan mikroorganisme perusak atau patogen dapat mengkontaminan produk tempoyak tersebut. Mikroorganisme perusak bahan pangan yang berada dalam tempoyak merupakan faktor utama penyebab terjadinya kerusakan. Wanniatie (2004) melaporkan bahwa kerusakan akibat aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme lebih berbahaya dibandingkan kerusakan-kerusakan lainnya. Kerusakkan tempoyak karena aktifitas mikroorganisme dapat mengakibatkan terbentuknya asam, gas, perombakkan protein dan lemak, perubahan bau, rasa dan warna yang tidak disukai. Hasil pengamatan total jumlah bakteri dari semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Jumlah bakteri tempoyak pasteurisasi dan non pasteurisasi dari

berbagai perlakuan selama penyimpanan. PNV, PPM, PPNM, PNNV, NPNM, NNV

NPM NNNV

Hasil identifikasi TPC dalam tempoyak ditemukan adanya bakteri

Staphylococcus sp, kapang Aspergillus niger dan Oidiodendran sp, dan khamir

Candida parapsilosis. Keberadaan mikroorganisme tersebut dapat memproduksi enterotoksin yang membahayakan kesehatan konsumen jika mengkonsumsi tempoyak. Berikut gambar mikroorganisme yang teridentifikasi, yaitu bakteri

Staphylococcus sp (Gambar 20), dan khamir Candida parapsilosis (Gambar 21) dankapang Oidiodendran sp (Gambar 23) dan Aspergillus niger (Gambar 24).

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 0 2 4 6 8 10 12 14 21 28 42 56 70 84 TPC (L og C fu/g )

Perbesaran 100x Perbesaran 1000x

Gambar 20 Staphylococcussp Gambar 21 Candida parapsilosis

Perbesaran 1000x Perbesaran 1000x

Gambar 22 Oidiodendran sp Gambar 23 Aspergillus niger

Kemungkinan pencemaran oleh mikroorganisme tesebut terjadi pada waktu pengemasan, pengangkutan atau penyimpanan. Selain itu, pada saat proses pasteurisasi, tempoyak dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kemasan kemudian dipasteurisasi. Pada saat pengisian tempoyak kedalam kemasan, kemungkinan terjadi pencemaran. Keberadaan bakteri Staphylococcus sp atau kapang dalam tempoyak bisa berasal dari alat -alat yang digunakan pada saat pengolahan dan pengemasan. Sifat bakteri Staphylococcus sp adalah gram positif, koagulase positif dan fakultatif anaerob. Pada keadaan anaerob Staphylococcus sp akan menghasilkan asam laktat yaitu suatu produk fermentasi glukosa sedangkan pada keadaan aerob menghasilkan asam asetat. Adanya Staphylococcus sp dalam makanan akan membahayakan kesehatan konsumen. Hal ini disebabkan karena kemampuan bakteri tersebut dapat memproduksi enterotoksin yang mengakibatkan keracunan makanan. Sedangkan kapang yang ditemukan dalam penelitian ini Aspergilus niger yang tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan, namun merupakan jenis organisme yang dapat menyebabkan kebusukan produk pangan (Buckle et al. 2010).

Kapang yang dominan ditemukan dalam penelitian ini adalah spesies

Aspergillus niger. Dalam metabolisme, Aspergilus niger dapat memproduksi asam organik lemah seperti asam sitrat, asam glukonat dan asam oksalat. Secara biokimia kapang bersifat aktif karena merupakan organisme saprofitik. Organisme ini dapat memecah bahan-bahan organik kompleks menjadi yang lebih sederhana.

Aspergillus merupakan mikroorganisme yang menghasilkan enzim hidrolitik seperti amilase, pektinase, protease, dan lipase yang dapat menyebabkan kapang dapat tumbuh pada makanan yang mengandung pati, pektin, protein, dan lipid. Kapang tumbuh baik pada kondisi aerob (Mulia 2014). Jumlah kapang tempoyak pasteurisasi pada awal penyimpanan tidak teridentifikasi, namun diperoleh jumlah

kapang sebanyak 3.67×101 cfu/g pada lama penyimpanan hari ke-8 dan meningkat menjadi 60,33×101 cfu/g dengan rata-rata 9,54×101 cfu/g. Sedangkan kapang pada tempoyak non pasteurisasi ditemukan pada hari ke-4 sebesar 2.33×101 dan meningkat hingga 143×102 Cfu/g dengan rata-rata sebesar 122,38×101 cfu/g.

Hasil analisis ragam tempoyak pasteurisasi dan non pasteurisasi menunjukkan bahwa jenis dan teknik pengemasan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah kapang. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tempoyak yang dikemas dengan teknik pengemasan non MAP dan non vakum berbeda nyata dengan perlakuan tempoyak yang dikemas dengan teknik MAP dan vakum. Hasil pengamatan jumlah kapang dari semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24 Jumlah kapang pada tempoyak pasteurisasi dan non pasteurisasi dari

berbagai perlakuan selama penyimpanan. PNV, PPM, PPNM, PNNV, NPNM, NNV

NPM, NNNV

Gambar 24 menunjukkan bahwa tempoyak pada perlakuan teknik pengemasan non MAP dan non vakum yaitu NPNM, NNNV, PPNM dan PNNV, lebih cepat ditumbuhi kapang. Namun, dari keempat perlakuan tesebut, jumlah kapang tempoyak non pasteurisasi lebih tinggi dari tempoyak pasteurisasi. Hal ini dikarenakan pada keempat perlakuan tersebut tempoyak disimpan dalam kondisi aerob, dimana dalam kondisi aerob pertumbuhan kapang akan tumbuh dengan baik. Murni et al. (2011) melaporkan bahwa kapang merupakan mikroorganisme yang termasuk kedalam golongan aerob. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang adalah oksigen dan kadar air. Konsentrasi oksigen yang tinggi dan didukung kadar air yang cukup merupakan faktor pertumbuhan kapang yang baik. Sebaliknya, Oksigen yang rendah dan kadar air berlebih dapat menyebabkan pertumbuhan kapang terhambat.

4.6 Warna

Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Suatu bahan makanan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan

-1 0 1 2 3 4 5 0 2 4 6 8 10 12 14 21 28 42 56 70 84 Juml ah ka pa ng (L og C fu/g )

dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan menyimpang dari warna yang seharusnya. Tempoyak memiliki warna sama seperti warna daging buah durian umumnya yaitu putih kekuningan hingga orange. Selain itu cita rasa dan aroma tempoyak sangat khas dan kuat, yang terbentuk karena keseimbangan antara komponen gula dari buah dan asam laktat yang terbentuk selama fermentasi.

Tabel 6 menunjukkan bahwa secara fisik dapat dilihat semakin lama penyimpanan, warna tempoyak akan terus berubah dari putih kekuningan hingga menjadi kecoklatan. Namun, warna tempoyak pasteurisasi lebih cepat mengalami perubahan dari pada tempoyak non pasteurisasi. Hal ini disebabkan pada tempoyak pasteurisasi mengalami pemanasan. Tempoyak tersusun dari komponen protein dan gula pereduksi. Apabila gula pereduksi dan gugus amino dari protein mengalami panas maka akan terjadi pencoklatan non enzimatis atau disebut dengan reaksi maillard. Reaksi maillard adalah rekasi pencoklatan non enzimatis yang terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin bebas dari asam amino atau protein, akibat dari proses pemanasan atau tersimpan dalam waktu yang lama (Rosida et al. 2004).

Reaksi Maillard dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap awal dimana terbentuk glikosilamin dan Amadori Rearrangement Product (ARP), tahap intermediet dimana terjadi dekomposisi ARP dan degadasi strecker, dan tahap akhir dimana terjadi perubahan senyawa karbonil (furfural, produk fisi, dehidroredukton atau aldehid hasil degadasi strecker) menjadi senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi. Produk degadasi ARP selama pemanasan adalah hidroksimetil furfural (HMF) yang terbentuk melalui jalur tiga deoksiglukoson yang merupakan prekursor dalam pembentukan melanoidin. Tahap akhir dari reaksi Maillard ini menghasilkan pigmen-pigmen melanoidin yang berwarna coklat. HMF atau furfural, dehidro-redukton maupun produk-produk fisi yang dihasilkan pada tahap intermediet dapat membentuk aldol dan polimer tanpa N. Aldol kemudian terkondensasi dan dengan adanya senyawa amino akan membentuk melanoidin. Begitu juga dengan HMF atau furfural, dehdro redukton, aldehid serta produk-produk fisi dapat secara langsung bereaksi dengan senyawa amino menghasilkan melanoidin. Reaksi maillard dapat menurunkan kandungan asam amino esensial, penurunan mutu bahan pangan, pembentukkan komponen toksik dan mutagenik dalam bahan pangan (Rosida et al. 2004). Lebih lanjut Dedin et al. (2006) melaporkan bahwa adanya asam laktat, asam asetat, asam suksinat, asam piroglutamat, dan asam format juga mempengaruhi pembentukkan warna. Reaksi pencoklatan non enzimatis merupakan fenomena yang sering dijumpai pada penyimpanan bahan makanan maupun pengoalahan makanan. Reaksi ini berkontribusi dalam pembentukan warna (melanoidin) dan flavour.

Selain itu Zuhra (2006) dan Muhdarsyah (2007) melaporkan bahwa konsentrasi oksigen yang tinggi dan kondisi anaerob pada produk pangan dapat menyebabkan terjadinya oksidasi udara, sehingga mempercepat terjadi browning pada produk. Pada Tabel 6 dapat dilihat warna tempoyak pada kondisi aerob (perlakuan NPNM, NNNV, PPNM, PNNV) dan anaerob (perlakuan PNV dan NNV) dengan lama penyimpanan 14 hingga 28 hari sudah mengalami perubahan warna dari putih kekuningan menjadi orange kecoklatan. Sedangkan, tempoyak dalam kondisi anaerob fakultatif (perlakuan PPM dan NPM) mengalami perubahan warna lebih lambat yaitu dengan lama penyimpanan 56 hingga 84 hari.

Hasil pengamatan terhadap warna tempoyak pasteurisasi dan non pasturisasi dapat dilihat pada Tabel 6, Gambar 25 dan Gambar 26.

Tabel 6 Hasil pengamatan warna tempoyak pasteurisasi dan non pasteurisasi dari berbagai perlakuan selama penyimpanan

Lama penyimpan- an (Hari) Kode Sampel PPM PPNM PN V PNNV NPM NPNM NN V NNN V 0 A A A A A A A A 2 A A A A A A A A 4 A A A A A A A A 6 A A A A A B A A 8 A B B B A B A A 10 A B B B A C B B 12 A C B B A C B C 14 A C B C B D C C 21 B D C D B - C D 28 B E D E C - D - 42 B - E - C - - - 56 C - - - D - - - 70 C - - - - 84 D - - - -

Keterangan: Warna putih kekuningan (A), warna kuning (B), warna kuning keorange (C), warna orange kecoklatan (D), warna coklat (E) dan warna coklat kehitaman (-)

A B C D E

Gambar 25 Perubahan warna tempoyak pateurisasi dari berbagai perlakuan selama penyimpanan. Warna putih kekuningan (A), warna kuning (B), warna kuning keorange (C), warna orange kecoklatan (D), dan warna coklat (E)

A B C D

Gambar 26 Perubahan warna tempoyak non pateurisasi dari berbagai perlakuan selama penyimpanan. Warna putih kekuningan (A), warna kuning (B), warna kuning keorange (C), dan warna orange kecoklatan (D)

Perubahan warna coklat pada tempoyak mengindikasikan bahwa produk tersebut mengalami penurunan mutu atau terjadi kerusakan yang diduga akibat adanya reaksi oksidasi dan reaksi maillard. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yuliana (2007a) bahwa tempoyak yang masih baru berwarna cerah dari putih sampai ke kuningan hingga orange namun tempoyak yang telah lama akan berwarna kecoklatan sebagai akibat reaksi oksidasi. Standar warna tempoyak ditentukan oleh warna asli daging durian umumnya (putih, kuning dan orange), yang umumnya bergantung dari varietas durian. Umur simpan tempoyak juga ditentukan oleh warna tempoyak (Sukowaty 2007).

4.7 Alkohol

Semakin lama waktu fermentasi, kemampuan khamir atau bakteri heterofermentatif memecah substrat atau glukosa yang ada akan semakin besar untuk memperbanyak diri, sehingga kemampuan untuk menghasilkan alkohol semakin besar (Kunepah 2008). Jenis mikroba sangat berpengaruh terhadap lama fermentasi dan alkohol yang dihasilkan (Ghali et al. 2003). Leary et al. (2004) melaporkan bahwa dalam 72 jam Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan alkohol hingga 2.00%, sedangkan Kluyveromyces fragilis membutuhkan waktu hingga satu minggu untuk dapat memproduksi etanol hingga 2.00%. Pembentukkan alkohol terjadi karena adanya enzim yang dihasilkan oleh khamir dan bakteri. Prosesnya adalah glukosa akan masuk dalam tahap glikolisis menghasilkan asam piruvat dengan bantuan ATP. Asam piruvat yang dihasilkan secara anaerobik akan terjadi pelepasan energi untuk menghasilkan asam laktat, etanol, asam asetat, dan CO2 (Utama et al. 2013).

Bau khas yang dikeluarkan oleh durian diantaranya disebabkan oleh senyawa alkohol yang meningkat seiring dengan kematangan buah. Alkohol dapat

dihasilkan dari produk fermentasi dari asam α-keto yang ditemukan melalui biosentesis atau dari pemecahan asam amino. Berikut Tabel 7 hasil analisa alkohol pada akhir kerusakan tempoyak.

Tabel 7 Hasil analisis kandungan alkohol pada tempoyak pasteurisasi dan non pasteurisasi dari semua perlakuan selama penyimpanan

Waktu pengamatan

(Hari)

Kode sampel Hasil analisis alkohol Satuan Metanol Etanol 31 NPNM 0.03 3.93 % b/b 21 NNNV 0.04 1.10 % b/b 21 PNNV n.d 0.35 % b/b 21 PPNM n.d 0.41 % b/b 28 NNV n.d 0.52 % b/b 28 PNV 0.004 0.23 % b/b 56 NPM n.d 0.61 % b/b 84 PPM 0.02 0.32 % b/b

Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar alkohol pada perlakuan NPNM dan NNNV diperoleh berturut-turut yaitu 3.93% pada lama penyimpanan 31 hari dan 1.10% pada lama penyimpanan 21 hari. Perlakuan NPNM dan NNNV merupakan aplikasi tempoyak yang ada dimasyarakat hingga sekarang. Peningkatan produksi alkohol diikuti dengan penurunan nilai pH. Hal ini dapat dilihat selama penyimpanan tempoyak non pasteurisasi menghasilkan kandungan alkohol lebih tinggi dengan nilai pH lebih rendah, sedangkan tempoyak pasteurisasi menghasilkan kandungan alkohol lebih rendah dengan nilai pH lebih tinggi (Gambar 14). Tingginya kandungan alkohol pada tempoyak non pasteurisasi dikarenakan jumlah BAL lebih banyak (Gambar 17) dan ditemukan sejumlah khamir, yang diduga memiliki kemampuan menghasilkan alkohol lebih besar.

Kadar alkohol dalam tempoyak diharapkan sedikit yaitu kurang dari 1.00%. Kadar alkohol yang tinggi dapat mempengaruhi rasa yang tidak enak pada tempoyak. Pada tempoyak pasteurisasi diperoleh kadar alkohol lebih rendah dari tempoyak non pasteurisasi. Kadar alkohol tempoyak pasteurisasi dari berbagai perlakuan kurang dari 1.00%.

Dizon (2002) melaporkan bahwa bakteri asam laktat mempunyai peranan esensial hampir dalam semua proses fermentasi produk. Peran utama BAL dalam industri makanan adalah untuk pengasam bahan mentah dengan memproduksi sebagian besar asam laktat (bakteri homofermentatif), asam asetat, etanol dan CO2 (bakteri heterofermentatif). BAL yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah genus Lactobacillus dari kelompok heterofermentatif seperti spesies L. fermentum, L. casei dan L. plantarum yang merupakan bakteri penghasil metabolit berupa alkohol. Selain itu pada penelitian ini juga banyak ditemui mikroorganisme berupa khamir. Menurut Hasanah et al (2012) bahwa khamir mempunyai kemampuan untuk memecah pangan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida. Khamir mempunyai sekumpulan enzim yang diketahui sebagai

zymase yang berperan pada fermentasi senyawa gula, seperti glukosa menjadi etanol dan karbondioksida.

Dokumen terkait