• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Analisis filtrat rumput laut

3) Total serat makanan

Gambar 15. Nilai rata-rata serat makanan tidak larut air nata de cottonii dari

perlakuan konsentrasi DAP dan asam asetat glasial; n=3

Gambar 15 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi DAP dan asam asetat glasial memberikan pengaruh yang berbeda nyata (lampiran 4 h) terhadap serat makanan tidak larut air nata de cottonii. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rata-rata serat makanan tidak larut air tertinggi dimiliki oleh nata de cottonii dengan konsentrasi DAP 0,75 % dan asam asetat 0,75 % yaitu sebesar 3,24 % yang berbeda nyata dengan semua perlakuan terhadap nata de cottonii kecuali nata dengan perlakuan DAP 0,5 % dan asam asetat 1,25 %. Jumlah serat makanan tidak larut air pada nata ini lebih tinggi dibandingkan dengan nata de coco sebesar 1,69 %. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis bahan bakunya pula.

3) Total serat makanan

Nata de cottonii dengan penambahan DAP 0,75 % (w/v) dan asam asetat glasial 0,75 % (v/v) memiliki nilai total serat makanan tertinggi, yaitu sebesar 4,02 %. Nata de cottonii dengan konsentrasi DAP 0,25 % (w/v) dan konsentrasi asam asetat glasial 0,75 % (v/v) memiliki nilai total serat makanan terendah, yaitu sebesar 3,11. Nilai rata-rata (tiga ulangan) total serat makanan dengan perlakuan konsentrasi DAP dan asam asetat glasial dapat dilihat pada Gambar 16.

  Gambar 16. Nilai rata-rata total serat makanan nata de cottonii dari

perlakuan konsentrasi DAP dan asam asetat glasial; n=3

Gambar 16 menunjukkan bahwa penambahan DAP dan asam asetat glasial memberikan pengaruh yang berbeda nyata (lampiran 4 i) terhadap total serat makanan nata de cottonii. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rata-rata total serat makanan tertinggi dimiliki oleh nata de cottonii dengan konsentrasi DAP 0,75 % dan asam asetat glasial 0,75 % yaitu sebesar 4,02 % yang berbeda nyata dengan semua perlakuan terhadap nata de cottonii kecuali nata dengan perlakuan DAP 0,5 % dan asam asetat 1,25%.

(b) Kadar air

Air yang terdapat pada nata berasal dari mediumnya. Air yang terdapat pada medium setelah fibril serat-serat selulosa terbentuk akan terperangkap di dalamnya sehingga membentuk seperti gel. Faktor lain yang turut menentukan kadar air nata adalah jumlah gula yang ditambahkan. Semakin banyak gula yang ditambahkan, maka kadar air nata akan semakin besar. Gula akan memperlonggar serat yang ada dalam nata sehingga banyak air yang terperangkap. Nilai gizi nata sangat rendah sekali karena kandungan terbesarnya adalah air yang mencapai 98 %. Karena itu produk ini dapat dipakai sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet.

Nata de cottonii dengan konsentrasi DAP 0,25 % (w/v) dan asam asetat glasial 1,25 % (v/v) memiliki nilai kadar air tertinggi, yaitu sebesar 96,41 %. Nata de cottonii dengan konsentrasi DAP 0,75 % (w/v) dan asam asetat glasial 1 % (v/v) memiliki nilai kadar air terendah, yaitu sebesar 94,51. Nilai rata-rata (tiga

ulangan) kadar air dengan perlakuan konsentrasi DAP dan asam asetat glasial dapat dilihat pada Gambar 17.

  Gambar 17. Nilai rata-rata kadar air nata de cottonii dari perlakuan

konsentrasi DAP dan asam asetat glasial; n=3

Gambar 17 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi DAP dan asam asetat glasial memberikan pengaruh yang berbeda nyata (lampiran 4 j) terhadap kadar air nata de cottonii. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rata-rata total kadar air tertinggi dimiliki oleh nata de cottonii dengan konsentrasi DAP 0,25 % dan asam asetat glasial 1,25 % yaitu sebesar 95,41 %. Tingginya kadar air pada nata mengindikasikan bahwa air merupakan kandungan utamanya.  

5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Euchema cottonii dapat dijadikan sebagai alternatif bahan baku dalam pembuatan nata. Hasil penelitian tahap pertama terhadap perbandingan rumput laut dan air yang terbaik dalam pembuatan nata de cottoni ini adalah 1:60 dengan jumlah starter sebanyak 10 % (v/v) yang menghasilkan nilai rendemen sebesar 24,25 %.

Terdapat perbedaan tingkat penerimaan panelis terhadap parameter uji organoleptik (penampakan dan tekstur), sedangkan terhadap parameter warna, rasa dan aroma tidak terdapat perbedaan penerimaan panelis terhadap nata de cottonii. Panelis cenderung menyukai nata dengan konsentrasi DAP 0,25 % (w/v) dan asam asetat glasial 0,75 % (v/v).

Kombinasi perlakuan DAP dan asam asetat glasial berpengaruh nyata terhadap sifat fisik (rendemen, ketebalan, kekenyalan dan derajat putih) dan sifat kimia nata de cottonii (serat makanan larut air, serat makanan tidak larut air, total serat makanan dan kadar air,).

Nata de cottonii mengandung total serat makanan berkisar antara 3,11 - 4,02 % sesuai dengan kadar serat makanan nata berdasarkan standar mutu

nata dalam kemasan yaitu maksimum 4,5 %. Berdasarkan hasil tersebut maka nata de cottonii dapat dijadikan sebagai pangan sumber serat.

Nata de cottonii yang disukai oleh panelis memiliki karakteristik sebagai berikut : memiliki ketebalan 0,28 cm, rendemen 15,82 %, kekenyalan 430,05 g/mm, derajat putih 37,90 %, serat makanan larut air 0,79 %, serat makanan tidak larut air 2,32 % dan total serat makanan 3,11 dengan kadar air 94,77 %.

5.2 Saran

Perlu dilakukan perbandingan dari antara nata de cottonii dengan nata de coco sebagai kontrol dari segi fisik, kimia dan organoleptik. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang kebutuhan nutrisi (karbon dan nitrogen) Acetobacter xylinum yang optimal dalam proses pembuatan nata de cottonii.

Afrianto E, E. Liviawati. 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Jakarta : Bhratara.

Alaban CA. 1962. Studies on The Optimum Conditions for ‘nata de coco’ Bacterium or ‘nata’ Formation in Coconout Water. Phillipine Agriculture. 45 : 490-515.

[Anonim] Nata De Coco yang Kaya Serat http://www.suaramerdeka.com/ harian/0708/06/ragam03.htm.[Senin 06 Agustus 2007]

[Anonim] http://images.google.co.id/images?gbv=2&ndsp=20&hl=id&q= Kappa- phycus +alvarezii+doty&start=0&sa=N [2 Februari 2009].

[Anonim] http://www.goarticles.com/cgi-bin/showa.cgi?C=829949 [2 Februari 2009]

[Anonim] http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=8&id=849 [2 februari 2009] [Anonim] Air Kelapa dan manfaatnya. http://dapursehatmarina.blogspot.com/

2006/10/air-kelapa-dan-manfaatnya.html [3 Oktober 2006]

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis.Washington DC.

Apit S. 2007. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Amonium Sulfat Terhadap Mutu Nata Gracillaria sp. [Skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Arsatmojo E. 1996. Formulasi pembuatan nata de pina [Skripsi] Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.

Astawan M, Palupi NS. 1991. Serat Makanan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta. Puslitbang. Oseanologi-LIPI.

[BPPMHP] Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2005. Laporan pengembangan produk bernilai tambah bandeng tanpa duri dan nata agar. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

[BPP2HP] Balai Besar Pengembangan dan pengendalian Hasil Perikanan. 2006. Laporan pengembangan produk bernilai tambah bandeng tanpa duri dan nata agar. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1996. SNI 01-4317-1996 tentang Syarat Mutu Nata dalam Kemasan.

Buckle KA, RA Edwards, GH Fleet, M Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta : UI Press. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Pesona rumput laut sebagai sumber devisa. http//www.dkp.go.id [26 Juli 2008]

Dimaguilla LA. 1967. Nata de coco 2. Chemical Nature and Properties of Nata. Philippine Agriculture. Volume 51 [FAO] Food and Agriculture

Organization. 2006. Food Additive.

http://www.fao.org/ammoniumsulphate/food_additive/ [7 Februari 2007]

Faisal A. 2002. Serat Buah dan Sayur. Majalah Senior edisi no. 156 Juli 2002. Fardiaz, Wijandi S. 1985. Dasar Pengawasan Mutu Hasil Pertanian. Fakultas

Teknologi Pertanian.. IPB. Bogor

Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids, Volume II. New York: CRC Press. Inc. Herman AS. 1979. Pengolahan air kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi

Pangan Indonesia. 1 (1/120): 9-17.

Hubeis M. 1985. Penuntun Praktikum Pengawasan Mutu Pangan. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, Institut Pertanian Bogor.

Indriani H, Emi S. 1999. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya.

Irwansyah. 2003. Kajian analisis serat makanan. http://www.knowledgebank.irri.org/regionalsites/Indonesia/docs/serat/

kasar.pdf [2 Desember 2005].

Isti. 2005. Pengembangan Produksi Bernilai Tambah Bandeng Tanpa Duri dan Nata Agar. Jakarta : Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan.

Laily N, Istini S, Nurani D. Pengaruh pasca panen terhadap kekenyalan dan kekerasan selulosa bakteri nata de soya. J. Sains dan Teknologi Indonesia V5, N5 Agustus 2003. Hal.151-155/Humas-BPPT/ANY. Lapuz MM, EG Gallardo, MA Palo. 1967. The Nata Organism Cultural.

Requirements Characteristic and Identity. The Philipine, J of Science. Vol, 96 (2) : 91-107

Mashudi. 1993. Mempelajari Pengaruh Penambahan amonium sulfat dan waktu penundaaan bahan baku air kelapa terhadap laju pertumbuhan dan struktur gel nata de coco [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Noor DZ. 1991. Pengaruh Senyawa Hidroksid dan Usia Tanam terhadap Kualitas Bahan Baku Rumput Laut. Prosiding Temu Karya Ilmiah Teknologi Pascapanen Rumput Laut ; Jakarta.

Pambayun, Rindit. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de coco. Yogyakarta.: Kanisius

Ryan m. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/mikrobiologi/ laporan-pengolahan-nata-de-coco[19 April 2008]

Santoso J, Yumiko Y, Takeshi S. 2004. Mineral, fatty acid and dietary fiber compositions in several Indonesian seaweeds. J.Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11:45-51.

Saragih PY. 2004. Membuat Nata De Coco. Jakarta : Puspa Swara.

Siagian A. 2003. Tentang Serat Makanan. http://www.kompas.co.id/ kesehatan/news/0306/12/100654.htm (5 Juli 2005).

Soekarto TS. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.

---. 1990. Dasar-dasar Pengolahan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Soeseno S. 1984. Sari kelapa. Majalah Intisari No. 246: 54-61. Januari. Jakarta Sri RS. 1992. Faktor-faktor yang mempengaruhi nata sari buah tomat [Skripsi].

Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Steel RGD dan Torrie JH. 1989. Prinsip-prinsip dan prosedur statistika. Soemantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan dan Marliyati SA. 1993. Metode Analisis Komposisi Zat Gizi Makanan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Tekfar. http://keluargamustafa.wordpress.com/2008/06/17/nata-de-soya/[17 Juni 2008]

Thimann, Kenneth V. 1964. The Life of Bacteria. Phillipine. Mac. Millan Co, NewYork.

Widia IW. 1984. Mempelajari Pengaruh Penambahan Skim Milk Kelapa Jenis Gula dan Mineral dengan Berbagai Konsentrasi pada Pembuatan Nata de Coco [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, Institut Pertanian Bogor.

Winarno FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

__________. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Yoneda. 2003. Pemanfaatan whey keju dalam pembuatan nata de whey dengan penambahan amonium sulfat dan glukosa [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lampiran 1. Bahan dan alat pembuatan nata de cottonii I. Bahan-bahan

(a) Rumput laut Eucheume cottonii

(c) Sukrosa dan Dimetil Amino Phospat (DAP)

II. Alat-alat membuat nata de cottonii

Dokumen terkait