• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan batas keamanan pangan dilakukan dengan cara melakukan uji total

Staphylococcus aureus pada bakso daging yang telah ditambah dengan serbuk kayu siwak sebanyak 10% (b/b).Penyimpanan bakso daging dilakukan pada kondisi suhu ruang dan pada udara terbuka selama uji tersebut berlangsung. Mengacu pada SNI No. 08-7388 Tahun 2009, jumlah maksimal total mikroba pada bakso yang layak untuk dikonsumsi sebesar 1.0 x 102 cfu/g.

Pada uji total Staphylococcus digunakan dua variabel penelitian, yaitu variabel A dan variabel K. Variabel A merupakan bakso daging yang diberi penambahan ekstrak serbuk siwak sebanyak 10% (b/b). Penentuan konsentrasi serbuk siwak 10% (b/b) berdasarkan mutu organoleptik yang dihasilkan pada produk akhir bakso daging. Pada konsentrasi 10% (b/b) tekstur bakso menjadi keras dan penampakan luar bakso kering sehingga tidak memungkinkan dilakukan penambahan konsentrasi pada bakso daging.

Variabel K merupakan variabel kontrol yang tidak diberi penambahan ekstrak serbuk siwak sama sekali. Pada tiap-tiap variabel dibedakan menjadi dua perlakuan juga, yaitu perlakuan A1, A2, K1, dan K2 sehingga terdapat empat perlakuan yang berbeda pada uji total Staphylococcus aureus.

Perlakuan A1 adalah bakso daging yang ditambah dengan serbuk kayu siwak 10% (b/b) dan diberi cemaran Staphylococcus aureus 105 cfu/mL selama 1 menit. Kemudian perlakuan A2 adalah bakso daging yang ditambah dengan serbuk kayu siwak 10% (b/b) tanpa diberi cemaran bakteri Staphylococcus aureus.

Perlakuan K1 merupakan perlakuan kontrol yang tidak diberi penambahan serbuk kayu siwak namun diberi cemaran bakteri Staphylococcus aureus 105 cfu/mL selama 1 menit. Terakhir adalah perlakuan K2, perlakuan bakso kontrol yang tidak diberi penambahan serbuk kayu siwak dan tidak diberi cemaran bakteri Staphylococcus aureus. Penambahan bakteri tersebut bertujuan untuk mempertinggi jumlah koloni Staphylococcus aureus pada bakso karena sesuai SNI jumlah maksimum bakteri tersebut hanya 1.0 x 102koloni/gram. Jumlah tersebut tergolong rendah jika digunakan sebagai jumlah bakteri awal pada bakso dalam perhitungan persentase penurunan jumlah bakteri. Jika suatu ekstrak mempunyai aktivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri maka jumlah koloni bakteri akan menjadi lebih rendah daripada jumlah bakteri awal sehingga jika jumlah koloni Staphylococcus aureus terlalu rendah hingga tidak masuk dalam kisaran nilai perhitungan koloni yang dipersyaratkan oleh BAM (2011), yaitu 20-200 maka jumlah koloni tidak dapat dihitung secara pasti. Hal tersebut akan mempersulit dalam melakukan penghitungan penurunan jumlah bakteri secara pasti. Penurunan jumlah bakteri pada uji ini ditentukan dengan cara menghitung persentase selisih jumlah bakteri awal Staphylococcus aureus pada saat 0 jam dengan jumlah bakteri tersebut setelah 6 jam dibiarkan di suhu ruang dibagi dengan jumlah bakteri awal saat 0 jam.

Bakso tersebut dianalisis dengan metode total Staphylococcus selama 6 jam dengan interval antar pencawanan adalah 3 jam, yaitu pada jam ke-0, 3, dan 6. Hasil log total Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 15.

Keterangan : A1 = + siwak dengan cemaran S.aureus, A2 = +siwak tanpa cemaranS.aureus, K1 =kontrol dengan cemaran S.aureus, K2 = kontrol tanpa cemaran S.aureus

Gambar 15. Grafik total Staphylococcus aureus bakso daging pada penyimpanan suhu ruang selama 6 jam

Dari Gambar 15. dapat dilihat bahwa pada perlakuan A1, log jumlah bakteri awal pada jam ke-0 adalah 3.79 log cfu/g atau setara dengan 6.1 x103 koloni/g. Jumlah log mikroba tersebut menurun ketika dilakukan analisis pada jam ke-3 yaitu sebanyak 3.66 log cfu/g atau setara dengan 4.5 x 103 koloni/g. Penurunan ini tidak signifikan karena pada perlakuan A1 bakso yang dianalisis dicelup ke dalam bakteri Staphylococcus aureus sebelumnya, sehingga aktivitas antimikroba serbuk siwak tidak mampu menurunkan jumlah bakteri secara signifikan sebanyak satu log. Namun, pada perlakuan A1 mampu menurunkan jumlah bakteri sebesar 26.22 % pada penyimpanan selama 3 jam.Hal tersebut membuktikan bahwa serbuk siwak yang ditambahkan ke dalam adonan bakso mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada penyimpanan selama 3 jam. Kemudian pada pengamatan jam ke-6 log jumlah bakteri tersebut bertambah menjadi 4.10 log cfu/g atau setara dengan 1.2 x 104 koloni/g. Presentase pertumbuhan pada jam ke-6 sebesar 96.72 % dari jumlah mikroba awal atau pada penyimpanan jam ke-0.

Pada perlakuan A2, yaitu perlakuan dengan penambahan serbuk kayu siwak dengan konsentrasi 10% (b/b) tanpa pencelupan ke dalam bakteri Staphylococcus aureus, hasil log jumlah mikroba pada jam ke-0 sebanyak 3.50 log cfu/g atau setara dengan 3.16 x 103 koloni/g. Hasil log jumlah mikroba pada jam ke-3 mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar satu log menjadi 2.77 log cfu/g atau setara dengan 5.7 x 102 koloni/g. Data tersebut menunjukkan bahwa serbuk kayu siwak yang ditambahkan pada bakso daging mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus serta mampu menurunkan jumlah bakteri pada bakso tersebut hingga satu log. Persentase penurunan jumlah bakteri dari jam ke-0 hingga jam ke-3 adalah sebesar 81.96%. Namun pada pengamatan jam ke-6, log jumlah mikroba tersebut kembali naik hingga mencapai 3.95 log cfu/g atau setara dengan 8.9 x 103 koloni/g. presentase pertumbuhan bakteri selama 6 jam terhitung dari pengamatan jam ke-0 adalah sebesar 181.64%.

Gambar 16. Hasil pencawanan total Staphylococcus aureus jam ke-6

Dari data tersebut dapat dilihat fluktuasi log jumlah mikroba bakso daging yang menunjukkan penurunan log jumlah mikroba pada jam ke-0 hingga jam ke-3 kemudian log jumlah mikroba tersebut kembali meningkat pada jam ke-3 hingga jam ke-6. Jika dilihat dari Gambar 15. maka dapat terlihat dengan jelas fluktuasi pertumbuhan mikroba tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa serbuk kayu siwak yang ditambahkan ke dalam bakso daging tersebut hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri selama 3 jam penyimpanan saja pada suhu ruang dan dalam keadaan terbuka. Setelah itu aktivitas antimikroba serbuk siwak akan berkurang dan bakteri yang terdapat pada bakso daging pun akan berkembang sehingga jumlahnya akan meningkat.

Menurut Prescott et al (2003), penghambatan terhadap bakteri dapat bersifat bakterisidal ataupun bakteristatik. Bakteristatik artinya dapat menghambat pertumbuhan secara cukup signifikan dan bila bahan penghambat dihilangkan maka bakteri akan pulih dan dapat tumbuh kembali. Kondisi tersebut secara umum sama seperti bakso perlakuan A1 dan A2 karena pada tiga jam pertama jumlah bakteri yang terdapat pada bakso daging tersebut menurun secara cukup signifikan hingga 81.96% dari jumlah mikroba awal pada jam ke-0. Namun, jumlah tersebut kembali meningkat selama penyimpanan hingga 6 jam. Penggunaan ekstrak kayu siwak dalam bahan pangan memang belum diketahui secara pasti efektivitasnya dan belum ada penelitian yang mencoba untuk mengaplikasikan ekstrak kayu siwak pada bahan pangan, sehingga tidak dapat dipastikan apakah ekstrak tersebut benar-benar efektif sebagai bahan antimikroba pada bahan pangan dalam menghambat pertumbuhan mikroba tersebut.

Baik bakso perlakuan A1 maupun bakso perlakuan A2 menunjukkan aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri pada 3 jam pertama. Hal tersebut menunjukkan bahwa serbuk siwak yang ditambahkan ke dalam adonan bakso sebanyak 10% (b/b) mampu menekan laju pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Namun, selama penyimpanan 6 jam jumlah bakteri meningkat pada kedua perlakuan. Hal ini disebabkan karena bakteri Staphylococcus aureus

cepat dan konstan, dimana pertambahan jumlahnya mengikuti kurva logaritmik (Fardiaz dalam Savitri, 2009).

Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada aw optimum 0.990-0.995 dan memiliki suhu

optimum untuk pertumbuhan yaitu 35-38oC (Jay, 2000). Keberadaan bakteri Staphylococcus aureus dalam bahan pangan perlu diwaspadai karena dapat memproduksi enterotoksin yang tahan panas (Fardiaz, 1992). Jumlah Staphylococcus aureus yang tinggi (106 cfu/g) dapat menghasilkan enterotoksin yang dapat menyebabkan intoksikasi pangan dan diperkirakan sekitar 106 sel bakteri

Staphylococcus aureus yang terdapat di dalam setiap gram makanan dapat menyebabkan gejala keracunan. Populasi total Staphylococcus aureus pada bakso perlakuan maupun kontrol ini tidak sesuai dengan yang ditetapkan SNI 01-3818 Tahun 1995 yaitu 1 x 102 cfu/g sehingga populasi

Staphylococcus aureus pada bakso telah melebihi ambang batas maksimum yang ditetapkan dalam SNI.Lama penyimpanan memiliki peran yang penting terhadap total Staphylococcus aureus, hal ini dapat terlihat dari jumlah mikroba yang meningkat seiring dengan semakin lama waktu penyimpanan pada suhu ruang (±28oC) yang menguntungkan bakteri untuk dapat tumbuh dan berkembang pesat. Menurut Fardiaz (1992) suhu dimana suatu makanan disimpan sangat besar pengaruhnya terhadap jasad renik yang dapat tumbuh serta kecepatan pertumbuhannya. Jenis bakteri yang dapat tumbuh pada suhu ruang adalah bakteri mesofilik, menurut Suparno (1998) bakteri ini dapat tumbuh baik pada temperatur 25-40oC.

V. SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait