• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Toxoplasma gondii

2.4.1 Morfologi dan Daur Hidup

Toxoplasma gondii adalah parasit obligat intraselular yang menyebabkan

toxoplasmosis (Murat, 2009). Ia pertama kali ditemukan oleh Nicole dan Manceaux pada tahun 1908 pada limfa dan hati hewan pengerat Ctenodactylus

gundi di Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di Brazil. Selain itu, Janku (1923)

menemukan protozoa tersebut pada penderita korioretinitis dan oleh Wolf (1937) telad di isolasinya dari neonatus dengan ensefalitis dan dinyatakn sebagai penyebab infeksi kongenital pada anak (Indra Chahaya, 2003).

Terdapat tiga bentuk dalam Toxoplasma gondi yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit), dan ookista (berisi sporozoit) (WHO, 1979; Frenkel, 1989; Sardjono et al., 1989).

Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lagi agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan

mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Levine, 1990). Tidak mempunyai kinetoplas dan sentrosom serta tidak berpigmen. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit dapat memasuki tiap sel yang berinti.

Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris (Krahenbuhl dan Remington, 1982).

Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot. Kista ini merupakan stadium istirahat dari T.gondii. Menurut Levine (1990), pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ tubuh dan terutama di otak.

Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda reside (Frenkel, 1989; Levine, 1990).

Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari T.gondii. Di dalam usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh menjadi trofozoit.

Setelah terjadi pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Di luar tubuh kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang masing-masing berisi empat sporozoit (sporogoni) (Krahenbuhl dan Remington, 1982). Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi, dan tikus serta ayam atau burung, maka di dalam tubuh hospes perantara akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan

membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).

Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi maka berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan terbentuk lagi. Jika hospes perantara yang dimakan kucing mengandung kista

T.gondii, maka masa prepatannya 2-3 hari. Tetapi bila ookista tertelan langsung

oleh kucing, maka masa prepatannya 20-24 hari. Dengan demikian kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista daripada oleh ookista (Coz, 1982; Levine, 1990). 2.4.2 Gejala Klinis dan Diagnosis

Orang yang imunokompeten (sehat) sering tidak menimbulkan gejala jika terinfeksi T.gondii. Manifestasi yang muncul sering hanya berupa “flu like

syndrome” dan biasanya bertahan selama beberapa minggu. Gejala akan tampak

jelas bahkan menjadi lebih berat bila terjadi reaktivasi (CDC, 2008).

T.gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali

sel darah merah. Kerusakan yang terjadi pada jaringan, tergantung pada umur, virulensi strain Toxoplasma, jumlah parasit, dan organ yang diserang (Lisawati dan Srisasi, 2008).

Jika infeksi terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan terjadinya toksoplasmosis kongenital (Zaman dan Keong, 1988).

Selain itu kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus (CDC, 2008)

2.4.3 Epidemiologi

Toxoplasmosis adalah infeksi yang sering terjadi akibat mengkonsumsi daging yang kurang matang atau mentah yang mengandung ookista, juga disebabkan oleh tertelan sayur-sayuran dan air yang terkontaminasi dengan

ookista (Tenter et al., 2000). Felix merupakan hospes yang mengeluarkan ookista bersama tinja ke lingkungan (Dubey & Beattie 1988).

Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista per hari selama 2 minggu. Di dalam tanah yang lembab dan teduh, ookista dapat hidup lama sampai lebih dari satu tahun. Sedangkan tempat yang terkena sinar matahari langsung dan tanah kering dapat memperpendek hidupnya.

Kecoa dan lalat dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan. Selain itu, Toxoplasma sp. juga resisten terhadap bahan kimia dan proses desinfeksi (Dubey et al. 1970, 1998).

Penyebaran Toxoplasma gondii sangat luas, hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia baik pada manusia maupun hewan. Sekitar 30% dari penduduk Amerika Serikat positif terhadap pemeriksaan serologis, yang menunjukkan pernah terinfeksi pada suatu saat dalam masa hidupnya (Levin, 1990). Kista T.gondii dapat bertahan pada suhu 4 derajat ceicius sampai tiga minggu dan kista tersebut akan mati dalam keadaan beku pada suhu -15 derajat celcius selama tiga hari dan pada suhu -20 derajat celcius selama dua hari (WHO, 1979).

2.4.4 Pengobatan

Obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh stadium takizoit

T.gondii dan tidak membasmi stadium kista, sehingga obat dapat memberantas

infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali.

Pirimetamim dan sulfonamid sebagai sinergistik dipakai sebagai kombinasi selama 3 minggu atau sebulan. Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis tetapi tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin pada bayi dan ibu hamil. Obat macrolide lain yang efektif terhadap T.gondii adalah klaritromisin dan azitromisin yang diberikan bersama pirimetamim pada penderita AIDS dengan ensefalitis toksoplasmik. Obat baru adalah hidroksinaftokuinon

(atovaquone) yang bila dikombinasikan dengan sulfadiazin atau obat lain yang aktif terhadap T.gondii, dapat membunuh kista jaringan pada mencit.

Toksoplasmosis akuisita yang asimtomatik tidak perlu diberi pengobatan. Seorang ibu hamil dengan infeksi primer harus diberikan pengobatan profilaktik. Pada bayi dengan toksoplasmosis kongenital diberikan Pirimetamim, sulfonamid, dan asam folinat selama 1 tahun (Susanto & Gandahusada, 2008).

2.4.5 Pencegahan

Terdapat beberapa cara untuk mencegah infeksi toksoplasmosis terkait lingkungan, diantaranya adalah:

a) Mencegah konsumsi air yang tidak dimasak hingga mendidih, terutamanya negara yang kurang berkembang

b) Memakai sarung tangan saat berkebun atau jika ada kontak dengan tanah, kemudian harus mencuci tangan untuk mencegah tangan terkontaminasi dengan feces kucing yang mengadung ookista

c) Memberi makanan yang matang untuk kucing peliharaan (CDC, 2008)

Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia, dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70 derajat celcius yang disiramkan pada tinja kucing (Remington & Desmont, 1983; Seigmund, 1979).

2.5 Strongyloides stercoralis 2.5.1 Morfologi dan Daur Hidup

Hanya cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina mempunyai panjang 2mm, ekornya blunt-ended, dan esofagus straight-sided (filariform) yang panjang (Speare, 1989).

Cacing dewasa betina berkembang biak secara partenogenesis. Telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform yang non-infektif, larva ini akan dikeluarkan bersama tinja ke lingkungan, di mana larva tersebut akan menjadi

cacing dewasa (Pranatharthi et al., 2009). Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup (Supali T., Margono S.S., 2008):

1. Siklus langsung

Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 x 16 mikron, berubah menjadi larva filariform berbentuk langsing dan merupakan bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena, kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan ± 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung,larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing betina berukuran 1mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 1,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri tropik dengan iklim lembab. Siklus langsung sering terjadi di negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.

3. Autoinfeksi

Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal). Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi daur perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah nonendemik.

2.5.2 Gejala Klinis dan Diagnosis

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat.

Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi ringan Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah; diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongiloidiasis dapat terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu).

Strongyloides stercoralis merupakan parasit yang sulit didiagnosa.

Diagnosis definitif memerlukan visualisasi langsung parasit tersebut ( Van der Feltz et al., 1999; Kaminsky, 1993), yaitu dengan menemukan larva rabditiform dalam tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum. Biakan selama sekurang-kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup bebas (Taniawati dkk., 2008). 2.5.3 Epidemiologi

S. stecoralis menginfeksi sebagian besar populasi di daerah topikal dan

panas. Amerika Selatan, Asia timur selatan, Afrika Saharan dan regio appalachian di USA merupakan daerah endemik parasit tersebut (Genta R, 1989; Sorozcan W., 1994). Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat

menguntungkan cacing Strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. (Taniawati dkk., 2008).

2.5.4 Pengobatan

Albendazol 400 mg satu/ dua kali sehari selama tiga hari merupakan obat pilihan. Mebendazol 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik. Mengobati orang yang mengandung parasit, meskipun kadang-kadang tanpa gejala, adalah penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus ditujukan kepada pembersihan sekitar daerah anus dan mencegah konstipasi (Taniawati dkk., 2008).

2.5.5 Pencegahan

Edukasi komunitas di daerah endemik adalah seperti berikut:

a) Manajemen sewage

b) Mencegah tanah yang terkontaminasi feses atau penggunaan feses sebagai fertilizer

c) Memakai pakaian pelindung saat menangani sewage atau tanah yang terkontaminasi parasit (Emily et al., 2008).

2.6 Soil Transmitted Helminths (STH)

STH merupakan nematode usus yang ditularkan melalui tanah. Cacing yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, cacing tambang

(hookworms), Trichuris trichiura, dan Strongyloides stercoralis. Manusia

merupakan satu-satunya hospes untuk parasit-parasit ini (Taniawati S. dkk., 2008). 2.7 Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari

dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Notoatmodjo, 2007). Skinner menyatakan bahwa bila dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 yakni perilaku yang tidak tampak/terselubung (covert behavior) dan perilaku yang tampak (overt behavior). Perilaku yang tidak tampak ialah berpikir, tanggapan, sikap, persepsi, emosi, pengetahuan dan lain-lain. Perilaku yang tampak antara lain berjalan, berbicara, berpakaian dan sebagainya (Machfoedz et al., 2006)

Perilaku masyarakat yang sehat akan membuat lingkungan sekitarnya menjadi bersih dan akan memutuskan berbagai rantai penularan penyakit. Sebaliknya, lingkungan akan tercemar atau menjadi kotor dan tidak sehat apabila masyarakat disekitar lingkungan tersebut tidak menjaga, memelihara, atau memperhatikan faktor kesehatan. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003a), masalah kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku (non perilaku).

Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh 3 kelompok faktor yaitu: faktor-faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong. Faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Ketiga faktor tersebut saling terkait dalam menentukan perilaku seseorang.

Jadi, dari beberapa pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa perilaku kesehatan merupakan segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan, sehingga promosi mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat.

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka konsep dalam penelitian adalah:

Gambar 1: Kerangka Konsep Penelitian

3.2Definisi Operasional

Berdasarkan kerangka konsep di atas, definisi operasional adalah: a) Parasit: parasit-parasit yang dapat dijumpai dalam sumber air adalah

seperti Giardia intestinalis, Cryptosporidium parvum, Entamoeba

histolytica, Toxoplasma gondii, Soil Transmitted Helminths (STH) dan

lain-lain. Parasit: • Giardia intestinalis Cryptosporidium parvum Entamoeba histolytica Toxoplasma gondii Strongyloides stercoralis Ascaris lumbricoides Hookworm dll

Kontaminasi sumber air dan sanitasi sumber sumber air

b) Perilaku adalah perilaku sehat penduduk di Dusun II Desa Sidolmuyo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat dalam memelihara lingkungan dan sanitasi sumber air.

c) Kontaminasi sumber air oleh parasit dan sanitasi sumber air: Kontaminasi air oleh parasit-parasit Giardia intestinalis, Cryptosporidium parvum,

Entamoeba histolytica, Toxoplasma gondii, Soil Transmitted Helminths

dan lain-lain. d) Cara ukur:

1. Pengumpulan dan pemeriksaan air dengan teknik pengendapan dan pengapungan modifikasi Caldwel

2. Kuesioner, pertanyaan yang dianjurkan sebanyak 10 dengan 4 pilihan jawaban. Jawaban yang benar diberi skor 1 dan jawaban yang salah diberi skor 0.

e) Kategori: Pengukuran perilaku dikategorikan dalam 3 tingkatan, yaitu: 1. Perilaku baik, jika > 75% pertanyaan dijawab benar oleh responden 2. Perilaku sedang, jika 40-75% pertanyaan dijawab benar oleh

responden

3. Perilaku kurang baik, jika < 40% pertanyaan dijawab benar oleh responden.

f) Alat Ukur: Pemeriksaan laboratorium dan angket/ kuesioner g) Skala Pengukuran:

1. Nominal untuk pengumpulan dan pemeriksaan air 2. Ordinal untuk pengukuran perilaku penduduk

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional deskriptif dimana menggambarkan kontaminasi sumber air oleh parasit dan tindakan penduduk dalam menjaga sanitasi sumber air di Dusun II Desa Sidolmuyo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat, tahun 2010.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di daerah perumahan di Dusun II Desa Sidolmuyo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat karena higine dan sanitasi yang kurang.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret-November 2010, sedangkan pemgambilan dan pengumpulan data dilakukan selama bulan Juni-November 2010.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah sumber air di rumah penduduk untuk pemeriksaan air dan penduduk untuk pengukuran tindakan penduduk yang tinggal

di Dusun II Desa Sidolmuyo Kabupaten Langkat, Kecamatan Binjai, Sumatera Utara.

4.3.2 Sampel

Dalam menentukan besarnya sampel peneliti telah menggunakan metode pengambilan sampel secara cluster sampling. Jumlah sampel dihitung dengan rumus:

n =

N

1+ N (d²)

n = Sampel N = Populasi

d = penyimpangan statistik dari sampel terhadap populasi ditetap sebesar 0,10 (Notoatmojo, 2005)

Maka,

n =

1+ 67 (0,167 ²)

= 40.1

Dengan tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% dan tingkat relatif adalah sebesar 10%, jumlah sampel air dan penduduk yang telah diperoleh dengan memakai rumus di atas adalah 40 (Notoatmodjo, 1993).

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan sampel air yang telah digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpul air dari perumahan dengan penampung plastik, kemudian dibawa ke laboratorium parasitolgi dan diperiksa dengan teknik

pengendapan dan pengapungan modifikasi Caldwel. 20ml contoh air disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm, supernatan dibuang kemudian 1-2 tetes endapan diperiksa di bawah mikroskop dengan larutan Lugol.

Untuk pengukuran tindakan penduduk, peneliti perlu menjelaskan kepada responden tentang tujuan penelitian kemudian meminta persetujuan responden (Informed Consent) secara lisan dan tulisan. Selanjutnya, responden diminta mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti. Kuesioner sudah dilakukan uji validitas. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi antara skor (nilai) setiap item pertanyaan dengan skor total kuensioner tersebut. Adapun teknik korelasi yang biasa dipakai untuk mengetahui apakah nilai korelasi setiap pertanyaan itu

significant, maka dapat menggunakan Sistem komputer untuk mengujinya.

Setelah dilakukan uji validity test construct dengan menggunakan Sistem komputer, 10 pertanyaan tentang perilaku adalah valid.

Tabel 4.1

Data Hasil Validitas Dan Realiabilitas Kuesioner Perilaku

Variabel Nomor Pertanyaan Total Pearson Correlation Status Cronbach’s Alpha Status

Perilaku 1 0,512 Valid 0,722 Reliable

2 0,511 Valid Reliable 3 0,512 Valid Reliable 4 0,474 Valid Reliable 5 0,568 Valid Reliable 6 0,197 Tidak Valid Tidak Reliable 7 0,362 Tidak Valid Tidak Reliable 8 0,622 Valid Reliable 9 0,512 Valid Reliable

10 0,745 Valid Reliable 11 0,701 Valid Reliable 12 0,238 Tidak Valid Tidak Reliable 13 0,566 Valid Reliable

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 13 items diuji validitas dan reliabilitas, dimana pertanyaan tersebut bersumber dari penelitian-penelitian sebelumnya dan hasil rancangan dari peneliti sendiri didapatkan jumlah item pertanyaan yang valid dan realibel sebanyak 10 item untuk pertanyaan perilaku.

4.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian. Data primer telah dikumpulkan dari kawasan perumahan di Dusun II Desa Sidolmuyo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat Sumatera Utara guna pemeriksaan contoh air dan kuesioner untuk mengetahui perilaku penduduk menjaga sanitasi sumber air. Pemeriksaan dan pengukuran sampel air dilakukan dengan alat bantu mikroskop. 4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder telah didapatkan dari kepala desa tentang jumlah populasi yaitu sebanyak 67 buah rumah dan kegiatan harian di Dusun II Desa Sidolmuyo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

4.5 Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2005). Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner telah diberikan kepada sekelompok responden sebagai sarana uji coba. Kemudian, pertanyaan-pertanyaan tersebut diberi skor atau nilai jawaban masing-masing sesuai dengan sistem penilaian yang telah ditetapkan. Selanjutnya,

korelasi antara skor masing-masing pertanyaan dengan skor total dihitungkan. Pertanyaan dikatakan valid jika nilai korelasi tiap-tiap pertanyaan itu memenuhi taraf significancy, yaitu di atas 0,632.

4.6 Reabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercayai atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2005).

Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner telah dites sekurang-kurangnya dua kali. Uji coba tersebut kemudian diuji dengan tes menggunakan rumus korelasi product moment dan perhitungan realibilitas hanya dilakukan pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah memiliki validitas. Bila hasilnya (angka korelasinya) sama atau lebih dari angka kritis pada derajat kemaknaan P 0,05, maka kuesioner tersebut reliabel.

4.7 Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan program komputer SPSS ( statistical product and service solution) secara deskriptif dan hasil ditampilkan dalam tabel bentuk distribusi.

Pengolahan data dilakukan setelah semua data terkumpul melalui beberapa tahap, yaitu tahap pertama editing, dengan mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudahkan peneliti dalam melakukan tabulasi dan analisa data, tahap ketiga entry yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam

program komputer program SPSS (Statistical Product dan Service Solution), tahap keempat melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah di

entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. Untuk mendeskripsikan data

demografi, gambaran kontaminasi dan perilaku penduduk menjaga higine sumber air dilakukan perhitungan frekuensi dan presentase. Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, dipaparkan hasil penelitian beserta pambahasannya. Penelitian dilakukan sejak penyusunan proposal hingga penyusunan laporan hasil penelitian. Proses pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai November 2010. Sampel sumber air diambil untuk melihat gambaran kontaminasi sumber air oleh parasit dan pengisian kuesioner dilakukan untuk melihat gambaran tindakan penduduk dalam menjaga sanitasi di desa tersebut.

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di dusun II desa Sidolmuyo, Kecamatan Binjai,

Dokumen terkait