• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS GIZI

2.3. Tradisi Badapu

Menurut Aritonang (2007) konsumsi zat gizi dari pangan pada ibu menyusui di Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor sebelum dilakukan intervensi rata-rata energi sebesar 1574,0 ± 527,1 Kal, rata-rata protein sebesar 46,7 ± 20,1 gr, dan rata-rata zat besi sebesar 13,6 ± 5,6 mg.

2.3. Tradisi Badapu

Badapu berasal dari kata dapur yang artinya “naik dapur”. Pada masyarakat pinggiran (pedesaan), ibu setelah melahirkan akan ditempatkan di dapur, dengan membuatkan bale-bale berukuran 1 X 2 m sebagai tempat tidur dan disampingnya dibuat tungku dengan bahan bakar dari kayu jenis tertentu. Pada masyarakat perkotaan, ibu nifas masih melaksanakan tradisi badapu, namun tidur di kamar dan tungku diganti dengan kompor, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar akibat asap yang ditimbulkan dan juga ramah lingkungan.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Mei 2008, melalui wawancara dengan Dukun Kampung, tradisi badapu merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan bagi seorang ibu setelah melahirkan di mulai dari hari ke 7 sampai hari ke 60 (untuk kelahiran anak pertama) dan hari ke 40 (untuk kelahiran anak selanjutnya).

Ada beberapa ritual yang harus dijalankan ibu nifas saat menjalankan tradisi badapu, yaitu memanaskan tubuh ibu pada pagi dan sore hari dengan nyala api tungku; memulihan kondisi perut ibu setelah melahirkan menggunakan batu bata atau kelapa muda yang sudah dipanaskan ditungku lalu dibungkus

dengan kain dan daun mengkudu, lalu diletakkan di atas perut ibu, setelah dingin dipanaskan kembali; memulihkan alat genital ibu dengan menggunakan batu kerikil kecil kira-kira sebesar bola pimpong yang dipanaskan dalam abu tungku, lalu dibungkus dengan kain dan daun kunyit kemudian ditempelkan pada vagina, setelah dingin dipanaskan kembali.

Pada saat menjalankan tradisi badapu, ibu nifas dilarang mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan seperti : telur, kerang, udang, ikan tongkol, susu, pepaya, pisang, nenas dan cabe. Sedangkan bahan makanan yang boleh dikonsumsi seperti : ikan segar, ikan asin, ikan teri, yang pengolahannya dengan cara digoreng kering, dibakar atau digongseng. Jenis sayuran yang bisa dikonsumsi adalah : daun singkong, daun katu dan daun pepaya, yang dimasak dengan cara direbus. Karena adanya pembatasan terhadap konsumsi air, maka sayur yang direbus tadi, airnya diperas sehingga mengandung sedikit air.

Selain itu ibu nifas tidak diperbolehkan minum air putih namun meminum air yang khusus diramu. Setiap pagi ibu meminum “minuman mentah” yang terbuat dari remasan daun-daunan seperti daun pepaya, daun nenas, daun inay/pacar dan lain-lain, yang dicampur dengan kunyit, jahe, jeruk nipis serta madu. Jenis minuman mentah tersebut setiap tiga hari diganti kemudian dibuat minuman mentah lainnya yang terbuat dari daun-daunan berbeda. Sebagai pengganti air putih, dibuatkan “minuman pariuk” yaitu rebusan beberapa macam daun-daun kayu dicampur rempah-rempah. Minuman pariuk tersebut hanya untuk tiga hari saja selanjutnya dibuat rebusan yang baru lagi.

22

Tradisi badapu yang dilakukan di kabupaten Aceh Singkil, ternyata juga dilakukan di daerah lain di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disebut

Madeung. Pada negara lain seperti Malaysia, yang memiliki budaya hampir menyerupai Indonesia juga melakukan tradisi seperti ini.

Berdasarkan pendapat Elroy dan Townsend (1996) yang membahas hasil studi Christine Wilson, seorang antropolog nutrisi yang melakukan studi di RuMuda, sebuah desa berpenduduk 600 orang di timur laut Malaysia, sesaat setelah melahirkan wanita melayu dianjurkan memulai membatasi makanan. Bukannya menghindari sumber protein hewani, mereka mengurangi konsumsi buah dan sayuran selama kira-kira enam minggu. Pola ini menggambarkan bahwa di Malaysia menganggap kualitas panas dan dingin dihubungkan dengan makanan, obat dan tingkat kerapuhan. Untuk melindungi kesehatan sang ibu, mereka tidur dipanggung kayu, yang disebut dengan ”pembaringan perapian,” berada di atas api kayu kecil. Sepanjang hari, mereka istirahat beberapa saat di panggung juga tetap melakukan aktivitas seperti biasanya. Karena buah dan sayuran dianggap sebagai makanan ”dingin” maka kalau dikonsumsi akan mengakibatkan ketidakseimbangan, jadi harus dihindari. Selama 40 hari pemanasan, ibu diperbolehkan makan nasi dan ikan dengan lada hitam yang merupakan bahan pokok di desa-desa nelayan Melayu.

Antropolog Amerika lainnya, Carol Laderman, juga melakukan studi di kampung lain yaitu desa Merchang 20 km dari desa RuMuda. Para wanita yang termasuk dalam studi, beberapa diantaranya mengikuti pantangan makanan selama 40 hari penuh, beberapa yang lainnya hanya dalam waktu singkat dan ada juga yang tidak sama sekali. Wanita Merchang sangat fleksibel dan pragmatis dalam menafsirkan pantangan makanan setelah melahirkan. Awalnya mereka mencoba makanan yang panas saja, jika semuanya berjalan dengan baik, mereka akan mencoba menambahkan makanan yang netral dan akhirnya makanan yang

dingin. Pantangan dalam suku Melayu hanya merupakan pedoman yang seharusnya dijalankan, bukan larangan yang sesungguhnya berkaitan dengan kekeuatan gaib atau sanksi sosial. Kepatuhan terhadap aturan tergantung pada beberapa faktor seperti kehati-hatian atau keberanian seseorang dan pengalaman setelah melahirkan bayi pertama. Wanita Merchang dari kelompok berada yang mampu mengkonsumsi berbagai variasi makanan, lebih cenderung untuk mematuhi pantangan daripada wanita kurang mampu yang memiliki sedikit pilihan.

Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibu nifas pada beberapa daerah di wilayah Indonesia dan beberapa daerah di negara lain, ditemukan adanya larangan dan pantangan mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan serta adanya kebiasaan menjalankan suatu tradisi pemanasan dengan tujuan untuk mempercepat pemulihan kondisi ibu setelah melahirkan.

Dokumen terkait