• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu Dan Status Gizi Ibu Nifas Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

T E S I S

Oleh

FATMA DERI 077032002/IKM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

(2)

KAJIAN KONSUMSI MAKANAN TRADISI BADAPU

DAN STATUS GIZI IBU NIFAS DI KECAMATAN

SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

FATMA DERI 077032002/IKM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

(3)

Nama Mahasiswa : Fatma Deri

Nomor Pokok : 077032002

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat

Menyetujui

Komisi Pembimbing :

(Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes) (Ros Idah Berutu, SKM., MKes.)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (dr. Ria Masniari Lubis, MSi.)

Tanggal Lulus : 31 Agustus 2009

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes Anggota : 1. Ros Idah Berutu, SKM., M.Kes

2. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si 3. Dra. Jumirah, Apt., M.Kes.

(5)

KAJIAN KONSUMSI MAKANAN TRADISI BADAPU DAN STATUS GIZI IBU NIFAS DI KECAMATAN

SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 31 Agustus 2009

( Fatma Deri )

(6)

i

ABSTRAK

Status gizi dipengaruhi makanan yang dikonsumsi dan kondisi kesehatan. Pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi, di antaranya dipengaruhi oleh tradisi. Tradisi badapu di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil melarang ibu nifas mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan, mengakibatkan asupan zat gizi ibu nifas menjadi kurang sehingga menyebabkan ibu mengalami anemia.

Penelitian ini adalah explanatory survey yang bertujuan untuk

menganalisis asupan zat gizi tradisi badapu dan hubungannya dengan status gizi ibu nifas serta persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu. Populasi adalah ibu melahirkan setelah tiga puluh hari yang melaksanakan tradisi badapu pada bulan Maret – April 2009 sebanyak 45 orang yang menjadi sampel. Pengumpulan data asupan zat gizi menggunakan metoda Recall 24 jam. Persepsi masyarakat diperoleh dengan mewawancarai Ibu Nifas, Ibu/Ibu Mertua, Bidan Desa, Dukun Kampung dan Tokoh Adat menggunakan daftar pertanyaan terbuka. Analisis data menggunakan uji Chi-kuadrat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi 1531,64 ± 329,99 Kal, protein 54,68 ± 14,21 gr, zat besi 8,66 ± 5,75 mg. Sebanyak 82,2 % ibu nifas mengalami anemia dengan rata-rata kadar hemoglobin 9,01 ± 1,48 gr/%. Sebanyak 68,9 % ibu nifas dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) 18,5 - 25,5 dan 31,1 % ibu nifas dengan IMT > 25,5 dan rata-rata IMT 25,55 ± 3,21. Secara statistik, asupan energi, protein dan zat besi berhubungan secara signifikan dengan kadar hemoglobin, masing-masing (p=0,000<0,05). Asupan energi dan protein, tidak ada hubungan yang signifikan dengan IMT, masing-masing p=0,083>0,05 dan p=0,097>0,05.

Disarankan kepada Penanggung jawab Program Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil untuk melakukan kegiatan : 1) Pendekatan yang komprehensif kepada ibu-ibu melalui BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim) dan PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) untuk mengubah kebiasaan

badapu menjadi lebih baik sesuai kaidah kesehatan; 2) Menginstruksikan kepada

Bidan Desa untuk memberikan KIE gizi dan arahan yang benar dalam melaksanakan tradisi badapu; 3) Meminta dukungan dana dari Pemda Kabupaten Aceh Singkil terhadap program perbaikan gizi masyarakat terutama untuk kegiatan pendampingan terhadap kelompok masyarakat.

Kata kunci : Konsumsi Makanan, Ibu Nifas.

(7)

ii

condition. A kind of food that choosen by somebody has affected by many factors, likes habbit and tradition. Badapu tradition at Singkil in Aceh Singkil district, prohibitions post partum mothers to consume some foods, that makes post partum mother of nutrition intake get less nutrition, so they get anemia.

The study is an explanatory survey, aims to analyze the intake of nutrition badapu tradition and its relationship with nutritional status of post partum mothers and the perception of community about badapu tradition. The population were post partum mothers after thirty days who compared the tradition from March to April 2009 involving 45 samples that were made to be samples. The nutrition intake were collected to Food Recall 24 hours method. The perception of community had been interviewed post partum mothers, mother from post partum mothers, the midwive, traditional healer and opinion leader with used openly questionnaire. The data obtained were analyzed through Chi-square test.

The result of this study showed that average of energy intake as 1531,64 ± 329,99 Cal, protein intake as 54,68 ± 14,21 gr, and iron intake as 8,66 ± 5,75 mg. There were 82,2 % post partum mothers with anemia with the average level of Hb blood 9,01 ± 1,48 gr/% . There were 68,9% post partum mothers of cut off point of BMI (Body Mass Index) 18,5-25,0 and 31,1 % post partum mothers of cut off point of BMI >25,0 with the average BMI were 25,55 ± 3,21. Statistically, there were a significant relationship between the intakes, energy, protein and iron the level of Hb blood (respectively p=0,000<0,05). There were not significant relationship between energy intake with BMI (p=0,083>0,05) and protein intake with BMI (p=0,097>0,05).

It is suggested to Nutrition Program Officer of District Health Office Aceh Singkil to consent the activites : 1) Making comprehensively approached to the mothers through Badan Kontak Majelis Taklim and Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga to change the habbit of badapu become the better role of health; 2) Giving instruction to the Midwive to provide the KIE (Communication, Information and Education) of nutrition and correct direction in implementing badapu tradition; 3) Proposing the financial support from the district government of Aceh Singkil toward the community’s nutrition improvement programs, especially for the activity of accompaniying the community group.

Key words : Food consumption, post partum mothers.

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya penulis dapat

menyelesaikan tesis ini dengan judul “ Kajian Konsumsi Makanan Tradisi

Badapu dan Status Gizi Ibu Nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh

Singkil”.

Penulisan menyadari dalam menyusun tesis ini, begitu banyak masukan,

saran, dukungan, bimbingan dan bantuan yang diberikan berbagai pihak dan

keluarga.

Dengan penuh ketulusan hati dan keikhlasan, penulis mengucapkan terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), sebagai Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Ria Masniari Lubis, MSi., sebagai Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Drs. Surya Utama, MS., sebagai Ketua Program Studi Magister

Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi., sebagai Sekretaris Program Studi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

(9)

iv

mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis

mulai dari proposal hingga tesis selesai.

6. Ros Idah Berutu, SKM., M.Kes., selaku Anggota Komisi Pembimbing

yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing,

mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis

mulai dari proposal hingga tesis selesai.

7. Dr. Ir. Evawany Aritonang, MSi. dan Dra. Jumirah, Apt., M.Kes.,

sebagai Komisi Penguji atau Pembanding yang telah banyak

memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis

ini.

8. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan

beasiswa pada pendidikan Program Studi Magister Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

9. Bapak Bupati Aceh Singkil, yang telah berkenan memberikan

kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan

sekaligus memberikan izin tugas belajar pada Program Studi Magister

Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

(10)

v

10. Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil beserta staf

yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada

penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada Program Studi

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

11. Kepala Puskesmas Singkil beserta staf yang telah banyak membantu

dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

12. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program

Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

13. Ibunda Hj. Asma Arif dan Ayahanda (Alm) H. Muchtar J. di Jambi,

Ibu mertua Hj. Rosni dan Ayah mertua (Alm) H. Ahmad Rasnisyah di

Singkil, serta kakak dan adik, yang telah memberikan dorongan moril

serta do’a yang tiada terbatas selama penulis menjalani pendidikan.

14. Suami tercinta Iswar, SH serta ananda Alwan Farras dan Naufal

Hawari, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do’a serta

memotivasi dan memberikan dukungan moril agar dapat

menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

(11)

vi

yaitu Syaifullah, Saifuddin, Elmina Tampubolon, M. Hendro dan

Sri Lestari, yang telah membantu proses penyusunan tesis ini hingga

selesai.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan

kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini,

dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagai pengambil kebijakan di bidang

kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Agustus 2009 Penulis

Fatma Deri

(12)

vii

RIWAYAT HIDUP

Fatma Deri, lahir pada tanggal 10 September 1967 di Kotamadya Jambi

Provinsi Jambi, beragama Islam, bertempat tinggal di Jl. Karya No.1 Pulo Sarok,

Singkil. Menikah dengan Iswar, SH serta dikaruniai dua orang anak, Alwan Farras

dan Naufal Hawari.

Riwayat pendidikan, SDN No. 34/IV Jambi (1980), SMPN 8 Jambi

(1983), SMAN 1 Jambi (1986), Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI Padang

(1989), Sarjana (S1) Kesehatan Masyarakat, USU Medan (2000).

Riwayat pekerjaan / jabatan, Pegawai Negeri Sipil Pusat pada Kantor

Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi D.I. Aceh sejak September 1990,

Staf Seksi Gizi dan Kesehatan Keluarga Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh

(1990-1997), Staf Seksi Sarana Kesehatan Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh

(1997-1998), Staf Seksi Tugas dan Perbantuan Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh

(2000-2002), Staf Seksi Peningkatan dan Perbaikan Gizi Dinas Kesehatan

Provinsi NAD (2002-2003), Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh

Singkil (2003-2005), Kepala Subdin KIA dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten

Aceh Singkil (2005-2007).

(13)

viii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 29

3.6. Metode Pengukuran ... 31

3.7. Metode Analisis Data ... 34

(14)

ix

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 36

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 36

4.2. Karakteristik Responden ... 39

4.3. Pola Konsumsi Makanan ... 43

4.4. Asupan Zat Gizi ... 46

4.5. Status Gizi Responden ... 48

4.6. Analisis Bivariat ... 49

4.7. Persepsi Masyarakat terhadap Makanan Tradisi Badapu ... 53

BAB 5. PEMBAHASAN ... 61

5.1. Pola Konsumsi Makanan Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ... 61

5.2. Asupan Zat Gizi Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ... 63

5.3. Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ... 70

5.4. Persepsi Masyarakat terhadap Makanan Tradisi Badapu ... 78

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

6.1. Kesimpulan ... 84

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(15)

x

2.1. Kategori ambang Batas IMT untuk Indonesia ... 13

2.2. Batasan Anemia menurut Departemen Kesehatan ... 15

3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas dan Variabel Terikat ... 34

4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ... 37

4.2. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ... 38

4.3. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ... 38

4.4. Distribusi Sarana Kesehatan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 ... 39

4.5 Distribusi Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga Kesehatan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 ... 39

4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 40

4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 40

4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 41

4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kelahiran Anak ... 41

4.10. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Umur ... 42

4.11. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Pendidikan ... 42

4.12. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 43

4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan ... 44

(16)

xi

4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Energi ... 47

4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Protein ... 47

4.16. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Zat Besi ... 48

4.17. Distribusi Responden Berdasarkan IMT ... 48

4.18. Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Hemoglobin ... 49

4.19. Distribusi IMT Berdasarkan Asupan Energi ... 50

4.20. Distribusi IMT Berdasarkan Asupan Protein ... 51

4.21. Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Energi ... 52

4.22. Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Protein ... 52

4.23. Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Zat Besi ... 53

(17)

xii

1. Diagram Penyebab Masalah Gizi ... 10

2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Timbulnya Masalah Gizi ... 24

3. Penyakit Kurang Gizi ... 25

4. Kerangka Konsep Penelitian ... 26

(18)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Formulir Identitas Responden ………. 90

2. Formulir Metode Recall 24 Jam ………... 91

3. Formulir Metode Frekuensi Makanan ………... 92

4. Data Pengukuran Status Gizi ……….. 93

5. Daftar Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Ibu Nifas ... 94

6. Daftar Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Ibu/Ibu Mertua Bidan Desa, Dukun Kampung dan Tokoh Adat ... 95

7. Informed Concent ... 96

8. Master Data Penelitian ... 97

9. Hasil Crosstabs (Tabel Silang) ... 98

10. Surat Izin Penelitian dari Direktur Pascasarjana USU ... 103

11. Surat Izin Penelitian dari Kadinkes Kabupaten Aceh Singkil ... 104

12. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Kadinkes Aceh Singkil ... 105

13. Peta Kecamatan Singkil ... 106

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Paradigma pembangunan nasional yang berorientasi global dan

berwawasan ilmu pengetahuan, tidak akan terlaksana tanpa peningkatan kualitas

sumberdaya manusia (SDM). Gizi merupakan salah satu penentu kualitas

sumberdaya manusia. Hal ini dimungkinkan, karena seseorang yang mengalami

kekurangan gizi akan mengakibatkan rendahnya kualitas SDM. Rendahnya

kualitas sumberdaya manusia merupakan tantangan berat mengahadapi persaingan

bebas di era globalisasi (Depkes dan WHO, 2000).

Kebutuhan akan zat gizi berubah sepanjang daur kehidupan dan ini terkait

dengan pertumbuhan dan perkembangan dari masing-masing tahap kehidupan

tersebut. Dari setiap tahapan, kebutuhan zat gizi setiap individu berbeda. Ibu

setelah melahirkan (nifas) secara fisiologis membutuhkan zat gizi yang lebih

banyak dibandingkan dengan wanita dewasa biasa.

Status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi

(dimakan) dan kondisi kesehatan. Makanan yang dikonsumsi akan diproses dalam

tubuh menjadi zat gizi yang diperlukan untuk berbagai kebutuhan tubuh.

Pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi setiap orang dipengaruhi banyak

faktor, seperti kebiasaan makan, tradisi, pemeliharaan kesehatan, daya beli

keluarga dan lain-lain (Supariasa dkk, 2002).

(20)

2

Menurut Atmarita (2005), status gizi ibu dapat diketahui dengan

menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Berdasrkan data NSS-HKI 1999-2002

pada wanita umur 15-49 tahun terdapat sekitar 12 – 22 % yang mengalami

Kekurangan Energi Kronik ( IMT < 18,5). Sedangkan data pada Gizi Dalam

Angka, bahwa masalah gizi usia dewasa berdasarkan IMT dari berbagai provinsi

tahun 2003 yaitu IMT < 18,5 sebesar 15,5%, IMT 18,5-25 sebesar 63,8 %, IMT >

25 sebesar 21,0 %, IMT > 27 sebesar 11,1 % dan IMT ≥ 30 sebesar 3,9 %

(Depkes, 2005).

Adapun masalah kekurangan gizi lain yang banyak ditemukan terutama di

negara berkembang dan pada kelompok sosio-ekonomi rendah adalah Anemia.

Anemia terjadi pada wanita hamil dan wanita menyusui dikarenakan mereka

banyak mengalami defisiensi Fe. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45 %

wanita di negara berkembang dan 13 % di negara maju. Di Amerika, wanita usia

subur (WUS) berkisar umur 15-49 tahun yang mengalami anemia sebesar 12 %

dan wanita hamil 11%. Anemia pada wanita masa nifas (pasca persalinan) secara

umum sekitar 10 % dan 22 % terjadi pada wanita nifas dari keluarga miskin

(FKMUI, 2007).

Menurut Arisman (2004), anemia defisiensi zat besi merupakan masalah

gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Pada

tahun 1990 menurut WHO, prevalensi anemia kurang besi pada ibu hamil sebesar

55 %, yang menyengsarakan sekitar 44 % wanita di seluruh negara sedang

berkembang (kisaran angka 13,4-87,5%) . Angka tersebut pada tahun 1997, terus

(21)

membengkak hingga 74% dengan gambaran 13,4% pada Thailand dan 85,5%

pada India.

Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun

2001, anemia defisiensi besi pada ibu hamil 40,1 %, yang mana di daerah

pedesaan lebih tinggi dari perkotaan dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih

tinggi dari Kawasan Barat Indonesia (KBI). Sedangkan khusus pada ibu nifas

menurut SKRT 1995, prevalensi anemia besi yaitu sebesar 45,1 % (Depkes RI,

2006).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD) tahun 2005, hasil survey kerjasama dengan UNICEF bahwa

status gizi kelompok WUS yaitu : Kurus (10,6 %), Normal (60,3%), Berat lebih

(22,4%), Obesitas (6,7%) dan prevalensi anemia sebesar 30,2 %.

Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang penulis lakukan pada bulan

Mei 2008 di Puskesmas Singkil, diperoleh data dari buku registrasi pemeriksaan

darah bagi ibu hamil, bahwa sekitar 80% ibu hamil memiliki kadar hemoglobin di

bawah normal ( < 11 gr%). Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa sebagian

besar ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Singkil mengalami anemia defisiensi

besi. Sedangkan ibu nifas belum pernah melakukan pemeriksaan darah.

Penyebab mendasar dari masalah ini adalah ketidakcukupan pasokan zat

gizi ke dalam sel. Meskipun banyak disebabkan oleh kekurangan zat gizi esensial,

tetapi faktor penyebabnya sangat kompleks yaitu faktor pribadi, sosial, budaya,

psikologis, ekonomi, politik dan pendidikan. Bila pengaruh faktor ini hanya

(22)

4

bersifat sementara malnutrisi bersifat akut dan bila tidak segera diperbaiki dengan

cepat maka kehidupannya akan terancam (FKMUI, 2007).

Menurut Foster dan Anderson (2006), masalah gizi yang terjadi sebagian

besar dikarenakan adanya kepercayaan-kepercayaan yang keliru di mana-mana.

Ada hubungan antara makanan dan kesehatan dengan kepercayaan-kepercayaan,

pantangan-pantangan dan upacara-upacara, yang mencegah orang memanfaatkan

sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka. Kekurangan gizi disebabkan

oleh kebiasaan-kebiasaan makanan yang buruk tersebut. Hal ini merupakan tugas

yang sangat sulit untuk diatasi, karena kebiasaan makanan menentang terhadap

perubahan yang dilakukan dibanding kebiasaan-kebiasaan lainnya.

Hambatan-hambatan budaya yang terjadi seperti di Haiti yaitu kepercayaan terhadap patologi

humoral, yang sangat membatasi makanan para ibu menyusui. Akibat kemiskinan,

makanan pokok yang tersedia bagi para wanita menjadi terbatas, sehingga adanya

pembatasan panas-dingin, suatu proporsi yang tinggi dari makanan pokok yang

biasanya dimakan menjadi pantang bagi para ibu menyusui.

Berdasarkan studi yang dilakukan Wilson di Desa RuMuda, di timur laut

Malaysia, disimpulkan bahwa setelah melahirkan wanita melayu mulai membatasi

makanan dengan cara mengurangi konsumsi sayur dan buah. Hal ini disebabkan

wanita yang baru melahirkan dianggap sangat peka terutama terhadap dingin yang

berasal dari udara atau makanan yang dingin. Sehingga semua makanan dingin

dilarang selama 40 hari pada periode pemanasan setelah melahirkan. Wanita

yang baru melahirkan dibatasi makanannya hanya pada telur, madu, gandum,

(23)

tapioka, pisang yang dimasak, ikan panggang, lada hitam dan kopi. Pada masa

nifas ini, mereka menolak mengonsumsi buah-buah dingin, sayuran dan ikan

beracun, akan dibuatkan resep atau menu khusus (Elroy, 1996). Sedangkan bagi

wanita Tamilnad, setelah melahirkan, selama 41 hari masa nifas, ada

makanan-makanan yang harus dihindarkan, seperti : daging biasa, telur ayam, mentega,

beras, cabe, ayam, sarden, susu sapi, buah-buahan, kentang, ubi rambat dan

kacang mete (Fieldhouse, 1995)

Menurut Reddy (1990), apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas

atau terlalu dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan

keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengonsumsi makanan

atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih dingin atau sebaliknya. Pada,

beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang

dalam keadaan dingin sehingga ia harus memakan makanan yang panas dan

menghindari makanan yang dingin.

Menurut Maas (2004), di Indonesia, beberapa suku juga memberlakukan

larangan atau pantangan makanan yang dikonsumsi kepada ibu setelah

melahirkan. Diantaranya seperti pada masyarakat Kerinci provinsi Jambi, ibu

yang sedang menyusui pantang untuk mengonsumsi bayam, ikan laut atau sayur

nangka. Di beberapa daerah lain, ada juga yang memantangkan ibu yang

menyusui untuk memakan telur. Pada masyarakat Betawi berlaku pantangan

makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI

menjadi asin.

(24)

6

Berdasarkan buku “Pedoman Umum Adat Aceh” bahwa di Aceh ada

tradisi yang disebut Madeung yaitu suatu tradisi yang dilaksanakan bagi wanita

setelah melahirkan selama 44 hari dengan berbagai macam ketentuan yang

berlaku. Ketentuan dalam hal makanan, diatur bahwa makanan yang bisa dimakan

yaitu nasi campur ikan kering yang digongseng. Makanan lain tidak

diperbolehkan bahkan telur pun dilarang sama sekali (LAKA D.I.Aceh, 1990).

Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Mei 2008 melalui

observasi langsung dan wawancara dengan bidan kampung atau dukun beranak,

bahwa setiap ibu nifas di Kabupaten Aceh Singkil, diharuskan melakukan tradisi

badapu. Tradisi badapu ini telah berlangsung secara turun temurun dari sejak dulu

sampai sekarang. Ibu nifas dilarang mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan

dan hanya boleh mengonsumsi beberapa bahan makan tertentu. Hal ini

mengakibatkan asupan zat gizi ibu menjadi kurang bila dibandingkan dengan

kecukupan zat gizi yang dibutuhkan pada masa menyusui. Ibu nifas seharusnya

mendapatkan makanan yang lebih dari segi jumlah maupun mutunya, agar dapat

menghasilkan ASI untuk memenuhi kebutuhan bayi yang hanya bergantung pada

ASI ibunya.

Akan tetapi karena diharuskan menjalankan tradisi badapu, maka ibu nifas

mengikuti aturan-aturan yang ada berupa pembatasan terhadap beberapa jenis

makanan yang boleh dimakan. Akibat pembatasan tersebut, makanan yang

dikonsumsi ibu nifas tidak memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hal

(25)

ini tentunya mempengaruhi status gizi ibu yang secara tidak langsung akan

berdampak pula pada pertumbuhan dan perkembangan anaknya.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan kajian ilmiah untuk

mengetahui pola konsumsi makanan dan asupan zat gizi ibu nifas yang

menjalankan tradisi badapu. Selanjutnya perlu dilakukan analisis kemungkinan

ada hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu dengan

status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Disamping itu

juga perlu diketahui persepsi masyarakat Singkil terhadap makanan tradisi

badapu.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan yaitu

bagaimana hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu

dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil serta

bagaimana pola konsumsi makanan ibu nifas dan persepsi masyarakat Singkil

terhadap makanan tradisi badapu.

1.3. Tujuan

1. Mengetahui pola konsumsi makanan ibu nifas yang melakukan tradisi

badapu di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.

2. Mengetahui asupan zat gizi ibu nifas yang melakukan tradisi badapu di

Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.

(26)

8

3. Mengetahui status gizi ibu nifas yang melakukan tradisi badapu di

Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.

4. Menganalis hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melakukan tradisi

badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten

Aceh Singkil.

5. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu.

1.4. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi

badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh

Singkil.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Dapat digunakan sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten

Aceh Singkil dalam menyusun perencanaan program promosi kesehatan

dalam upaya perbaikan gizi masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil.

2. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk mengkaji dari

aspek lain dan menambah khasanah kepustakaan.

(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi

Kualitas sumberdaya manusia (SDM) salah satunya ditentukan oleh status

gizi. Hal ini dimungkinkan, karena apabila seseorang mengalami kekurangan gizi

atau status gizinya jelek akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumberdaya

manusia. Sumberdaya manusia yang berkualitas hanya dapat dihasilkan dari

seseorang yang berstatus gizi baik. Agar menghasilkan generasi yang berkualitas

di masa mendatang, status gizi harus baik, mulai dari berbentuk janin hingga

dewasa. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus dalam pemenuhan kebutuhan zat

gizi bagi ibu hamil dan ibu nifas. Ibu nifas dengan status gizi baik akan

menghasilkan air susu ibu (ASI) yang berkualitas baik pula, sebagai makanan

utama dan yang terbaik bagi pemenuhan kebutuhan zat gizi bayinya hingga

berumur 6 bulan.

Menurut Supariasa dkk (2002) menyatakan bahwa status gizi adalah

merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke

dalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi tiap individu. Sedangkan

menurut Adair (1987) yang mengutip pendapat Mc. Larent, bahwa keadaan gizi

sebagai suatu keaadan yang dihasilkan dari keseimbangan antara gizi yang

tersedia pada suatu organisme dengan gizi lainnya yang dikeluarkan. Keaadaan

gizi dihubungkan dengan indikator tertentu atau merupakan suatu gabungan

(28)

10

indikator dari zat gizi yang diwakilkan sehingga memberikan gambaran dari

kondisi tersebut. Indikator dari keadaan gizi hanya merupakan pengungkapan

keadaan fisiologis nilai gizi. Biasanya indikator dari bermacam-macam bahan gizi

saling berkaitan.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) bahwa secara langsung

keadaan gizi dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi dan penyakit infeksi. Secara

tidak langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga,

ketersediaan pelayanan kesehatan, pola asuh yang tidak memadai, seperti terlihat

pada gambar 1.

(29)

Menurut Supariasa dkk, (2002) yang mengutip pendapat Jelliffe DB,

penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidang langsung.

Penilaian secara langsung yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.

Sedangkan penilaian secara tidak langsung yaitu : survei konsumsi makanan,

statistik vital dan faktor ekologi.

Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan pada

masyarakat yaitu antropometri gizi. Pengertian dari antropometri gizi adalah

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi

tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Dari sudut pandang

antropometri, jenis pertumbuhan dapat dibagi atas dua yaitu pertumbuhan yang

bersifat linear dan pertumbuhan massa jaringan. Pertumbuhan linear

menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat lampau, misalnya :

tinggi badan, lingkar dada, lingkar kepala. Sedangkan pertumbuhan massa

jaringan menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat sekarang,

misalnya : berat badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit.

Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur sattus gizi dari berbagai

ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein. Gangguan ini biasanya

terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,

otot dan jumlah air dalam tubuh.

(30)

12

Berdasarkan pendapat Hadi (2001) bahwa indeks antropometri merupakan

kombinasi dari beberapa parameter. Indeks antropometri penting untuk

interpretasi pengukuran. Pada orang dewasa, indeks antropometri yang biasa

digunakan yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT), kombinanasi dari pengukuran berat

badan dan tinggi badan.

Menurut Depkes RI (1996) Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass

Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi

orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat

badan. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan tidak

dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Nilai IMT

dapat diketahui dengan menggunakan rumus yaitu :

Adapun batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan

FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan,

yaitu batas ambang normal untuk laki-laki adalah 20,1-25,0; dan untuk

perempuan adalah : 18,7-23,8. Adapun ambang batas IMT untuk Indonesia

adalah seperti pada tabel 2.1.

)

(31)

Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 - 18,4

Normal 18,5 - 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 - 27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Dari kategori ambang batas IMT di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

apabila seseorang berada pada IMT < 17,0 maka keadaan orang tersebut disebut

kurus dengan kekurangan berat badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis

(KEK) berat; apabila seseorang berada pada IMT 17,0-18,4 maka keadaan orang

tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat ringan atau KEK

ringan; apabila seseorang berada pada IMT 18,5-25,0 maka keadaan orang

tersebut termasuk kategori normal; apabila seseorang berada pada IMT 25,1-27,0

maka keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat

ringan; apabila seseorang berada pada IMT >27,0 maka keadaan orang tersebut

disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat berat.

Menurut Aritonang (2007) bahwa rata-rata IMT ibu menyusui di

Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor adalah 21,2 dengan kisaran 19,7 – 23,0

atau 21,22 ± 2,53. Hal ini berarti bahwa status gizi ibu menyusui berdasar IMT di

Jawa Barat umumnya baik (normal).

(32)

14

Adapun penilaian status gizi secara langsung yang lain adalah pemeriksaan

biokimia, yang memberikan hasil lebih tepat dan objektif. Berdasarkan pendapat

Supariasa dkk (2002) dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan biokimia yang sering

digunakan adalah pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi kimia

lain dalam darah dan urine, misalnya pemeriksaan hemoglobin dalam darah.

Hemoglobin (Hb) merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah.

Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat

digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Hasil

pengukuran kadar hemoglobin tersebut dibandingkan dengan standar normal yang

telah ditetapkan. Hemoglobin secara luas digunakan sebagai parameter untuk

menetapkan prevalensi anemia. Kandungan hemoglobin yang rendah memberikan

indikasi anemia.

Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat dan atau

vitamin B12, yang kesemuanya berakar pada asupan yang tidak adekuat,

ketersediaan hayati rendah (buruk) dan kecacingan yang masih tinggi. Anemia

gizi merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah

sel darah merah di bawah nilai normal, yang dipatok untuk perorangan. Secara

umum penyebab defisiensi zat besi, yaitu (1) kehilangan darah secara kronis,

sebagai dampak perdarahan kronis, (2) asupan zat besi tidak cukup dan

penyerapan tidak adekuat, dan (3) peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk

pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan

bayi, masa pubertas, masa kehamilan dan menyusui (Arisman, 2004).

(33)

Menurut Departemen Kesehatan RI (1995), bahwa batasan anemia di

Indonesia, seperti terlihat pada tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.2. Batasan Anemia menurut Departemen Kesehatan

Kelompok Batasan Normal

Ibu Menyusui > 3 bulan

11 gram %

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, bahwa

rata-rata kadar hemoglobin penduduk perkotaan di Indonesia pada kelompok

perempuan dewasa adalah 13 g/dl dengan SD 1,72 g/dl (dengan kisaran 11,28 –

14,72 g/dl), dan pada kelompok ibu hamil rata-rata 11,81 g/dl dengan SD 1,55

g/dl ( dengan kisaran 10,26 – 13,36 g/dl). Adapun untuk Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam rata-rata pada perempuan dewasa adalah 13,06 g/dl. Prevalensi

anemia pada penduduk perkotaan untuk kelompok perempuan untuk Indonesia

adalah sebesar 11,3 % dan Provinsi NAD adalah 10,4 % (Depkes, 2008).

Rata-rata kadar hemoglobin hasil Riskesdas ini, relatif sama dengan

rata-rata kadar hemoglobin pada ibu menyusui di Kecamatan Darmaga Kabupaten

Bogor, hasil penelitian yang dilakukan oleh Aritonang (2007) yaitu 12,23 ± 1,68

g/dl. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kadar hemoglobin ibu menyusui

sudah baik karena ≥ 12 g/dl.

(34)

16

2.2. Konsumsi Makanan

Manusia membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi

dalam tubuh. Kebutuhan zat gizi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan umur,

jenis kelamin. Agar kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi, maka harus mengonsumsi

makanan setiap hari sesuai dengan anjuran gizi. Makanan yang dikonsumsi

seseorang dapat diketahui jumlah dan kandungan zat gizinya dengan cara

melakukan penilaian konsumsi makanan atau survei diet.

Menurut Supariasa dkk (2002) menyatakan bahwa survei konsumsi

makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penetuan status gizi

seseorang atau kelompok. Survei konsumsi makanan bertujuan untuk mengetahui

kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi

pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Hasil survei konsumsi

makanan tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara

langsung, namun dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinann

terjadinya kekurangan gizi pada seseorang.

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi

makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan

kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif untuk mengetahui frekuensi makan,

frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang

kebiasaan makan serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode

pengukuran konsumsi makanan yang bersifat kualitatif antara lain : metode

(35)

frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon dan

metode pendaftaran makanan (food list). Sedangkan metode yang bersifat

kuantitatif untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat

dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan

Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah

Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan

Minyak. Metode pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara lain : metode

recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan

makanan (food weighing), metode food account, metode inventaris (inventory

method) dan pencatatan (household food records).

Metode recall makanan merupakan tehnik yang paling sering digunakan

baik secara klinis maupun penelitian. Metode ini mengharuskan pelaku mengingat

semua makanan dan jumlahnya sebaik mungkin dalam waktu tertentu ketika tanya

jawab berlangsung. Pengingatan sering dilakukan untuk 1-3 hari.

Menurut Gibney ( 2002) bahwa informasi yang berkenaan dengan aturan

makan pada suatu periode tertentu dapat diperoleh dengan menanyakan individu

untuk mengingat kembali jumlah dan jenis makanan yang sudah mereka makan.

Recall 24 jam adalah suatu usaha untuk mengingat kembali banyaknya jumlah

makanan yang dikonsumsi pada satu hari sebelumnya ( 24 jam yang lalu). Masa

ini dipertimbangkan dapat memberikan daya ingat serta informasi yang dapat

dipercaya, Adapun bila masa mengingat lebih panjang, maka daya ingat menjadi

lebih terbatas. Metode recall 24 jam merupakan metode yang secara luas

(36)

18

digunakan untuk memperoleh informasi terhadap makanan pada individu. Metode

ini sering digunakan pada survey nasional karena memiliki tingkat tanggapan

yang tinggi dan dapat memberikan informasi secara terinci untuk mewakili

kelompok populasi yang berbeda.

Menurut Soekirman (2000), bahwa kebutuhan akan zat gizi tidak sama

bagi semua orang, tetapi tergantung pada banyak hal antara lain umur, kelamin,

dan pekerjaan. Keseimbangan jumlah dan jenis zat gizi yang dibutuhkan berbagai

kelompok orang ditetapkan dalam suatu daftar yang dikenal sebagai Daftar

Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKG) yang dalam bahasa Inggris dikenal

sebagai Recommended Dietary Allowance (RDA). Di Indonesia DKG ditetapkan

setiap lima tahun sekali oleh sekelompok pakar dalam Widyakarya Nasional

Pangan dan Gizi.

Menurut Hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004, Angka

Kecukupan Gizi (AKG) untuk perorangan/individu diperoleh dari perbandingan

antara konsumsi zat gizi dengan keadaan gizi seseorang. Caranya yaitu dengan

membandingkan pencapaian konsumsi zat gizi individu tersebut terhadap AKG.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, nomor :

1593/Menkes/SK/XI/ 2005, dapat dilihat bahwa kecukupan gizi bagi ibu nifas

disesuaikan dengan kelompok umur ibu dan kemudian diberikan penambahan

energi 500 kkal, protein 17 gram dan zat besi 6 mg.

(37)

Menurut Depkes RI (1990) bahwa klasifikasi tingkat konsumsi makanan

di bagi menjadi empat dengan cut of points sebagai berikut:

• Baik : ≥ 100 % AKG

• Sedang : 80 – 99 % AKG

• Kurang : 70 – 80 % AKG

• Defisit : < 70 %

Menurut Adair (1987) menyatakan bahwa jumlah dan mutu produksi ASI

menggambarkan status gizi ibu hamil sebelumnya sampai selama menyusui,

sama juga halnya dengan kesehatan ibu, kebutuhan aktivitas fisik dan lingkungan

serta tekanan kejiwaan. Pada periode menyusui ini sedapat mungkin zat-zat gizi

diperlukan oleh ibu-ibu. Dengan pengecualian pada energi dan beberapa zat gizi

khusus dapat diambil dari cadangan di tubuh ibu. Rekomendasi FAO/WHO tahun

1974 untuk asupan energi pada masa nifas diasumsikan menghasilkan energi

hanya 60% saja. Sehingga ibu membutuhkan tambahan energi setiap hari, yaitu

550 kkal. Sedangkan rekomendasi dari U.S. National Research Council,

tambahan energi 500 kkal/hari. Mengutip pendapat Thomson dan Black bahwa

kebutuhan energi pada masa nifas dapat ditambahkan kira-kira 200-300 kkal/hari

selama 3 bulan pertama masa nifas. Adapun untuk asupan protein selama

menyusui rekomendasi FAO/WHO yaitu sebesar 46 g/hari yang lebih rendah dari

U.S. RDA’S yaitu 66 g/hari.

(38)

20

Menurut Aritonang (2007) konsumsi zat gizi dari pangan pada ibu

menyusui di Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor sebelum dilakukan intervensi

rata-rata energi sebesar 1574,0 ± 527,1 Kal, rata-rata protein sebesar 46,7 ± 20,1

gr, dan rata-rata zat besi sebesar 13,6 ± 5,6 mg.

2.3. Tradisi Badapu

Badapu berasal dari kata dapur yang artinya “naik dapur”. Pada

masyarakat pinggiran (pedesaan), ibu setelah melahirkan akan ditempatkan di

dapur, dengan membuatkan bale-bale berukuran 1 X 2 m sebagai tempat tidur dan

disampingnya dibuat tungku dengan bahan bakar dari kayu jenis tertentu. Pada

masyarakat perkotaan, ibu nifas masih melaksanakan tradisi badapu, namun tidur

di kamar dan tungku diganti dengan kompor, sehingga tidak mengganggu

lingkungan sekitar akibat asap yang ditimbulkan dan juga ramah lingkungan.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Mei 2008, melalui

wawancara dengan Dukun Kampung, tradisi badapu merupakan suatu kebiasaan

yang dilakukan bagi seorang ibu setelah melahirkan di mulai dari hari ke 7 sampai

hari ke 60 (untuk kelahiran anak pertama) dan hari ke 40 (untuk kelahiran anak

selanjutnya).

Ada beberapa ritual yang harus dijalankan ibu nifas saat menjalankan

tradisi badapu, yaitu memanaskan tubuh ibu pada pagi dan sore hari dengan

nyala api tungku; memulihan kondisi perut ibu setelah melahirkan menggunakan

batu bata atau kelapa muda yang sudah dipanaskan ditungku lalu dibungkus

(39)

dengan kain dan daun mengkudu, lalu diletakkan di atas perut ibu, setelah dingin

dipanaskan kembali; memulihkan alat genital ibu dengan menggunakan batu

kerikil kecil kira-kira sebesar bola pimpong yang dipanaskan dalam abu tungku,

lalu dibungkus dengan kain dan daun kunyit kemudian ditempelkan pada vagina,

setelah dingin dipanaskan kembali.

Pada saat menjalankan tradisi badapu, ibu nifas dilarang mengonsumsi

beberapa jenis bahan makanan seperti : telur, kerang, udang, ikan tongkol, susu,

pepaya, pisang, nenas dan cabe. Sedangkan bahan makanan yang boleh

dikonsumsi seperti : ikan segar, ikan asin, ikan teri, yang pengolahannya dengan

cara digoreng kering, dibakar atau digongseng. Jenis sayuran yang bisa

dikonsumsi adalah : daun singkong, daun katu dan daun pepaya, yang dimasak

dengan cara direbus. Karena adanya pembatasan terhadap konsumsi air, maka

sayur yang direbus tadi, airnya diperas sehingga mengandung sedikit air.

Selain itu ibu nifas tidak diperbolehkan minum air putih namun meminum

air yang khusus diramu. Setiap pagi ibu meminum “minuman mentah” yang

terbuat dari remasan daun-daunan seperti daun pepaya, daun nenas, daun

inay/pacar dan lain-lain, yang dicampur dengan kunyit, jahe, jeruk nipis serta

madu. Jenis minuman mentah tersebut setiap tiga hari diganti kemudian dibuat

minuman mentah lainnya yang terbuat dari daun-daunan berbeda. Sebagai

pengganti air putih, dibuatkan “minuman pariuk” yaitu rebusan beberapa macam

daun-daun kayu dicampur rempah-rempah. Minuman pariuk tersebut hanya untuk

tiga hari saja selanjutnya dibuat rebusan yang baru lagi.

(40)

22

Tradisi badapu yang dilakukan di kabupaten Aceh Singkil, ternyata juga

dilakukan di daerah lain di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disebut

Madeung. Pada negara lain seperti Malaysia, yang memiliki budaya hampir

menyerupai Indonesia juga melakukan tradisi seperti ini.

Berdasarkan pendapat Elroy dan Townsend (1996) yang membahas hasil

studi Christine Wilson, seorang antropolog nutrisi yang melakukan studi di

RuMuda, sebuah desa berpenduduk 600 orang di timur laut Malaysia, sesaat

setelah melahirkan wanita melayu dianjurkan memulai membatasi makanan.

Bukannya menghindari sumber protein hewani, mereka mengurangi konsumsi

buah dan sayuran selama kira-kira enam minggu. Pola ini menggambarkan bahwa

di Malaysia menganggap kualitas panas dan dingin dihubungkan dengan

makanan, obat dan tingkat kerapuhan. Untuk melindungi kesehatan sang ibu,

mereka tidur dipanggung kayu, yang disebut dengan ”pembaringan perapian,”

berada di atas api kayu kecil. Sepanjang hari, mereka istirahat beberapa saat di

panggung juga tetap melakukan aktivitas seperti biasanya. Karena buah dan

sayuran dianggap sebagai makanan ”dingin” maka kalau dikonsumsi akan

mengakibatkan ketidakseimbangan, jadi harus dihindari. Selama 40 hari

pemanasan, ibu diperbolehkan makan nasi dan ikan dengan lada hitam yang

merupakan bahan pokok di desa-desa nelayan Melayu.

(41)

Antropolog Amerika lainnya, Carol Laderman, juga melakukan studi di

kampung lain yaitu desa Merchang 20 km dari desa RuMuda. Para wanita yang

termasuk dalam studi, beberapa diantaranya mengikuti pantangan makanan

selama 40 hari penuh, beberapa yang lainnya hanya dalam waktu singkat dan ada

juga yang tidak sama sekali. Wanita Merchang sangat fleksibel dan pragmatis

dalam menafsirkan pantangan makanan setelah melahirkan. Awalnya mereka

mencoba makanan yang panas saja, jika semuanya berjalan dengan baik, mereka

akan mencoba menambahkan makanan yang netral dan akhirnya makanan yang

dingin. Pantangan dalam suku Melayu hanya merupakan pedoman yang

seharusnya dijalankan, bukan larangan yang sesungguhnya berkaitan dengan

kekeuatan gaib atau sanksi sosial. Kepatuhan terhadap aturan tergantung pada

beberapa faktor seperti kehati-hatian atau keberanian seseorang dan pengalaman

setelah melahirkan bayi pertama. Wanita Merchang dari kelompok berada yang

mampu mengkonsumsi berbagai variasi makanan, lebih cenderung untuk

mematuhi pantangan daripada wanita kurang mampu yang memiliki sedikit

pilihan.

Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibu nifas pada

beberapa daerah di wilayah Indonesia dan beberapa daerah di negara lain,

ditemukan adanya larangan dan pantangan mengonsumsi beberapa jenis bahan

makanan serta adanya kebiasaan menjalankan suatu tradisi pemanasan dengan

tujuan untuk mempercepat pemulihan kondisi ibu setelah melahirkan.

(42)

24

2.4. Landasan Teori

Berdasarkan hasil studi kepustakaan dapat diasumsikan bahwa konsumsi

makanan merupakan salah satu determinan penting yang mempengaruhi status

gizi masyarakat.

Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1979) digambarkan

beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi serta kaitan satu

faktor dengan faktor lainnya. Berdasarkan pendapat para ahli (seperti Pines, Call

dan Levinson), bahwa faktor yang mempengruhi status gizi dapat dilukiskan

seperti gambar 2 di bawah ini (Supariasa dkk, 2002).

Gambar 2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Timbulnya Masalah Gizi

Zat gizi dalam makanan

Ada tidaknya program pemberian makanan di

luar keluarga

Daya beli keluarga

Kebiasaan makan

Pemeliharaan kesehatan

Lingkungan Fisik dan sosial

Konsumsi makanan

K e s e h a t a n

Status Gizi

(43)

Jika asupan makanan tidak cukup dalam tubuh, maka akan mengakibatkan

masalah gizi. Masalah gizi memiliki dimensi yang luas karena menyangkut ha-hal

yang sangat multidisiplin yang saling berhubungan dan mempengaruhi seperti

masalah kesehatan, masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan,

seperti terlihat pada gambar 3 di bawah ini (FKM-UI, 2007).

Gambar 3 : Penyakit Kurang Gizi Food habits,

Tradition

Poverty Carelessness Ignorance Anorexia

Inadequate food intake

(44)

26

2.5. Kerangka Konsep

Persepsi terhadap makanan tradisi badapu akan mempengaruhi pola

konsumsi makanan yang selanjutnya akan mempengaruhi asupan zat gizi ibu

nifas. Asupan zat gizi akan mempengaruhi status gizi ibu nifas. Pola konsumsi

makanan ibu nifas saat melaksanakan tradisi badapu di Kecamatan Singkil yaitu

harus mematuhi pantangan/larangan terhadap beberapa bahan pangan yang bisa

dikonsumsi sehingga akan berpengaruh pada asupan zat gizi ibu nifas dan akan

berdampak pula pada status gizi ibu nifas. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada

gambar kerangka konsep penelitian di bawah ini :

Status Gizi Ibu Nifas : - IMT

- Kadar Hb

Persepsi terhadap Makanan

Tradisi Badapu

(45)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survey dengan type eksplanatory

atau penjelasan yang ditujukan untuk mempelajari pola konsumsi makanan tradisi

badapu dan hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu

dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil

(kuantitatif) serta persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu

(kualitatif).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun alasan memilih Kecamatan Singkil

karena masyarakat di Kecamatan Singkil masih melaksanakan tradisi badapu.

Sedangkan Kecamatan Singkil merupakan ibukota kabupaten yang seharusnya

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan telah menjalankan peradapan

yang lebih modern, terutama program gizi pada ibu menyusui. Pelaksanaan

penelitian dimulai dengan melakukan penelusuran kepustakaan, penyusunan

proposal, seminar proposal, penelitian dan analisa data serta penyusunan laporan

akhir. Waktu penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Maret – April 2009.

(46)

28

3.3. Populasi dan Sampel

Pada penelitian kuantitatif, populasinya adalah ibu melahirkan setelah tiga

puluh hari yang melaksanakan tradisi badapu pada bulan Maret - April 2009 di

Kecamatan Singkil. Seluruh populasi akan dijadikan sampel dalam penelitian

(total sampling) yaitu sebanyak 45 orang. Sedangkan pada penelitian kualitatif,

sampel yang menjadi partisipan adalah Ibu nifas, Ibu/Ibu Mertua, Bidan Desa,

Bidan /Dukun Kampung dan Tokoh Adat, yang berjumlah 26 orang. Pengambilan

sampel dilakukan secara purposive dengan pertimbangan tertentu serta

keterbatasan tenaga, dana dan waktu.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data primer pada penelitian kuantitatif adalah penilaian konsumsi

makanan yang diperoleh dari : a) asupan zat gizi berupa energi, protein dan zat

besi dengan menggunakan metode Recall 24 jam (lampiran 2); b) pola konsumsi

makanan dengan menggunakan formulir metode frekuensi makanan (lampiran 3).

Sedangkan data status gizi dilakukan dengan pengukuran tinggi badan dan berat

badan serta pemeriksaan kadar hemoglobine. Data kualitatif tentang persepsi

masyarakat terhadap makanan tradisi badapu dilakukan dengan wawancara

mendalam (in-dept interview) terhadap partisipan menggunakan daftar pertanyan

bersifat terbuka, yang telah dipersiapkan. Tenaga pengambil data adalah ahli gizi

dan analis dari Puskesmas Singkil dan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil.

(47)

Data sekunder dihimpun melalui pencatatan dokumen dari Puskesmas

Singkil, Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil, Dinas Kesehatan Provinsi

Nanggroe Aceh dan Departemen Kesehatan RI.

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang diukur, yaitu asupan zat gizi

(X) sebagai variabel bebas (independent) dan status gizi (Y) sebagai variabel

terikat (dependent).

3.5.1. Variabel bebas (Independent)

• Asupan zat gizi adalah zat gizi yang masuk ke dalam tubuh untuk memenuhi

kecukupan zat gizi agar dapat menjalankan fungsi fisiologis. Intake zat gizi

dapat dinilai berdasarkan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein

dan tingkat kecukupan zat besi yang akan dibandingkan dengan Angka

Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG).

• Tingkat kecukupan Energi : adalah hasil rata-rata energi yang dikonsumsi

sehari (satuan Kilokalori/Kal) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.

• Tingkat kecukupan Protein : adalah hasil rata-rata protein yang dikonsumsi

sehari (satuan gram/gr) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.

• Tingkat kecukupan zat besi : adalah hasil rata-rata zat besi yang dikonsumsi

sehari (satuan miligram/mgr) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.

(48)

30

• Pola konsumsi makanan adalah gambaran tentang jenis dan frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan selama periode tertentu : hari, minggu dan

bulan (selama menjalankan masa badapu).

• Tradisi badapu adalah : suatu kebiasaan yang harus dilakukan oleh ibu setelah

melahirkan di mulai pada hari ke 7 sampai hari ke 40 - 60 (habis masa nifas).

• Persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu adalah tanggapan atau

pendapat masyarakat terhadap kebiasan makanan pada ibu nifas yang

menjalankan tradisi badapu dan akibat yang ditimbulkan saat menjalani

kebiasaan itu. Persepsi ini akan diperoleh dari partisipan atau nara sumber :

- Ibu nifas adalah ibu yang melahirkan setelah tiga puluh hari dan

melaksanakan tradisi badapu.

- Ibu/Ibu Mertua adalah orang tua dari ibu nifas atau orang tua dari suami

yang sangat berperan pada pelaksanaan tradisi badapu.

- Bidan Desa adalah tenaga pelayanan kesehatan yang menolong persalinan

di desa atau wilayah kerjanya.

- Bidan/Dukun Kampung adalah orang yang mempunyai keahlian, yang

diperoleh secara turun temurun atau berdasarkan pengalaman dalam

menolong persalinan.

- Tokoh Adat adalah seseorang yang mengerti dan mampu dalam

melaksanakan adat istiadat yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat.

(49)

3.5.2. Variabel terikat (Dependent)

• Status gizi adalah gambaran atau hasil akhir dari keseimbangan antara

pemasukan dan penyerapan zat-zat gizi dengan penggunaan zat-zat gizi

tersebut dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002). Status gizi yang

akan dinilai adalah sebagai berikut :

• Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah metode untuk memantau status gizi orang

dewasa berumur di atas 18 tahun sesuai dengan rumus perhitungannya.

• Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) adalah pengukuran terhadap kandungan

hemoglobin dan hasilnya dibandingkan dengan nilai ambang batas.

3.6. Metode Pengukuran

Pengukuran dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan cara

memperoleh data kuantitatif yang diinginkan berdasarkan indikator variabel yang

telah ditentukan. Skala pengukuran yang digunakan yaitu pengukuran ordinal.

Sedangkan pada data kualitatif tidak ada pengukuran data.

3.6.1. Variabel bebas (Independent)

Konsumsi makanan dapat dinilai berdasarkan :

a. Asupan zat gizi diketahui dengan menghitung tingkat kecukupan energi,

tingkat kecukupan protein dan tingkat kecukupan zat besi, menggunakan

metode recall 24 jam sebanyak dua kali, yang dilakukan oleh tenaga ahli

gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil dan Puskesmas Singkil.

(50)

32

Bahan makanan yang recall akan dianalisa zat gizinya menggunakan metode

Nutrisurvey. Hasil rata-rata dari masing-masing zat gizi akan dibandingkan

dengan AKG bagi bangsa Indonesia rekomendasi Widya Karya Nasional

Pangan dan Gizi ke VIII tahun 2004 (Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI,

Nomor : 1593/ Menkes/SK/XI/2005). Skala pengukuran adalah ordinal.

Klasifikasi tingkat asupan zat gizi sebagai berikut :

• Baik : ≥ 100 % AKG

• Sedang : 81 – 99 % AKG

• Kurang: 70 – 80 % AKG

• Defisit : < 70 % AKG

b. Pola Konsumsi makanan diukur berdasarkan jenis dan frekuensi dari bahan

makanan yang dikonsumsi selama periode tertentu. Bahan makanan akan

dikelompokkan berdasarkan : Makanan Pokok, Lauk Hewani, Lauk Nabati,

Sayur-sayuran, Buah-buahan dan lain-lain.

Setiap bahan makanan akan dilihat frekuensi konsumsinya selama periode

sebagai berikut :

• Satu kali atau lebih dalam sehari

• Dua sampai lima kali seminggu

• Sekali atau beberapa kali sebulan (masa badapu)

• Tidak pernah sama sekali

(51)

3.6.2. Variabel terikat (Dependent).

Status gizi yang akan dilihat dari Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Kadar

hemoglobin (Hb).

a. Indeks Masa Tubuh dapat diketahui nilainya dengan rumus yang telah

ditentukan yaitu perbandingan antara berat badan (kilogram) dengan tinggi

badan (meter) kali tinggi badan (Depkes RI, 1996). Berat badan diukur

menggunakan timbangan injak Seca dengan tingkat ketelitian 0,1 kg.

Sedangkan tinggi badan diukur menggunakan microtoise berskala 200 cm

dengan ketelitian 0,1 cm.

Nilai IMT akan dikategorikan seperti berikut :

- Kurus : bila IMT < 18,5

- Normal : bila IMT 18,5 – 25,0

- Gemuk : bila IMT > 25,0

b. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan menggunakan alat HemoCue Hb

201+ dengan metode cyanmethemoglobin. Prinsip kerja metode ini adalah

Sodium nitrit mengubah hemoglobin menjadi methamoglobin, yang kemudian

bereaksi dengan sodium azide membentuk azidemethemoglobin yang

berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan dua panjang gelombang (570

nanometer dan 880 nanometer), lalu dibandingkan dengan standar.

Hasil pemeriksaan kadar Hb akan dikategorikan sebagai berikut :

- Anemia : bila Hb < 11 gram%

- Tidak Anemia : bila Hb ≥ 11 gram%

(52)

34

Pengukuran variabel bebas dan variabel terikat lebih jelas dapat dilihat

pada tabel 3.1 di bawah ini.

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas dan Variabel Terikat

No Nama Variabel Cara Ukur Skala

Recall 24 jam Ordinal

1. Baik

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dari seluruh

variabel bebas yaitu asupan zat gizi berupa asupan energi, protein, zat besi dan

variabel terikat yaitu status gizi ibu nifas berupa IMT dan kadar hemoglobin.

Demikian pula dengan distribusi pola konsumsi makanan ibu nifas yang

melaksanakan tradisi badapu.

(53)

3.7.2. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan pada data kuantitatif untuk melihat hubungan

antara variabel bebas yaitu asupan zat gizi berupa asupan energi, protein dan zat

besi dengan variabel terikat yaitu status gizi ibu nifas berupa IMT dan kadar

hemoglobin dengan menggunakan uji Chi-kuadrat (χ2).

3.7.3. Analisis data kualitatif

Data kualitatif yang menggambarkan persepsi masyarakat terhadap

makanan tradisi badapu disajikan secara deskriptif dengan menyajikan pendapat

responden dalam bentuk narasi. Analisa data dilakukan dengan menggunakan

teknik analisa kualitatif dan dibandingkan dengan teori kepustakaan maupun

asumsi yang ada.

(54)

36

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Kecamatan Singkil merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Aceh

Singkil, dengan luas wilayah 459 Km2. Kecamatan Singkil terdiri dari 16 desa

(kampong) dengan 4 kemukiman.

Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari).

No Desa Jumlah %

Sumber : Kantor Kecamatan Singkil, Tahun 2009

(55)

Berdasarkan data dari Kantor Kecamatan Singkil, jumlah penduduk di

kecamatan Singkil tahun 2009 sebanyak 18.791 jiwa, yang terdiri dari laki-laki

9.438 jiwa dan perempuan 9.353 jiwa, dengan kepadatan penduduk berkisar

41 jiwa per Km2. Penduduk yang paling banyak terdapat di desa Pulo Sarok

dengan jumlah penduduk 4.192 jiwa (22,31 %) dan yang paling sedikit terdapat di

desa Simboling dengan jumlah penduduk 289 jiwa (1,54%), seperti tertera pada

tabel 4.1 di atas.

Tingkat pendidikan penduduk di kecamatan Singkil relatif rendah, karena

paling banyak penduduk dengan pendidikan tamat SD/sederajat sebesar 22,36 %

sedangkan yang paling sedikit penduduk dengan pendidikan strata-2 yaitu 0,14 %.

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari)

No Tingkat Pendidikan Jumlah %

Sumber : Kantor Kecamatan Singkil Tahun 2009

(56)

38

Pekerjaan penduduk di kecamatan Singkil yang paling banyak yaitu

sebagai wiraswasta sebanyak 32,68 % sedangkan yang paling sedikit yaitu buruh

sebanyak 5,31 %, seperti dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari).

No Jenis Pekerjaan Jumlah %

Sumber : Kantor Kecamatan Singkil Tahun 2009

Sarana pelayanan kesehatan di kecamatan Singkil hanya ada Puskesmas

Perawatan sebanyak satu buah dan Puseksmas Pembantu sebanyak tiga buah.

Sarana kesehatan lainnya, dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini.

Tabel 4.4. Distribusi Sarana Kesehatan di Kecamatan Singkil Tahun 2009

No. Jenis Sarana Kesehatan Jumlah

Sumber : Puskesmas Singkil Tahun 2009

(57)

Jumlah tenaga kesehatan di kecamatan Singkil cukup banyak yaitu 64

orang sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik.

Jenis tenaga yang paling banyak adalah Bidan yang berjumlah 29 orang dan

paling sedikit yaitu tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat, Ahli Gizi dan Pekarya

Kesehatan masing-masing satu orang, seperti pada tabel 4.5 di bawah ini.

Tabel 4.5. Distribusi Tenaga Menurut Jenis Tenaga Kesehatan di Kecamatan Singkil Tahun 2009

No. Jenis Sarana Kesehatan Jumlah

1. Medis (dokter umum dan dokter gigi) 4

2. Sarjana Kesehatan Masyarakat 1

3. Perawat (D III Perawat dan SPK) 24

4. Bidan (D III Bidan dan Bidan A) 19

5. Tehnisi Medis (Fisioterafis, Analis, Gigi dan Farmasi) 11

6. Sanitasi (D III Sanitasi dan SPPH) 3

7. Gizi (D III Gizi) 1

8. Pekarya Kesehatan 1

64 Jumlah

Sumber : Puskesmas Singkil Tahun 2009

4.2. Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini adalah ibu melahirkan setelah tiga puluh

hari yang melaksanakan tradisi badapu pada bulan Maret - April 2009 di

kecamatan Singkil. Karakteristik reponden meliputi umur, pendidikan, pekerjaan

dan kelahiran anak.

(58)

40

Kategori kelompok umur responden disesuaikan dengan kelompok umur

yang ada pada Angka Kecukupan Gizi 2004 bagi orang Indonesia, karena pada

tiap kelompok umur tersebut berbeda angka kecukupan gizinya. Pada tabel 4.6 di

bawah, dapat dilihat bahwa responden terbanyak pada kelompok umur 19 – 29

tahun dan kelompok umur 30 – 49 tahun masing-maisng sebesar 48,9 %

sedangkan kelompok umur 16 – 18 tahun sebesar 2,2 %.

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur Jumlah Persen

16 - 18 tahun 1 2,2

19 - 29 tahun 22 48,9

30 - 49 tahun 22 48,9

Jumlah 45 100,0

Tingkat pendidikian responden dikategorikan berdasarkan tingkat

pendidikan pada Pendidikan Nasional, yaitu tingkat dasar, menengah dan tinggi.

Pada tabel 4.7 di bawah, dapat dilihat bahwa responden paling banyak memiliki

pendidikan tingkat dasar (SD-SMP) sebanyak 44,4 % dan paling sedikit memiliki

pendidikan tingkat tinggi sebanyak 22,2 %.

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Jumlah Persen

Dasar (SD-SMP) 20 44,4

Menengah (SMU/SMK) 15 33,3

Tinggi (PT) 10 22,2

Jumlah 45 100,0

(59)

Pada tabel 4.8 di bawah, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden

(68,9 %) tidak bekerja atau sebagai Ibu Rumah Tangga. Hal ini dimungkinkan

bahwa sebagian responden memiliki tingkat pendidikan tingkat pendidikan dasar

(SD-SMP). Terdapat 22,2 % yang bekerja sebagai PNS dan 8,9 % bekerja sebagai

Pegawai Honorer.

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah Persen

PNS 10 22,2

Pegawai Honorer 4 8,9

Tidak Bekerja 31 68,9

Jumlah 45 100,0

Tradisi badapu akan dilaksanakan oleh ibu yang melahirkan anak pertama

sejak hari ke 7 sampai hari ke 60. Sedangkan pada kelahiran anak ke dua dan

selanjutnya, tradisi badapu hanya sampai hari ke 40-45. Pada tabel 4.9 di bawah,

dapat dilihat bahwa sebagian responden (53,3 %) melaksanakan tradisi badapu

pada kelahiran anak ke 2 – 4. Pada anak pertama, terdapat 26,7 % responden dan

sebanyak 20 % pada anak ke 5 dan seterusnya.

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kelahiran Anak

Kelahiran Anak Jumlah Persen

1 12 26,7

2 - 4 24 53,3

≥ 5 9 20,0

Jumlah 45 100,0

Gambar

Tabel 2.1.  Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
gambar kerangka konsep penelitian di bawah ini :
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas dan Variabel Terikat
Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Laporan perubahan ekuitas menyajikan laba atau rugi entitas untuk suatu periode, pos.. pendapatan dan beban yang diakui secara langsung dalam ekuitas untuk

Dalam mengendalian piutang perusahaan perlu menetapkan kebijakan kreditnya. Kebijakan ini kemudian berfungsi sebagai standar. Apabila kemudian dalam pengumpulan piutang

Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan Universitas Negeri Surabaya Tahun 2018 Tanggung jawab seseorang sebagai warga masyarakat juga tecermin dari sikapnya dalam pergaulan

kendi perhari. Anak kecil itu terjatuh dan menumpahkan air yang dibawanya. Ia tidak boleh mengambil air lagi. Pemanasan global menyebabkan kekeringan dan air laut juga

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran, mengetahui dan mendapatkan kajian tentang pengaruh Penempatan Kerja, Komitmen Organisasi dan lingkungan

membayar zakat dan Lembaga Amil Zakat mampu mengelola dengan baik. dana tersebut tanpa adanya

Berdasarkan hasil analisis, variabel yang berpengaruh terhadap harga beras mentari adalah adalah harga beras IR 64 dengan koefisien +0,54, jumlah keluarga pra sejahtera

Sedangkan variabel penting dalam mengendalikan kuantitas penduduk adalah mendewasakan usia menikah pertama perempuan Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui data