T E S I S
Oleh
FATMA DERI 077032002/IKM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
KAJIAN KONSUMSI MAKANAN TRADISI BADAPU
DAN STATUS GIZI IBU NIFAS DI KECAMATAN
SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
FATMA DERI 077032002/IKM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
Nama Mahasiswa : Fatma Deri
Nomor Pokok : 077032002
Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat
Menyetujui
Komisi Pembimbing :
(Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes) (Ros Idah Berutu, SKM., MKes.)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (dr. Ria Masniari Lubis, MSi.)
Tanggal Lulus : 31 Agustus 2009
Telah diuji pada
Tanggal : 31 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes Anggota : 1. Ros Idah Berutu, SKM., M.Kes
2. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si 3. Dra. Jumirah, Apt., M.Kes.
KAJIAN KONSUMSI MAKANAN TRADISI BADAPU DAN STATUS GIZI IBU NIFAS DI KECAMATAN
SINGKIL KABUPATEN ACEH SINGKIL
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 31 Agustus 2009
( Fatma Deri )
i
ABSTRAK
Status gizi dipengaruhi makanan yang dikonsumsi dan kondisi kesehatan. Pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi, di antaranya dipengaruhi oleh tradisi. Tradisi badapu di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil melarang ibu nifas mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan, mengakibatkan asupan zat gizi ibu nifas menjadi kurang sehingga menyebabkan ibu mengalami anemia.
Penelitian ini adalah explanatory survey yang bertujuan untuk
menganalisis asupan zat gizi tradisi badapu dan hubungannya dengan status gizi ibu nifas serta persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu. Populasi adalah ibu melahirkan setelah tiga puluh hari yang melaksanakan tradisi badapu pada bulan Maret – April 2009 sebanyak 45 orang yang menjadi sampel. Pengumpulan data asupan zat gizi menggunakan metoda Recall 24 jam. Persepsi masyarakat diperoleh dengan mewawancarai Ibu Nifas, Ibu/Ibu Mertua, Bidan Desa, Dukun Kampung dan Tokoh Adat menggunakan daftar pertanyaan terbuka. Analisis data menggunakan uji Chi-kuadrat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi 1531,64 ± 329,99 Kal, protein 54,68 ± 14,21 gr, zat besi 8,66 ± 5,75 mg. Sebanyak 82,2 % ibu nifas mengalami anemia dengan rata-rata kadar hemoglobin 9,01 ± 1,48 gr/%. Sebanyak 68,9 % ibu nifas dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) 18,5 - 25,5 dan 31,1 % ibu nifas dengan IMT > 25,5 dan rata-rata IMT 25,55 ± 3,21. Secara statistik, asupan energi, protein dan zat besi berhubungan secara signifikan dengan kadar hemoglobin, masing-masing (p=0,000<0,05). Asupan energi dan protein, tidak ada hubungan yang signifikan dengan IMT, masing-masing p=0,083>0,05 dan p=0,097>0,05.
Disarankan kepada Penanggung jawab Program Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil untuk melakukan kegiatan : 1) Pendekatan yang komprehensif kepada ibu-ibu melalui BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim) dan PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) untuk mengubah kebiasaan
badapu menjadi lebih baik sesuai kaidah kesehatan; 2) Menginstruksikan kepada
Bidan Desa untuk memberikan KIE gizi dan arahan yang benar dalam melaksanakan tradisi badapu; 3) Meminta dukungan dana dari Pemda Kabupaten Aceh Singkil terhadap program perbaikan gizi masyarakat terutama untuk kegiatan pendampingan terhadap kelompok masyarakat.
Kata kunci : Konsumsi Makanan, Ibu Nifas.
ii
condition. A kind of food that choosen by somebody has affected by many factors, likes habbit and tradition. Badapu tradition at Singkil in Aceh Singkil district, prohibitions post partum mothers to consume some foods, that makes post partum mother of nutrition intake get less nutrition, so they get anemia.
The study is an explanatory survey, aims to analyze the intake of nutrition badapu tradition and its relationship with nutritional status of post partum mothers and the perception of community about badapu tradition. The population were post partum mothers after thirty days who compared the tradition from March to April 2009 involving 45 samples that were made to be samples. The nutrition intake were collected to Food Recall 24 hours method. The perception of community had been interviewed post partum mothers, mother from post partum mothers, the midwive, traditional healer and opinion leader with used openly questionnaire. The data obtained were analyzed through Chi-square test.
The result of this study showed that average of energy intake as 1531,64 ± 329,99 Cal, protein intake as 54,68 ± 14,21 gr, and iron intake as 8,66 ± 5,75 mg. There were 82,2 % post partum mothers with anemia with the average level of Hb blood 9,01 ± 1,48 gr/% . There were 68,9% post partum mothers of cut off point of BMI (Body Mass Index) 18,5-25,0 and 31,1 % post partum mothers of cut off point of BMI >25,0 with the average BMI were 25,55 ± 3,21. Statistically, there were a significant relationship between the intakes, energy, protein and iron the level of Hb blood (respectively p=0,000<0,05). There were not significant relationship between energy intake with BMI (p=0,083>0,05) and protein intake with BMI (p=0,097>0,05).
It is suggested to Nutrition Program Officer of District Health Office Aceh Singkil to consent the activites : 1) Making comprehensively approached to the mothers through Badan Kontak Majelis Taklim and Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga to change the habbit of badapu become the better role of health; 2) Giving instruction to the Midwive to provide the KIE (Communication, Information and Education) of nutrition and correct direction in implementing badapu tradition; 3) Proposing the financial support from the district government of Aceh Singkil toward the community’s nutrition improvement programs, especially for the activity of accompaniying the community group.
Key words : Food consumption, post partum mothers.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan judul “ Kajian Konsumsi Makanan Tradisi
Badapu dan Status Gizi Ibu Nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh
Singkil”.
Penulisan menyadari dalam menyusun tesis ini, begitu banyak masukan,
saran, dukungan, bimbingan dan bantuan yang diberikan berbagai pihak dan
keluarga.
Dengan penuh ketulusan hati dan keikhlasan, penulis mengucapkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), sebagai Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Ria Masniari Lubis, MSi., sebagai Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Drs. Surya Utama, MS., sebagai Ketua Program Studi Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi., sebagai Sekretaris Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
iv
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis
mulai dari proposal hingga tesis selesai.
6. Ros Idah Berutu, SKM., M.Kes., selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing,
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis
mulai dari proposal hingga tesis selesai.
7. Dr. Ir. Evawany Aritonang, MSi. dan Dra. Jumirah, Apt., M.Kes.,
sebagai Komisi Penguji atau Pembanding yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis
ini.
8. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan
beasiswa pada pendidikan Program Studi Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
9. Bapak Bupati Aceh Singkil, yang telah berkenan memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan
sekaligus memberikan izin tugas belajar pada Program Studi Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
v
10. Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil beserta staf
yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada
penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
11. Kepala Puskesmas Singkil beserta staf yang telah banyak membantu
dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
12. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program
Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
13. Ibunda Hj. Asma Arif dan Ayahanda (Alm) H. Muchtar J. di Jambi,
Ibu mertua Hj. Rosni dan Ayah mertua (Alm) H. Ahmad Rasnisyah di
Singkil, serta kakak dan adik, yang telah memberikan dorongan moril
serta do’a yang tiada terbatas selama penulis menjalani pendidikan.
14. Suami tercinta Iswar, SH serta ananda Alwan Farras dan Naufal
Hawari, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do’a serta
memotivasi dan memberikan dukungan moril agar dapat
menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.
vi
yaitu Syaifullah, Saifuddin, Elmina Tampubolon, M. Hendro dan
Sri Lestari, yang telah membantu proses penyusunan tesis ini hingga
selesai.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini,
dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagai pengambil kebijakan di bidang
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Agustus 2009 Penulis
Fatma Deri
vii
RIWAYAT HIDUP
Fatma Deri, lahir pada tanggal 10 September 1967 di Kotamadya Jambi
Provinsi Jambi, beragama Islam, bertempat tinggal di Jl. Karya No.1 Pulo Sarok,
Singkil. Menikah dengan Iswar, SH serta dikaruniai dua orang anak, Alwan Farras
dan Naufal Hawari.
Riwayat pendidikan, SDN No. 34/IV Jambi (1980), SMPN 8 Jambi
(1983), SMAN 1 Jambi (1986), Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI Padang
(1989), Sarjana (S1) Kesehatan Masyarakat, USU Medan (2000).
Riwayat pekerjaan / jabatan, Pegawai Negeri Sipil Pusat pada Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi D.I. Aceh sejak September 1990,
Staf Seksi Gizi dan Kesehatan Keluarga Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh
(1990-1997), Staf Seksi Sarana Kesehatan Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh
(1997-1998), Staf Seksi Tugas dan Perbantuan Kanwil Depkes Provinsi D.I. Aceh
(2000-2002), Staf Seksi Peningkatan dan Perbaikan Gizi Dinas Kesehatan
Provinsi NAD (2002-2003), Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh
Singkil (2003-2005), Kepala Subdin KIA dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten
Aceh Singkil (2005-2007).
viii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 29
3.6. Metode Pengukuran ... 31
3.7. Metode Analisis Data ... 34
ix
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 36
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 36
4.2. Karakteristik Responden ... 39
4.3. Pola Konsumsi Makanan ... 43
4.4. Asupan Zat Gizi ... 46
4.5. Status Gizi Responden ... 48
4.6. Analisis Bivariat ... 49
4.7. Persepsi Masyarakat terhadap Makanan Tradisi Badapu ... 53
BAB 5. PEMBAHASAN ... 61
5.1. Pola Konsumsi Makanan Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ... 61
5.2. Asupan Zat Gizi Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ... 63
5.3. Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi Ibu Nifas yang Melaksanakan Tradisi Badapu ... 70
5.4. Persepsi Masyarakat terhadap Makanan Tradisi Badapu ... 78
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84
6.1. Kesimpulan ... 84
6.2. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
2.1. Kategori ambang Batas IMT untuk Indonesia ... 13
2.2. Batasan Anemia menurut Departemen Kesehatan ... 15
3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas dan Variabel Terikat ... 34
4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ... 37
4.2. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ... 38
4.3. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari) ... 38
4.4. Distribusi Sarana Kesehatan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 ... 39
4.5 Distribusi Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga Kesehatan Di Kecamatan Singkil Tahun 2009 ... 39
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 40
4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 40
4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 41
4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kelahiran Anak ... 41
4.10. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Umur ... 42
4.11. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Pendidikan ... 42
4.12. Distribusi Suami Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 43
4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Pola Konsumsi Makanan ... 44
xi
4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Energi ... 47
4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Protein ... 47
4.16. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Zat Besi ... 48
4.17. Distribusi Responden Berdasarkan IMT ... 48
4.18. Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Hemoglobin ... 49
4.19. Distribusi IMT Berdasarkan Asupan Energi ... 50
4.20. Distribusi IMT Berdasarkan Asupan Protein ... 51
4.21. Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Energi ... 52
4.22. Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Protein ... 52
4.23. Distribusi Kadar Hemoglobin Berdasarkan Asupan Zat Besi ... 53
xii
1. Diagram Penyebab Masalah Gizi ... 10
2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Timbulnya Masalah Gizi ... 24
3. Penyakit Kurang Gizi ... 25
4. Kerangka Konsep Penelitian ... 26
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Formulir Identitas Responden ………. 90
2. Formulir Metode Recall 24 Jam ………... 91
3. Formulir Metode Frekuensi Makanan ………... 92
4. Data Pengukuran Status Gizi ……….. 93
5. Daftar Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Ibu Nifas ... 94
6. Daftar Pertanyaan Wawancara Mendalam untuk Ibu/Ibu Mertua Bidan Desa, Dukun Kampung dan Tokoh Adat ... 95
7. Informed Concent ... 96
8. Master Data Penelitian ... 97
9. Hasil Crosstabs (Tabel Silang) ... 98
10. Surat Izin Penelitian dari Direktur Pascasarjana USU ... 103
11. Surat Izin Penelitian dari Kadinkes Kabupaten Aceh Singkil ... 104
12. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Kadinkes Aceh Singkil ... 105
13. Peta Kecamatan Singkil ... 106
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Paradigma pembangunan nasional yang berorientasi global dan
berwawasan ilmu pengetahuan, tidak akan terlaksana tanpa peningkatan kualitas
sumberdaya manusia (SDM). Gizi merupakan salah satu penentu kualitas
sumberdaya manusia. Hal ini dimungkinkan, karena seseorang yang mengalami
kekurangan gizi akan mengakibatkan rendahnya kualitas SDM. Rendahnya
kualitas sumberdaya manusia merupakan tantangan berat mengahadapi persaingan
bebas di era globalisasi (Depkes dan WHO, 2000).
Kebutuhan akan zat gizi berubah sepanjang daur kehidupan dan ini terkait
dengan pertumbuhan dan perkembangan dari masing-masing tahap kehidupan
tersebut. Dari setiap tahapan, kebutuhan zat gizi setiap individu berbeda. Ibu
setelah melahirkan (nifas) secara fisiologis membutuhkan zat gizi yang lebih
banyak dibandingkan dengan wanita dewasa biasa.
Status gizi seseorang sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi
(dimakan) dan kondisi kesehatan. Makanan yang dikonsumsi akan diproses dalam
tubuh menjadi zat gizi yang diperlukan untuk berbagai kebutuhan tubuh.
Pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi setiap orang dipengaruhi banyak
faktor, seperti kebiasaan makan, tradisi, pemeliharaan kesehatan, daya beli
keluarga dan lain-lain (Supariasa dkk, 2002).
2
Menurut Atmarita (2005), status gizi ibu dapat diketahui dengan
menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Berdasrkan data NSS-HKI 1999-2002
pada wanita umur 15-49 tahun terdapat sekitar 12 – 22 % yang mengalami
Kekurangan Energi Kronik ( IMT < 18,5). Sedangkan data pada Gizi Dalam
Angka, bahwa masalah gizi usia dewasa berdasarkan IMT dari berbagai provinsi
tahun 2003 yaitu IMT < 18,5 sebesar 15,5%, IMT 18,5-25 sebesar 63,8 %, IMT >
25 sebesar 21,0 %, IMT > 27 sebesar 11,1 % dan IMT ≥ 30 sebesar 3,9 %
(Depkes, 2005).
Adapun masalah kekurangan gizi lain yang banyak ditemukan terutama di
negara berkembang dan pada kelompok sosio-ekonomi rendah adalah Anemia.
Anemia terjadi pada wanita hamil dan wanita menyusui dikarenakan mereka
banyak mengalami defisiensi Fe. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45 %
wanita di negara berkembang dan 13 % di negara maju. Di Amerika, wanita usia
subur (WUS) berkisar umur 15-49 tahun yang mengalami anemia sebesar 12 %
dan wanita hamil 11%. Anemia pada wanita masa nifas (pasca persalinan) secara
umum sekitar 10 % dan 22 % terjadi pada wanita nifas dari keluarga miskin
(FKMUI, 2007).
Menurut Arisman (2004), anemia defisiensi zat besi merupakan masalah
gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Pada
tahun 1990 menurut WHO, prevalensi anemia kurang besi pada ibu hamil sebesar
55 %, yang menyengsarakan sekitar 44 % wanita di seluruh negara sedang
berkembang (kisaran angka 13,4-87,5%) . Angka tersebut pada tahun 1997, terus
membengkak hingga 74% dengan gambaran 13,4% pada Thailand dan 85,5%
pada India.
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001, anemia defisiensi besi pada ibu hamil 40,1 %, yang mana di daerah
pedesaan lebih tinggi dari perkotaan dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih
tinggi dari Kawasan Barat Indonesia (KBI). Sedangkan khusus pada ibu nifas
menurut SKRT 1995, prevalensi anemia besi yaitu sebesar 45,1 % (Depkes RI,
2006).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) tahun 2005, hasil survey kerjasama dengan UNICEF bahwa
status gizi kelompok WUS yaitu : Kurus (10,6 %), Normal (60,3%), Berat lebih
(22,4%), Obesitas (6,7%) dan prevalensi anemia sebesar 30,2 %.
Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang penulis lakukan pada bulan
Mei 2008 di Puskesmas Singkil, diperoleh data dari buku registrasi pemeriksaan
darah bagi ibu hamil, bahwa sekitar 80% ibu hamil memiliki kadar hemoglobin di
bawah normal ( < 11 gr%). Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa sebagian
besar ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Singkil mengalami anemia defisiensi
besi. Sedangkan ibu nifas belum pernah melakukan pemeriksaan darah.
Penyebab mendasar dari masalah ini adalah ketidakcukupan pasokan zat
gizi ke dalam sel. Meskipun banyak disebabkan oleh kekurangan zat gizi esensial,
tetapi faktor penyebabnya sangat kompleks yaitu faktor pribadi, sosial, budaya,
psikologis, ekonomi, politik dan pendidikan. Bila pengaruh faktor ini hanya
4
bersifat sementara malnutrisi bersifat akut dan bila tidak segera diperbaiki dengan
cepat maka kehidupannya akan terancam (FKMUI, 2007).
Menurut Foster dan Anderson (2006), masalah gizi yang terjadi sebagian
besar dikarenakan adanya kepercayaan-kepercayaan yang keliru di mana-mana.
Ada hubungan antara makanan dan kesehatan dengan kepercayaan-kepercayaan,
pantangan-pantangan dan upacara-upacara, yang mencegah orang memanfaatkan
sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka. Kekurangan gizi disebabkan
oleh kebiasaan-kebiasaan makanan yang buruk tersebut. Hal ini merupakan tugas
yang sangat sulit untuk diatasi, karena kebiasaan makanan menentang terhadap
perubahan yang dilakukan dibanding kebiasaan-kebiasaan lainnya.
Hambatan-hambatan budaya yang terjadi seperti di Haiti yaitu kepercayaan terhadap patologi
humoral, yang sangat membatasi makanan para ibu menyusui. Akibat kemiskinan,
makanan pokok yang tersedia bagi para wanita menjadi terbatas, sehingga adanya
pembatasan panas-dingin, suatu proporsi yang tinggi dari makanan pokok yang
biasanya dimakan menjadi pantang bagi para ibu menyusui.
Berdasarkan studi yang dilakukan Wilson di Desa RuMuda, di timur laut
Malaysia, disimpulkan bahwa setelah melahirkan wanita melayu mulai membatasi
makanan dengan cara mengurangi konsumsi sayur dan buah. Hal ini disebabkan
wanita yang baru melahirkan dianggap sangat peka terutama terhadap dingin yang
berasal dari udara atau makanan yang dingin. Sehingga semua makanan dingin
dilarang selama 40 hari pada periode pemanasan setelah melahirkan. Wanita
yang baru melahirkan dibatasi makanannya hanya pada telur, madu, gandum,
tapioka, pisang yang dimasak, ikan panggang, lada hitam dan kopi. Pada masa
nifas ini, mereka menolak mengonsumsi buah-buah dingin, sayuran dan ikan
beracun, akan dibuatkan resep atau menu khusus (Elroy, 1996). Sedangkan bagi
wanita Tamilnad, setelah melahirkan, selama 41 hari masa nifas, ada
makanan-makanan yang harus dihindarkan, seperti : daging biasa, telur ayam, mentega,
beras, cabe, ayam, sarden, susu sapi, buah-buahan, kentang, ubi rambat dan
kacang mete (Fieldhouse, 1995)
Menurut Reddy (1990), apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas
atau terlalu dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan
keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengonsumsi makanan
atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih dingin atau sebaliknya. Pada,
beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang
dalam keadaan dingin sehingga ia harus memakan makanan yang panas dan
menghindari makanan yang dingin.
Menurut Maas (2004), di Indonesia, beberapa suku juga memberlakukan
larangan atau pantangan makanan yang dikonsumsi kepada ibu setelah
melahirkan. Diantaranya seperti pada masyarakat Kerinci provinsi Jambi, ibu
yang sedang menyusui pantang untuk mengonsumsi bayam, ikan laut atau sayur
nangka. Di beberapa daerah lain, ada juga yang memantangkan ibu yang
menyusui untuk memakan telur. Pada masyarakat Betawi berlaku pantangan
makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI
menjadi asin.
6
Berdasarkan buku “Pedoman Umum Adat Aceh” bahwa di Aceh ada
tradisi yang disebut Madeung yaitu suatu tradisi yang dilaksanakan bagi wanita
setelah melahirkan selama 44 hari dengan berbagai macam ketentuan yang
berlaku. Ketentuan dalam hal makanan, diatur bahwa makanan yang bisa dimakan
yaitu nasi campur ikan kering yang digongseng. Makanan lain tidak
diperbolehkan bahkan telur pun dilarang sama sekali (LAKA D.I.Aceh, 1990).
Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Mei 2008 melalui
observasi langsung dan wawancara dengan bidan kampung atau dukun beranak,
bahwa setiap ibu nifas di Kabupaten Aceh Singkil, diharuskan melakukan tradisi
badapu. Tradisi badapu ini telah berlangsung secara turun temurun dari sejak dulu
sampai sekarang. Ibu nifas dilarang mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan
dan hanya boleh mengonsumsi beberapa bahan makan tertentu. Hal ini
mengakibatkan asupan zat gizi ibu menjadi kurang bila dibandingkan dengan
kecukupan zat gizi yang dibutuhkan pada masa menyusui. Ibu nifas seharusnya
mendapatkan makanan yang lebih dari segi jumlah maupun mutunya, agar dapat
menghasilkan ASI untuk memenuhi kebutuhan bayi yang hanya bergantung pada
ASI ibunya.
Akan tetapi karena diharuskan menjalankan tradisi badapu, maka ibu nifas
mengikuti aturan-aturan yang ada berupa pembatasan terhadap beberapa jenis
makanan yang boleh dimakan. Akibat pembatasan tersebut, makanan yang
dikonsumsi ibu nifas tidak memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hal
ini tentunya mempengaruhi status gizi ibu yang secara tidak langsung akan
berdampak pula pada pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan kajian ilmiah untuk
mengetahui pola konsumsi makanan dan asupan zat gizi ibu nifas yang
menjalankan tradisi badapu. Selanjutnya perlu dilakukan analisis kemungkinan
ada hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu dengan
status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Disamping itu
juga perlu diketahui persepsi masyarakat Singkil terhadap makanan tradisi
badapu.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan yaitu
bagaimana hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu
dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil serta
bagaimana pola konsumsi makanan ibu nifas dan persepsi masyarakat Singkil
terhadap makanan tradisi badapu.
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pola konsumsi makanan ibu nifas yang melakukan tradisi
badapu di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.
2. Mengetahui asupan zat gizi ibu nifas yang melakukan tradisi badapu di
Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.
8
3. Mengetahui status gizi ibu nifas yang melakukan tradisi badapu di
Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.
4. Menganalis hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melakukan tradisi
badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten
Aceh Singkil.
5. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi
badapu dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh
Singkil.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Dapat digunakan sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten
Aceh Singkil dalam menyusun perencanaan program promosi kesehatan
dalam upaya perbaikan gizi masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil.
2. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk mengkaji dari
aspek lain dan menambah khasanah kepustakaan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi
Kualitas sumberdaya manusia (SDM) salah satunya ditentukan oleh status
gizi. Hal ini dimungkinkan, karena apabila seseorang mengalami kekurangan gizi
atau status gizinya jelek akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumberdaya
manusia. Sumberdaya manusia yang berkualitas hanya dapat dihasilkan dari
seseorang yang berstatus gizi baik. Agar menghasilkan generasi yang berkualitas
di masa mendatang, status gizi harus baik, mulai dari berbentuk janin hingga
dewasa. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus dalam pemenuhan kebutuhan zat
gizi bagi ibu hamil dan ibu nifas. Ibu nifas dengan status gizi baik akan
menghasilkan air susu ibu (ASI) yang berkualitas baik pula, sebagai makanan
utama dan yang terbaik bagi pemenuhan kebutuhan zat gizi bayinya hingga
berumur 6 bulan.
Menurut Supariasa dkk (2002) menyatakan bahwa status gizi adalah
merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke
dalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi tiap individu. Sedangkan
menurut Adair (1987) yang mengutip pendapat Mc. Larent, bahwa keadaan gizi
sebagai suatu keaadan yang dihasilkan dari keseimbangan antara gizi yang
tersedia pada suatu organisme dengan gizi lainnya yang dikeluarkan. Keaadaan
gizi dihubungkan dengan indikator tertentu atau merupakan suatu gabungan
10
indikator dari zat gizi yang diwakilkan sehingga memberikan gambaran dari
kondisi tersebut. Indikator dari keadaan gizi hanya merupakan pengungkapan
keadaan fisiologis nilai gizi. Biasanya indikator dari bermacam-macam bahan gizi
saling berkaitan.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) bahwa secara langsung
keadaan gizi dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi dan penyakit infeksi. Secara
tidak langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga,
ketersediaan pelayanan kesehatan, pola asuh yang tidak memadai, seperti terlihat
pada gambar 1.
Menurut Supariasa dkk, (2002) yang mengutip pendapat Jelliffe DB,
penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidang langsung.
Penilaian secara langsung yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.
Sedangkan penilaian secara tidak langsung yaitu : survei konsumsi makanan,
statistik vital dan faktor ekologi.
Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan pada
masyarakat yaitu antropometri gizi. Pengertian dari antropometri gizi adalah
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Dari sudut pandang
antropometri, jenis pertumbuhan dapat dibagi atas dua yaitu pertumbuhan yang
bersifat linear dan pertumbuhan massa jaringan. Pertumbuhan linear
menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat lampau, misalnya :
tinggi badan, lingkar dada, lingkar kepala. Sedangkan pertumbuhan massa
jaringan menggambarkan status gizi yang dihubungkan pada saat sekarang,
misalnya : berat badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur sattus gizi dari berbagai
ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein. Gangguan ini biasanya
terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,
otot dan jumlah air dalam tubuh.
12
Berdasarkan pendapat Hadi (2001) bahwa indeks antropometri merupakan
kombinasi dari beberapa parameter. Indeks antropometri penting untuk
interpretasi pengukuran. Pada orang dewasa, indeks antropometri yang biasa
digunakan yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT), kombinanasi dari pengukuran berat
badan dan tinggi badan.
Menurut Depkes RI (1996) Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass
Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi
orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan tidak
dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Nilai IMT
dapat diketahui dengan menggunakan rumus yaitu :
Adapun batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan
FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan,
yaitu batas ambang normal untuk laki-laki adalah 20,1-25,0; dan untuk
perempuan adalah : 18,7-23,8. Adapun ambang batas IMT untuk Indonesia
adalah seperti pada tabel 2.1.
)
Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 - 18,4
Normal 18,5 - 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 - 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
Dari kategori ambang batas IMT di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
apabila seseorang berada pada IMT < 17,0 maka keadaan orang tersebut disebut
kurus dengan kekurangan berat badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis
(KEK) berat; apabila seseorang berada pada IMT 17,0-18,4 maka keadaan orang
tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat ringan atau KEK
ringan; apabila seseorang berada pada IMT 18,5-25,0 maka keadaan orang
tersebut termasuk kategori normal; apabila seseorang berada pada IMT 25,1-27,0
maka keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat
ringan; apabila seseorang berada pada IMT >27,0 maka keadaan orang tersebut
disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat berat.
Menurut Aritonang (2007) bahwa rata-rata IMT ibu menyusui di
Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor adalah 21,2 dengan kisaran 19,7 – 23,0
atau 21,22 ± 2,53. Hal ini berarti bahwa status gizi ibu menyusui berdasar IMT di
Jawa Barat umumnya baik (normal).
14
Adapun penilaian status gizi secara langsung yang lain adalah pemeriksaan
biokimia, yang memberikan hasil lebih tepat dan objektif. Berdasarkan pendapat
Supariasa dkk (2002) dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan biokimia yang sering
digunakan adalah pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi kimia
lain dalam darah dan urine, misalnya pemeriksaan hemoglobin dalam darah.
Hemoglobin (Hb) merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah.
Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat
digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Hasil
pengukuran kadar hemoglobin tersebut dibandingkan dengan standar normal yang
telah ditetapkan. Hemoglobin secara luas digunakan sebagai parameter untuk
menetapkan prevalensi anemia. Kandungan hemoglobin yang rendah memberikan
indikasi anemia.
Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat dan atau
vitamin B12, yang kesemuanya berakar pada asupan yang tidak adekuat,
ketersediaan hayati rendah (buruk) dan kecacingan yang masih tinggi. Anemia
gizi merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah
sel darah merah di bawah nilai normal, yang dipatok untuk perorangan. Secara
umum penyebab defisiensi zat besi, yaitu (1) kehilangan darah secara kronis,
sebagai dampak perdarahan kronis, (2) asupan zat besi tidak cukup dan
penyerapan tidak adekuat, dan (3) peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk
pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan
bayi, masa pubertas, masa kehamilan dan menyusui (Arisman, 2004).
Menurut Departemen Kesehatan RI (1995), bahwa batasan anemia di
Indonesia, seperti terlihat pada tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2. Batasan Anemia menurut Departemen Kesehatan
Kelompok Batasan Normal
Ibu Menyusui > 3 bulan
11 gram %
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, bahwa
rata-rata kadar hemoglobin penduduk perkotaan di Indonesia pada kelompok
perempuan dewasa adalah 13 g/dl dengan SD 1,72 g/dl (dengan kisaran 11,28 –
14,72 g/dl), dan pada kelompok ibu hamil rata-rata 11,81 g/dl dengan SD 1,55
g/dl ( dengan kisaran 10,26 – 13,36 g/dl). Adapun untuk Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam rata-rata pada perempuan dewasa adalah 13,06 g/dl. Prevalensi
anemia pada penduduk perkotaan untuk kelompok perempuan untuk Indonesia
adalah sebesar 11,3 % dan Provinsi NAD adalah 10,4 % (Depkes, 2008).
Rata-rata kadar hemoglobin hasil Riskesdas ini, relatif sama dengan
rata-rata kadar hemoglobin pada ibu menyusui di Kecamatan Darmaga Kabupaten
Bogor, hasil penelitian yang dilakukan oleh Aritonang (2007) yaitu 12,23 ± 1,68
g/dl. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kadar hemoglobin ibu menyusui
sudah baik karena ≥ 12 g/dl.
16
2.2. Konsumsi Makanan
Manusia membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
dalam tubuh. Kebutuhan zat gizi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan umur,
jenis kelamin. Agar kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi, maka harus mengonsumsi
makanan setiap hari sesuai dengan anjuran gizi. Makanan yang dikonsumsi
seseorang dapat diketahui jumlah dan kandungan zat gizinya dengan cara
melakukan penilaian konsumsi makanan atau survei diet.
Menurut Supariasa dkk (2002) menyatakan bahwa survei konsumsi
makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penetuan status gizi
seseorang atau kelompok. Survei konsumsi makanan bertujuan untuk mengetahui
kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi
pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Hasil survei konsumsi
makanan tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara
langsung, namun dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinann
terjadinya kekurangan gizi pada seseorang.
Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi
makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan
kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif untuk mengetahui frekuensi makan,
frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang
kebiasaan makan serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode
pengukuran konsumsi makanan yang bersifat kualitatif antara lain : metode
frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon dan
metode pendaftaran makanan (food list). Sedangkan metode yang bersifat
kuantitatif untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat
dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan
Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah
Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan
Minyak. Metode pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara lain : metode
recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan
makanan (food weighing), metode food account, metode inventaris (inventory
method) dan pencatatan (household food records).
Metode recall makanan merupakan tehnik yang paling sering digunakan
baik secara klinis maupun penelitian. Metode ini mengharuskan pelaku mengingat
semua makanan dan jumlahnya sebaik mungkin dalam waktu tertentu ketika tanya
jawab berlangsung. Pengingatan sering dilakukan untuk 1-3 hari.
Menurut Gibney ( 2002) bahwa informasi yang berkenaan dengan aturan
makan pada suatu periode tertentu dapat diperoleh dengan menanyakan individu
untuk mengingat kembali jumlah dan jenis makanan yang sudah mereka makan.
Recall 24 jam adalah suatu usaha untuk mengingat kembali banyaknya jumlah
makanan yang dikonsumsi pada satu hari sebelumnya ( 24 jam yang lalu). Masa
ini dipertimbangkan dapat memberikan daya ingat serta informasi yang dapat
dipercaya, Adapun bila masa mengingat lebih panjang, maka daya ingat menjadi
lebih terbatas. Metode recall 24 jam merupakan metode yang secara luas
18
digunakan untuk memperoleh informasi terhadap makanan pada individu. Metode
ini sering digunakan pada survey nasional karena memiliki tingkat tanggapan
yang tinggi dan dapat memberikan informasi secara terinci untuk mewakili
kelompok populasi yang berbeda.
Menurut Soekirman (2000), bahwa kebutuhan akan zat gizi tidak sama
bagi semua orang, tetapi tergantung pada banyak hal antara lain umur, kelamin,
dan pekerjaan. Keseimbangan jumlah dan jenis zat gizi yang dibutuhkan berbagai
kelompok orang ditetapkan dalam suatu daftar yang dikenal sebagai Daftar
Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKG) yang dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai Recommended Dietary Allowance (RDA). Di Indonesia DKG ditetapkan
setiap lima tahun sekali oleh sekelompok pakar dalam Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi.
Menurut Hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004, Angka
Kecukupan Gizi (AKG) untuk perorangan/individu diperoleh dari perbandingan
antara konsumsi zat gizi dengan keadaan gizi seseorang. Caranya yaitu dengan
membandingkan pencapaian konsumsi zat gizi individu tersebut terhadap AKG.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, nomor :
1593/Menkes/SK/XI/ 2005, dapat dilihat bahwa kecukupan gizi bagi ibu nifas
disesuaikan dengan kelompok umur ibu dan kemudian diberikan penambahan
energi 500 kkal, protein 17 gram dan zat besi 6 mg.
Menurut Depkes RI (1990) bahwa klasifikasi tingkat konsumsi makanan
di bagi menjadi empat dengan cut of points sebagai berikut:
• Baik : ≥ 100 % AKG
• Sedang : 80 – 99 % AKG
• Kurang : 70 – 80 % AKG
• Defisit : < 70 %
Menurut Adair (1987) menyatakan bahwa jumlah dan mutu produksi ASI
menggambarkan status gizi ibu hamil sebelumnya sampai selama menyusui,
sama juga halnya dengan kesehatan ibu, kebutuhan aktivitas fisik dan lingkungan
serta tekanan kejiwaan. Pada periode menyusui ini sedapat mungkin zat-zat gizi
diperlukan oleh ibu-ibu. Dengan pengecualian pada energi dan beberapa zat gizi
khusus dapat diambil dari cadangan di tubuh ibu. Rekomendasi FAO/WHO tahun
1974 untuk asupan energi pada masa nifas diasumsikan menghasilkan energi
hanya 60% saja. Sehingga ibu membutuhkan tambahan energi setiap hari, yaitu
550 kkal. Sedangkan rekomendasi dari U.S. National Research Council,
tambahan energi 500 kkal/hari. Mengutip pendapat Thomson dan Black bahwa
kebutuhan energi pada masa nifas dapat ditambahkan kira-kira 200-300 kkal/hari
selama 3 bulan pertama masa nifas. Adapun untuk asupan protein selama
menyusui rekomendasi FAO/WHO yaitu sebesar 46 g/hari yang lebih rendah dari
U.S. RDA’S yaitu 66 g/hari.
20
Menurut Aritonang (2007) konsumsi zat gizi dari pangan pada ibu
menyusui di Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor sebelum dilakukan intervensi
rata-rata energi sebesar 1574,0 ± 527,1 Kal, rata-rata protein sebesar 46,7 ± 20,1
gr, dan rata-rata zat besi sebesar 13,6 ± 5,6 mg.
2.3. Tradisi Badapu
Badapu berasal dari kata dapur yang artinya “naik dapur”. Pada
masyarakat pinggiran (pedesaan), ibu setelah melahirkan akan ditempatkan di
dapur, dengan membuatkan bale-bale berukuran 1 X 2 m sebagai tempat tidur dan
disampingnya dibuat tungku dengan bahan bakar dari kayu jenis tertentu. Pada
masyarakat perkotaan, ibu nifas masih melaksanakan tradisi badapu, namun tidur
di kamar dan tungku diganti dengan kompor, sehingga tidak mengganggu
lingkungan sekitar akibat asap yang ditimbulkan dan juga ramah lingkungan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Mei 2008, melalui
wawancara dengan Dukun Kampung, tradisi badapu merupakan suatu kebiasaan
yang dilakukan bagi seorang ibu setelah melahirkan di mulai dari hari ke 7 sampai
hari ke 60 (untuk kelahiran anak pertama) dan hari ke 40 (untuk kelahiran anak
selanjutnya).
Ada beberapa ritual yang harus dijalankan ibu nifas saat menjalankan
tradisi badapu, yaitu memanaskan tubuh ibu pada pagi dan sore hari dengan
nyala api tungku; memulihan kondisi perut ibu setelah melahirkan menggunakan
batu bata atau kelapa muda yang sudah dipanaskan ditungku lalu dibungkus
dengan kain dan daun mengkudu, lalu diletakkan di atas perut ibu, setelah dingin
dipanaskan kembali; memulihkan alat genital ibu dengan menggunakan batu
kerikil kecil kira-kira sebesar bola pimpong yang dipanaskan dalam abu tungku,
lalu dibungkus dengan kain dan daun kunyit kemudian ditempelkan pada vagina,
setelah dingin dipanaskan kembali.
Pada saat menjalankan tradisi badapu, ibu nifas dilarang mengonsumsi
beberapa jenis bahan makanan seperti : telur, kerang, udang, ikan tongkol, susu,
pepaya, pisang, nenas dan cabe. Sedangkan bahan makanan yang boleh
dikonsumsi seperti : ikan segar, ikan asin, ikan teri, yang pengolahannya dengan
cara digoreng kering, dibakar atau digongseng. Jenis sayuran yang bisa
dikonsumsi adalah : daun singkong, daun katu dan daun pepaya, yang dimasak
dengan cara direbus. Karena adanya pembatasan terhadap konsumsi air, maka
sayur yang direbus tadi, airnya diperas sehingga mengandung sedikit air.
Selain itu ibu nifas tidak diperbolehkan minum air putih namun meminum
air yang khusus diramu. Setiap pagi ibu meminum “minuman mentah” yang
terbuat dari remasan daun-daunan seperti daun pepaya, daun nenas, daun
inay/pacar dan lain-lain, yang dicampur dengan kunyit, jahe, jeruk nipis serta
madu. Jenis minuman mentah tersebut setiap tiga hari diganti kemudian dibuat
minuman mentah lainnya yang terbuat dari daun-daunan berbeda. Sebagai
pengganti air putih, dibuatkan “minuman pariuk” yaitu rebusan beberapa macam
daun-daun kayu dicampur rempah-rempah. Minuman pariuk tersebut hanya untuk
tiga hari saja selanjutnya dibuat rebusan yang baru lagi.
22
Tradisi badapu yang dilakukan di kabupaten Aceh Singkil, ternyata juga
dilakukan di daerah lain di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disebut
Madeung. Pada negara lain seperti Malaysia, yang memiliki budaya hampir
menyerupai Indonesia juga melakukan tradisi seperti ini.
Berdasarkan pendapat Elroy dan Townsend (1996) yang membahas hasil
studi Christine Wilson, seorang antropolog nutrisi yang melakukan studi di
RuMuda, sebuah desa berpenduduk 600 orang di timur laut Malaysia, sesaat
setelah melahirkan wanita melayu dianjurkan memulai membatasi makanan.
Bukannya menghindari sumber protein hewani, mereka mengurangi konsumsi
buah dan sayuran selama kira-kira enam minggu. Pola ini menggambarkan bahwa
di Malaysia menganggap kualitas panas dan dingin dihubungkan dengan
makanan, obat dan tingkat kerapuhan. Untuk melindungi kesehatan sang ibu,
mereka tidur dipanggung kayu, yang disebut dengan ”pembaringan perapian,”
berada di atas api kayu kecil. Sepanjang hari, mereka istirahat beberapa saat di
panggung juga tetap melakukan aktivitas seperti biasanya. Karena buah dan
sayuran dianggap sebagai makanan ”dingin” maka kalau dikonsumsi akan
mengakibatkan ketidakseimbangan, jadi harus dihindari. Selama 40 hari
pemanasan, ibu diperbolehkan makan nasi dan ikan dengan lada hitam yang
merupakan bahan pokok di desa-desa nelayan Melayu.
Antropolog Amerika lainnya, Carol Laderman, juga melakukan studi di
kampung lain yaitu desa Merchang 20 km dari desa RuMuda. Para wanita yang
termasuk dalam studi, beberapa diantaranya mengikuti pantangan makanan
selama 40 hari penuh, beberapa yang lainnya hanya dalam waktu singkat dan ada
juga yang tidak sama sekali. Wanita Merchang sangat fleksibel dan pragmatis
dalam menafsirkan pantangan makanan setelah melahirkan. Awalnya mereka
mencoba makanan yang panas saja, jika semuanya berjalan dengan baik, mereka
akan mencoba menambahkan makanan yang netral dan akhirnya makanan yang
dingin. Pantangan dalam suku Melayu hanya merupakan pedoman yang
seharusnya dijalankan, bukan larangan yang sesungguhnya berkaitan dengan
kekeuatan gaib atau sanksi sosial. Kepatuhan terhadap aturan tergantung pada
beberapa faktor seperti kehati-hatian atau keberanian seseorang dan pengalaman
setelah melahirkan bayi pertama. Wanita Merchang dari kelompok berada yang
mampu mengkonsumsi berbagai variasi makanan, lebih cenderung untuk
mematuhi pantangan daripada wanita kurang mampu yang memiliki sedikit
pilihan.
Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibu nifas pada
beberapa daerah di wilayah Indonesia dan beberapa daerah di negara lain,
ditemukan adanya larangan dan pantangan mengonsumsi beberapa jenis bahan
makanan serta adanya kebiasaan menjalankan suatu tradisi pemanasan dengan
tujuan untuk mempercepat pemulihan kondisi ibu setelah melahirkan.
24
2.4. Landasan Teori
Berdasarkan hasil studi kepustakaan dapat diasumsikan bahwa konsumsi
makanan merupakan salah satu determinan penting yang mempengaruhi status
gizi masyarakat.
Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1979) digambarkan
beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi serta kaitan satu
faktor dengan faktor lainnya. Berdasarkan pendapat para ahli (seperti Pines, Call
dan Levinson), bahwa faktor yang mempengruhi status gizi dapat dilukiskan
seperti gambar 2 di bawah ini (Supariasa dkk, 2002).
Gambar 2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Timbulnya Masalah Gizi
Zat gizi dalam makanan
Ada tidaknya program pemberian makanan di
luar keluarga
Daya beli keluarga
Kebiasaan makan
Pemeliharaan kesehatan
Lingkungan Fisik dan sosial
Konsumsi makanan
K e s e h a t a n
Status Gizi
Jika asupan makanan tidak cukup dalam tubuh, maka akan mengakibatkan
masalah gizi. Masalah gizi memiliki dimensi yang luas karena menyangkut ha-hal
yang sangat multidisiplin yang saling berhubungan dan mempengaruhi seperti
masalah kesehatan, masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan,
seperti terlihat pada gambar 3 di bawah ini (FKM-UI, 2007).
Gambar 3 : Penyakit Kurang Gizi Food habits,
Tradition
Poverty Carelessness Ignorance Anorexia
Inadequate food intake
26
2.5. Kerangka Konsep
Persepsi terhadap makanan tradisi badapu akan mempengaruhi pola
konsumsi makanan yang selanjutnya akan mempengaruhi asupan zat gizi ibu
nifas. Asupan zat gizi akan mempengaruhi status gizi ibu nifas. Pola konsumsi
makanan ibu nifas saat melaksanakan tradisi badapu di Kecamatan Singkil yaitu
harus mematuhi pantangan/larangan terhadap beberapa bahan pangan yang bisa
dikonsumsi sehingga akan berpengaruh pada asupan zat gizi ibu nifas dan akan
berdampak pula pada status gizi ibu nifas. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
gambar kerangka konsep penelitian di bawah ini :
Status Gizi Ibu Nifas : - IMT
- Kadar Hb
Persepsi terhadap Makanan
Tradisi Badapu
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah survey dengan type eksplanatory
atau penjelasan yang ditujukan untuk mempelajari pola konsumsi makanan tradisi
badapu dan hubungan asupan zat gizi ibu nifas yang melaksanakan tradisi badapu
dengan status gizi ibu nifas di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil
(kuantitatif) serta persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu
(kualitatif).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun alasan memilih Kecamatan Singkil
karena masyarakat di Kecamatan Singkil masih melaksanakan tradisi badapu.
Sedangkan Kecamatan Singkil merupakan ibukota kabupaten yang seharusnya
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan telah menjalankan peradapan
yang lebih modern, terutama program gizi pada ibu menyusui. Pelaksanaan
penelitian dimulai dengan melakukan penelusuran kepustakaan, penyusunan
proposal, seminar proposal, penelitian dan analisa data serta penyusunan laporan
akhir. Waktu penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Maret – April 2009.
28
3.3. Populasi dan Sampel
Pada penelitian kuantitatif, populasinya adalah ibu melahirkan setelah tiga
puluh hari yang melaksanakan tradisi badapu pada bulan Maret - April 2009 di
Kecamatan Singkil. Seluruh populasi akan dijadikan sampel dalam penelitian
(total sampling) yaitu sebanyak 45 orang. Sedangkan pada penelitian kualitatif,
sampel yang menjadi partisipan adalah Ibu nifas, Ibu/Ibu Mertua, Bidan Desa,
Bidan /Dukun Kampung dan Tokoh Adat, yang berjumlah 26 orang. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive dengan pertimbangan tertentu serta
keterbatasan tenaga, dana dan waktu.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data primer pada penelitian kuantitatif adalah penilaian konsumsi
makanan yang diperoleh dari : a) asupan zat gizi berupa energi, protein dan zat
besi dengan menggunakan metode Recall 24 jam (lampiran 2); b) pola konsumsi
makanan dengan menggunakan formulir metode frekuensi makanan (lampiran 3).
Sedangkan data status gizi dilakukan dengan pengukuran tinggi badan dan berat
badan serta pemeriksaan kadar hemoglobine. Data kualitatif tentang persepsi
masyarakat terhadap makanan tradisi badapu dilakukan dengan wawancara
mendalam (in-dept interview) terhadap partisipan menggunakan daftar pertanyan
bersifat terbuka, yang telah dipersiapkan. Tenaga pengambil data adalah ahli gizi
dan analis dari Puskesmas Singkil dan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil.
Data sekunder dihimpun melalui pencatatan dokumen dari Puskesmas
Singkil, Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil, Dinas Kesehatan Provinsi
Nanggroe Aceh dan Departemen Kesehatan RI.
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang diukur, yaitu asupan zat gizi
(X) sebagai variabel bebas (independent) dan status gizi (Y) sebagai variabel
terikat (dependent).
3.5.1. Variabel bebas (Independent)
• Asupan zat gizi adalah zat gizi yang masuk ke dalam tubuh untuk memenuhi
kecukupan zat gizi agar dapat menjalankan fungsi fisiologis. Intake zat gizi
dapat dinilai berdasarkan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein
dan tingkat kecukupan zat besi yang akan dibandingkan dengan Angka
Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG).
• Tingkat kecukupan Energi : adalah hasil rata-rata energi yang dikonsumsi
sehari (satuan Kilokalori/Kal) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.
• Tingkat kecukupan Protein : adalah hasil rata-rata protein yang dikonsumsi
sehari (satuan gram/gr) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.
• Tingkat kecukupan zat besi : adalah hasil rata-rata zat besi yang dikonsumsi
sehari (satuan miligram/mgr) dibandingkan dengan AKG dikali 100 %.
30
• Pola konsumsi makanan adalah gambaran tentang jenis dan frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan selama periode tertentu : hari, minggu dan
bulan (selama menjalankan masa badapu).
• Tradisi badapu adalah : suatu kebiasaan yang harus dilakukan oleh ibu setelah
melahirkan di mulai pada hari ke 7 sampai hari ke 40 - 60 (habis masa nifas).
• Persepsi masyarakat terhadap makanan tradisi badapu adalah tanggapan atau
pendapat masyarakat terhadap kebiasan makanan pada ibu nifas yang
menjalankan tradisi badapu dan akibat yang ditimbulkan saat menjalani
kebiasaan itu. Persepsi ini akan diperoleh dari partisipan atau nara sumber :
- Ibu nifas adalah ibu yang melahirkan setelah tiga puluh hari dan
melaksanakan tradisi badapu.
- Ibu/Ibu Mertua adalah orang tua dari ibu nifas atau orang tua dari suami
yang sangat berperan pada pelaksanaan tradisi badapu.
- Bidan Desa adalah tenaga pelayanan kesehatan yang menolong persalinan
di desa atau wilayah kerjanya.
- Bidan/Dukun Kampung adalah orang yang mempunyai keahlian, yang
diperoleh secara turun temurun atau berdasarkan pengalaman dalam
menolong persalinan.
- Tokoh Adat adalah seseorang yang mengerti dan mampu dalam
melaksanakan adat istiadat yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat.
3.5.2. Variabel terikat (Dependent)
• Status gizi adalah gambaran atau hasil akhir dari keseimbangan antara
pemasukan dan penyerapan zat-zat gizi dengan penggunaan zat-zat gizi
tersebut dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002). Status gizi yang
akan dinilai adalah sebagai berikut :
• Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah metode untuk memantau status gizi orang
dewasa berumur di atas 18 tahun sesuai dengan rumus perhitungannya.
• Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) adalah pengukuran terhadap kandungan
hemoglobin dan hasilnya dibandingkan dengan nilai ambang batas.
3.6. Metode Pengukuran
Pengukuran dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan cara
memperoleh data kuantitatif yang diinginkan berdasarkan indikator variabel yang
telah ditentukan. Skala pengukuran yang digunakan yaitu pengukuran ordinal.
Sedangkan pada data kualitatif tidak ada pengukuran data.
3.6.1. Variabel bebas (Independent)
Konsumsi makanan dapat dinilai berdasarkan :
a. Asupan zat gizi diketahui dengan menghitung tingkat kecukupan energi,
tingkat kecukupan protein dan tingkat kecukupan zat besi, menggunakan
metode recall 24 jam sebanyak dua kali, yang dilakukan oleh tenaga ahli
gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil dan Puskesmas Singkil.
32
Bahan makanan yang recall akan dianalisa zat gizinya menggunakan metode
Nutrisurvey. Hasil rata-rata dari masing-masing zat gizi akan dibandingkan
dengan AKG bagi bangsa Indonesia rekomendasi Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi ke VIII tahun 2004 (Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI,
Nomor : 1593/ Menkes/SK/XI/2005). Skala pengukuran adalah ordinal.
Klasifikasi tingkat asupan zat gizi sebagai berikut :
• Baik : ≥ 100 % AKG
• Sedang : 81 – 99 % AKG
• Kurang: 70 – 80 % AKG
• Defisit : < 70 % AKG
b. Pola Konsumsi makanan diukur berdasarkan jenis dan frekuensi dari bahan
makanan yang dikonsumsi selama periode tertentu. Bahan makanan akan
dikelompokkan berdasarkan : Makanan Pokok, Lauk Hewani, Lauk Nabati,
Sayur-sayuran, Buah-buahan dan lain-lain.
Setiap bahan makanan akan dilihat frekuensi konsumsinya selama periode
sebagai berikut :
• Satu kali atau lebih dalam sehari
• Dua sampai lima kali seminggu
• Sekali atau beberapa kali sebulan (masa badapu)
• Tidak pernah sama sekali
3.6.2. Variabel terikat (Dependent).
Status gizi yang akan dilihat dari Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Kadar
hemoglobin (Hb).
a. Indeks Masa Tubuh dapat diketahui nilainya dengan rumus yang telah
ditentukan yaitu perbandingan antara berat badan (kilogram) dengan tinggi
badan (meter) kali tinggi badan (Depkes RI, 1996). Berat badan diukur
menggunakan timbangan injak Seca dengan tingkat ketelitian 0,1 kg.
Sedangkan tinggi badan diukur menggunakan microtoise berskala 200 cm
dengan ketelitian 0,1 cm.
Nilai IMT akan dikategorikan seperti berikut :
- Kurus : bila IMT < 18,5
- Normal : bila IMT 18,5 – 25,0
- Gemuk : bila IMT > 25,0
b. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan menggunakan alat HemoCue Hb
201+ dengan metode cyanmethemoglobin. Prinsip kerja metode ini adalah
Sodium nitrit mengubah hemoglobin menjadi methamoglobin, yang kemudian
bereaksi dengan sodium azide membentuk azidemethemoglobin yang
berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan dua panjang gelombang (570
nanometer dan 880 nanometer), lalu dibandingkan dengan standar.
Hasil pemeriksaan kadar Hb akan dikategorikan sebagai berikut :
- Anemia : bila Hb < 11 gram%
- Tidak Anemia : bila Hb ≥ 11 gram%
34
Pengukuran variabel bebas dan variabel terikat lebih jelas dapat dilihat
pada tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas dan Variabel Terikat
No Nama Variabel Cara Ukur Skala
Recall 24 jam Ordinal
1. Baik
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dari seluruh
variabel bebas yaitu asupan zat gizi berupa asupan energi, protein, zat besi dan
variabel terikat yaitu status gizi ibu nifas berupa IMT dan kadar hemoglobin.
Demikian pula dengan distribusi pola konsumsi makanan ibu nifas yang
melaksanakan tradisi badapu.
3.7.2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan pada data kuantitatif untuk melihat hubungan
antara variabel bebas yaitu asupan zat gizi berupa asupan energi, protein dan zat
besi dengan variabel terikat yaitu status gizi ibu nifas berupa IMT dan kadar
hemoglobin dengan menggunakan uji Chi-kuadrat (χ2).
3.7.3. Analisis data kualitatif
Data kualitatif yang menggambarkan persepsi masyarakat terhadap
makanan tradisi badapu disajikan secara deskriptif dengan menyajikan pendapat
responden dalam bentuk narasi. Analisa data dilakukan dengan menggunakan
teknik analisa kualitatif dan dibandingkan dengan teori kepustakaan maupun
asumsi yang ada.
36
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Kecamatan Singkil merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Aceh
Singkil, dengan luas wilayah 459 Km2. Kecamatan Singkil terdiri dari 16 desa
(kampong) dengan 4 kemukiman.
Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari).
No Desa Jumlah %
Sumber : Kantor Kecamatan Singkil, Tahun 2009
Berdasarkan data dari Kantor Kecamatan Singkil, jumlah penduduk di
kecamatan Singkil tahun 2009 sebanyak 18.791 jiwa, yang terdiri dari laki-laki
9.438 jiwa dan perempuan 9.353 jiwa, dengan kepadatan penduduk berkisar
41 jiwa per Km2. Penduduk yang paling banyak terdapat di desa Pulo Sarok
dengan jumlah penduduk 4.192 jiwa (22,31 %) dan yang paling sedikit terdapat di
desa Simboling dengan jumlah penduduk 289 jiwa (1,54%), seperti tertera pada
tabel 4.1 di atas.
Tingkat pendidikan penduduk di kecamatan Singkil relatif rendah, karena
paling banyak penduduk dengan pendidikan tamat SD/sederajat sebesar 22,36 %
sedangkan yang paling sedikit penduduk dengan pendidikan strata-2 yaitu 0,14 %.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari)
No Tingkat Pendidikan Jumlah %
Sumber : Kantor Kecamatan Singkil Tahun 2009
38
Pekerjaan penduduk di kecamatan Singkil yang paling banyak yaitu
sebagai wiraswasta sebanyak 32,68 % sedangkan yang paling sedikit yaitu buruh
sebanyak 5,31 %, seperti dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan di Kecamatan Singkil Tahun 2009 (Per Februari).
No Jenis Pekerjaan Jumlah %
Sumber : Kantor Kecamatan Singkil Tahun 2009
Sarana pelayanan kesehatan di kecamatan Singkil hanya ada Puskesmas
Perawatan sebanyak satu buah dan Puseksmas Pembantu sebanyak tiga buah.
Sarana kesehatan lainnya, dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4. Distribusi Sarana Kesehatan di Kecamatan Singkil Tahun 2009
No. Jenis Sarana Kesehatan Jumlah
Sumber : Puskesmas Singkil Tahun 2009
Jumlah tenaga kesehatan di kecamatan Singkil cukup banyak yaitu 64
orang sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik.
Jenis tenaga yang paling banyak adalah Bidan yang berjumlah 29 orang dan
paling sedikit yaitu tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat, Ahli Gizi dan Pekarya
Kesehatan masing-masing satu orang, seperti pada tabel 4.5 di bawah ini.
Tabel 4.5. Distribusi Tenaga Menurut Jenis Tenaga Kesehatan di Kecamatan Singkil Tahun 2009
No. Jenis Sarana Kesehatan Jumlah
1. Medis (dokter umum dan dokter gigi) 4
2. Sarjana Kesehatan Masyarakat 1
3. Perawat (D III Perawat dan SPK) 24
4. Bidan (D III Bidan dan Bidan A) 19
5. Tehnisi Medis (Fisioterafis, Analis, Gigi dan Farmasi) 11
6. Sanitasi (D III Sanitasi dan SPPH) 3
7. Gizi (D III Gizi) 1
8. Pekarya Kesehatan 1
64 Jumlah
Sumber : Puskesmas Singkil Tahun 2009
4.2. Karakteristik Responden
Responden pada penelitian ini adalah ibu melahirkan setelah tiga puluh
hari yang melaksanakan tradisi badapu pada bulan Maret - April 2009 di
kecamatan Singkil. Karakteristik reponden meliputi umur, pendidikan, pekerjaan
dan kelahiran anak.
40
Kategori kelompok umur responden disesuaikan dengan kelompok umur
yang ada pada Angka Kecukupan Gizi 2004 bagi orang Indonesia, karena pada
tiap kelompok umur tersebut berbeda angka kecukupan gizinya. Pada tabel 4.6 di
bawah, dapat dilihat bahwa responden terbanyak pada kelompok umur 19 – 29
tahun dan kelompok umur 30 – 49 tahun masing-maisng sebesar 48,9 %
sedangkan kelompok umur 16 – 18 tahun sebesar 2,2 %.
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Umur Jumlah Persen
16 - 18 tahun 1 2,2
19 - 29 tahun 22 48,9
30 - 49 tahun 22 48,9
Jumlah 45 100,0
Tingkat pendidikian responden dikategorikan berdasarkan tingkat
pendidikan pada Pendidikan Nasional, yaitu tingkat dasar, menengah dan tinggi.
Pada tabel 4.7 di bawah, dapat dilihat bahwa responden paling banyak memiliki
pendidikan tingkat dasar (SD-SMP) sebanyak 44,4 % dan paling sedikit memiliki
pendidikan tingkat tinggi sebanyak 22,2 %.
Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan Jumlah Persen
Dasar (SD-SMP) 20 44,4
Menengah (SMU/SMK) 15 33,3
Tinggi (PT) 10 22,2
Jumlah 45 100,0
Pada tabel 4.8 di bawah, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
(68,9 %) tidak bekerja atau sebagai Ibu Rumah Tangga. Hal ini dimungkinkan
bahwa sebagian responden memiliki tingkat pendidikan tingkat pendidikan dasar
(SD-SMP). Terdapat 22,2 % yang bekerja sebagai PNS dan 8,9 % bekerja sebagai
Pegawai Honorer.
Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Jumlah Persen
PNS 10 22,2
Pegawai Honorer 4 8,9
Tidak Bekerja 31 68,9
Jumlah 45 100,0
Tradisi badapu akan dilaksanakan oleh ibu yang melahirkan anak pertama
sejak hari ke 7 sampai hari ke 60. Sedangkan pada kelahiran anak ke dua dan
selanjutnya, tradisi badapu hanya sampai hari ke 40-45. Pada tabel 4.9 di bawah,
dapat dilihat bahwa sebagian responden (53,3 %) melaksanakan tradisi badapu
pada kelahiran anak ke 2 – 4. Pada anak pertama, terdapat 26,7 % responden dan
sebanyak 20 % pada anak ke 5 dan seterusnya.
Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kelahiran Anak
Kelahiran Anak Jumlah Persen
1 12 26,7
2 - 4 24 53,3
≥ 5 9 20,0
Jumlah 45 100,0