• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan

Dalam dokumen Keberagaman Masyarakat Melayu Batubara (Halaman 89-93)

BAB II LANDASAN TEORETIS

D. Hakikat Agama

3. Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan

Tradisi berasal dari bahasa Inggris tradition yang bermakna menyerahkan, mengingkari dan menurunkan. Dalam konteks akademik yang dikaitkan dengan displin ilmu maka tradisi dimaknai sebagai metode-metode penelitian. Menurut lazimnya dalam kehidupan manusia tradisi diartikan sebagai sesuatu yang diwarisi oleh orang-orang terdahulu ke orang-orang masa kini dan kemungkinan besar akan bertahan ke orang-orang yang akan berada di masa mendatang.

Menurut Anton Rustanto tradisi selain berkaitan dengan masa lalu dan masa kini, tradisi juga merupakan sebuah perbuatan, perilaku, kebiasaan orang-orang terdahulu yang dilakukan secara rutin. Perlakuan itu sudah biasa dilakukan oleh mereka dan bahkan selalu menjadi kebiasaan komunitas masyarakat dan sudah menjadi ciri khas atau karakter dalam komunitas tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa salah syarat dikatakan tradisi adalah terjadinya kontiniusitas.175

Kemudian melangkah ke kata “keberagamaan” yang berasal dari kata agama. Agama dimaknai sebagai sebuah sistem yang berstruktur rapi yang dipercayai bahkan diyakini oleh para pemeluknya. Keyakinan tersebut berdampak kepada pelaksanaan ritual-ritual baik itu dikerjakan secara rutin ataupun tidak, dan hal itu bergantung kepada tingkat kedekatan seseorang dengan agama yang dipeluknya. Perwujudan agama secara kolektif komunitas dapat dilihat dari institusi atau tempat rumah agama yang berbeda-beda penamanaannya, seperti masjid, gereja, vihara dan sebagainya.176

Keberagamaan muncul tidak dengan proses yang mudah dan tidak pula singkat. Keberagamaan hadir dikarenakan dari cara memahami dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan akhirnya mampu membentuk, merubah karakter baik itu untuk diri sendiri maupun kelompok. Cara memahami dan mengamalkan tersebut menjadi sebuah rutinitas yang dijalan oleh suatu kelompok akhirnya generasi setelahnya mengikuti pola itu dan seiring berjalannya waktu pola itu terus berkembang dengan pesat yang dilatarbelakangi oleh perkembangbiakkan manusia.

Keberagaaman tersebut tidak bersifat mutlak. Mutlak dalam artian bahwa seluruh individu ataupun suatu kelompok harus melakukan hal yang sama dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Keberagaman pun muncul seiiring dengan berbagai tradisi agama yang dilakukan oleh para penganutnya. Oleh karena itu pengaruh besar dari keberagamaan itu sendiri adalah mampu menghasilkan

175Swidler, Sorting,...h. 376.

tatanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan menciptakan karakter sosial keberagamaan.177

Jika keberagamaan tersebut beragam maka itu membuka peluang bagi diterima ataupun ditolaknya suatu tradisi agama tersebut. Penolakan dan penerimaan itu terjadi meskipun semua pihak memandang bahwa sesuatu itu adalah berbentuk sakral atau suci.178 Hal itu terjadi dikarenakan perbedaan memahami suatu tradisi179. Positifnya adalah perbedaan terjadi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya berkaitan dengan tradisi keagamaan adalah anugerah besar dari Tuhan yang memberikan kemudahan bagi seluruh pemeluk agama.180 Oleh karenanya setiap komunitas akan memiliki simbol, istilah dan pemaknaan tersendiri terhadap ritual dan ajaran agamanya.181

Dalam mengkaji tradisi keberagamaan lebih mendalam maka pendekatan dimensional182 sangat diperlukan seperti yang telah penulis jelaskan di pembahasan yang lalu. Pendekatan dimensional akan lebih sempurna apabila dibantu dengan analisis sejarah agama.183 Ketika pembahasan tradisi keberagamaan dikaji melalui pendekatan dimensi maka akan menghasilkan pengertian agama dalam bentuk sistem kultural184 yang mendeskripsikan teologi secara universal.185 Sejarah awal kajian teologi secara universal disebabkan

177Emile Durkheim, The Elementary Form of Religious Life, Karen E. Field (terj.), (New York; Free Press, 1912/1995). h.51.

178R.Otto, The Idea of the Holy (London; Oxvord University Press, 1923). H.10.

179M.Eliade, The Sacred and The Profane (New York; Harcourt, Brace, and World, 1959).

180Clifford Geertz, The Religion of Java (London; The Free Press of Glencoe, 1960). terj.Aswab Mahasin, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta; PT Midas Surya Grafindo, 1981/1989), h.xi.

181V.W. Turner, The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual (Ethika; Cornell University Press, 1967). h.8.

182Niniant Smart, The Religious Experience of Mankind (London: Fontana, 1971), h.145.

183R.D.Baird, Category Formation and the History of Religions (The Haque; Mouton, 1971), h .23.

184Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Book, 1973). h.11.

185Aimondo Panikkar, The Treenity and The Religious Experience of Man (New York: Orbis, 1973), h. 57.

ketidaksiapan umat ketika menghadapi perbedaan tradisi di tengah-tengah kehidupan186 dan faktor pendalaman spritual yang mengacu pada pengalaman.187 Pengalaman yang dimaksud di atas adalah dalam meresapi zat keTuhanan dalam membentuk respon manusia188 seperti yang terjadi dalam sejarah spritual global yang selalu berdasarkan dengan tradisi keberagamaan,189 saat itu ditemukan fakta penyebab berkembangnya tradisi keberagamaan secara universal. Fakta itu juga berkaitan erat dengan hubungan kultural sosial bahkan ke faktor perekonomian.190

Pada era kontemporer pengalaman agama sudah terbuka lebar dan sangat leluasa.191 Kekuatan perilaku keberagamaan pada diri manusia modern192 mampu diikuti oleh norma-norma agama, terutama agama Islam yang siap tampil di zaman apapun dan ajarannya sangat relevan dari masa ke masa. Dalam kehidupan kemoderanan selalu merujuk ke negara adidaya seperti Amerika. Amerika meskipun negara yang penuh dengan fasilitas dan sangat mengedepankan kemodrenan pada akhirnya mereka juga memperbincangkan masalah gaib yang menjadi bagian daripada spritual. Perbincangan mereka banyak menyangkut permasalahan baik dan buruk dan berakhir dengan syurga dan neraka. Oleh karenanya fakta ini kembali mempertegas bahwa agama sangat dibutuhkan oleh umat dari zaman ke zaman.

Agama dianggap mempunyai kekuatan yang sakral dan digunakan untuk hal yang suci. Namun pada praktiknya hanya komunitas politisi yang mempergunakan agama sebagai media mendapatkan tujuan ataupun kekuasaan 186Ulil Abshor Abdalla dalam “Kata Pengantar”, Nur Kholik Ridwan, Islam Borjuis dan

Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta; Galan Press, 2001), h.

xi.

187Robert Muller, New Genesis: Shaping a Global Spirituality (New York; DD., 1984), h. 49.

188J.Bowker, The Religious Imagination and the Sense of God (Oxford; Clarendon Press, 1978), h. 23.

189Ewert Cousin, World Spirituality: An Encyclopedia History of Religious Quest (New York; Crossrood, 1985-1988) h. 33.

190 Peter Beyer, Religion and Globalization (Thousand Oaks; C.A. Sage, 1993), h. 29.

191 D.Hay, Exploring Inner Space (Harmondsworth; Penguin, 1982), h .6.

192Rodney Stark dan Binbridge William Sims, The Future of Religion: Secularization

politiknya.193 Pada saat ini terjadilah perubahan konsep keberagamaan yang dianggap murni oleh para penganut beragama. Namun dalam kajian disiplin ilmu penggunaan agama oleh para elit politik tersebut dianggap sebagai kekayaan varian keberagamaan dan sudah menjadi suatu tradisi keberagamaan.194

Dalam dokumen Keberagaman Masyarakat Melayu Batubara (Halaman 89-93)

Dokumen terkait