• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi perkumpulan tolong-menolong kelompok kerabat

Dalam dokumen Kearifan Lokal Masyarakat Mandailing dal (Halaman 104-109)

PRAKTIK KEARIFAN LOKAL DALAM TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SOSIAL

3.2. Tata kelola lingkungan sosial

3.2.1. Tradisi perkumpulan tolong-menolong kelompok kerabat

Dari hasil penelitian lapangan di Kecamatan Kotanopan dan Puncak Sorik Marapi ditemukan fakta adanya beragam bentuk perkumpulan sosial di desa-desa. Salah satu diantaranya yang cukup dominan adalah perkumpulan tolong-menolong pada

lingkup kelompok kerabat, yang biasa dinamakan parkumpulan parkahanggion

atau sering disingkat dengan istilah parkahanggion saja. Istilah parkahanggion ini

berasal dari kata kahanggi yang merupakan salah satu komponen tumpuan dalam

sistem Dalian Na Tolu. Kahanggi adalah kelompok kerabat yang semarga dengan

ego, dan yang dimaksud ego disini ialah laki-laki kepala keluarga pada sebuah keluarga inti berbasis patrilineal. Patut dicatat bahwa dalam khasanah kebudayaan Mandailing, seorang perempuan yang dikawini oleh laki-laki kepala keluarga tadi

yang akan ia ikuti dalam konteks ini adalah perkumpulan yang merujuk kepada kelompok kerabat patrilineal dari suaminya.

Pada dasarnya semua keluarga yang laki-laki kepala keluarganya berasal

dari satu marga yang sama dapat dikategorikan sebagai markahanggi (berkerabat-

semarga)19. Namun dalam praktik penatakelolaan lingkungan sosial di perdesaan

Mandailing sering juga ditemukan kenyataan bahwa satu marga yang sama terbagi

menjadi beberapa kelompok parkahanggion. Hal ini biasanya terjadi karena di

suatu kampung terdapat puluhan atau lebih keluarga patrilineal dari marga yang sama, sehingga untuk alasan-alasan pragmatis maupun alasan lainnya keluarga- keluarga ini kemudian memecah diri menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil berdasarkan percabangan kekerabatan yang lebih dekat satu sama lain

menurut silsilah atau tarombo mereka. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika

di dalam satu desa terdapat lebih dari satu parkumpulan parkahanggion dari satu

marga yang sama.

Parkumpulan parkahanggion di Desa Sibanggor Julu

Penduduk Sibanggor Julu terdiri dari beberapa kelompok marga yang leluhurnya sudah datang ke desa tersebut sejak belasan generasi lalu. Marga Nasution dan Tanjung adalah dua marga yang paling banyak anggotanya dan dominan dalam

19

Dalam beberapa kasus khusus ada juga fenomena dimana kelompok keluarga yang

e yataka diri arkaha ggi itu terdiri dari dua marga yang berbeda. Hal seperti ini biasanya terjadi ketika terdapat suatu marga yang anggotanya masih sangat sedikit di sebuah kampung sehingga ia akan kesulitan untuk menjalankan sistem Dalian Na Tolu. Untuk mengatasinya, dia dapat menumpa g kaha ggi kepada kelo pok arga lai ya g ada di desa ya; da e ge ai hal ini adat istiadat Mandailing memiliki pengaturan khusus, yang tidak bisa dijabarkan detil di sini.

klaim kesejarahan sebagai kelompok marga pembuka desa20. Selain itu ada juga penduduk dari marga Lubis dan Batubara. Keempat marga itulah yang menjadi elemen kunci dalam organisasi sosial berdasarkan kelompok marga di Sibanggor

Julu. Namun, dalam komposisi hatobangon sebagai satu unsur pimpinan informal

di desa21, terdapat sepuluh orang yang mewakili keempat marga tersebut; yang

terdiri dari lima orang dari marga Nasution, tiga orang dari marga Tanjung dan masing-masing satu orang dari marga Lubis dan Batubara.

Fakta adanya sepuluh orang hatobangon dari empat marga tadi merupakan

contoh nyata dimana satu marga yang ada di desa tidak selalu merepresentasikan

satu kelompok kahanggi meskipun marganya sama. Keluarga-keluarga bermarga

Nasution di Sibanggor Julu terbagi ke dalam lima kelompok kekerabatan yaitu

yang oleh penduduk dikenal dengan sebutan-sebutan Nasution Maga, Simangintir,

Godang, Menek, Simangintir dan Joring. Masing-masing kelompok ini memiliki parkumpulan parkahanggion yang bersifat eksklusif dengan jumlah anggota yang bervariasi, dan mereka merupakan penduduk mayoritas di desa (total sekitar 150 KK). Sementara itu, marga Tanjung memiliki tiga kelompok perkumpulan yang total anggotanya berkisar 60 KK. Dua marga lainnya, yaitu Lubis dan Batubara, masing-masing memiliki perkumpulan sendiri dengan jumlah anggota berturut- turut sekitar 40 KK dan 15 KK.

20 Patut dikemukakan bahwa kedua marga ini memiliki versi cerita yang berbeda mengenai marga

utama pembuka kampung Sibanggor Julu, yang sedikit banyak sering berpengaruh dalam dinamika perpolitikan di desa. Namun peneliti memandang tidak relevan untuk membahas hal tersebut dalam konteks penelitian ini.

21

Hatobangon adalah unsur kepemimpinan informal di desa yang anggotanya terdiri perwakilan

kelompok-kelompok marga utama yang ada di desa. Satu kelompok marga yang memiliki wakil dalam komposisi hatobangon tersebut dinamakan juga ripe, sehingga sepuluh orang hatobangon

Parkumpulan parkahanggion di Singengu Jae dan Singengu Julu

Penduduk Singengu juga terdiri dari beberapa kelompok marga. Lubis dikenal sebagai kelompok marga pembuka huta Singengu yang di masa lalu memiliki kedudukan istimewa sebagai pemegang kekuasaan kerajaan. Selain marga Lubis juga ada Nasution, Tanjung, Batubara dan Dalimunte. Di Singengu Jae terdapat

empat parkumpulan parkahanggion dari marga Lubis dan satu di Singengu Julu;

masing-masing satu perkumpulan serupa dari marga Nasution di Singengu Jae dan Singengu Julu; selebihnya terdapat masing-masing satu perkumpulan untuk marga Tanjung, Batubara dan Dalimunte.

Fungsi perkumpulan berbasis kerabat parkahanggion.

Fungsi utama dati perkumpulan berbasis kelompok kerabat seperti di atas adalah

saling tolong-menolong dalam urusan atau peristiwa kemalangan (siluluton) dan

kegembiraan (siriaon) yang suatu waktu harus dihadapi oleh anggotanya. Tiap

keluarga yang sedang menghadapi salah satu dari kedua jenis peristiwa itu tidak akan mampu melaksanakan sendiri segala urusan yang terkait dengannya. Mereka memerlukan bantuan orang lain, baik berupa tenaga, materi maupun pemikiran.

Menurut ketentuan adat Dalian Na Tolu (DNT), ketiga kelompok kerabat yang

menjadi komponen utamanya akan turun tangan membantu, namun dari ketiganya kahanggi adalah pihak pertama dan terutama tempat meminta bantuan, sedangkan kedua pihak lainnya bersifat menggenapi. Itulah sebabnya perkumpulan berbasis parkahanggion ini menjadi bagian elementer dalam penatakelolaan lingkungan sosial pada masyarakat Mandailing.

Dalam praktiknya terdapat variasi dalam pengaturan hak dan kewajiban

para anggota parkumpulan parkahanggion dalam konteks penghimpunan sumber

daya material. Setiap kelompok perkumpulan akan menentukan sendiri bagaimana mereka mengelola relasi satu sama lain, dalam menentukan jenis materi yang akan dihimpun sebagai wujud kontribusi wajib anggotanya, baik dalam bentuk uang maupun barang. Sebagian kelompok juga menghimpun dana untuk pengadaan alat-alat yang sering digunakan terkait dengan pelaksanaan upacara adat (horja) berkaitan dengan dua jenis peristiwa yang disebutkan di atas. Intinya, kelompok perkumpulan berbasis kerabat semarga ini eksis untuk membantu anggotanya dalam situasi-situasi khusus.

Menjadi anggota aktif dalam sebuah perkumpulan sosial demikian hampir merupakan kewajiban bagi setiap keluarga di desa, karena jika tidak, keluarga tersebut akan menghadapi problema alienasi dalam urusan-urusan kolektif yang terkait dengan dua jenis peristiwa di atas. Dalam setiap urusan kolektif itu sistem

sosial DNT akan bekerja, dan relasi segitiga kahanggi-mora-anak boru baru bisa

berfungsi jika, dan hanya jika, telah dimulai oleh pihak kahanggi. Itulah sebabnya

kahanggi dikatakan sebagai unsur elementer yang harus menjadi pionir untuk

menggerakkan sistem sosial DNT seperti disebutkan di atas22.

22

Pentingnya peranan kahanggi dalam kehidupan sosial masyarakat Mandailing terlihat dari tradisi mereka ketika sebuah keluarga pindah ke kampung lain, yang pertama harus dilakukannya

adalah a ara manopot kahanggi e ghadap pihak ya g aka dijadika kaha ggi yaitu

sebuah proses instalasi keluarga tersebut ke dalam sistem sosial kampung yang ia masuki. Jika ia

telah diteri a e jadi kaha ggi dari sebuah kelo pok arga di ka pu g itu, aka pihak ora da a ak boru dari kaha ggi-nya itu akan menjadi mora dan anak boru-nya juga, sehingga sistem sosial DNT bisa bekerja baginya di tempat baru itu.

Eksistensi perkumpulan berbasis parkahanggion tadi bisa bertahan terus di dalam kehidupan masyarakat Mandailing, sebagaimana terlihat dari kasus desa Singengu dan Sibanggor, tidak terlepas dari kearifan mereka memadukan tata kelola lingkungan sosial berbasis adat DNT dengan perkembangan zaman. Tidak ada keluarga di desa yang dapat mengelak dari kemungkinan akan menghadapi

hal kemalangan (siluluton) dan kegembiraan (siriaon). Juga tidak bisa dinafikan

bahwa dalam menghadapi peristiwa demikian diperlukan dukungan material yang tidak kecil, yang sulit untuk ditanggung sendiri oleh sebuah keluarga. Oleh karena itu, upaya mengadopsi sistem „perkumpulan‟ --yang penekanannya lebih dominan kepada penghimpunan sumberdaya material-- ke dalam sistem DNT melalui jalur

kekerabatan parkahanggion dapat dilihat sebagai satu bentuk kearifan masyarakat

Mandailing dalam menghadapi tantangan perubahan zaman.

Dalam dokumen Kearifan Lokal Masyarakat Mandailing dal (Halaman 104-109)