• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. Toilet Training

Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. Dalam proses toilet training ini diharapkan terjadi pengaturan atau rangsangan dan instink anak dalam melakukan buang air besar dan buang air kecil secara benar dan teratur (Hidayat, 2008).

b. Manfaat Toilet Training

Santi (2008), menyatakan bahwa toilet training pada anak usia dini memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1) Kesempatan belajar

Jika bayi tidak merasa mengompol karena selalu memakai diapers akan menjadi kehilangan kesempatan belajar mengenali tanda-tanda ingin buang air kecil dan keinginan untuk mengendalikannya hingga tiba di tempat yang semestinya, yakni toilet training.

2) Rasa percaya

Karena merasa tidak nyaman, tentunya bayi akan menangis mengungkapkan perasaannya. Tangisan tersebut membuat orang-orang memberikan respon yang baik, yakni membersihkan dan mengeringkan kulitnya, mengganti popok yang basah. Sehingga, tumbuh kepercayaan dalam diri bayi bahwa ia disayang dan diterima oleh lingkungan.

commit to user 3) Lebih peka

Melalui pengalaman mengompol, bayi belajar tentang konsep basah, hangat, dan tidak nyaman. Pada saat inilah kepekaan bayi terasah, yang selanjutnya dinyatakan dalam sebuah reaksi yakni mengangkat kakinya atau menangis.

4) Cerdas emosi

Kegiatan mengompol juga dapat menjadi sarana mengembangkan atau menumbuhkan kecerdasan emosi bayi. Ini dapat terjadi apabila ada interaksi dengan lingkungan. Sebaliknya, tujuan mengembangkan kecerdasan emosi ini tidak akan tercapai bila bayi tidak mendapatkan reaksi dari orang-orang di sekitarnya. Seandainya dibiarkan basah dan tidak digantikan popoknya, sehingga bayi menganggap kegiatan mengompol yang baru dialaminya sebagai sesuatu yang biasa saja.

c. Prinsip Toilet Training

Menurut Nursalam (2009), pada prinsipnya ada tiga langkah dalam toilet training yaitu melihat kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet training itu sendiri. Dalam melihat tanda kesiapan anak melakukan toilet training dapat dilakukan oleh toddler dengan cara: (1) dapat menjalankan perintah sederhana; (2) menggunakan kata-kata untuk menjelaskan urin dan kotoran; (3) dapat mengontrol otot-otot yang mengatur pengeluaran urin dan menahan buang air besar; (4) ingin tahu kapan orang akan menggunakan kamar kecil; (5) tidak mengompol paling

tidak selama dua jam; (6) dapat melepas dan memakai celana dalam dan celana pendek; (7) menggaruk selangkangan atau berhenti melakukan kegiatan sejenak sebelum BAK/BAB; (8) mengetahui apa yang terjadi saat BAK/BAB; dan (9) meminta diapers diganti sesudah BAK/BAB.

Persiapan dan perencanaan toilet training meliputi 10 aspek, yaitu: (1) gunakan istilah yang mudah dimengerti oleh anak yang menunjukkan perilaku BAK/BAB; (2) memperlihatkan penggunaan toilet pada anak; (3) berikan kenyamanan pada anak dengan segera mengganti diapers yang sudah basah atau kotor; (4) meminta pada anak untuk memberitahukan atau menunjukkan bahasa tubuhnya apabila dia ingin BAK/BAB; (5) mendiskusikan tentang toilet training dengan anak; (6) orang tua bisa menunjukkan dan menekankan bahwa pada anak kecil memakai diapers dan pada anak besar memakai celana dalam. Orang tua juga bisa membacakan cerita tentang cara yang benar dan tepat ketika buang air; (7) menunjukkan penggunaan toilet; (8) orang tua harus mencontohkan kepada anak sesuai dengan jenis kelamin anak (ayah dengan anak laki-laki dan ibu dengan anak perempuan). Orang tua juga bisa meminta kakaknya untuk menunjukkan pada adiknya bagaimana menggunakan toilet dengan benar (disesuaikan juga dengan jenis kelaminnya); (9) membeli pispot yang sesuai dengan kenyamanan anak; (10) pilih dan rencanakan metode reward untuk anak. Dengan sistem reward yang tepat anak juga bisa melihat sendiri kalau dirinya bisa melakukan kemajuan dan bisa mengerjakan apa yang sudah menjadi tuntutan untuknya, sehingga hal ini akan menambah

commit to user

rasa mandiri dan rasa percaya dirinya. Orang tua bisa memilih metode peluk cinta dan pujian di depan anggota keluarga yang lain ketika dia berhasil melakukan sesuatu (Nursalam, 2009).

Beberapa hal yang harus diketahui yang berhubungan dengan pelaksanaan toilet training antara lain: toilet training merupakan latihan yang membutuhkan kerja sama; toilet training merupakan keterampilan yang bersifat kompleks; kesiapan otot bladder dan bowel dibutuhkan dalam pengontrolan BAK/BAB; sifat orang tua dari anak sangat menentukan dalam keberhasilan toilet training; paksaan dari orang tua tidak selamanya akan membuat anak lebih awal bisa mengikuti toilet training (Potter & Perry, 2009).

d. Cara Menggunakan Toilet

Terdapat beberapa cara menggunakan toilet yang praktis dalam pelaksanaan toilet training, yaitu: (1) tunjukkan bagaimana caranya, ajak anak ke toilet ketika anda menggunakannya dan biasanya mereka duduk di atasnya sambil tetap menggunakan diapers. Ketika saatnya tiba untuk latihan menggunakan toilet, proses ini sudah akan lebih dikenal oleh anak;

(2) sesuaikan toilet, dengan cara menyiapkan dudukan yang sesuai untuk anak, dengan menggunakan toilet sebagai tempat latihan toilet. Dudukan ini harus kencang posisinya dan aman berada di atas jamban sehingga selain nyaman diduduki anak juga mencegah mereka selip dan jatuh ke dalam; (3) menggunakan anak tangga atau dengan bangku pendek untuk meletakkan kaki sehingga anak dapat naik sendiri. Orang tua sering disibukkan dengan

berbagai kegiatan dalam rumah sehingga tidak perlu setiap saat menggendong anaknya duduk di toilet dan mengangkat sesudahnya.

Apalagi bila pada masa awal dituntut untuk melakukan ini setiap lima menit sekali. Bangku ini menjadi fondasi sendiri sehingga mereka merasa lebih aman saat duduk di toilet; (4) ajarkan anak untuk selalu menjaga kebersihan, karena anak akan menggunakan tangan mereka untuk menyeimbangkan diri duduk di toilet, maka pastikan toilet dibersihkan dengan anti kuman. Dorong mereka untuk melakukan kebiasaan bersih dengan mencuci tangan mereka, dengan berdiri menggunakan pijakan bangku; (5) jangan pernah memaksa anak, karena untuk beberapa anak balita, toilet dapat membantu mereka takut, dengan suaranya yang keras dan air yang menciprat. Walaupun ada dudukan khusus, mereka mungkin akan takut jatuh dan terbawa oleh air yang banyak tersebut (Gilbert, 2005). e. Kesalahan Utama Orang Tua

Menurut Santi (2008), pada saat mengajari cara buang air pada anak, ada beberapa kesalahan yang seringkali dilakukan orang tua, yaitu:

(1) cepat hilang kesabaran, hal ini dapat dikarenakan anak kecil merupakan penyerap emosi. Meskipun sangat sulit untuk menjadi orang tua yang tenang setiap saat, namun sebaiknya orang tua dapat menyampaikan pesan kepada anak bahwa memakai toilet adalah proses alami. Sehingga, jika anak gagal melakukannya bukan masalah karena toilet akan ada kapan pun anak merasa siap; (2) menggunakan jadwal orang tua bukan jadwal anak dalam melatih anak melakukan toilet training dengan tidak terburu-buru karena

commit to user

hanya akan membuat anak frustasi dan kecewa; (3) memaksa anak untuk duduk di toilet mini selama berjam-jam: (4) berlebihan dalam mengingatkan anak meskipun anak tidak perlu ke toilet; (5) tidak konsisten; (6) terlalu cepat memulai latihan toilet training meskipun anak terlihat belum siap.

f. Hambatan Dalam Toilet Training

Beberapa hambatan umum yang sering ditemui saat mengajari cara buang air pada anak, yaitu: (1) buang air di tempat yang salah, orang tua sebaiknya jangan menunjukkan perasaan kecewa ketika anak buang air di tempat yang salah. Hal ini merupakan akibat ketidakmatangan otot atau pengaturan waktu yang buruk; (2) diare, saat anak mengalami diare, informasikan kepada anak bahwa menghentikan pengajaran cara buang air sementara tidak apa-apa. Biarkan dia memakai diapers kembali selama beberapa hari selama dia ingin; (3) sembelit, merupakan BAB yang keras dan sakit yang dapat menggangu anak belajar menggunakan toilet. Anak lebih suka menunda untuk menghindari rasa sakit yang malah menyebabkan sembelit yang lebih buruk; (4) cirit (Encopresis), yaitu BAB secara tidak sengaja dalam diapers atau celana. Jika anak merasa tertekan dalam mempelajari cara mempergunakan toilet dan tidak siap, ia mungkin mengalami cirit (encopresis) (Dewar, 2010).

g. Kesiapan Toilet Training

Menurut Wong (2008), kesiapan toilet training adalah keberhasilan yang dicapai anak saat peralihan dari popok ke pakaian dalam dan tidak lagi memerlukan pengawasan secara penuh pada siang hari. Tanda kesiapan

anak mampu mengontrol rasa ingin berkemih dan defekasi, antara lain meliputi:

1) Kesiapan fisik

Tanda kesiapan fisik adalah: kemampuan mengontrol sfingter anal dan uretral (usia 18-24 bulan), kemampuan tidak mengompol selama dua jam, penurunan jumlah popok yang basah, bangun dari istirahat siang tetap kering, buang air besar secara teratur, kemampuan motorik kasar (seperti duduk, berjalan, meloncat), dan kemampuan motorik halus (membuka baju dan celana).

2) Kesiapan psikologis

Tanda anak yang sudah siap secara psikologisnya untuk melakukan toilet training adalah: anak mampu mengungkapkan keinginannya untuk membiarkan orang tua membantunya, anak mampu untuk duduk di toilet selama 10 menit tanpa menolak, anak merasa ingin tahu tentang kebiasaan saudaranya atau orang dewasa di toilet, anak mulai tidak sabar dengan popok yang basah dan berkeinginan untuk diganti segera, anak mampu untuk mengkomunikasikan keinginannya untuk buang air kecil dan buang air besar, anak mampu untuk meniru secara tetap terhadap perilaku dan kemampuan untuk mengikuti petunjuk, dan terakhir anak sudah mengenali adanya keinginan untuk buang air kecil dan buang air besar.

commit to user 3) Kesiapan orang tua

Orang tua perlu untuk mengenali kesiapan anak sebelum dilakukan toilet training. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara ingin menyediakan waktu yang dibutuhkan dalam toilet training dan ketidakadaan stress atau perubahan dalam keluarga, seperti perceraian, perpindahan, saudara baru atau liburan yang dekat.

h. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesiapan Toilet Training

Menurut Hidayat (2008), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan toilet training, yaitu:

1) Pendidikan

Tingkat pendidikan orang tua turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh.

Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan orang tua tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan orang tua rendah akan berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada cara melatih secara dini penerapan toilet training.

2) Pekerjaan

Status pekerjaan mempunyai hubungan yang bermakna dengan penerapan toilet training secara dini pada toddler, di mana pekerjaan dapat menyita waktu orang tua untuk melatih anak melakukan toilet training secara dini sehingga akan berdampak pada terlambatnya anak untuk mandiri melakukan toilet training.

3) Pola asuh orang tua

Kasih sayang dan perhatian orang tua yang dimiliki mempengaruhi kualitas dalam penerapan toilet training secara dini di mana orang tua yang perhatian akan memantau perkembangan toddler maka akan berpengaruh lebih cepat dalam melatih toddler melakukan toilet training secara dini. Dengan dukungan perhatian orang tua maka anak akan lebih berani atau termotivasi untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan.

4) Pengetahuan

Pengetahuan yang dimiliki orang tua pada dasarnya dapat berpengaruh pada cepat atau lambatnya orang tua melakukan penerapan toilet training, di mana orang tua yang memiliki pengetahuan yang baik tentang toilet training akan berdampak pada cepatnya melatih toilet training secara dini pada toddler, hal ini berdampak positif bagi orang tua maupun toddler yaitu anak dapat mandiri melakukan toilet training.

5) Lingkungan

Lingkungan berpengaruh besar pada cepat atau lambatnya penerapan toilet training, di mana orang tua akan memperhatikan lingkungan sekitar apakah anak seusianya sudah dilatih toilet training atau belum.

Hal ini menjadi suatu hambatan, di mana anak usia satu tahun sebenarnya sudah harus dilakukan penerapan toilet training secara dini agar tidak merepotkan apabila sedang bersosialisai atau bermain dengan teman sebaya.

commit to user i. Dampak Toilet Training

Menurut Hidayat (2008), dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training dapat berupa adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat retentif di mana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil, atau melarang anak saat berpergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif di mana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional, dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Dokumen terkait