• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1.2 Transaksi yang terjadi dalam RPT

Transaksi-transaksi yang karena sifatnya mungkin

memberikan indikasi adanya pihak yang memiliki hubungan

berelasi, seperti transaksi peminjaman yang tanpa beban bunga

atau dengan suku bunga di atas atau di bawah yang berlaku

umum, transaksi penjualan dengan harga yang berbeda yang

berlaku umum, transaksi pertukaran aset, dan transaksi

peminjaman tanpa ketentuan mengenai jadwal dan cara

2.1.1.3Metode Penetapan Harga dalam RPT

Ada tiga metode penetapan harga dalam RPT, yaitu:

1. Metode Harga Sebanding

Metode ini menetapkan harga yang sama dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa.

2. Metode Harga Penjualan

Metode harga penjualan menjelaskan penetapan harga dalam RPT merupakan penetapan harga awal pada barang tersebut.

3. Metode Cost Plus

Metode cost plus menambahkan biaya (mark up) tertentu pada

pemasok.

2.1.1.4Dampak Positif dan Negatif dari RPT

1. Dampak positif

Dampak positif dari RPT dapat dilihat jika pemilik ataupun manajemen melakukan RPT yang bersifat efisien, artinya tindakan tersebut tidak merugikan pihak manajeman, pemilik dan investor.

2. Dampak Negatif

Menurut Vera dkk dalam Jurnal Pengaruh Kepemilikan

Pengendali Akhir terhadap Transaksi Pihak Berelasi, “Di

Indonesia RPT menjadi salah satu cara untuk memperoleh keuntungan pribadi baik manajemen maupun pemilik. RPT

interest hypothesis yang merupakan cerminan dari agency theory (Gordon, 2005), seperti yang telah dijelaskan diawal.

2.1.2.Total Asset Turnover (TATO)

TATO adalah rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur

sampai seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan

sumber dayanya yang berupa asset. Semakin tinggi efisien penggunaan

asset dan semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas (Abdul Halim, 2007). TATO sendiri merupakan rasio antara penjualan dengan

total aktiva yang mengukur efisiensi penggunaan aktiva secara

keseluruhan. Apabila rasio rendah itu merupakan indikasi bahwa

perusahaan beroperasi pada volume yang memadai bagi kapsitas

investasinya. TATO disebut juga sebagai rasio pengelolaan aktiva

terakhir yang mengukur perputaran atau pemanfaatan dari semua aktiva

perusahaan. Apabila perusahaan tidak menghasilkan volume usaha yang

cukup untuk ukuran investasi sebesar total aktivanya, penjualan harus

ditingkatkan. Beberapa aktiva harus dijual, atau gabungan dari

langkah-langkah tersebut harus segera dilakukan.

Apabila dalam menganalisis rasio selama ini beberapa periode

menunjukkan suatu trend yang cenderung meningkat, memberikan

gambaran bahwa semakin efisien penggunaan aktiva sehingga

TATO secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut : (Kasmir,

2008)

Total Asset Turnover

2.1.3.Manajemen Laba

2.1.3.1Pengertian Manajemen Laba

Menurut Darsono dan Ari (2008), laba ialah prestasi seluruh karyawan dalam suatu perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk angka keuangan, yaitu selisih positif antara pendapatan

dikurangi beban (expense). Laba merupakan dasar ukuran kinerja

bagi kemampuan manajemen dalam mengoperasikan harta

perusahaan. Laba harus direncakan dengan baik agar manajemen dapat mencapainya secara efektif.

Beberapa peneliti mendefinisikan manajemen laba.

Baharuddin dan Satyanugraha (2004) mengutip dua definisi manajemen laba yaitu:

1. Fisher dan Rosenzweig (1995)

Manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabakan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.

Manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam laporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau besarnya laba.

Sedangkan menurut Sugiri (2001) membagi definisi

manajemen laba menjadi dua, yaitu:

1. Definisi sempit

Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajemen untuk “bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam

menentukan besarnya laba.

2. Definisi luas

Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk

meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit di mana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.

Maka manajemen laba adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan oleh manajer perusahaan melalui pemilihan metode

akuntansi yang dibutuhkan untuk memenuhi keinginannya

dalam merekayasa laba demi tujuan dan kepentingan

pribadinya.

2.1.3.2Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Manajemen Laba

Menurut Watt dan Zimmerman dalam Creative Accounting (2011) ada 6 motivasi yang mendorong individu atau perusahaan melakukan manajemen laba, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Motivasi Bonus

Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan

memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagai feedback atau

evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam relatif tetap dan rutin. Sementara bonus yang relatif besar nilainya hanya akan diberikan ketika kinerja manajer berada di area pencapaian bonus yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Pengukuran kinerja berdasarkan laba dan skema bonus tersebut memotivasi para manajer untuk memberikan performa terbaiknya, sehingga tidak menutup peluang mereka melakukan tindakan manajemen

laba agar dapat menampilkan kinerja (performance) yang baik

demi mendapatkan bonus yang maksimal.

2. Motivasi Hutang

Selain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham, untuk kepentingan ekspansi perusahaan, manajer seringkali

melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah kreditor. Agar kreditor mau menginvestasikan dananya di perusahaan, tentunya manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya. Dan untuk memperoleh hasil maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku kreatif dari manajer untuk menampilkan performa yang baik dari laporan keuangan pun seringkali muncul.

3. Motivasi Pajak

Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan

menginginkan untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah untuk bertindak kreatif melakukan tindakan manajemen laba agar seolah-olah laba fiskal yang dilaporkan memang lebih rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntansi perpajakan.

4. Motivasi Penjualan Saham

Motivasi ini banyak dilakukan oleh perusahaan yang akan go

public ataupun yang sudah go public. Proses penjualan saham perusahaan ke publik akan direspon positif oleh pasar ketika peruahaan penerbit saham (emiten) dapat menjual kinerja yang baik. Salah satu ukuran kinerja yang baik adalah penyajian laba pada laporan keuangan perusahaan. Kondisi ini sering kali memotivasi manajer untuk berperilaku kreatif dengan berusaha menampilkan kinerja keuangan yang lebih baik dari biasanya.

Praktek manajemen laba biasanya terjadi sekitar periode

pergantian direksi atau chief executive officer (CEO). Menjelang

berakhirnya masa jabata, direksi cenderung bertindak kreatif dengan memaksimumkan laba agar performa kerjanya tetap terlihat baik pada tahun terakhir menjabat. Motivasi utamanya adalah memperoleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya.

6. Motivasi Politis

Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang

usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti

perusahaan-perusahaan industri strategis perminyakan, gas, listrik dan air.

Manajer cenderung melakukan manajemen laba untuk

menyajikan laba lebih rendah dari nilai yang sebenarnya, terutama selama periode kemakmuran tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi visibilitas perusahaan sehingga tidak menarik perhatian pemerintah, media, atau konsumen yang dapat

menyebabkan meningkatnya biaya politis perusahaan.

Rendahnya biaya politis akan menguntungkan manajemen.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya manajemen laba semuanya karena keadaan dan tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh manajer perusahaan. Manajer perusahaan akan menaikkan laba jika dalam keadaan ingin

memperoleh insentif atau bonus atas kinerjanya, ingin menjaga nama baik perusahaan terhadap pihak kreditur agar tetap diberikan pinjaman, dalam masa-masa-masa akan pensiunnya CEO agar mendapat bonus, dan pada saat penawaran perdana saham agar harga saham perusahaan tersebut naik. Dan manajer perusahaan akan menurunkan laba misalnya untuk tujuan menurunkan pajak.

2.1.3.3Teknik Manajemen Laba

Ada tiga teknik dalam manajemen laba, antara lain:

1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi,

yaitu manajemen mempengaruhi laba melalui estimasi piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak berwujud, estimasi biaya garansi,dan lain-lain. Teknik ini misalnya dilakukan dengan merekayasa beban perusahaan seperti beban piutang tak tertagih, beban

garansi dan beban amortisasi. Apabila manajer ingin

menaikkan laba pada tahun tertentu, maka beban-beban tersebut akan dikurangi jumlahnya pada tahun tersebut yang

berakibat beban terlalu rendah dan akhirnya akan

meningkatkan laba. Apabila manajer ingin menurunkan laba pada tahun tertentu, maka beban-beban tersebut akan ditingkatkan jumlahnya pada tahun tersebut yang berakibat beban terlalu tinggi dan akhirnya akan menurunkan laba.

2. Mengubah metode akuntansi, misalnya mengubah metode

penyusutan aktiva tetap. Teknik ini dilakukan dengan

mengubah metode penyusutan aktiva, misalnya dari metode garis lurus menjadi metode saldo menurun atau menjadi metode jumlah angka tahun atau sebaliknya. Hal ini juga

berkaitan dengan menaikkan atau menurunkan beban

penyusutan pada tahun tertentuyang diinginkan oleh manajer sesuai dengan kehendaknya apakah ingin menaikkan atau menurunkan laba.

3. Menggeser periode beban dan pendapatan, antara lain

menunda/mempercepat pengeluaran untuk penelitian dan

pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya,

menunda/mempercepat beban promosi sampai periode

akuntansi berikutnya, menunda/mempercepat pengiriman

produk ke pelanggan, dan lain-lain. Teknik ini mengakibatkan beban atau pendapatan pada tahun tertentu dicatat tidak sesuai dengan beban atau pendapatan yang sebenarnya terjadi di tahun tersebut. Misalnya untuk menaikkan laba tahun tertentu maka manajer menaikkan pula jumlah pendapatan pada tahun tersebut dengan cara mengakui pendapatan pada tahun tersebut yang seharusnya diterima tahun berikutny. Dapat pula menaikkan laba dengan cara mengurangi beban yaitu menunda beban promosi atau beban lainnya, sehingga beban tersebut

yang seharusnya terjadi pada tahun ini tetapi baru akan dicatat pada tahun berikutnya.

2.1.3.4Model – model Manajemen Laba

Menurut Dedhy dan Yeni (2011), model-model untuk deteksi manajemen laba antara lain:

1. Jones Model (1991)

Model ini berfokus pada total akrual sebagai sumber informasi manipulasi akuntansi atau manajemen laba. Secara spesifik, model ini membagi total akrual menjadi akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner.

Jones Model (JM) mengasumsikan bahwa akrual

nondiskresioner bersifat tetap dari satu periode ke periode lainnya sehingga akrual (perbedaan antara akrual tahun ini dengan tahun lalu) yang terjadi disebabkan karena adanya pertimbangan (diskresi) dari pihak manajemen, dalam hal ini permainan kebijakan akuntansi.

2. Modified Jones Model (1995)

Modified Jones Model (MJM) dikembangkan oleh Dechow dan kawan-kawan (1995). Model ini muncul untuk mengatasi

kelemahan yang ada dalam Jones Model (JM). Dechow

mengasumsikan bahwa perubahan yang terjadi dalam

penjualan kredit pada periode berjalan merupakan objek manipulasi laba sehingga dirinya memperbaiki JM dengan

menghilangkan variabel perubahan piutang dari variabel

perubahan pendapatan untuk mengestimasi akrual

nondiskresioner pada saat periode kejadian. 3. Klasznik Model (1999)

Kasznik Model (KM) telah mempertimbangkan

dimasukkannya operating cash flow (OCF) sebagai variabel

penjelas yang tidak dipertimbangkan dalam MJM. Lebih lanjut dijelaskan dibawah ini:

Pada MJM, diasumsikan bahwa akrual non dikresioner

bersifat tetap sehingga total akrual berubah maka

perubahan akrual total merefleksikan perubahan yang terjadi pada akrual diskresioner.

Pada MJM, Dechow dan kawan – kawan menunjukkan

perubahan dalam arus kas berhubungan negatif dengan total akrual. Ini berarti ketika total akrual berubah, maka arus kas bersifat tetap.

4. Performance – Matched Discretionary Accruals Model (2005)

Model ini dikembangkan oleh Kothari dan kawan – kawan,

yang memiliki ide dasar bahwa akrual yang terdapat dalam perusahaan yang sedang memiliki kinerja yang “tidak biasa” (unusual performance) secara sistematis diharapkan bukan nol sehingga kinerja perusahaan pastinya berhubungan dengan akrual.

Ini berarti bahwa perusahaan yang memiliki kinerja yang tidak

biasa, seperti perusahaan yang sedang mengalami

pertumbuhan hubungan positif dengan akrual. Bahkan, jika kinerja perusahaan sedang baik, bisa jadi akrual yang dimiliki perusahaan cukup tinggi. Nilai akrual yang tinggi ini

disebabkan karena perusahaan sedang mengalami

pertumbuhan atau memang kinerjanya sedang dalam keadaan baik, yang bisa saja ditunjukkan dengan jumlah piutang yang tinggi, bukan karena manajemen laba.

2.2 Kerangka Konseptual

Kerangka berpikir merupakan penjelasan sementara gejala-gejala yang menjadi objek permasalahan tentang hubungan antarvariabel yakni variabel independen dan variabel dependen yang disusun dari berbagai teori yang telah diuraikan (Sugiyono, 2007). Variabel independen dalam penelitian ini adalah Transaksi Hubungan Istimewa dan Total Asset Turnover. Sedangkan variabel

dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Hubungan antara Related

Party Transaction dan Total Asset Turnover terhadap Manajemen Laba digambarkan dalam kerangka konseptual sebagai berikut ini:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Pengungkapan dan pelaporan atas RPT yang diwajibkan oleh PSAK 7

yaitu meliputi mengenai besarnya asset, liabilities, sales dan expenses yang

dilakukan perusahaan atas dasar transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

TATO merupakan rasio antara jumlah aktiva yang digunakan dengan jumlah yang diperoleh selama periode tertentu. Rasio ini menjadi ukuran seberapa jauh aktiva yang digunakan dalam kegiatan atau menunjukkan berapa kali aktiva berputar dalam periode tertentu. Semakin cepat tingkat perputaran aktiva maka semakin meningkat penjualan yang nantinya akan mempengaruhi laba.

2.3 Hubungan RPT dengan Manajemen Laba

Menurut PSAK No. 7, “Pihak-pihak yang dianggap mempunyai

hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk

Related Party Transaction

(RPT)

Total Asset Turnover (TATO)

mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain

dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional”. Sedangkan manajemen

laba yaitu tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba

periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa

menyebabakan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan

jangka panjang.

Jian dan Wong (2003) menyatakan, “pihak yang memiliki RPT

menunjukkan kecenderungan opportunis. Dibuktikan dengan ditemukan

tingginya tingkat penjualan dengan RPT, terutama antara pemilik dan anggota lain perusahaan dalam grup, ketika perusahaan memiliki insentif untuk memanipulasi data”. Dengan kata lain, transaksi penjualan dengan RPT digunakan untuk manajemen laba.

Dalam studi kasus Alexandra dan Adriana (2011), menemukan bahwa transaksi dengan pihak yang diduga mempunyai hubungan istimewa tersebut digunakan untuk memanipulasi laba, penjarahan perusahaan, dan melakukan kecurangan. Selain itu Gordon dan Henry (2005) juga mengaitkan jenis transaksi RPT dengan ukuran manajemen laba.

2.4 Hubungan TATO dengan Manajemen Laba

Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi penting bagi para pemakainya. Dalam laporan keuangan tersebut dapat diukur bagaimana

menggunakan rasio aktivitas perusahaan, yaitu total asset turnover (TATO). TATO merupakan rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur sampai seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya berupa asset (Abdul Halim, 2007).

Menurut Roychowdhury dalam Creative Accounting, TATO dapat dihubungkan dengan manajemen laba karena salah satu cara dalam mendeteksi manajemen laba yaitu mendeteksi produksi yang berlebihan (overproduction).

Agar laba naik, manajer memproduksi lebih banyak persediaan dari yang sewajarnya untuk memenuhi permintaan. Dengan tingkat produksi yang lebih tinggi, biaya overhead tetap per unit makin kecil sehingga biaya per unitnya akan turun. Hal ini membuat biaya barang terjual lebih rendah sehingga perusahaan mendapat keuntungan operasi yang lebih baik karena harga yang murah lebih diminati konsumen dan membuat perputaran aset menjadi tinggi. Semakin tinggi efisien penggunaan asset maka semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas (Abdul Halim, 2007).

2.5 Hipote sis Penelitian

Menurut Erlina (2007), “Hipotesis menyatakan hubungan yang digunakan secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan preposisi yang dapat diuji secara empiris”. Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap masalah yang akan diuji kebenarannya melalui analisis data

yang relevan dan kebenarannya akan diketahui setelah dilakukan penelitian. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H0 : terdapat pengaruh RPT dan TATO secara simultan dan parsial terhadap

BAB III

Dokumen terkait