• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFER BELAJAR

Dalam dokumen GURU DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR (Halaman 28-33)

PENGERTIAN TRANFER BELAJAR

Menurut L.D. Crow dan A. Crow, transfer belajar adalah pemindahan-pemindahan kebiasaan berfikir, perasaan atau pekerjaan, ilmu pengetahuan atau keterampilan, dari suatu keadaan ke keadaan belajar yang lain. Pengetahuan dan keterampilan siswa sebagai hasi belajar pada masa lalu seringkali mempengaruhi proses belajar yang sedang dialaminya sekarang. Tranfer dalam belajar yang biasa disebut dengan tranfer belajar (tranfer of learning) itu mengandung arti pemindahan keterampilan hasil belajar dari suatu situasi ke situasi berikutnya (Reber: 1988). Kata “pemindahan keterampilan” tidak berkonotasi hilangnya keterampilan melakukan sesuatu pada masa lalu karena digantikan dengan keterampilan baru pada masa sekarang. Oleh sebab itu, definisi diatas harus dipahami sebagai pemindahan pengaruh atau pengaruh keterampilan melakukan sesuatu terhadap tercapainya keterampilan melakukan sesuatu lainnya. Setiap pemindahan pengaruh (tranfers) seperti yang disebut diatas pada umumnya selalu membawa dampak baik itu positif ataupun negatif terhadap aktifitas dan hasil pembelajaran materi pelajaran lain atau keterampilan lain.

V. TEORO-TEORI TRASFER BELAJAR

Secara umum para ahli berpendapat bahwa trasfer dalam belajar itu bisa terjadi, akan tetapi, apa yang sebenarnya hakekat trasfer itu dan bagaimana dalam belajar, Para ahli berbeda pendirian. Yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga teori yaitu:

a. Teori Disiplin Formal/Ilmu Jiwa Daya

Bertitik tolak dari anggapan bahwa jiwa manusia terdiri dari berbagai daya seperti daya ingat dan daya pikir, maka mereka beranggapan bahwa transfer belajar hanya dapat terjadi bila “diperkuat” dan “didisiplinkan” dengan latihan-latihan yang keras dan terus menerus. Setelah daya-daya tersebut terlatih maka akan mudah terjadi transfer secara otomatis ke bidang-bidang lain. b. Teori Elemen Identik/Ilmu Jiwa Asosiasi

William James dan Edward Thorndike tidak sependapat dengan pandangan para ahli jiwa daya, kedua tokoh ini lalu mengkritik antara lain sebagai berikut:

i) Daya ingat tidak dapat diperkuat melalui latihan.

ii) Pelajaran bahasa Latin misalnya, tidak dapat menaikan IQ.

iii) Ilmu-ilmu dalam bidang tertentu (bila ditunjuk dengan istilah Ilmu Jiwa Daya mereka telah terlatih) ternyata lemah dan tidak mampu mengamati dan menganalisis dalam bidang-bidang lain, ini berarti tranfer secara oomatis tidak terjadi. Kemudian kelompok asosiasi ini berpendapat bahwa transfer hanya akan terjadi bila dalam situasi yang baru terdapat unsur-unsur yang sama (identical elements) dengan situasi terdahulu yang telah dipelajari. Misalnya, individu yang telah lihai naik sepeda motor honda, ia tidak akan mengalami kesulitan bila mengendarai motor merk suzuki, karena sepeda motor ini mempunyai banyak unsur yang sama, maka bila

sekolah menghendaki terjadinya transfer, bahan-bahan pelajaran harus dan mempunyai unsur-unsur kesamaan dengan kehidupan masyarakat.

c. Teori Generalisasi

Peletak pandangan ini adalah Charles Judd, ia beranggapan bahwa transfer bisa terjadi bila situasi baru dan situasi lama telah dipelajari mempunyai kesamaan prinsip, pola atau struktur, tidak kesamaan unsur-unsur. Seseorang memahami prinsip demokrasi akan mampu mengamalkan dalam situasi yang berbeda, demikian pula prinsip ekonomi, hukum, pendidikan dan lain-lain. Ketiga teori diatas, sampai sekarang masih menunjukkan kebenaran, kemampuan berfikir logis sistematis, ternyata cukup membantu dibidang-bidang lain (Ilmu Jiwa Daya). Unsur-unsur yang sama atau pola-pola yang mirip bila dipahami betul orangpun tertolong dalam menghadapi situasi yang sama sekali baru (elemen identik dan generasi).

VI. RAGAM-RAGAM TRANSFER BELAJAR

Pada perkembangan awal, transfer belajar terbagi menjadi dua yaitu transfer positif dan transfer negatif. Dikatakan transfer positif, apabila membawa efek positif terhadap kegiatan belajar selanjutnya, sedangkan dikatakn transfer negatif, jika membawa efek negatif terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Menurut Theory of Identical Element yang dikembangkan oleh E. L. Thorndike, transfer positif akan terjadi apabila terjadi kesamaan elemen antara materi yang lama dengan materi yang baru. Contoh seorang siswa yang telah menguasai matematika akan mudah mempelajari statistika, seseorang yang telah mampu untuk naik sepeda maka ia akan mudah untuk belajar naik sepeda bermotor. Sedangkan trasfer negatif terjadi ketika keterampilan yang telah dikuasai menjadi penghambat belajar keterampilan lainnya. Contoh seorang yang terbiasa untuk mengetik dengan satu jari, akan mengalami kesulitan ketika harus belajar mengetik dengan sepuluh jari. Pada perkembangan selanjutnya, Gagne, seorang education psychologist membedakan transfer belajar menjadi empat kategori yaitu

1. Transfer positif

Transfer positif yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Tranfer ini dapat terjadi jika seorang guru membantu untuk belajar dalam situasi tertentu yang mempermudah siswa belajar dalam situasi lainnya. Dalam konteks ini, Barlow mendefinisikan transfer positif adalah belajar dalam suatu situasi yang dapat membantu belajar dalam situasi-situasi lain.

2. Transfer negatif

Transfer negatif yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Tranfer ini dapat terjadi jika seorang siswa belajar dalam situasi tertentu yang memiliki pengaruh merusak terhadap keterampilan yang dipelajari dalam situasi berikutnya. 3. Transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi. Tranfer ini dapat terjadi apabila seorang siswa belajar dalam situasi yang tertentu yang dapat meyebabkan siswa tadi mampu untuk menguasai pengetahuan/keterampilan yang lebih rumit. Contohnya, ketika seorang anak SD belajar mengenai penjumlahan dan pengurangan maka ia akan lebih mudah belajar perkalian di kelas berikutnya.

4. Transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat. Tansfer ini akan terjadi ketika seorang siswa telah mampu menggunakan materi yang dipelajarinya untuk mempelajari materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Contohnya, seorang siawa STM yang telah menguasai teknologi “X” dari sekolahnya akan mudah menggunakan teknologi itu di tempat kerjanya.

VII. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TRANSFER BELAJAR 1. Intelegensi

Individu yang lancar dan pandai biasanya segera mampu menganalisa dan dapat melihat hubungan logis, ia segera melihat unsur-unsur yang sama serta pola dasar atau kaidah hukum, sehingga sangat mudah terjadi transfer.

2. Sikap

Meskipun orang mengerti dan memahami sesuatu serta hubungannya dengan yang lain, tetapi pendirian/kecenderungannya menolak/sikap negatif, maka transfer tidak akan terjadi, dan demikian sebaliknya.

3. Materi Pelajaran

Biasanya mata pelajaran yang mempunyai daerah berdekatan akan mudah terjadi transfer. Contohnya: Matematika dengan Statistika, Ilmu Jiwa Daya dengan Sosiologi akan lebih mudah terjadi transfer.

Pendidik yang senantiasa menunjukkan hubungan antara suatu pelajaran yang sedang dipelajari dengan mata pelajaran yang lain atau dengan menunjuk kehidupan nyata yang dialami anak, biasanya akan mudah terjadi transfer.

BAB III

PENUTUP KESIMPULAN

• Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau mereproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari

• hilang ingatan adalah hilangnya kemampuan untuk mengingat atau menimbulkan kembali yang disebabkan oleh hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.

• Lupa disebabkan oleh gangguan konflik antara item-item informasi, tekanan terhadap item-item yang sudah ada baik disengaja atupun tidak, perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali, perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu, tidak pernah digunakannya materi pelajaran yang sudah dikuasai, dan perubahan urat syaraf otak

• Lupa dapat ditangani dengan berbagai cara seperti overlearning, extra study time, mnemonic device, pengelompokan, latihan terbagi, dan pengaruh letak bersambung

• Transfer belajar adalah pemindahan-pemindahan kebiasaan berfikir, perasaan atau pekerjaan, ilmu pengetahuan atau keterampilan, dari suatu keadaan ke keadaan belajar yang lain

• Dalam teori disiplin formal, transfer belajar hanya dapat terjadi bila “diperkuat” dan “didisiplinkan” dengan latihan-latihan yang keras dan terus menerus

• Dalam teori elemen identik, transfer hanya akan terjadi bila dalam situasi yang baru terdapat unsur-unsur yang sama (identical elements) dengan situasi terdahulu yang telah dipelajari

• Dalam teori generalisasi, transfer bisa terjadi bila situasi baru dan situasi lama telah dipelajari mempunyai kesamaan prinsip, pola atau struktur, tidak kesamaan unsur-unsur

• Gagne, membedakan transfer belajar menjadi empat kategori yaitu transfer positif, transfer negatif, transfer vertikal, dan transfer lateral.

• Transfer positif yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya • Transfer negatif yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya

• Transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi • Transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat • Faktor-faktor penyebab transfer belajar seperti intelegensi, sikap, materi pelajaran, dan sistem penyampaian guru. KESULITAN BELAJAR DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA

Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai Kinerja Akademik (Academik Performance) yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tanpak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara siswa dengan siswa lainnya.

Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditunjukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehinga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang berkatagori “di luar rata-rata” itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dngan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang disebut kesulitan belajar (learning difficlty) yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu,

kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.

2.1. Faktor-Faktor Kesulitan Belajar

Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tanpak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasinya belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibutuhkan dengan munculnya kelainan prilaku (misbehavior) siswa seperti kesulitan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.

Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam. 1. Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri. 2. Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.

Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut dibawah ini. A. Faktor intern siswa

Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangan fisik-fisik siswa, yakni :

1). Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi siswa; 2). Yang bersifat efektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;

3). Yang bersifat psikomotor (ranah klarsa), antar lain seperti terganggunya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga). B. Faktor ekstern siswa

Faktor ekstern sisiwa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor ini dapat dibagi tiga macam.

1. Lingkungan keluarga, contohnya: ketidak harmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.

2. Lingkungan perkumpulan/masyarakat, contohnya: wilayah perkumpulan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.

3. Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualiat rendah.

Selain faktor-faktor yang bersifat umum di atas, ada pula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Di antar faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom piskologi berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrone) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1988) yang menimbulkan kesulitan belajar itu.

1. Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar membaca. 2. Disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis. 3. Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.

Akan tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Oleh karnanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya mineral brain dysfungtion, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Reber, 1988).

2.2. Diagnosis Kesulitan Belajar

Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenai gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni jenis kesulitan belajar siswa.

Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar. Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener dan Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:

1. Melakukan observasi kelas untuk melihat prilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran. 2. Meringkas penglihatan dan pendengaran siswa khususnya siswa diduga mengalami kesulitan belajar.

3. Mewawancarai orang tua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar. 4. Memeriksa tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.

5. Memberikan tes kemampuan itelegasi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.

Secara umum, langkah-langkah tersebut di atas dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk keperluan tes IQ, guru dan orang tua siswa dapat berhubungan dengan klinik piskologi. Dalam hal ini, yang sangat perlu dicatat ialah apabila siswa yang mengalami kesulitan belajar itu ber-IQ jauh di bawah normal (tuna grahita), orangtua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/sekolah bisa tidak

menyediakan tenaga pendidik dan kemudian belajar khusus anak-anak normal. Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukan misbehavior berat seperti prilaku agresif yang berpotensi anti sosial atau kecantuan narkotika, harus diperlukan secara khusus pula, umpamanya dimasukan ke lembaga pemasyarakatan anak-anak atau ke “pesantren” khusus pencandu narkotika.

Adapun untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pengidap sindrom disleksia, disgrafia, dan diskalkulia, guru dan orang tua sangat dianjurkan untuk memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini biasanya bertugas menangani para siswa pengidap sindrom – sindrom tadi di samping melakukan remidial teaching (pengajaran perbaikan).

Sayangnya di sekolah - sekolah kita, tidak seperti di kebanyakan sekolah negara – negara maju, belum menyediakan guru – guru pendukung. Namun untuk mengatasi kesulitan karena tidak adanya support teachers itu orang tua siswa dapat berhubungan dengan biro konsultasi psikologi dan pendidikan yang biasanya terdapat pada pakultas psikologi dan fakultas keguruan yang terkemuka di kota – kota besar tertentu

2.3. Alternatif Pemecahan Kesulitan Belajar

Banyak alternatif yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting sebagai berikut.

1. Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian – bagian masalah dan hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa.

2. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan. 3. Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching (pengajaran perbaikan).

Setelah langkah – langkah di atas selesai, barulah guru melaksanakan langkah keempat, yakni melaksanakan program perbaikan. 2.4. Alat Diagnosis Kesulitan Belajar

a. Analisis hasil diagnosis

Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang berprestasi rendah itu dapat diketahui secara pasti. Contoh: Badu mengalami kesulitan khusus dalam memahami konsep kata “polisemi”. Polisemi ialah sebuah istilah yang menunjuk kata yang memiliki dua makna atau lebih. Kata “turun”, umpamanya, dapat dipakai dalam berbagai frase seperti turun harga, turun ranjang, turun tangan, dan seterusnya. Contoh sebaliknya, kata “naik” yang juga dapat di pakai dalam banyak frase seperti: naik daun, naik darah, naik banding, dan sebagainya.

b. Menentukan kecakapan bidang bermasalah

Berdasarkan hasil analisis tadi, guru diharapkan dapat menentukan bidang kecakapan tertentu yang dianggap bermasalah dan memerlukan perbaikan. Bidang – bidang kecakapan bermasalah ini dapat dikatagorikan menjadi tiga macam.

1. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri.

2. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orang tua. 3. Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik oleh guru maupun orang tua.

Bidang kecakapan yang tidak dapat ditangani atau terlalu sulit untuk ditangani baik oleh guru maupun orang tua dapat

bersumber dari kasus – kasus tuna grahita (lemah mental) dan kecanduan narkotika. Mereka yang termasuk dalam lingkup dua macam kasus yang bermasalah berat ini dipandang tidak berketerampilan (unskilled people). Oleh karenanya, para siswa yang mengalami kedua masalah kesulitan belajar yang berat tersebut tidak hanya memerlukan pendidikan khusus, tetapi juga memerlukan perawatan khusus.

Kembali kesoal Badu. Ternyata, dari hasil diagnosis diketahui bahwa ia belum memiliki kecakapan memahami konteks kalimat, khususnya kalimat – kalimat yang mengandung elemen polisemi. Akibatnya, sebuah kata polisemi yang arti aslinya “X” dalam sebuah konteks kalimat dia pahami sebagai “X” juga dalam konteks kalimat yang lain.

c. Menyusun program perbaikan

Dalam hal menyusun program pengajaran perbaikan (remedial teaching), sebelumnya guru perlu menetapkan hal – hal sebagai berikut 1. Tujuan pengajaran remedial.

2. Materi pengajaran remedial. 3. Metode pengajaran remedial. 4. Alokasi waktu pengajaran remedial.

5. Evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial. CARA MENGATASINYA

10 01 2010

KESULITAN BELAJAR DAN CARA MENGATASINYA

Dalam dokumen GURU DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR (Halaman 28-33)

Dokumen terkait