• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian ini terdiri atas tiga tahap yaitu: 1) transformasi kalus tebu dengan bantuan A. tumefaciens GV2260 pBINPI-II EC; 2) isolasi DNA genom total; dan 3) analisis gen fitase dengan PCR.

Transformasi kalus tebu dengan bantuan A. tumefaciens GV2260 pBINPI-II EC Percobaan transformasi dilakukan menggunakan empat metode yaitu: 1) metode Enriquez-Obregón et al. (1997); 2) metode Minarsih (2003); 3) metode

20

Santosa et al. (2004); dan 4) metode Modifikasi yang merupakan modifikasi antara metode Minarsih (2003) dan metode Santosa et al. (2004).

Metode pertama, eksplan berasal dari jaringan meristem pucuk daun tebu. Sebelum kokultivasi eksplan diberi antioksidan (L-sistein 40 mg/L; asam askorbat 15 mg/L; perak nitrat 2 mg/L). Kultur A. tumefaciens ditumbuhkan pada media Luria Broth (tripton 10 g/L, ekstrak yeast 5 g/L, NaCl 5 g/L, sukrosa 5 g/L, dan H2O sampai tera) yang mengandung rifampisin 100 mg/L sampai diperoleh OD620

(optical density) = 0,6 kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada 5000 rpm. Pelet yang didapatkan dicuci dengan MS cair yang ditambah dengan antioksidan. Kokultivasi selama 10 menit dan selanjutnya eksplan dipindahkan pada media MS-I yang ditambah dengan antioksidan, dan kemudian ditutup dengan kertas saring untuk mengurangi infeksi agrobakterium. Kokultur ini dilakukan selama 3 hari kemudian dicuci dengan aquades steril dan cefotaxime 500 mg/L. Setelah pencucian, eksplan ditanam pada media MS-I padat yang mengandung kanamisin 50 mg/L dan cefotaxime 500 mg/L selama 10 hari. Pucuk daun yang tidak ditumbuhi oleh agrobakterium dipindahkan pada media seleksi MS-I yang mengandung kanamisin 100 mg/L. Komposisi media metode ini disajikan dalam Lampiran 3.

Kedua, metode Minarsih (2003) hampir sama dengan metode yang dilakukan oleh Enriquez-Obregón et al. (1997). Namun eksplan yang digunakan adalah eksplan kalus dan densitas kultur A. tumefaciens untuk kokultivasi yaitu OD620 =

0,6 dengan pengenceran sepuluh kalinya. Komposisi media metode ini disajikan dalam Lampiran 4.

Ketiga, metode Santosa et al. (2004), kalus tebu dimasukkan ke dalam 2 mL eppendorf dan diinokulasi dengan 0,5 mL kultur suspensi A. tumefaciens (OD578 =

0,2), dibiarkan 5–10 menit pada suhu ruang. Kemudian, kalus dikeringkan dengan kertas saring steril untuk mengurangi cairan suspensi bakteri. Kalus yang telah dikeringkan tadi dimasukkan ke dalam 30 mL media MS yang mengandung 0,5 g/L kasein hidrolisat, 100 mg/L asetosiringon dan 50 mg/L kanamisin, inkubasi dengan kondisi gelap pada 28 oC sambil dishaking 60 rpm selama 2 hari, jika ada pertumbuhan agrobakterium media diganti dengan media baru. Setelah ko- kultivasi kalus dicuci dengan air steril sebanyak 2 kali lalu dikeringkan pada

kertas saring steril, kemudian kalus dipindahkan pada ke media MS cair sebanyak 25 mL yang mengandung 0,5 g/L kasein hidrolisat, cefotaxime 1000 mg/L dan inkubasi pada kondisi gelap 28 oC sambil dishaking pada 60 rpm selama 2 jam. Perlakuan diulang kembali. Kalus ditransfer ke dalam 30 mL media MS yang mengandung 0,5 mg/L kasein hidrolisat, 500 mg/L cefotaxime, lalu diinkubasi dengan kondisi gelap pada 28 oC sambil dishaking 60 rpm selama 2 hari. Jika ada pertumbuhan agrobakterium media diganti dengan media baru. Kemudian dipindahkan pada media MS yang mengandung 0,5 mg/L kasein hidrolisat, 500 mg/L cefotaxime, 100 mg/L kanamisin dan diinkubasi selama seminggu untuk memastikan tidak ada pertumbuhan bakteri. Setelah seminggu kalus dikeringkan lagi dengan kertas saring steril dan dipindahkan ke media MS padat yang mengan- dung 500 mg/L cefotaxime, 100 mg/L kanamisin, dengan kondisi gelap 28 oC selama 2 minggu atau lebih untuk memastikan tidak ada pertumbuhan agrobakterium. Selanjutnya, kalus ditanam pada media MS-I dengan kanamisin 100 mg/L untuk mendapatkan struktur yang kompak dan mampu berproliferasi. Komposisi media metode ini disajikan dalam Lampiran 5.

Keempat, metode Modifikasi (Minarsih 2003 dan Santosa et al. 2004) yang dilakukan adalah memodifikasi perlakuan pasca pencucian A. tumefaciens selama dua jam yang dilakukan oleh Santosa et al. (2004) kemudian tidak dipindahkan pada perlakuan inkubasi media cair selama satu minggu melainkan langsung dipindahkan pada media padat yang mengandung cefotaxime 500 mg/L (Minarsih 2003). Komposisi media metode ini disajikan dalam Lampiran 6.

Isolasi DNA genom total

DNA total diisolasi dari kalus yang berumur 4 minggu setelah transformasi pada kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 dengan metode DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen). Setelah preparasi kit isolasi, sebanyak 100 mg sampel digerus menggunakan nitrogen cair dalam mortar untuk menghancurkan dinding sel menjadi bubuk. Segera setelah sampel berbentuk bubuk dilanjutkan menurut petunjuk kit isolasi.

Analisis gen fitase dengan PCR

DNA genom total digunakan untuk amplifikasi gen dengan teknik PCR (Sambrook & Russel 2001). Primer yang digunakan adalah primer spesifik untuk

22

gen fitase EC1: 5’–CAGGCTCTATCCGCTAATCG–3’ dan EC3: 5’– GGCGCGGTGGGGCAATAATC–3’ yang setiap reaksi diatur sebagai berikut; pre-start 95 oC selama 10 menit, denaturasi pada 95 oC selama 30 detik, annealing pada 50 oC selama 30 detik dan sintesis pada 72 oC selama 1 menit, dan stop 72

o

C selama 5 menit. Jumlah setiap campuran reaksi sebanyak 20 µL yang terdiri dari 10 µL Master Mix, 1 µL [0,5 µM/µL] masing-masing primer spesifik untuk gen fitase, 1 µL DNA [0,5 µg/mL] dari tanaman transforman dan kontrol dan 7 µL ddH2O. Reaksi dijalankan sebanyak 40 siklus setelah pre-start menggunakan

mesin PCR Eppendorf Mastercycler Personal. Kontrol negatif (tanpa DNA cetakan) selalu digunakan tiap kali mengerjakan PCR. Selanjutnya DNA hasil amplifikasi dimasukkan dalam sumur pada gel agarose 2% (b/v). Elektroforesis dijalankan selama 30 menit pada 100 volt dalam bufer 1x TAE (4.84 g Tris-base; 0.186 g Na2EDTA; 1,142 ml asam asetat glasial; 1 L dH2O) pada perangkat

elektroforesis mini submarine. Kemudian gel direndam dalam ethidium bromida 10 µg/mL selama 10 menit lalu dibilas dengan dH2O. Gel dilihat pada GelDoc

Kultur Jaringan Tanaman Tebu Sterilisasi dan penanaman eksplan

Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) tebu dalam kultur jaringan ditujukan untuk memperoleh kalus embriogenik steril. Kalus ini akan digunakan untuk mendapatkan media yang optimum dalam regenerasi tanaman tebu, dan untuk transformasi gen fitase ke dalam genom tebu melalui A. tumefaciens GV2260. Cara sterilisasi yang dipakai dalam percobaan ini berturut-turut adalah dengan pencelupan alkohol 70%, pembakaran di atas nyala api spiritus, dan pengambilan eksplan yang agak jauh dari pucuk apikal sehingga eksplan menjadi steril, segar dan dapat tumbuh dengan baik dalam media MS-I (RNI 1999).

Kalus yang diinduksi dari eksplan daun menggulung (jaringan meristem) mulai terbentuk setelah 4 minggu pada media kultur MS-I. Berdasarkan teksturnya kalus yang dihasilkan bersifat kompak, viabel atau kombinasi antara keduanya. Umumnya tingkat viabilitas mengikuti tingkat konsentrasi auksin yang digunakan dan dalam percobaan ini auksin yang dipakai yaitu 2,4-D dengan konsentrasi 3 mg/L mampu membentuk kalus yang kompak. Warna kalus beragam mulai dari putih dan putih kekuningan. Inisisasi kalus dan hasil proliferasinya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Inisiasi dan proliferasi kalus. a) Eksplan jaringan meristem b) Inisiasi kalus c) Hasil proliferasi setelah 4 minggu.

a

b

24

Regenerasi tanaman tebu kultivar PA 117 dan PSJT 94-33

Regenerasi tanaman tebu nontransforman kultivar PA 117 dan PSJT 94-33 bertujuan untuk mendapatkan media yang optimum untuk induksi tunas, daun, dan akar. Media yang digunakan adalah MS yang ditambahkan dengan zat pengatur tumbuh IAA dan dalapon dalam beberapa kombinasi konsentrasi. Induksi tunas dan daun dilakukan pada media padat. Jumlah tunas dan daun yang tumbuh sampai dengan minggu ke-4 dari kultivar PA 117 dapat dilihat berturut- turut pada Gambar 3 dan 4. Hasil optimasi media regenerasi untuk induksi tunas dan daun dapat dilihat pada Gambar 5. Sedangkan induksi akar dilakukan pada media cair dengan waktu pengamatan sampai dengan minggu ke-4. Jumlah akar yang terbentuk ditampilkan dalam Gambar 6.

Gambar 3. Grafik rataan jumlah tunas tebu kultivar PA 117 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4.

Pada Gambar 3, media yang optimum untuk regenerasi tebu kultivar PA 117 adalah R10 dengan kombinasi IAA 2 mg/L + dalapon 57 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan IAA dan dalapon berpengaruh nyata terhadap induksi jumlah tunas. Media regenerasi R10 hingga minggu ke-4 merupakan komposisi media yang menghasilkan jumlah tunas terbanyak (27 tunas) bila dibandingkan dengan R9 (23 tunas) yang komposisi IAA sama, namun komposisi dalaponnya lebih rendah. Hal ini tidak berarti bahwa IAA tidak diperlukan, karena perbandingan konsentrasi IAA dan dalapon tetap diperlukan untuk menginduksi tunas secara optimum.

Gambar 4. Grafik rataan jumlah daun tebu kultivar PA 117 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4.

Variasi penambahan dalapon berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah daun kultivar PA 117 yang diamati sampai dengan minggu ke-4. Media regenerasi R10 merupakan komposisi media yang menghasilkan jumlah daun terbanyak (32 daun) dibandingkan dengan media regenerasi R9 (25 daun). Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi dalapon yang optimum adalah sama, baik untuk induksi daun maupun tunas.

26

R1 R2 R3 R4

R5 R6 R7 R8

R9 R10 R11 R12

R13 R14 R15 R16

Gambar 5. Hasil optimasi media regenerasi tanaman tebu kultivar PA 117 sampai dengan minggu ke-4. Nomor gambar adalah tanaman hasil regenerasi berdasarkan kombinasi media yang ditambahkan IAA:dalapon [mg/L]. Secara berurut dari nomor R1 = 1:55; R2 = 1:57; R3 = 1:59; R4 = 1:61; R5 = 1,5:55; R6 = 1,5:57 mg/L; R7 = 1,5:59; R8 = 1,5:61; R9 = 2:55; R10 = 2:57; R11 = 2:59; R12 = 2:61; R13 = 2,5:55; R14 = 2,5:57; R15 = 2,5:59; dan R16 = 2,5:61. Optimasi media regenerasi terbaik terlihat pada gambar bernomor R10.

Gambar 6. Grafik rataan jumlah akar tebu kultivar PA 117 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4 pada media regenerasi R10.

Rata-rata jumlah akar yang terbentuk pada kultivar PA 117 yang diamati sampai dengan minggu ke-4 dapat dilihat pada Gambar 6. Pada minggu pertama induksi akar langsung terbentuk walaupun jumlahnya masih sedikit. Jumlah akar terbanyak berada pada minggu ke-4 ini berarti bahwa media induksi akar yang digunakan yaitu media cair dengan komposisi IAA 2 mg/L, dalapon 57 mg/L mampu menginduksi akar kultivar PA 117. Media cair yang digunakan sangat efektif untuk induksi akar sehingga akar yang terbentuk sangat kuat dan kokoh seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.

28

Kedua jenis zat pengatur tumbuh yaitu IAA dan dalapon berperan sangat penting dalam regenerasi kalus menjadi planlet. IAA termasuk dalam kelompok auksin alamiah yang banyak terdapat pada tanaman. Sedangkan dalapon secara komersial termasuk dalam kelompok herbisida. Penambahan IAA dan dalapon dalam regenerasi kalus tanaman tebu kultivar PA 117 terbukti mampu meng- induksi tunas, daun, dan akar. Konsentrasi kedua zat pengatur tumbuh adalah sebanyak 2 mg/L IAA, dan 57 mg/L dalapon.

Gambar 8. Grafik rataan jumlah tunas tebu kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4.

Berbeda dengan PA 117, pada Gambar 8, terlihat jelas bahwa media yang optimum untuk induksi tunas kultivar PSJT 94-33 adalah R4 (IAA 1 mg/L, dalapon 61 mg/L), dibandingkan dengan R3 yang jumlah IAAnya sama. Ini menunjukkan bahwa konsentrasi dalapon berpengaruh nyata terhadap induksi tunas kultivar PSJT 94-33 namun tidak berarti konsentrasi IAA tidak berpengaruh. Diduga jumlah IAA yang tersedia secara endogen mampu berinteraksi dengan dalapon sehingga dengan konsentrasi IAA 1 mg/L mampu menginduksi tunas.

Gambar 9. Grafik rataan jumlah daun tebu kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4.

Dari gambar di atas terlihat bahwa kombinasi media R4 (IAA 1 mg/L, dalapon 61 mg/L) merupakan media yang optimum untuk pembentukan daun kultivar PSJT 94-33 dibanding dengan kombinasi media yang lain. Konsentrasi IAA 1 mg/L tidak hanya menginduksi tunas tapi juga mampu berperan dalam pembentukan daun. Ini menunjukkan bahwa kombinasi media R4 terbukti dapat menginduksi tunas dan daun kultivar PSJT 94-33. Hasil optimasi berbagai kombinasi media regenerasi dapat dilihat pada Gambar 10.

30

Gambar 10. Hasil optimasi media regenerasi tanaman tebu kultivar PSJT 94-33 sampai dengan minggu ke-4. Keterangan nomor sama seperti yang dijelaskan dalam Gambar 5. Untuk nomor R13-R16 tidak disajikan karena kalus tidak mampu tumbuh. Optimasi media terbaik tampak pada gambar bernomor R4.

Gambar 11. Grafik rataan jumlah akar tebu kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk sampai dengan minggu ke-4 pada media regenerasi R4.

R1 R2 R3 R4

R5 R6 R7 R8

Jumlah akar kultivar PSJT 94-33 yang terbentuk pada media cair dengan kombinasi IAA 1 mg/L, dalapon 61 mg/L sangat nyata pada minggu pengamatan yang ke-4. Pada minggu pertama pembentukan akar sangat sedikit dan masih sangat lemah dibandingkan dengan minggu keempat yang struktur akarnya lebih kokoh, seperti ditunjukan pada Gambar 12.

Gambar 12. Hasil induksi akar tebu kultivar PSJT 94-33 pada media regenerasi R4.

Secara menyeluruh, regenerasi tanaman tebu kultivar PA 117 dan PSJT 94- 33 dengan kombinasi IAA dan dalapon berhasil dilakukan dengan baik. Respon regenerasi yang optimum antar kedua kultivar berbeda pada kombinasi kedua zat pengatur tumbuh yang digunakan. Dari laporan penelitian yang ada ternyata untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur jaringan diperlukan komposisi atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda untuk satu kultivar dengan kultivar lain dari suatu jenis tanaman (Wattimena 1992).

Regenerasi kalus transforman

Hasil regenerasi kalus transforman kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 menunjukkan respons yang berbeda. Kultivar PSJT 94-33 pada media regenerasi R4 (IAA 1 mg/L dan dalapon 61 mg/L) dapat menginduksi tunas dan daun. Sedangkan kultivar PA 117 yang ditanam pada media regenerasi R10 (IAA 1,5 mg/L dan dalapon 57 mg/L) dan PS 851 pada media regenerasi P3GI modifikasi (IAA 2 mg/L dan dalapon 59 mg/L) hanya mampu menginduksi tunas dengan struktur yang lemah, seperti terlihat pada Gambar 13. Hal ini diduga karena kalus hasil transformasi memiliki kemampuan regenerasi yang rendah akibat berbagai

32

perlakuan pada saat transformasi. Selain itu, respon masing-masing kultivar terhadap zat pengatur tumbuh pada media regenerasi juga berbeda karena genotip sumber jaringan atau organ yang digunakan (Wattimena et al. 1992).

Gambar 13. Regenerasi tebu transforman PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851. Rendahnya hasil regenerasi kalus transforman menjadi tanaman hijau sangat berbeda dengan kalus nontransforman. Chung (1992) dan Chen (1983) menyatakan proporsi tanaman hijau dan albino tersebut selain tergantung pada genotipa tanaman juga pada kondisi kultur, misalnya suhu inkubasi. Dari studi molekuler, gen inti maupun sitoplasmik dan interaksinya mungkin mempengaruhi produksi tanaman albino.

Rataan tunas transforman kultivar PA 117 yang terbentuk selama pengamatan sampai dengan minggu keempat disajikan dalam Gambar 14. Sejak minggu pertama, telah terbentuk tunas meskipun dalam jumlah sangat sedikit dengan struktur yang lemah. Struktur tunas yang kokoh mulai terbentuk pada minggu keempat. Hal ini diduga karena kemampuan regenerasi kalus transforman yang berkurang akibat sub kultur yang dilakukan.

Rataan tunas dan daun hasil regenerasi kalus transforman kultivar PSJT 94- 33 disajikan dalam Gambar 15. Pada minggu pertama, tunas sudah dapat dibentuk, sedangkan daun belum terbentuk. Namun pada perkembangan minggu- minggu berikutnya, jumlah tunas dan daun hampir sebanding, yaitu dapat mencapai rata-rata 12. Rata-rata regenerasi kalus transforman yang dapat membentuk tunas dan daun masih sangat kurang dibandingkan dengan rata-rata regenerasi kalus nontransforman.

Gambar 14. Grafik rataan jumlah tunas transforman kultivar PA 117 pada media regenerasi R10.

Gambar 15. Grafik rataan jumlah tunas dan daun yang terbentuk dari regenerasi kalus transforman kultivar PSJT 94-33 pada media regenerasi R4. Rataan tunas transforman pada kultivar PS 851 yang ditanam pada media regenerasi Modifikasi P3GI (IAA 2 mg/L dan dalapon 59 mg/L) ditampilkan pada Gambar 16. Pada minggu pertama, tidak ada tunas yang terbentuk. Tunas terbentuk pada minggu kedua dengan struktur yang sangat lemah. Akan tetapi sampai dengan minggu keempat struktur tunas masih lemah sehingga tidak mampu membentuk daun. Diduga karena adanya perlakuan transformasi yang menimbulkan stress pada kalus sehingga kemampuan regenerasi berkurang.

34

Gambar 16. Grafik rataan tunas transforman yang terbentuk dari regenerasi kalus transforman kultivar PS 851 pada media regenerasi Modifikasi P3GI.

Transformasi Tebu dengan Gen Fitase

Transformasi tanaman tebu dengan gen fitase dilakukan menggunakan empat metode transformasi, yaitu: Metode Enriquez-Obregón et al. (1997), metode Minarsih (2003), metode Santosa et al. (2004) dan metode Modifikasi dari metode Minarsih (2003) dan Santosa et al. (2004). Transformasi gen fitase ke dalam genom tebu menggunakan eksplan jaringan meristem dan kalus. Keempat metode transformasi dan hasil transformasinya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Empat metode transformasi gen fitase pada eksplan tebu

Metode Transformasi Kultivar Keterangan

Enriquez-Obregón et al (1997)

PSJT 94-33 CB 6979 BR 194

Sumber eksplan pucuk daun tebu (jaringan meristem), kontaminasi A.tumefaciens 100%, jaringan rusak. Minarsih (2003) BR 194

PA 183

Sumber eksplan kalus, kontaminasi A.tumefaciens 10%, lolos media seleksi 50%.

Santosa et al (2004) PSJT 94-33 PA 183

Sumber eksplan kalus, kontaminasi A.tumefaciens 50%, lolos media seleksi 80%.

Modifikasi PA117

PSJT 94-33 PS 851

Sumber eksplan kalus, kontaminasi A.tumefaciens 10%, lolos media seleksi 80%.

Pada metode Enriquez-Obregón (1997), eksplan yang digunakan adalah jaringan meristem dari tiga kultivar tanaman tebu (PSJT 94-33, CB 6979 dan BR 194). Pada tahapan setelah kokultivasi eksplan dengan A. tumefaciens terjadi kontaminasi agrobakterium pada semua eksplan. Usaha untuk menghilangkan kontaminan dilakukan pencucian dengan aquades dan media MS-I yang mengandung cefotaxime 500–750 mg/L secara berulang-ulang, tetapi kontaminan tidak dapat dihilangkan. Pengaruh selanjutnya karena pencucian berulang-ulang tersebut, maka eksplan jaringan meristem mengalami kerusakan yang mengakibatkan daya tumbuhnya berkurang.

Metode kedua yang dilakukan yaitu metode Minarsih (2003). Tahapan kerja metode ini hampir sama dengan metode Enriquez-Obregón (1997) perbedaannya pada sumber eksplan yang digunakan yaitu kalus dan adanya pengenceran kultur A. tumefaciens sebelum kokultivasi. Hasil transformasi pada media seleksi dengan metode ini disajikan pada Gambar 17a dan b. Pada tahapan kerja yang dilakukan, kontaminan agrobakterium dapat dihilangkan dengan pencucian menggunakan media MS-I yang mengandung cefotaxime 500 mg/L dan kalus sebagai eksplannya tidak mudah rusak karena struktur kalusnya lebih kompak dibandingkan dengan eksplan pada metode yang pertama. Pengenceran kultur A. tumefaciens yang dilakukan sebelum kokultivasi menyebabkan makin kecilnya kemungkinan gen fitase masuk ke dalam genom tanaman, hal ini nampak pada kalus transforman yang dapat tumbuh di media seleksi sekitar 50%.

Metode transformasi menurut Santosa et al (2004), kultur A. tumefaciens diencerkan sampai OD = 0,2 dan pencucian kalus transforman dilakukan beberapa tahap. Pertama, pencucian kalus menggunakan media MS-I yang mengandung cefotaxime 1000 mg/L selama 2 jam dengan cara dishaking agar dapat menghambat pertumbuhan sel A. tumefaciens. Kedua, setelah dishaking selama 2 jam, kalus diinkubasi dengan media MS-I yang mengandung cefotaxime 500 mg/L selama dua hari untuk memastikan bahwa kalus tidak tumbuh bakteri. Pada metode ini kalus diyakini tidak terkontaminasi lagi jika masa inkubasi selama satu minggu tidak ada pertumbuhan A. tumefaciens, hasil transformasi disajikan pada Gambar 17c dan d. Keberhasilan metode transformasi ini sangat tinggi, hal ini ditunjukkan oleh Santosa et al (2004) yang berhasil mendapatkan kalus

36

transforman yang bebas dari kontaminan bakteri sebesar 100%. Akan tetapi metode ini memiliki kendala yaitu pada saat pencucian dengan cara dishaking bila tidak dilakukan secara hati–hati dapat menyebabkan over growth population yang penanganannya akan lebih sulit. Pada penelitian yang dilakukan, kontaminan A. tumefaciens masih tinggi sekitar 50% hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan kultur yang mempengaruhi pertumbuhan A. tumefaciens. Optical Density (OD) A. tumefaciens yang diinkubasi selama tujuh jam OD578 = 1,9. Sedangkan Santosa et

al (2004) mendapatkan OD578 = 0,5 untuk inkubasi selama tujuh jam. Hal ini

menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan, jumlah sel yang ditumbuhkan dan kecepatan agitasi pada masing–masing kondisi kultur berbeda. Dengan demikian metode ini dapat dipakai dengan mempertimbangkan OD dari kultur A. tumefaciens yang akan digunakan pada saat kokultivasi.

Metode yang keempat yaitu metode Modifikasi dari metode Minarsih (2003) dan Santosa et al. (2004). Modifikasi yang dilakukan yaitu pada tahap setelah pencucian kalus dengan media MS-I yang mengandung cefotaxime 1000 mg/L selama dua jam pada rotary shaker, kalus tidak lagi di inkubasi selama dua hari pada media yang sama tapi langsung dipindahkan ke media MS-I padat yang mengandung cefotaxime 500 mg/L. Dengan cara demikian dapat menghilangkan kontaminasi A. tumefaciens yang tumbuh berlebihan karena kalus transforman langsung dipindahkan dari media cair ke media padat. Metode ini berhasil dilakukan sehingga kalus transforman kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 tidak terjadi kontaminasi setelah pencucian dengan media cair MS-I yang ditambah dengan cefotaxime 1000 mg/L. Hasil kalus yang dapat tumbuh di media seleksi dapat dilihat pada Gambar 17e-g.

Gambar 17. Kalus tebu transforman yang dihasilkan dari beberapa metode transformasi. Keterangan: a & b = Minarsih pada kultivar BR 194 & PA 183; c & d = Santosa pada kultivar PSJT 94-33 & PA 183; e, f & g = Modifikasi pada kultivar PSJT 94-33, PA 117 & PS 851.

a b

c d

e f

38

Analisis Gen Fitase dengan PCR

Verifikasi introduksi gen fitase ke dalam genom tanaman tebu hanya dapat dilakukan pada kalus. Hal ini disebabkan karena kesulitan untuk meregenerasikan kalus transforman menjadi planlet utuh. Setelah isolasi DNA dilakukan, analisis gen fitase dilakukan amplifikasi gen fitase dengan teknik PCR menggunakan primer EC1 dan EC3 berhasil dilakukan. Pada Gambar 18 ditampilkan hasil elektroforesis produk PCR gen fitase.

Gambar 18. Hasil PCR gen fitase dari kalus transforman yang berumur 4 minggu setelah transformasi. Keterangan: M = Marker 100 bp InvitrogenTM, K+ = Kontrol positif pBINPI-II EC, 1 = Kultivar PSJT 94-33, 2 = Kultivar PA117, 3 = Kultivar PS 851, 4 = Kultivar PS 851 (negatif), 5 = Kultivar PA117 (negatif), K─ = Kontrol negatif, tanpa DNA cetakan.

Pada Gambar 18 di atas menunjukkan bahwa ketiga kalus transforman terbukti memiliki gen fitase dengan ukuran fragmen hasil amplifikasi kurang lebih 900 bp (sumur gel 1-3). Beberapa kalus lain yang diuji hasilnya negatif (sumur gel 4 dan 5) mungkin disebabkan oleh kualitas hasil isolasi DNA, antara lain karena jumlah kalus sedikit sehingga DNA yang dihasilkan terlalu sedikit.

2072 bp 1500 900 600 100 M K+ 1 2 3 4 5 K-

Simpulan Simpulan penelitian ini adalah:

1. Optimasi media regenerasi untuk kultivar PA 117 dan PSJT 94-33 berbeda. Media regenerasi untuk induksi tunas, daun, dan akar dari kalus kultivar PA 117, dan untuk induksi tunas dan akar kalus kultivar PSJT 94-33 berturut-turut adalah R10 (IAA 2 mg/L, dalapon 57 mg/L) dan R4 (IAA 1 mg/L, dalapon 57 mg/L).

2. Regenerasi kalus transforman tiga kultivar PA 117, PSJT 94-33, dan PS 851 berbeda. Kalus kultivar PSJT 94-33 pada media R4 mampu membentuk tunas dan daun, sedangkan kultivar PA 117 (pada media R10) dan PS 851 (pada media Modifikasi P3GI) hanya membentuk tunas.

3. Metode transformasi terbaik yang digunakan adalah metode Santosa dan

Dokumen terkait