• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi genetik adalah proses introduksi gen dari satu organisme ke organisme lain yang memungkinkan untuk memunculkan sifat harapan tanpa mengubah sifat lain. Transformasi pertama kali ditemukan oleh Frederick Griffith pada tahun 1928, sedangkan transformasi genetik tanaman adalah pengubahan genetik tanaman melalui transfer DNA eksogen yang berasal dari spesies yang berbeda yang disertai ekspresi DNA tersebut ke dalam genom tanaman target (Skerritt 2000). Menurut Birch (1997) transformasi genetik pada tanaman dilakukan sebagai alat eksperimen untuk mempelajari fisiologi tanaman, dan untuk pemuliaan tanaman.

Pemuliaan tanaman umumnya ditentukan oleh sistem reproduksi tanaman, apakah menyerbuk sendiri atau silang. Tanaman menyerbuk sendiri cenderung melakukan peristiwa silang dalam (inbreeding) yang menghasilkan homozigositas dan stabilitas genetik, dari segi kepentingan tanaman menyerbuk sendiri dipertahankan sebagai populasi homozigot dan menghasilkan keturunannya yang sama atau mendekati tetuanya. Sebaliknya tanaman menyerbuk silang merupakan pelaku silang luar (outbreeding) dan dipertahankan dalam populasi heterozigot dan heterogen, dimana setiap tanaman dapat saling berbeda satu sama lain dalam satu populasi, keturunannya cenderung berbeda dengan tetuanya. Pemuliaan tanaman secara konvensional memiliki beberapa kendala, antara lain: 1) terbatasnya persediaan sumber gen baru, karena harus bersumber dari spesies atau genus yang sama, 2) sulitnya melakukan persilangan antara dua genera yang berbeda, karena adanya faktor sterilitas dan inkompatibilitas, dan 3) biasanya memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang relatif sangat besar (Nasir 2002). Alternatif untuk mengatasi kendala ini adalah dengan menggunakan rekayasa genetik melalui transformasi genetik.

Pemuliaan tanaman melalui transformasi genetik memiliki keunggulan antara lain : 1) dengan transformasi genetik memungkinkan gen penyandi sifat tertentu dipilih secara spesifik dan ditransfer ke tanaman target, 2) memungkinkan introduksi gen dari tanaman atau organisme lain yang tidak berkerabat tanpa terkendala oleh kompatibilitas seksual dalam persilangan, sehingga menghemat waktu dan mengurangi peluang ikutnya sifat-sifat yang tak diinginkan pada tanaman yang ditransformasi (Jauhar 2006; Wieczorek dan Wright 2012). Ekspresi gen yang akan ditransfer ke tanaman target dapat dimodifikasi melalui perakitan gen dengan komponen promotor dan elemen pemacu (enhancer) tertentu. Fukuzawa et al. (2004) menggunakan promotor kuat untuk ekspresi gen

Metallothionein pada tanaman tembakau dan padi, dimana gen Metallothionein

terekspresi kuat pada batang dan akar tetapi tidak pada endosperma.

Komponen dasar dan penting untuk menghasilkan tanaman transgenik antara lain: 1) ketersediaan jaringan target meliputi sel-sel yang kompeten untuk transformasi dan beregenerasi, 2) metode introduksi DNA ke dalam sel-sel akan beregenerasi, dan 3) prosedur seleksi dan regenerasi tanaman transforman (Birch 1997).

Transformasi genetik pada padi dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya elektroporasi, perlakukan PEG, bombardemen proyektil mikro dan

Agrobacterium tumifaciens (Ashikariet al. 2004). Transformasi genetik tanaman yang dimediasi oleh Agrobacterium tumefaciens telah menjadi metode yang

paling popular untuk mengintroduksi gen asing ke dalam sel tanaman padi dan regenerasi dari tanaman transgenik. Transfer gen dengan perantaraAgrobacterium tumefaciens adalah metode yang paling efektif, karena memberikan efisiensi transformasi yang tinggi, dapat digunakan untuk transgen berukuran besar dan cenderung menghasilkan integrasi salinan tunggal transgen pada genom tanaman padi (Hiei dan Komari 2008).

Secara alami Agrobacterium tumefaciens hanya menginfeksi tanaman dikotil dan menunjukkan efisiensi transformasi yang rendah pada tanaman monokotil seperti padi, namun seiring berjalan waktu dan banyaknya penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi transformasi pada tanaman monokotil. Saat ini, transformasi genetik menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciensmenjadi sangat popular dibandingkan teknik yang lain, terutama pada tanaman padi. Berdasarkan penelitian singkat, dari ± 300 paper jurnal yang dipilih secara acak menunjukkan 80% lebih menggunakan Agrobacterium tumefaciens

sebagai alat untuk transfer gen.

Hiei et al. (1994) menjadi pelopor teknik transformasi genetik padi yang menggunakan perantara bakteri Agrobacterium tumefaciens. Sejumlah besar tanaman padi transgenik telah dihasilkan dengan menggunakan perantara

Agrobacterium tumefaciens sebagai vektor untuk mentransfer gen (Hiei et al. 1994; Rashidet al. 1995; Kumar et al. 2005; Tokiet al. 2006; Nandakumaret al. 2007; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010).

Agrobacterium tumefaciens adalah bakteri tanah golongan gram negatif, dengan suhu optimal pertumbuhan bakteri adalah 28-30oC. Bakteri ini bersifat fitopatogen karena dapat membentuk tumor (crown gall) pada sel tanaman, mampu menginfeksi sejumlah besar tanaman dikotil dan sejumlah kecil tanaman monokotil. Pembentukan tumor adalah hasil transfer, integrasi dan ekspresi gen dari segmen spesifik yang disebut T-DNA (transfered-DNA), terdapat pada plasmid Ti (tumor inducing). Mekanisme transfer gen oleh Agrobacterium tumefaciens ke sel inang (host) dengan jalan memindahkan segmen T-DNA dari plasmid Ti ke dalam genom tanaman inang.

Proses transformasi genetik tanaman dengan perantara bakteri

Agrobacterium tumefaciens, terdiri dari 10 tahap utama yaitu: 1) pengenalan dan perlekatan Agrobacterium tumefaciens pada sel inang, yang diikuti dengan 2) penginderaan sinyal tanaman yang spesifik oleh dua komponen sistem tranduksi signal padaAgrobacterium tumefaciensyaitu VirA atau VirG, 3) ekspresi daerah

viryang menghasilkan protein-protein vir yang memulai proses transfer T-DNA, 4) salinan T-DNA yang akan ditransfer ke tanaman diproduksi oleh kerja protein VirD1/VirD2, bersama-sama dengan beberapa protein Vir lainnya kedalam sitoplasma sel inang, 6) Vir E2 berasosiasi dengan utas T-DNA dan bergerak menuju sitoplasma sel inang, 7) kompleks T-DNA masuk ke dalam inti sel inang melalui proses impor aktif, 8) setelah berada dalam inti sel, T-DNA menuju tempat integrasi DNA pada kromosom, 9) protein-protein pengawal DNA terlepas dan 10) DNA terintegrasi ke dalam genom sel inang, (Gambar 5) (Tzfira dan Citovsky 2006).

Gambar 5. Proses transformasi genetik tanaman oleh Agrobacterium tumefaciens

Kemampuan alami Agrobacterium tumefaciens dalam mentransformasi, dapat digunakan sebagai alat untuk mengintoduksi gen-gen asing ke dalam tanaman dan untuk memproduksi tanaman transgenik. Perangkat molekular yang dibutuhkan untuk produksi T-DNA dan transpornya ke dalam sel inang terdiri dari protein-protein yang dikode oleh gen-gen virulensi pada kromosom atau chv

(chromosomal virulence) dan gen-gen virulensi (vir) yang terdapat pada plasmid Ti, selain itu berbagai protein pada inang juga terlibat dalam tahap transport interselular, proses masuk dan integrasi T-DNA dalam inti sel (Tzfira dan Citovsky 2006).

Daerah T-DNA dan daerah vir pada Agrobacterium tumefaciens tipe liar berada dalam satu vektor plasmid Ti, sedangkan untuk tujuan rekayasa genetika tanaman, sistem vektor pada Agrobacterium tumefaciens dimodifikasi. Sistem biner merupakan sistem vektor yang popular pada Agrobacterium tumefaciens

untuk transformasi genetik tanaman, dimana pada sistem ini terjadi pemisahan vektor berdasarkan fungsinya, yaitu untuk plasmid vektor pembawa daerah vir

terpisah dari plasmid vektor pembawa T-DNA. Plasmid yang berfungsi sebagai vektor vir disebut juga plasmid Ti lumpuh (disarmed Ti plasmid) dikarenakan gen-gen patogen yang terdapat di T-DNAnya dihilangkan, sedangkan plasmid lainnya dirancang untuk membawa T-DNA rekombinan yang mengandung gen marka seleksi dan gen target eksogen yang diinginkan (Tzfira dan Citovsky 2006). Berbagai strain Agrobacterium tumefaciens rekombinan yang mendukung sistem biner telah banyak dikembangkan dalam transformasi genetik padi seperti strain LBA4404, EHA101, dan EHA105 (Hiei et al. 1994; Rashid et al. 1995; Tokiet al. 2006; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010; Sahooet al. 2011).

Transformasi yang diperantarai Agrobacterium tumefaciens meliputi dua proses yang berdiri sendiri yaitu: aktivasi gen virulensi dan penempelan pada sel inang. Aktivasi genvir selama kokultivasi dengan sel tanaman membutuhkan dua gen yaitu virA dan virG, walaupun virA dan virG terekspresi secara konstitutif pada level yang rendah, gen ini juga terinduksi dalam suatu mode autoregulator. Sistem kedua gen vir ini bersama-sama mengaktifkan transkripsi, dimana VirG berikatan PO4 pada sekuen DNA 12 pb spesifik dari promoter vir (vir box)

(McCullen dan Binns 2006).

Perbedaan pada dua komponen sistem pengendalian yaitu sistem virulensi dari patogen, dan signal dari sel inang yang bertanggung jawab untuk pengaktifan sistem VirA atau VirG. Beberapa diantaranya senyawa fenol seperti asetosiringon, aldosa monosakrida, pH rendah dan konsentrasi PO4yang rendah. Senyawa fenol

mutlak dibutuhkan untuk menginduksi ekspresi genvir, dimana bakteri ini sangat sensitif pada fenol (McCullen dan Binns 2006).

Fenol diidentifikasi sebagai senyawa yang menginduksi ekspresi gen vir, pertamakali ditemukan pada eksudat yang berasal dari akar dan proplast daun. Pengaktifan signal oleh pH dan PO4 yang rendah mengaktifkan ekspresi virG

yang selanjutnya mengaktifkan promotor kompleks virGdan ekspresi gen-gen vir

lainnya (McCullen dan Binns 2006).

Beberapa jenis monosakarida juga berfungsi sebagai signal, hal ini dimungkinkan adanya interaksi dan asosiasi antara protein VirA dengan protein ChvE yang berfungsi sebagai protein pengikat gula pada periplasma. Signal yang ada akan mengaktifkan VirA, yang pada akhirnya mengaktifkan protein VirG melalui proses fosforilasi. VirG bertindak sebagai faktor transkripsi yang akan mengaktifkan ekspresi gen-genvirlainnya (Rivaet al. 1998).

Integrasi T-DNA merupakan suatu proses yang sangat menarik, yang mana segmen DNA prokariotik yang berasal dari bakteri berikatan secara kovalen dengan DNA genom eukariotik (tanaman). Perkawinan molekul DNA antar kingdom sangat unik dan terjadi secara alami, menjadi sangat penting yang kemudian menjadi dasar dan aplikasi sains (Ziemienowiczet al. 2008).

Proses pemindahan T-DNA ke sel tanaman diawali dengan pemotongan utas T-DNA dari plasmid Ti, yang dilakukan oleh protein VirD1 dan VirD2 yang memiliki aktivitas endonuklease. Protein ini mengenali skuen batas T-DNA dan memotong utas DNA pada posisi tersebut dan melepaskan utas tunggal T-DNA, setelah pemotongan protein VirD2 tetap terikat secara kovalen pada ujung 5 utas T-DNA (right border). Asosiasi VirD2 melindungi T-DNA dari aktivitas eksonuklease pada ujung 5 T-DNA (Riva et al. 1998) dan juga berfungsi membedakan ujung 5 T-DNA (right border) sebagai ujung yang akan ditransfer terlebih dahulu ke sel tanaman. Sintesis utas T-DNA dimulai dari batas kanan T- DNA dan berlangsung dari arah 5’ ke 3’, kompleks utas tunggal T-DNA-VirD2 dibungkus oleh protein VirE2. Asosiasi protein ini mencegah serangan nuklease dan berfungsi untuk membentangkan utas komplek T-DNA sehingga bentuk menjadi lebih ramping dan mudah melintasi kanal membran (Rivaet al. 1998).

Kompleks T-DNA dan beberapa protein Vir lainnya yaitu VirE2 dan VirF, diekspor dari bakteri menuju sel inang melalui sistem sekresi tipe IV. Sistem sekresi tipe IV adalah kanal penghubung bakteri-inang yang tersusun atas protein VirD4 dan 11 jenis protein VirB. Protein-protein VirB membentuk kanal membran dan juga berfungsi sebagai ATPase yang menyediakan energi untuk

pembentukan kanal maupun ekspor T-DNA. VirD berfungsi menunjang interaksi kompleks T-DNA-VirD2 dengan komponen sekresi VirB (Gelvin 2003). VirD2 pada kompleks T-DNA akan mengarahkan pergerakan kompleks menuju protein VirD4 pada kanal sekresi dan menuju sitoplasma sel tanaman.

Pada sel tanaman inang, kompleks T-DNA bergerak menuju nukleus melintasi membran inti. Sinyal lokasi inti (nuclear location signals = NLS) yang terdapat pada protein VirD2 dan VirE2 mengarahkan kompleks menuju nukleus. Transfer kompleks T-DNA menuju nukleus dibantu oelh perangkat transfor intrasellular yang dimiliki oleh sel inang. Kompleks T-DNA masuk ke dalam inti sel melalui kompleks pori nukleus atau (nuclear-pore complex = NPC). Proses masuknya DNA ke dalam inti sel melibatkan kerjasama antara komponen sel inang seperti karyopherin α (KAPα) dan protein interaksi VirE2 1 atau VirE2- interacting protein 1 (VIP1), dengan faktor-faktor bakteri seperti VirD2, VirE2, dan VirE3 (Ziemienowiczet al. 2008).

Tahap akhir dalam transfer T-DNA adalah integrasi ke dalam genom tanaman inang, mekanisme molekular yang mendasari integrasi T-DNA masih belum jelas, diduga integrasi T-DNA terjadi melalui rekombinasi yang difasilitasi oleh perangkat perbaikan DNA sel inang. Utas tunggal T-DNA diubah menjadi molekul intermediat berutas ganda. Molekul intermediate tersebut akan dikenali sebagai fragmen DNA yang putus, dan kemudian akan digabungkan kembali ke dalam genom inang (Ziemienowiczet al. 2008).

Perakitan tanaman transgenik melalui transformasi genetik dengan perantara

Agrobacterium tumefaciensdilakukan menggunakan sistem kulturin vitro dengan beberapa modifikasi teknik dan media yang digunakan. Hal ini dikarenakan hanya sedikit genotipe tanaman (tanaman model) yang mudah untuk proses transformasi denganAgrobacterium tumefaciens dan regenerasi (Lin dan Zhang 2005), faktor yang menjadi pembatas adalah efisiensi dari transfer T-DNA dan prosedur transformasi tidak dapat diterapkan secara optimal pada genotipe tanaman lainnya (Li dan Gray 2005).

Eksplorasi teknik transformasi dan regenerasi tanaman harus terus dilakukan untuk mendapatkan suatu protokol umum yang dapat diterapkan pada semua genotipe tanaman. Selain itu, rendahnya efisiensi regenerasi dari transforman merupakan kendala yang paling sering ditemukan dalam transformasi genetik tanaman, melalui optimalisasi teknik kultur in vitro diharapkan efisiensi regenerasi dapat ditingkatkan.

Kultur in vitro atau lebih dikenal juga dengan kultur jaringan adalah satu teknik yang dapat digunakan untuk membantu pemuliaan tanaman. Teknik ini berkembang sejak tahun 1990-an (Caponettiet al. 2005). Kultur jaringan adalah istilah umum yang ditujukan pada budi daya secara in vitro terhadap berbagai bagian tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel, protoplas, dan embrio. Bagian-bagian tersebut yang diistilahkan sebagai eksplan dan dikultur pada medium buatan steril sehingga dapat beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan 1992). Pada kultur in vitro kondisi pertumbuhan dapat dimaksimalkan dengan penambahan unsur hara makro dan mikro, vitamin dan zat pengatur tumbuh.

Terdapat perbedaan prosedur antara kulturin vitroyang biasa dengan kultur jaringan untuk transformasi, dibutuhkan rangkaian subkultur pada media yang mengandung antibiotik yang disebut tahap seleksi, selain itu adanya penggunaan

antibiotik cepotaxime atau carbenicillin yang bertujuan menghambat pertumbuhan

Agrobacteriumsetelah kokultivasi (Lin dan Zhang 2005).

Kultur in vitro tanaman memerlukan beberapa komponen utama, salah satunya adalah medium yang sesuai. Sebagian besar medium yang saat ini banyak digunakan merupakan hasil modifikasi dari medium yang dikembangkan sebelumnya, yang telah terbukti sesuai untuk kultur suatu jaringan ataupun organ tertentu. Kebutuhan akan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antarspesies ataupun antarvarietas.

Genotipe tanaman sangat menentukan jenis sistem kulturin vitro yang akan digunakan (Lin dan Zhang 2005). Kebanyakan genotipe padiindica masih sedikit yang berhasil untuk modifikasi genetik karena potensi regenerasi masih sangat rendah (Sahoo et al. 2011). Kultivar japonica umumnya bersifat lebih responsif terhadap kultur in vitro dan lebih mudah ditransformasi dibandingkan kultivar

indica (Hiei dan Komari 2008). Kultivar Nipponbare merupakan padi japonica

yang paling sering digunakan sebagai tanaman model pada transformasi genetik padi, kultivar Nipponbare memiliki efisiensi transformasi yang tinggi sebesar 95- 98% menggunakan eksplan kalus primer (Toki et al. 2006). Beberapa genotipe

japonicayang digunakan dalam transformasi genetik padi antara lain: Yukihikari, Nipponbare dan Kinmaze (Ashikari et al. 2004; Hiei dan Komari 2008; Davis 2012).

Pada padiindica, transformasi genetik sangat sedikit yang sukses, walaupun berhasil dilakukan tetapi efisiensi transformasi sangat rendah (Tie et al. 2012), dan berhasil hanya pada spesifik genotipe. Genotipe padi indica bersifat rekalsitran terhadap kultur in vitro apalagi untuk kegiatan transformasi genetik, dimana kalus tidak berkembang dengan baik, cenderung berwarna kecoklatan dibandingkan kuning cerah dan sering mengalami kematian pada periode kultur yang lama (Kumar et al. 2005). Setiap spesies atau genotipe memiliki kondisi optimal sendiri untuk pertumbuhannya, tidak sama dengan yang lain (Lin dan Zhang 2005). Metode subkultur dan regenerasi yang digunakan masih belum memiliki protokol baku yang dapat digunakan secara luas untuk semua spesies

indica, namun demikian penelitian transformasi genetik pada padi indica terus dilakukan. Beberapa kultivar padi indica yang digunakan dalam transformasi genetik antara lain: IR64, IR72, CSR 10, Pusa Basmati, Swarna, dan Kasalath (Aldemita dan Hodges 1996; Rashidet al. 1996; Mohanty et al. 1999; Kumaret al. 2005; Arockiasamy dan Ignacimuthu 2007; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010; Sahoo et al. 2011). Kultivar Kasalath merupakan padi subspecies

indica yang paling sering digunakan sebagai tanaman model pada transformasi genetik padi (Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010). Optimalisasi kondisi kultur jaringan dengan media subkultur dan diferensiasi, serta teknik transformasi meningkatkan efisiensi transformasi pada padi indica. Selain itu penggunaan embrio muda menjadi salah satu cara mengatasi sifat rekalsitran padi indica(Hiei dan Komari 2008).

Embriogenesis somatik melalui kultur kalus dianjurkan sebagai jalur regenerasi dalam transformasi genetik pada padi, karena dapat menghasilkan galur independen tanaman transgenik yang berasal dari kejadian transformasi pada satu sel tunggal, sehingga mencegah terbentuknya kimera pada tanaman transgenik. Kalus embriogenik pada padi dapat diinduksi dari embrio biji matang maupun embrio muda (immature) (Hiei dan Komari 2008). Kultur kalus diperoleh dari

membiakkan sekelompok sel yang berasal dari jaringan tanaman yang tumbuh, seperti akar, batang, daun, meristem dan anther (Gunawan 1992), serta dari embrio (Hiei dan Komari 2008). Kultur kalus ditumbuhkan dalam medium steril pada suhu 20-25oC kondisi gelap atau terang tergantung genotipe tanaman. Subkultur kalus biasanya berlangsung dalam interval waktu yang tetap yaitu 28 hari sekali, namun waktu yang tepat untuk memindahkan kultur tergantung dari kecepatan pertumbuhan kalus, ini bertujuan untuk mempertahankan kemampuan totipotensi (Gunawan 1992).

Perkembangan kalus dikendalikan juga oleh zat pengatur tumbuh (ZPT), ZPT adalah senyawa-senyawa organik selain dari nutrien yang dapat dihasilkan oleh tanaman secara endogen atau dibuat secara sintetik. Senyawa ini berperan merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan sel, jaringan, dan organ tanaman menuju diferensiasi tertentu (Gunawan 1992). Penambahan zat pengatur tumbuh juga diperlukan dalam kultur in vitro untuk mendukung pertumbuhan.

Kombinasi zat pengatur tumbuh yang digunakan meliputi: (1) untuk perbanyakan (proliferation) sel dapat digunakan 2,4 dichlorophenoxy acetic acid (2,4 D) atau 1-naphtalena acetic acid (NAA) dan sitokinin (kinetin, benzyl adenosine, 2-isopentyladenosine, zeatin, TDZ), sedangkan (2) untuk regenerasi diperlukan auksin 1-naphtalena acetic acid (NAA), indole acetic acid (IAA), atau indole butyric acid (IBA) (Gunawan 1992). Auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal dan pembentukan kalus. Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01-10 ppm untuk pertumbuhan kalus atau organogenesis, sedangkan untuk kultur kalus dari scutellum biji padi matang digunakan auksin 2,4 D dengan konsentrasi 2.0 mg/L (Hiei dan Komari 2008).

Zat pengatur tumbuh lainnya adalah kinetin dan benziladenin (BA atau BAP) merupakan sitokinin yang paling banyak digunakan dalam kutur in vitro. Pemberian sitokinin ke dalam media kultur jaringan penting untuk menginduksi perkembangan dan pertumbuhan eksplan. Senyawa tersebut dapat meningkatkan pembelahan sel, proliferasi pucuk dan morfogenesis pucuk (Gunawan 1992).

Media dasar yang biasa digunakan dalam transformasi padi adalah media N6 yang terdiri dari unsur makro dan mikro garam N6, vitamin N6, sukrosa dan zat pengatur tumbuh (Toki et al. 2006; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010). Penggunaan sukrosa sebagai sumber karbohidrat pada media, dimana sukrosa dihidrolisis menjadi monosakarida. Konsentrasi sukrosa tergantung dari jenis kultur, dalam kultur kalus dan pucuk, konsentrasi antara 2-4 % merupakan konsentrasi optimum (Gunawan 1992). Meskipun demikian, medium dasar MS yang telah dimodifikasi juga digunakan dalam transformasi padi (Mohantyet al. 1999; Kumar et al. 2005; Lin dan Zhang 2005; Sahoo et al. 2011), hal ini dikarenakan medium MS memiliki kandungan garam-garam yang lebih tinggi daripada media lain.

Aspek yang juga sangat menentukan keberhasilan perakitan tanaman transgenik selain menggunakan kulturin vitro, adalah seleksi pada sel yang telah tertransformasi (transforman). Seleksi transforman umumnya dilakukan dengan menggunakan antibiotik, diperkirakan ada sekitar 50 gen marker yang digunakan pada penelitian tanaman transgenik, dimana gen penanda seleksi dikelompokkan

ke dalam beberapa kategori (Miki dan McHugh 2003). Pemilihan antibiotik sebagai agen seleksi disesuaikan dengan gen penanda seleksi yang terdapat pada konstruksi DNA yang diintroduksikan.

Semua sistem transformasi untuk menghasilkan tanaman transgenik membutuhkan beberapa proses untuk mengintroduksi klon DNA kedalam sel tanaman hidup. Gen penanda seleksi menjadi sangat penting untuk perkembangan teknologi transformasi tanaman, karena untuk mengidentifikasi atau mengisolasi sel yang mengekspresikan DNA yang diklon dan untuk memonitor serta menyeleksi keturunan transforman. Biasanya hanya sejumlah kecil sel yang tertransformasi di semua eksperimen, kemungkinan untuk mendapat transgenik tanpa seleksi sangat rendah.

Gen penanda seleksi selalu dikonstruk sebagai gen khimerik yang diekspresikan menggunakan promotor konstitutif pada tanaman. Antibiotik yang paling banyak digunakan untuk seleksi adalah kanamisin atau higromisin dan herbisida phosphinothricin (Tabel 5) (Miki dan McHugh 2003).

Higromisin phosphotransferase atau higromisin B adalah antibiotik aminocyclitol yang berkerja menghambat sintesis protein dan memiliki aktivitas spektrum yang luas pada prokariotik dan eukariotik. Pada tanaman, antibiotik ini bersifat sangat toksik, efektif dalam seleksi dengan berbagai spesies tanaman termasuk dikotil, monokotil dan gymospermae. Higromisin B merupakan antibiotik kedua yang paling popular setelah kanamisin (Miki dan McHugh 2003).

Tabel 5 Penggunaan tanaman transgenik dan gen penanda seleksi dalam publikasi paper jurnal tahun 2002 (Miki dan McHugh 2003)

Paper tidak termasuk mutan T-DNAArabidopsis. Diperkirakan sekitar 450 paper yang diperiksa

a

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji padi kultivar Kasalath dan Nipponbare. Kasalath adalah padi subspesiesindica dan Nipponbare adalah padi subspesies japonica. Bakteri Agrobacterium tumefaciens LBA4404 yang mengandung vektor biner pIG6 rekombinan yang membawa sisipan gen

MaMt2 dibawah kendali promoter ubiquitin di dalam daerah T-DNA, digunakan untuk melakukan transformasi padi. Peta daerah T-DNA disajikan pada Gambar 6 (Anggraito 2012).

Gambar 6 Peta daerah T-DNA plasmid pIG6-SMt2. RB =right border; TNos =

terminator nopaline sythase untuk gen target; MaMt2 = gen target; Pubiquitin = promotor konstitutif untuk gen target; P35S = promotor konstitutif 35S CaMV untuk gen marka seleksi hygromycin phosphotransferase II; 35S polyA = signal/terminator transkripsi;

Dokumen terkait