• Tidak ada hasil yang ditemukan

CHAPTER V GRAND CONCLUSION AND IMPLICATIONS

Appendix 3: Translated Texts

SERBA TEKNOLOGI Oleh: Christian Caryl

clxxii

Akir-akhir ini, ada kecenderungan yang dilakukam orang yang berkecimpung di bidang teknologi. Mereka menciptakan kata-kata baru yang mudah memicu munculnya kesalahpahaman orang jika alur ceritanya tidak dipahami.

Terminologi sekaligus isu baru teknologi yang sedang hangat adalah ubiquitous computing. Arti dasar frase ini adalah memadu varietas produk teknologi baru menjadi satu kesatuan guna membangun infrastruktur digital yang integral dengan teknologi-teknologi lain. Hasil pemaduan ini dapat diakses dari mana-mana dan dengan teknologi apa pun. Produk-produk teknologi yang mungkin untuk upaya ini termasuk chip-chip penentu frekuensi radio (RFID) dan jaringan-jaringan internet nirkabel. Istilah ubiquitous computing muncul begitu saja di Korea Selatan dan Jepang. Kemunculan ini seolah memberi kepastian bahwa aplikasi infrastruktur digital terpadu merupakan protret masa depan dunia. “Yang terjadi pada tahun-tahun mendatang adalah hilangnya komputer-komputer yang sekarang ada karena tergantikan dengan sarana-sarana tekonologi baru yang dipasang berjaring dan terintegral di berbagai tempat,” kata Jideko Kunii, direktur Riset dan Pengembangan software perusahaan Ricoh Corportaion di Tokyo Jepang. “Komputer-komputer sekarang hanya akan menjadi bagian dari fondasi kemajuan tekonolgi masa itu.”

Menteri Telekomunikasi dan (Urusan) Dalam Negeri Jepang sedang mendanai riset dan pengembangan teknologi yang dimaksud (u-technology). Dana yang dialokasikan untuk tahun 2006 adalah $ 619 juta. Seoul bahkan telah melangkah lebih jauh dalam hal ini. Kota-kota di Korea Selatan memiliki program tersendiri dalam konteks u-technology. Proyek utama di sana adalah Songdo, yaitu Zona/Kawasan Ekonomi Terpadu (Kapet). Kawasan ini dibangun dan dikembangkan dengan total biaya $ 25 milliar di wilayah kota pelabuhan Inchon. Para pengembang Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) ini mencita-citakan agar kota itu menjadi

ubiquitous computing city, di mana seluruh penduduknya menjadi bagian integral sistem jaringan tekonologi informasi mutakhir. Bila impian itu terwujud, uang tunai tidak akan dibutuhkan lagi, karena yang diperlukan saat itu adalah uang elektronik dari ‘Dompet U’ (U-wallet). RFID dengan dilengkapi kartu ID menjadi sarana transaksi masyakarat di berbagai tempat yang tersedia PC atau PDA untuk mendapatkan pelayanan-pelayanan dari pemerintah. Bahkan kartu tersebut bisa pula berfungsi ganda, misalnya menjadi tiket kreta api dan kartu kredit. Alat-alat sensor yang disatukan dengan lampu-lampu jalan raya akan mendeteksi semua kendaraan yang lewat. Dengan demikian, para pengawai lalulintas bisa mengendalikan dan mengatur arus lalu lintas. Orang-orang asing masuk dengan hanya membawa kartu-kartu saja, bukan lagi paspor. Mereka bisa ke luar-masuk negara tanpa repot mengurus ini itu.

Program-program besar di dua negara tersebut, toh, memiliki dampak terbentuknya harapan-harapan utopis yang mustahil diwujudkan. Dalam video promosi program pemerintah Jepang, paduan samar komputer serbabisa dengan telepon genggam seri 3G digambarkan mengambang ajaib di udara di atas para pengguna. Sebagian fungsi produk hasil silang teknologi itu adalah mengirimkan informasi kepada dokter-dokter yang ada di tempat lain, menyodorkan video mini pertemuan dengan anak-anak di sekolah, dan memberi peringatan kalau stok bahan makanan di kulkas di rumah perlu diisi lagi. Tentang alat ajaib ini, saya pernah melemparakan lelucon kepada seorang pejabat terkait. Saya menanyakan besar jumlah dana yang dialokasikan untuk pengembangan teknologi anti gravitasi. Tentu saja, dia tidak menangkap maksud lelucon tersebut.

Harapan-harapan utopis yang bisa mengecewakan mungkin bukan hal negatif. Toh, kita perlu menengok apa yang terjadi. Para pendukung pengembangan u-technology, tampaknya, juga mengalami kebingungan menentukan segmen masyarakat yang akan menjadi pengguna kreasi teknologi tinggi dimaksud. Ini tentu hal lain yang penting dicermati pula. Dalam sejarah, misalnya, cita-cita besar berbagai terobosan akhir abad XX dan awal abad XXI—dari Komputer Pribadi (PC), internet, hingga telepon genggam—adalah memperdaya para konsumen. Kenyataannya, bila kita melihat lebih dekat, aplikasi teknologi terpadu yang ada dominan memberadaya orgnanisasi-organisasi untuk menguasai setiap individu secara lebih tangkas dari yang pernah terjadi sebelumnya. Saya juga melontarkan rasa ketidaktertarikan saya terhadap gagasan pengembangan Inchon. Kepada salah seorang pejabat terkait kota Inchon, saya mengatakan bahwa saya tidak ingin data pribadi mengapung lepas dan bebas diakses dalam jaringan terbuka tersebut. Ia menjawab dengan bercerita tentang suatu wilayah di Seoul yang telah memasang kamera-kamera

clxxiii

CCTV. “Mulanya banyak orang merasa tidak nyaman dengan pemasangan kamera-kamera itu. Kemudian, ketika angka kejahatan menurun tajam di wilayah itu, masyarakat pun beramai-ramai menggunakannya. Lalu, menjadi suatu kebiasaan!” Tidak semua orang cemas akan kehilangan ruang pribadi. Toh, sejumlah mahasiswa teknik, misalnya, berusaha memasang perisai proteksi kartu RFID pada telepon genggam mereka sendiri agar tidak dimonitor bebas tanpa ijin terdahulu. Apa yang terjadi bila semua orang memilih teknologi ini? Akankah u-technology berkembang pesat? Tulisan bersama B.J. LEE.

Translated by Mr. Usman (pseudonym)

Catatan:

- Kalimat-kalimat panjang saya potong-potong, meski tidak semua

- Pemilihan kata saya cari yang agak umum.

- Ada usaha agar teks ini berbahasa media

- Makna yang terselubung dalam rasa bahasa kadang diterjemahkan sehingga satu kalimat bahasa sumber menjadi dua kalimat dalam bahasa sasaran. Semua demi kejeleasan paparan.

- Judul saya ganti menjadi Serba Teknologi.

Target Language Text 2

Sebuah Teknologi yang Hanya Bisa Dinikmati para Peminatnya Saja Oleh Christian Caryl

Mestinya cukup jelas sekarang bahwa orang yang bekerja dengan menggunakan teknologi bisa sedikit sombong dengan kata-kata. Dan hal itu bisa memunculkan banyak kesalahpahaman.

clxxiv

Ubiquitous computing (pengoperasian komputer di mana-mana)” seumpamanya. Ide dasarnya adalah bahwa sebuah produk teknologi baru – termasuk chip identifikasi frekuensi radio (radio frequency identification/RFID) dan internet broadband nirkabel (wireless broadband internet) – bisa dipadukan untuk membentuk semacam infrastruktur digital yang kesemuanya tertutup tanpa kelim, yang bisa diakses di mana saja dan dengan alat apa saja. Masa tersebut sering terjadi di Korea Selatan dan Jepang, yang tampaknya telah memutuskan bahwa ubiquitous application (aplikasi di mana mana) adalah masa depan. “Apa yang akan kita lihat dalam tahun tahun yang akan datang adalah komputer tidak lagi ada dan berubah menjadi alat, yang tertanam di mana-mana,” kata Hideko Kunii, direktur software R&D di Rich Corp. di Tokyo. “Komputer hanya akan menjadi bagian dari sebuah background.”

Kementerian Dalam Negri dan Telekomunikasi Jepang mendanai riset dan pengembangan u-technology sebesar 619 juta dolar di tahun 2006. Seoul bahkan lebih besar lagi. Setiap kota di Korea Selatan tampaknya memiliki program sendiri. Proyek terbesarnya di Songdo, daerah ekonomi senilai 25 milyar dolar yang dibangun di sekitar kota pelabuhan Inchon. Para pengembang memimpikannya sebagai “ubiquitous computing city (kota di mana ada kegiatan pengoperasian komputer di mana mana) di mana para penduduk merupakan bagian dari jaringan teknologi informasi yang hampir tanpa sekat. Uang tunai tidak akan dibutuhkan; cukup dengan uang elektronik dalam dompet Anda (u-wallet). RFID yang dilengkapi dengan kartu ID akan memungkinkan penduduk untuk mengakses layanan pemerintah di mana pun mereka memiliki PC atau PDA – dan bisa juga berfungsi sebagai tiket kereta api bawah tanah dan debit card. Sensor di lampu jalan akan menuntun mobil-mobil sehingga para petugas bisa mengendalikan alur lalu lintas. Orang asing akan membawa kartu daripada paspor dan masuk ke suatu negara dengan tanpa perlu takut mendapatkan serangan.

Namun demikian, kedua program tersebut beresiko menciptakan harapan- harapan idealistis yang tidak mungkin dipenuhi. Dalam video pemerintah Jepang yang mempromosikan program itu, hybrid yang tidak jelas antara komputer berkekuatan tanpa batas dan HP 3G beredar secara misterius pada para pemakainya, menyampaikan informasi kepada para dokter jarak jauh, menghadiri konferensi video mini dengan anak anak di sekolah, mengeluarkan sinyal ketika grosir kulkas perlu diisi lagi. Dengan menunjuk pada peralatan ajaib yang menghampiri ini, saya bertanya kepada seorang pegawai seberapa banyak kementeriannya melakukan investasi dalam teknologi anti magnet. Tentu saja dia tidak memahami lelucon itu.

Di sisi lain, harapan-harapan yang mengecewakan barangkali bukanlah sesuatu yang buruk. Para pendukung/peminat teknologi ubiquitous tampaknya bingung mengenai ‘untuk siapa sesungguhnya teknologi itu’. Ini merupakan suatu hal penting. Banyak terobosan di akhir abad 20 dan awal abad 21 – dari PC ke Internet lalu ke HP – memberdayakan konsumen. Namun ketika Anda semakin memahaminya, banyak aplikasi ubiquitous yang tampaknya memberdayakan organisasi untuk membawa individu individu dalam organisasi lebih efisien daripada sebelumnya. Ketika saya menjelaskan kepada pegawai kota Inchon bahwa ide Songdo tidak menarik bagi saya karena saya tidak ingin data saya menyebar pada jaringan yang bisa diakses oleh semua orang, dia menanggapinya dengan membicarakan mengenai wilayah sekitar Seoul yang baru saja memasang kamera CCTV. “Awalnya banyak orang merasa tidak nyaman. Tetapi ketika angka kejahatan sangat menurun, maka banyak orang menjadi terbiasa dengan hal itu.” Namun tidak setiap orang tergerak dengan hilangnya privasi. Sebagian mahasiswa teknik mesin, misalnya, menaruh pelindung di seputar RFID card untuk mencegah mereka teramati tanpa seijin mereka. Bagaimana akan ada di mana mana u-technology jika orang orang menghindar?

Dengan B.J. Lee di Seoul.

Translated by Mrs Ririn (pseudonym)

Target Language Text 3

TEKNOLOGI yang Hanya Disukai oleh Seorang Geek.

Oleh Christian Caryl

Kiranya mulai jelas sekarang, mengapa orang yang berkecimpung di bidang teknologi terkesan sombong ketika bicara. Dan hal ini justru menimbulkan banyak salah pengertian.

clxxv

Yang penulis maksudkan di sini misalnya adalah persoalan tentang “Komputerisasi di mana-mana” (Ubiquitous Computing). Sikap dasarnya adalah bahwa, sebuah variasi dari berbagai kemampuan teknologi baru – termasuk Radio Frequency Identification (RFID) Chips dan Wireless Broadband Internet – dapat digabungkan untuk menciptakan semacam infrastruktur digital menyeluruh secara tepat, sehingga dapat diakses di mana saja dan dengan peralatan apa saja. Persoalan ini sering muncul. Korea Selatan dan Jepang, nampaknya telah berketetapan hati untuk menerapkan sistem komputerisasi ubiquitous itu di masa mendatang. “Di masa depan kita akan menyaksikan bahwa, komputer akan lenyap ke dalam peralatan (sederhana) yang bisa ditempatkan di mana saja,” demikian kata Hideko Kunii, direktur perangkat lunak Penelitian dan Pengembangan pada Ricoh Corp., di Tokyo. “Komputer-komputer itu hanya akan menjadi bagian latar belakang.”

Menteri Telekomunikasi dan Urusan Dalam Negeri Jepang tengah mendukung sebuah penelitian dan pengembangan U-technology dengan dana mencapai $ 619 juta pada tahun 2006. Seoul bahkan lebih hebat lagi. Setiap kota di Korea Selatan nampaknya memiliki program sendiri. Proyek perintisnya adalah Songdo, suatu zona ekonomi bernilai $ 25 milyar yang dibangun di sekitar kota pelabuhan Inchon. Para pengembang melihatnya sebagai ubiquitous computing city

(kota dengan sistem komputer di mana saja) dimana penduduknya menjadi bagian dari sebuah jejaring teknologi informasi yang nyaris tanpa peralatan dan prosedur yang rumit. Uang tunai tak dibutuhkan lagi; uang elektronik dengan u wallet sudah cukup untuk melayani kebutuhan. RFID dilengkapi kartu identitas akan memungkinkan penduduk lokal mengakses layanan publik dari mana saja dengan menggunakan sebuah PD atau PDA – dan dapat menggunakannya seperti halnya tiket kereta bawah tanah atau kartu debit. Sensor-sensor yang ditempatkan di lampu jalanan melacak kendaran sehingga para petugas dapat mengatur arus lalu lintas. Para pelancong cukup membawa kartu, bukan lagi paspor dan memasuki negara itu hanya dengan sekedar menggesek kartu.

Akan tetapi kedua program ini menyebabkan munculnya resiko terciptanya harapan-harapan utopis yang mustahil tercapai. Dalam sebuah tayangan pemerintah Jepang yang mempromosikan programnya mengenai sejumlah produk hibrida yang tak jelas antara sebuah komputer serbabisa, sebuah telepon seluler 3G mengambang secara misterius di udara, di atas para penggunanya, meneruskan informasi kepada para dokter secara jarak jauh, mengundang konferensi melalui video-mini dengan anak-anak di sekolah, mengirim pesan, ketika kulkas di rumah butuh diisi lagi. Namun sambil menunjuk ke piranti ajaib itu, aku bertanya kepada petugas, seberapa besar investasi yang dilakukan oleh kementerian tersebut untuk teknologi anti-gravitasi itu. Tentu saja ia tidak menanggapi ocehanku itu.

Sebaliknya, ekspektasi-ekspektasi mengecewakan perlu juga dipikirkan. Para pendukung

u-techonogy nampaknya bingung mengenai siapa yang menjadi target produk teknologi semacam itu. Ini memang penting untuk dipikirkan. Banyak terobosan yang dilakukan pada akhir abad 20 dan awal abad 21 – mulai dari PC hingga internet, kemudian ke telpon seluler – menguatkan posisi para pelanggan. Namun ketika kita coba mencermati secara lebih mendalam, nampaknya u-technology dimaksudkan untuk mendukung organisasi agar dapat memantau para pekerja secara lebih efisien. Ketika aku menjelaskan kepada seorang pejabat kota Inchon bahwa gagasan Songdo tidak menarik bagiku, karena aku tak ingin data pribadiku, mengapung di sepanjang jejaring yang dapat diakses oleh semua orang, pejabat itu malah menanggapiku dengan sebuah cerita mengenai kenalannya di Seoul yang baru memasang CCTV kamera. “Memang pada awalnya banyak orang yang merasa tak nyaman. Tetapi kemudian ternyata tingkat kejahatan menurun tajam, sehingga akhirnya orang menjadi terbiasa dengannya,” katanya. Tetapi tidak semua orang senang kehilangan privasi ini. Sebagai contoh, sejumlah mahasiswa teknik, memasang segel di seputar

RFID card pada telpon seluler mereka, agar tidak disken secara diam-diam oleh orang lain. Maka, seberapa efektikah prinsip u-technology itu, ketika orang tetap bebas menerima atau menolaknya. Dengan B.J. Lee di Seoul.

Translated by Mr. Lukman (pseudonym)

clxxvi

Dokumen terkait