• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Transportasi Hidup Sistem Kering

Transportasi hidup biota perairan yaitu memindahkan biota perairan dalam keadaan hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup (survival rate) tetap tinggi hingga di tempat tujuan. Metode transportasi hidup biota perairan secara umum ada dua jenis, yaitu menggunakan media air (sistem basah) dan tanpa media air (sistem kering). Transportasi hidup sistem basah umumnya digunakan untuk transportasi jarak dekat (lokal), sedangkan transportasi hidup sistem kering digunakan untuk transportasi jarak jauh dengan tujuan ekspor (Suryaningrum et al. 2005).

Transportasi hidup dengan media non air (sistem kering) menggunakan prinsip hibernasi. Hibernasi merupakan upaya untuk menekan metabolisme biota perairan sehingga dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang minimum (Junianto 2003). Hibernasi dapat dilakukan melalui teknik pembiusan (imotilisasi). Metabolisme biota perairan pada kondisi ini berada pada kondisi basal dan oksigen yang dikonsumsi sangat sedikit, hanya sekedar untuk mempertahankan kelangsungan hidup biota tersebut (Shigeno 1979 dalam Andasuryani 2003). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi biota perairan hidup sistem kering antara lain suhu lingkungan, kadar oksigen dan

proses metabolisme (Andasuryani 2003), serta tingkat kepadatan dalam kemasan (Suryaningrum et al. 2008). Biota yang dikemas dengan kepadatan yang lebih

tinggi akan memiliki risiko kelulusan hidup yang lebih rendah (Ning 2009). Transportasi hidup sistem kering memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat mengurangi stres pada organisme yang ditransportasikan, menurunkan kecepatan

metabolisme dan konsumsi oksigen, mengurangi mortalitas akibat perlakuan fisik (getaran, kebisingan, cahaya), tidak mengeluarkan hasil metabolisme (feses) serta tidak perlu media air sehingga daya angkut lebih besar. Stabilitas suhu dalam kemasan memegang peranan yang penting karena fluktuasi suhu yang tajam dapat menyebabkan kematian biota yang ditransportasikan (Nitibaskara et al. 2006). Hubungan suhu dengan lama penyimpanan pada transportasi lobster hidup sistem kering ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hubungan lama penyimpanan dengan suhu penyimpanan Lama pengangkutan (jam) Suhu penyimpanan (oC)

12-15 15-20 20-80 30-50 50-90 16-14 14-12 12-10 10-6 6-4

(Sumber: Rahman dan Srikirishnadhas 1994)

2.6 Pembiusan (Imotilisasi)

Pembiusan (imotilisasi) merupakan proses yang dilakukan untuk menurunkan aktivitas, metabolisme dan respirasi biota perairan sebelum ditransportasikan. Kondisi imotil diperlukan agar proses metabolisme lobster berkurang sehingga aktivitas fisiologis, kebutuhan oksigen dan produksi CO2 lobster menjadi rendah (Nitibaskara et al. 2006).

Terdapat beberapa teknik imotilisasi biota perairan, yaitu dengan menggunakan suhu rendah atau zat anti metabolit (anestesi). Teknik imotilisasi menggunakan suhu rendah dapat dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap maupun secara langsung, sedangkan zat anti metabolit yang digunakan dapat bersifat alami atau sintetis (Suryaningrum et al. 2005).

Bahan anti-metabolit alami yang dapat digunakan untuk membius udang atau lobster antara lain ekstrak biji karet dan minyak cengkeh, sedangkan bahan anti-metabolit sintetis yang biasa digunakan dalam transportasi ikan hidup adalah MS-222 dan CO2.Pemakaian CO2 yang disarankan adalah dengan mencelupkan campuran gelembung CO2 dan O2 (1:1) dalam media air (Nitibaskara et al. 2006). Coyle et al. (2005) menambahkan bahwa bahan anti-metabolit yang paling cocok digunakan untuk membius udang galah adalah minyak cengkeh dengan dosis

100 mg/l, sedangkan MS-222 dengan dosis 25 mg/l dan 100 mg/l tidak efektif bila digunakan dalam proses imotilisasi udang galah. Namun dari berbagai cara imotilisasi tersebut, pembiusan menggunakan suhu rendah lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan zat anti-metabolit, karena lebih murah, mudah dan aman serta tidak meninggalkan residu kimia yang membahayakan konsumen (Junianto 2003; Suryaningrum et al. 2005; Nitibaskara et al. 2006).

Imotilisasi menggunakan suhu rendah secara bertahap dapat dilakukan dengan menurunkan suhu media air dari suhu normal (±27 oC) ke suhu pembiusan secara perlahan-lahan. Penurunan suhu dilakukan dengan kecepatan 5-10 oC/jam atau 0,4-0,8 oC/menit (Suryaningrum et al. 2005). Penurunan suhu secara bertahap ini dimaksudkan agar ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan metabolismenya sampai titik imotil yang diperlukan. Aktivitas ikan pada kondisi imotil diharapkan sudah cukup rendah bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk proses transportasi (Nitibaskara et al. 2006).

Hasil penelitian Suparno et al. (1994a) pada biota lobster hijau pasir (Panulirus homarus) menunjukkan bahwa imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap mampu mempertahankan kelangsungan hidup lobster di dalam media serbuk gergaji dingin (14-15 oC) selama 25 jam dengan tingkat kelulusan hidup 100% atau 35 jam dengan tingkat kelulusan hidup 66,5%. Hasil penelitian Handini (2008) menunjukkan bahwa teknik pembiusan melalui penurunan suhu secara bertahap hingga suhu pembiusan 15 oC pada udang galah menghasilkan kelulusan hidup lebih baik dibandingkan pembiusan secara langsung. Perbedaan kecepatan penurunan suhu pada proses pembiusan dapat menghasilkan kelulusan hidup yang berbeda selama proses transportasi (Salin et al. 2001).

2.7 Pengemasan

Pengemasan berfungsi sebagai wadah, pelindung, penunjang, sarana dalam penyimpanan dan transportasi serta alat persaingan dalam pemasaran suatu produk (Hambali et al. 1990). Pengemasan juga berperan penting untuk mencegah atau mengurangi kerusakan bahan yang dikemas serta mempermudah penyimpanan, pengangkutan dan distribusi hasil pertanian (Herodian etal. 2004).

Pengemasan lobster air laut yang biasa dilakukan adalah mengemas lobster dalam kotak stirofoam yang berisi media serbuk gergaji dingin kemudian kotak

pengemas disegel dengan lakban. Suhu media kemasan dipertahankan sama dengan suhu pembiusan menggunakan satu atau dua bongkahan es seberat 0,5-1 kg yang dibungkus plastik. Bongkahan es ini diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan. Jumlah es yang digunakan disesuaikan dengan ukuran kotak kemasan. Kemasan berukuran 50x50x50 cm3 menggunakan es seberat 0,5-1 kg; kemasan berukuran 40x60x40 cm3 dan 40x30x30 cm3 menggunakan es seberat 0,5 kg; sedangkan kemasan berukuran 30x30x40 cm3 menggunakan es seberat 0,3-0,5 kg (Setiabudi etal. 1995; Jailani 2000; Suryaningrum etal. 2005).

Jumlah es yang digunakan dalam media kemasan harus tepat. Apabila jumlah es yang ditambahkan terlalu banyak maka suhu dalam kemasan akan turun menjadi lebih rendah dari suhu pembiusan (Suryaningrum et al. 2007). Udang windu tambak (Penaeus monodon) tidak mampu hidup lama pada suhu di bawah suhu pembiusan (12 oC) karena pada suhu ini terjadi kerusakan sistem syaraf dan otak yang berakibat pada kelumpuhan dan kematian (Andasuryani 2003).

Pengemasan dalam transportasi lobster hidup untuk tujuan ekspor biasanya menggunakan kotak stirofoam sebagai kemasan primer dan kotak karton sebagai kemasan sekunder. Kotak stirofoam berfungsi sebagai isolator panas untuk mencegah penetrasi panas yang masuk ke dalam kemasan. Kotak karton yang digunakan sebaiknya memiliki dinding ganda yang dilapisi dengan lapisan lilin. Tujuan penggunaan karton adalah untuk menekan goncangan yang terjadi selama pengangkutan dan memperbaiki penampilan dan estetika kemasan. Lapisan lilin dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak kardus karena kelembaban yang tinggi selama pengemasan (Junianto 2003; Herodian etal. 2004).

Media pengemas udang dalam kemasan stirofoam yang dibantu dengan penggunaan es tidak mampu dipertahankan suhunya tetap stabil selama penyimpanan pada suhu kamar. Suhu kemasan yang digunakan akan terus mengalami peningkatan sehingga mempengaruhi kelulusan hidup udang (Herodian et al. 2004). Peningkatan suhu terjadi karena penetrasi udara luar yang lebih tinggi ke dalam kemasan sehingga dapat meningkatkan suhu media serbuk gergaji (Kumum 2006). Suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan luar yang terlalu tinggi akan menyebabkan kenaikan suhu kemasan lebih cepat terjadi (Nitibaskara et al. 2006).

Dokumen terkait