• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Manakala Pasar dan Altar Menjadi Satu

2.1. Manakala Tubuh Terbuai Pesona Musik

Sebagaimana dipaparkan pada bagian pertama tentang bahasa tubuh umat yang beribadah di gereja mal, maka secara umum bahasa tubuh mereka memiliki arti sosiologis. Melompat, menari, dan bertepuk tangan mengkomunikasikan pesan tertentu pada orang-orang yang berkumpul di sana. Saya sedang bergembira dan bersukacita sebagaimana yang diinginkan oleh petugas gereja (tim musik) dalam ibadah. Dalam menciptakan respons ini besar sekali peran tim musik dan kepiawaian seorang Worship Leader. Bahkan bisa dikatakan peran seorang Worship Leader jauh lebih besar daripada peran pendeta pengkhotbah. Worship Leader-lah yang berperan

“membakar” semangat umat yang hadir. Tentu ia juga dibantu oleh orang lain.

disebut dancer tidak bisa dikecilkan perannya menciptakan suasana ibadah yang menurut pengakuan beberapa orang sangat ekspresif, tidak kaku, dan tak berbatas.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mead bahwa dinamika proses

komunikasi dapat digambarkan dalam “percakapan isyarat” yang akhirnya

merangsang orang lain untuk menyesuaikan perilakunya sendiri, maka isyarat-isyarat

yang “dimainkan” oleh tim musik menyebabkan umat berlaku sebagaimana yang

diharapkan oleh mereka. Misalnya: gerakan dancer yang mengangkat tangannya ke atas, atau gerakan Worship Leader yang mengepalkan tangan kanannya mengkomunikasikan suatu pesan bahwa ibadah ini dimulai untuk menyembah Tuhan.

Umat yang hadir “digerakkan” untuk mengikuti pesan yang disampaikan lewat

bahasa isyarat tersebut. Oleh karena itu menurut penulis ibadah yang berlangsung di gereja mal ini terletak pada kehandalan tim musik menggiring umat merespons isyaratnya. Dan kenyataannya umat melakukan gerakan-gerakan sebagaimana yang diinginkan oleh tim yang bertugas di depan.

Namun, saya belum bisa memastikan apakah bahasa tubuh yang tampil lewat gerakan-gerakan tadi merupakan ungkapan iman umat atau malah hanya merupakan reaksi ikut-ikutan saja. Pada aksi jatuh, misalnya: beberapa informan menyebutkan bahwa jatuhnya mereka sebagai wujud dari ikut-ikutan saja. Ada perasaan tidak nyaman jika tidak jatuh, karena itu mengasumsikan bahwa dirinya adalah orang yang hatinya masih keras dan dikuasai oleh roh jahat. Konsep diri seorang tim musik yang seharusnya sudah sampai pada level rohani yang baik yang ditandakan oleh suatu

Justru aksi ini lahir dari ketertekanan yang mendalam karena level imannya yang

tidak sama dengan orang lain “se-angkatan”-nya. Akhirnya kekhawatiran atas cap kurang beriman membuat seseorang ikut-ikutan dalam aksi jatuh ini, setidaknya itulah yang dipahami oleh Siska, seorang informan, saat proses pengurapan, “Apa

gua yang gak beriman ya, makanya gak jatuh saat didoakan?”, padahal dirinya

sama sekali tidak ada perasaan yang berbeda, begitu juga teman-temannya yang

terjatuh saat didoakan. Menurut saya, paling tidak hal “terjatuh” ini dilakukan untuk

menunjukkan bahwa orang yang terjatuh itu masuk dalam komunitas, khususnya komunitas orang beriman. Ini adalah bentuk dari interaksi simbolik.

Mead juga mengungkapkan bahwa komunikasi simbol manusia adalah bahwa dia tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik, sebaliknya dia menggunakan kata-kata yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar.18 Alunan suara dalam lafal bahasa roh syikirabarabaraba atau syalabalabalabalaba yang diucapkan perlahan-lahan, semakin keras, dan sangat keras serta diulang-ulang

menciptakan suasana hipnose, sehingga banyak umat yang “bergabung”

mengucapkannya, yang walaupun mereka sendiri tidak tahu apa artinya. Namun, kemampuan untuk menggunakan simbol suara ini memungkinkan umat untuk melihat dirinya sendiri menurut perspektif orang lain, setidaknya petugas yang berdiri di ruas tempat duduknya yang mengamati umat selama proses ini.

Kecenderungan yang ikut-ikutan ini mirip dengan pola konsumsi di mana seseorang membeli sesuatu bukan hanya karena membutuhkannya, melainkan karena

18

ada sign value dalam proses mengkonsumsi itu. Sebut saja seseorang yang tergiur membelanjakan uangnya untuk membeli baju merk Armani, bukan karena ia sudah tidak memiliki baju, melainkan karena orang lain dari kelas tertentu memakai baju merk Armani. Jadi, aksi membeli barang tertentu dengan merk tertentu menciptakan konsep diri tertentu pada diri seseorang bahwa ia adalah orang dari kelas pemakai baju merk Armani.

Barang-barang yang dikonsumsi telah diberi pemaknaan yang lebih luas dari arti barang itu sendiri, sehingga orang mengonsumsi barang tersebut atas pencitraan yang diciptakan oleh sistem promosinya. 19 Penulis setuju dengan pendapat Baudrillard yang mengatakan bahwa orang tidak pernah mengonsumsi objek itu sendiri (dalam nilai gunanya) – objek selalu dimanipulasi (dalam makna yang lebih luas) sebagai tanda yang membedakan seseoang, baik kepada dirinya sendiri yang berafiliasi dengan kelompok dirinya sendiri, yang mengacu pada kelompok status yang lebih tinggi.20

Bahasa tubuh yang terbuai dan terhanyut dalam aktivitas di gereja mal – yang

menunjukkan terhisabnya seseorang pada “komunitas beriman” – juga terbangun

19

Proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu:

1. Sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini konsumsi merupakan sistem pertukaran dan sepadan dengan bahasa.

2. Sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, di mana objek-objek atau tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki.

Dalam Jean P Baudrillard, Masyarakat Konsumsi (terj. Wahyunto ), (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), h. 60-61.

20

karena adanya pencitraan yang diciptakan oleh pendeta atau Worship Leader yang memimpin jalannya peribadatan di sana. Akhirnya, ketika seseorang mengangkat tangannya, tidak bisa dipastikan secara gamblang bahwa ia memang sedang

mengikuti irama “sukacita” pujian dan penyembahan yang tercipta dalam suasana

ibadah, melainkan atas godaan “takut beda sendiri” di tengah-tengah komunitas yang sedang terbuai alunan musik itu. Aksi-aksi yang timbul agaknya pun merupakan nilai tanda, bukan nilai guna yang teresapi dalam bahasa tubuh tersebut.

Pada kenyataannya ribuan orang tertarik dengan pesona ibadah di gereja mal. Umat merasakan sensasi yang berbeda dengan pola beribadah di gereja yang selama ini diikutinya. Dengan mengikuti gerakan-gerakan tubuh yang ekspresif ini, umat

telah menjadi bagian “kelompok penyembah” yang berbeda dengan umat di gereja

lain. Menurut Baudrillard individu tertentu menjadi bagian dari kelompok tertentu, karena individu tersebut mengonsumsi barang-barang tertentu, dan individu mengonsumsi barang tertentu karena ia bagian dari kelompok tertentu.21 Itulah yang terjadi dalam proses menggereja dan mengonsumsi dalam prosesi ibadah dan belanja di gereja mal.

Dokumen terkait