• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN DALAM ISLAM TUGASTUGAS

Dalam dokumen MAKALAH EKONOMI DAN KEUNGAN SYARIAH (Halaman 59-64)

Ada dua tugas pokok kepemimpinan dalam Islam menurut para ulama. Yaitu: Iqamatuddin dan Siyasatu ad-Dunya bi ad-Dien.

Imam al-Mawardi berkata, “Imamah (kepemiminan) diadakan untuk menggantikan posisi kenabian dalam hal menjaga agama dan mengatur perpolitikan dunia (dengan hukum Islam). Mengangkat orang yang memenuhi kriteria sebagai pemipin bagi umat ini adalah wajib.” (Al-Ahkam, hal. 5).

Imam Ibnu Taimiyah RHM juga berkata, “Tujuan yang wajib dalam pemerintahan adalah memperbaiki agama makhluk. Dimana, bila agama ini lepas dari seorang manusia, maka mereka akan rugi serugi-ruginya dan seluruh kenikmatan dunia, tidak akan bermanfaat bagi mereka. Dan tujuan kedua adalah mengatur dunia yang jika tidak diatur maka menyebabkan perkara dien (syariat) tidak akan bisa terlaksana dengan baik.” (Assiyasah,hal. 13)

Intinya tugas utama pemimpin adalah menegakkan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah SWT. Baik dalam lingkup pribadi, lebih-lebih bernegara. Hal ini sebagaimana firman Allah swt:

رعوممأملنا ةمبكقعاعك هعللكلعوك رعككننمملنا نععك اونهكنكوك فعورمعنمكلنابع اورممكأكوك ةكاككزلكلا اومتكآوك ةكالكصلكلا اومماقكأك ضعرنأكلنا يفع منهمانلككلكمك ننإع نكيذعللكا

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”(Qs. Al-Hajj: 41)

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa disyari’atkan kepemimpinan dalam Islam karena beberapa tujuan.

Pertama: Iqamatuddin

Yaitu menegakkan dienul Islam. Ibnu Humam RHM menyebutkan “Tujuan utama dari pemerintahan Islam adalah iqamatuddin, yaitu menegakkan syari’at-syari’at Islam sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Seperti: mengihlaskan semua aktifitas ketaatan untuk Allah SWT, menghidupkan berbagai sunnah, dan mengikis kebid’ahan. Sehingga manusia menaati Allah dengan sempurna.” (al-Musamarah, hal. 153)

Pelaksanaan iqamatuddin tidak mungkin tercapai kecuali dengan dua cara, yaitu:

Menjaga agama Islam. Menjaga Islam bisa terlaksana dengan; mendakwahkan Islam kepada umat manusia, baik muslimin maupun non muslim. Baik dengan lisan, pena maupun dengan kekuatan. Islam juga harus terjaga dari kebid’ahan dan kemunafikan, oleh karena itu sudah menjadi keharusan bagi penguasa Islam untuk memerangi bid’ah dan kemunafikan. Hal lain yang membuat Islam terjaga dari gangguan adalah dengan menjaga perbatasan-perbatasan negara Islam, agar rakyat merasa aman dari gangguan musuh.

Menerapkan Syari’at Islam: termasuk bentuk iqamatuddin adalah dengan cara menerapakan syari’at Islam (tathbiqus syari’ah) dalam kehidupan manusia. Syari’at Islam harus menjadi napas kehidupan manusia, dan berwewenang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada dua jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan penerapan syari’ah: menegakkan berbagai syari’at seperi shalat dan menegakkan hudud. Kedua: mengajaka manusia untuk tunduk kepada syari’at Islam dengan halus, lembut dan bujukan, jika tidak memungkinkan dengan cara halus, mereka harus diancam atau diberi ketagasan.

Kedua: Siyasatu ad-Dunya bid Dien.

Yaitu mengatur tatanan pemerintahan dan sistem perpolitikan, atau sistem bernegara dengan aturan Islam, bukan dengan undang-undang buatan manusia maupun hasil adopsi dari pemikiran Barat. Inilah tujuan utama kedua dari pemerintah Islam. Sebab hukum Islam telah mencakup seagala hal yang dibutuhkan oleh umat manusia, di mana pun dan kapanpun manusia berada.

Selain itu, tujuan diadakannya pemerintahan dalam Islam adalah;

Menegakkan keadilan dan membebaskan manusia dari kedzaliman (Qs. An-Nisa’: 58& An-Nahl: 90)

Mempersatukan umat dan menjaga mereka dari perpecahan(Qs.Ali Imron: 103 & Al-Anfal: 46) Mengelola ekonomi, sumber daya alam dan sumber daya umat untuk kemashlahatan bangsa dan rakyatnya, (Qs. Huud: 61)

 Syarat Kepemimpinan

Oleh karena besarnya tugas kepemimpinan dan pertanggungjawabannya, Islam mensyaratkan beberapa kriteria bagi pemimpin. Seperti: Islam, baligh, berakal, merdeka –bukan budak-, laki-laki, berilmu, adil, memiliki kemampuan jiwa dan raga untuk melaksanakan amanah, tidak meminta jabatan tersebut. Adapun syarat; apakah ia harus keturunan Quraisy apa tidak, maka menurut pendapat yang rojih, jika kepemimpinan dimaksud adalah khalifah, maka wajib dari kalangan Quraisy. Namun selain itu, tidak diharuskan dari orang Quraisy. Menurut sebagian ulama syarat harus dari kalangan Quraisy, adalah wajib, bukan syarat sah.Artinya jika ada penguasa yang terpilih dari selain Quraisy maka pemerintahannya sah. (Al-Imamah al-Udzma, hal. 265-292&Abu Basheer, Al-Ahkam As-Sulthoniyah, hal. 80-81).

 Wajib Taat Kepada Penguasa Muslim Adil

Imam Bukhari RHM meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menaatiku maka dia telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dia telah durhaka kepada Allah. Barangsiapa yang menaati amirku maka dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang mendurhakaiamirku maka dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari)

Imam Muslim RHM meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Hudzaifah bin al-YamanRA, Rasulullah SAW bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus

akulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim)

Beginilah sikap kaum muslimin kepada penguasa muslim yang adil. Ia harus tetap dengar dan mentaatinya. Dan haram memberontak kepadanya. Karena ini menyebabkan kekacauan dan mafsadah yang sangat besar di tengah masyarakat.*

TANGGUNG JAWAB

Dalam sejarah ulama salaf diriwayatkan, Khalifah Umar bin Abdil Aziz ra dalam shalat tahajjudnya membaca surat ash-Shaft: 2224 "(Kepada para malaikat diperintahkan), Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah: maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya mereka akan ditanya ( dimntai pertanggungjawaban )."

Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali dalam rangka mentadabburi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman. Dalam riwayat lain, Umar bin Khathab ra mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhiarat nanti, “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya akan ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?” ltulah keteladanan yang dilukiskan para salatus shalih tentang beratnya tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah kelak.

Pada prinsipnya, tanggung jawab dalam lslam berpijak atas dasar perbuatan individu semata. “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,"(QS al An'am: 164). Dalam surat al-Mudatstsir ayat 38 dinyatakan, “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.” Perbuatan individu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seseorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain. Timbul pertanyaan, apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung, bahkan sekalipun pelakunya telah tiada?

Allah SWT berfirman, “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan,” (QS Yasin: 12). Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya, tapi melebar sampai semua akibat dan berbagai ekses dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang shalih, semuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapan pun. Jadi orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya,ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya.

Marilah kita merenung sejenak seraya bertanya, apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka dipaksa? Ataukah rakyat juga harus menaggung dosanya walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut?

Seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih bisa memiliki kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggung jawab atas semua perbuatannya. Al-Qur'an mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul" Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar,” (QS alAhzab: 66-67).

Allah membantah mereka dengan tegas, “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri . Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu,” (QS Az-Zukhruf: 39).

Pemimpin zalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa lahiriahnya. Untuk itu, yang dipimpin pun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya meski di sana ada perintah dan larangan pimpinan.

Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk Islam dipaksa murtad seperti Bilal bin

Rabbah, keluarga Yasir, dan lainnya. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran (QS an-Nahl: 106 dan an-Nisa’: 97-99)

Tanggung jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, makin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku diri, keluarga, saudara-saudara, masyarakat dan rakyatnya. Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya..”(Al Hadits)

Tanggung jawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimnitai penanggungjawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seorang mukmin yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan memperbaiki diri, keluarga dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus shalih banyak yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Bila tidak hati-hati, seorang pemimpin akan memikul banyak dosa. Setiap orang yang dizalimi olehnya akan memikulkan dosa kepadanya.

Pemimpin dalam level apa pun akan dimintai penanggungjawabannya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, di samping seluruh apa yang terjadi pada rakyatnya. Baik dan buruknya perilaku dan keadaan rakyat tergantung pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan, rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu dan menanggung dosanya.

Dalam dokumen MAKALAH EKONOMI DAN KEUNGAN SYARIAH (Halaman 59-64)

Dokumen terkait