• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN

D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

Tugas Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 6 yaitu:

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Sedangkan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank;

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang; dan

d. pemeriksaan bank.

Diterangkan pula dalam Pasal 8 bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Lalu dalam Pasal 9 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimkasud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. melakukan penunjukkan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. memberikan dan/atau mencabut: 1. izin usaha;

2. izin orang perseorangan

3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar;

5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan;

7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas sebagai berikut:

1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;8

2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;9

3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;10

4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;11

5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;12

8

Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8 9

Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8 10Ibid .,. h.8 11Ibid ., h.8 12Ibid ., h.8

6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.13

E. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan

Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 10 yaitu:

(1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.

(2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial.

(3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:

a. seorang Ketua merangkap anggota;

b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;

13Ibid ., h.8

e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;

f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;

h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

(5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki hak suara yang sama.

Berikut adalah anggota-anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yaitu:

1. Muliaman D. Hadad, PhD

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan 2. DR. Rahmat Waluyanto, MBA

Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Ketua Komite Etik

3. Nelson Tampubolon, SE, MSM

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan

4. Ir. Nurhaida, MBA.

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal

5. DR. Firdaus Djaelani, MA

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank

6. DR. Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono, S.H., LLM

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang Membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen

7. Prof. Dr. Ilya Avianti, S.E., M.Si., Ak. CPA

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Ketua Dewan Audit

8. Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.Sc

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Ex-Officio Kementerian Keuangan, Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia

9. DR. Halim Alamsyah, SH, SE, MA

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Ex-Officio Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia

51 KEUANGAN

A.Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 28 yaitu:

(1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

(4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada pihak lain yang ditunjuk.

(5) Ketentuan mengenai hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pihak lain yang

ditunjuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 31:

“Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 28 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap LKM.”

Dari pasal tersebut diatas maka mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan dan pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri melainkan mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk belum siap, maka OJK akan mendelegasikan pembinaan dan pengawasannya kepada pihak lain yang ditunjuk.

Mengutip dari pernyataan Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo dalam rapat kerja RUU LKM di DPR pada hari Senin tanggal 5 Maret 2012, beliau

melindungi kepentingan nasabah perlu pengawasan yang bisa didelegasikan oleh BI

atau OJK ke Pemerintah Daerah”.1

Banyaknya LKM yang sudah beroperasi di masyarakat dengan perkiraan pemerintah sekitar 600.000 unit dengan 12 jenis yang berbeda, maka OJK sebagai pengawas mikroprudensial memerlukan bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menurut anggota Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti selepas acara peresmian Kantor OJK Regional 2 Wilayah Jabar di Bandung, Senin lalu pada

tanggal 6 Januari 2014, beliau mengungkapkan bahwa “Pemda paling dekat dengan

micro finance ini, industri kecil dan UKM. Jadi betul-betul oleh pemda itu diawasi langsung, oleh OJK disupervisi”2

.Pendelegasian wewenang atas pembinaan dan pengawasan LKM oleh OJK kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota akan tetap dibawah kendali OJK dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap LKM. Opsi pendelegasian sebagian kewenangan OJK kepada pemda ini merupakan jalan kompromistis yang ditempuh pemerintah.

Di ranah global, LKM disebut juga sebagai praktik shadow banking, pasalnya LKM bisa menghimpun dana masyarakat tetapi tidak berbentuk sebagai perbankan, melainkan lembaga seperti asuransi dan dana pensiun. Pada intinya,

shadow banking adalah lembaga nonbank yang beroperasi layaknya perbankan, yakni menghimpun dana, memberi kredit dengan bunga yang tinggi namun dengan syarat

1

koran-indonesia.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013

2

yang lebih mudah untuk dipenuhi dibandingkan dengan syarat yang diwajibkan oleh perbankan. Praktik shadow banking ini dapat mengganggu stabilitas perekonomian di Indonesia, karena shadow banking memberikan kredit dengan bunga tinggi namun persyaratan yang diajukan cenderung lebih mudah, hal ini tentu saja menyebabkan potensi Non Performing Loan (NPL) dengan kata lain kredit macetnya tinggi. Oleh karena itu dengan adanya pendelegasian sebagian wewenang OJK kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pembinaan dan pengawasan terhadap LKM dapat membantu untuk mencegah praktik shadow banking tersebut. Upaya lainnya yang bersifat preventif adalah dengan adanya sanksi administratif maupun pidana. Pembinaan dan pengawasan ini diperlukan agar bantuan yang telah diberikan kepada masyarakat dapat menyempurnakan dan menyejahterakan juga memperbaiki ekonomi masyarakat.

B.Sinergi Antara Ketentuan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Ketentuan pengawasan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro memiliki sinergi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Untuk mengetahui adanya sinergi antara pengawasan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka dapat dilihat dari uraian sebagai berikut.

1) Pembinaan, pengaturan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan3. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan seperti kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.4

2) Pembinaan yang dilakukan sebagaimana menurut ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro bahwa Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerin Dalam Negeri5. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas6. Dari dua pernyataan tersebut maka LKM dan OJK memiliki sinergi dalam menjalankan tugas mereka dalam hal pengawasan.

3) Pembinaan dan pengawasan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar membantu Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi Lembaga Keuangan

3

Pasal 28 ayat (1), Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 4

Pasal 5, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 5

Pasal 28 ayat (2), Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 6

Mikro.7Sedangkan dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwaOtoritas Jasa Keuangan menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan, melakukan penunjukkan pengelola statuter, dan menetapkan penggunaan pengelola statuter.8

4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada pihak lain yang ditunjuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro kepada pihak lain yang ditunjuk.9 Sedangkan menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan bahwa OJK menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan, melakukan penunjukkan pengelola statuter, menetapkan penggunaan pengelola statuter.10

5) Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh OJK diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan11. Sedangkan dalam Undang-Undang

7

Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 8

Pasal 9 huruf (a), (e), dan (f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

9

Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 10

Pasal 9 huruf (a), (e), (f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

11

Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwa OJK menetapkan pertauran pelaksanaan Undang-Undang ini.12

6) Dalam Undang-Undang LKM disebutkan bahwa dalam rangka pembinaan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro tersebut, Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Keuangan Mikro13. Sedangkan menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangandisebutkan bahwa dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.14

Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa adanya sinergi antara pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Uraian diatas menunjukkan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang LKM berkaitan atau saling dukung dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang OJK. Dengan adanya sinergi antara pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang-Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan maka mekanisme pengawasan tersebut diharapkan dapat berjalan sesuai rencana yang sudah ditetapkan agar tercapainya tujuan dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut.

12

Pasal 8 huruf (a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 13

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 14

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain adalah:

1. Man (Manusia)

Man atau manusia dalam konteks ini mengacu pada pengawas yang bertugas dalam mengawasi Lembaga Keuangan Mikro tersebut. Peran pengawas dalam suatu pengawasan sangatlah berpengaruh dalam pencapaian tujuan akhir dari rencana atau perintah yang sudah ditetapkan. Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk membantu mengawasi Lembaga Keuangan tersebut harus memiliki independensi yang tinggi dalam mengawasi dan memberi laporan dari hasil pengawasannya kepada Otoritas Jasa Keuangan. Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh orang lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi dapat juga diartikan adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.15

Pengawas dalam suatu pengawasan harus profesional dalam menjalankan pekerjaannya agar mencapai hasil yang sesuai dengan rencana yang semula sudah ditetapkan. Profesionalisme dapat diukur dari kejujuran atau

15

independensi pengawas tersebut seperti yang sudah dijelaskan diatas. Selain kejujuran, hal lain yang termasuk dalam profesionalisme adalah kedisiplinan pengawas tersebut dalam menjalankan pekerjaannya seperti disiplin waktu, disiplin manajemen, dan lainnya. Disiplin waktu yang dimaksud adalah pengawas dalam menjalankan pekerjaannya harus tepat waktu sesuai dengan yang sudah direncanakan. Sedangkan disiplin manajemen ialah pengawas dalam menjalankan pekerjaannya harus sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan, harus patuh pada peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Apabila dalam proses pengawasan tersebut ada hal sekecil apapun yang kurang dari prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan, maka pengawas harus tetap mencari jalan keluar agar semua prosedur-prosedur dapat terpenuhi.

2. Mean (Alat)

Mean atau alat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi berjalannya suatu pengawasan. Alat yang digunakan dalam pengawasan Lembaga Keuangan Mikro ini misalnya adalah komputer. Komputer-komputer yang digunakan harus sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan, seperti software-software

yang digunakannya harus memadai.

Komputer-komputer yang digunakan harus dikontrol misalnya dalam jangka waktu sekali dalam satu bulan untuk menghindari malfungsi yang kemungkinan dapat terjadi dalam melakukan proses kinerja pengawasan

tersebut. Penggunaan alat tersebut juga harus dengan baik agar komputer-komputer tersebut tidak mudah rusak atau mengalami kendala-kendala lainnya yang dapat terjadi. Alat dalam menjalankan pengawasan sangat berguna untuk menyimpan data-data yang yang dibutuhkan dalam menjalankan pengawasan tersebut.

Selain komputer, alat-alat lain yang digunakan dalam menjalankan pengawasan misalnya yaitu pena, pensil, buku catatan atau agenda, penghapus, dan lain sebagainya. Pengawas dalam menjalankan pengawasan tersebut harus menyediakan alat-alat tersebut untuk mencatat sementara atau mendata laporan-laporan yang diperlukan dari hasil pengawasan tersebut. 3. Material (Objek)

Material atau objek yang dimaksud disini adalah Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengawasan tersebut dapat dilihat dari bagaimana lembaga ini beroperasi. Dalam beroperasi, Lembaga Keuangan Mikro ini harus sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undangnya. Lembaga Keuangan Mikro dalam menjalankan organisasi tersebut harus dapat mencapai tujuan yang sudah direncanakan semula yaitu salah satunya adalah menyejahterakan masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka Lembaga Keuangan Mikro harus sungguh-sungguh dalam beroperasi seperti memberikan pinjaman-pinjaman dengan skala mikro untuk masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat yang ingin meminjam dana dari Lembaga Keuangan Mikro harus melewati prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Lembaga Keuangan Mikro tersebut agar dapat menghindari penyelewengan dana yang kemungkinan dapat terjadi. Untuk itu dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dari Lembaga Keuangan Mikro dalam menjalankan kegiatannya tersebut.

4. Milieu (Lingkungan)

Milieu atau lingkungan juga berpengaruh pada proses kinerja pengawasan. Pada konteks pengawasan Lembaga Keuangan Mikro ini, lingkungan yang dimaksud adalah daerah-daerah yang menjadi lahan Lembaga Keuangan Mikro tersebut beroperasi. Lembaga Keuangan Mikro sudah banyak terdapat di daerah-daerah seperti Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan lain sebagainya.

Lingkungan yang ada dalam setiap daerah akan berbeda-beda dengan daerah lainnya, misalnya lingkungan yang terdapat di Jakarta akan berbeda dengan lingkungan di Jawa Barat. Contoh dari lingkungan yang dimaksud dapat mengacu pada kebersihan daerah tersebut dalam menjalankan usaha mikro mereka. Lingkungan yang bersih akan menjadi lingkungan yang sehat dan nyaman untuk masyarakat yang sedang menjalankan usahanya maupun untuk para pengawas yang mengawasi kegiatan Lembaga Keuangan Mikro tersebut.

Kegiatan masyarakat yang menjalankan usahanya maupun pengawas yang melakukan pengawasan pun tidak terganggu sehingga dapat berjalan lancar. 5. Management (Pengelolaan)

Pengelolaan juga merupakan faktor yang berpengaruh pada pengawasan. Yang dimaksud dari pengelolaan dalam konteks ini adalah pengelolaan yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Mikro tersebut dalam mengelola dana yang diberikan kepada masyarakat yang meminjam dana pinjaman tersebut. Lembaga Keuangan Mikro harus dapat mengelola dana yang diberi kepada masyarakat yang meminjam agar dana yang dipinja tersebut dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengembangkan usaha mikro yang mereka jalankan. Pengelolaan yang benar dapat menghindari penyelewengan dana yang mungkin terjadi diantara masyarakat yang meminjam dana tersebut. Masyarakat harus dapat menggunakan dana pinjaman tersebut agar mereka pun dapat hidup sejahtera dan memperbaiki keadaan ekonomi mereka.

D. Analisa

Mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan dan pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri melainkan mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam

pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Apabila Pemerintah Daerah

Dokumen terkait