• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh Otoritas Jasa Keuangan (Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh Otoritas Jasa Keuangan (Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013)"

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Naomi Nasaria NIM: 109048000054

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. ix + 67 halaman + 4 halaman daftar pustaka + lampiran.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Thaun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Informasi didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Simpulan dari penelitian ini bahwa mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 adalah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang mendelegasikan kewenangannya dalam hal pengawasan tersebut kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang telah ditunjuk langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan, agar dapat membantu proses pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro tersebut.

Kata Kunci : Lembaga Keuangan Mikro, Otoritas Jasa Keuangan, Kredit, Pemerintah Daerah.

Pembimbing : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA

(6)

v

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa

memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat

serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

(S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik material dan immaterial,

oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M. beserta seluruh jajaran

dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum.

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum;

3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku pembimbing skripsi penulis. Terima

kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis;

4. Mama saya yang telah menemani saya saat begadang, Ayah, dan Adik terima

kasih telah memberi bantuan dalam bentuk materiil, doa, dukungan, dan

semuanya terus menerus tanpa lelah;

5. Sahabat-sahabat saya Mustika Nurul Fadhilah, S.Pd yang telah membantu saya

menyelesaikan skripsi ini di detik-detik terakhir saat saya sedang kerepotan

mengumpulkan data, Azlika Meutia Anggraini yang selalu mendukung saya,

Novelita Evelyn yang setia mendukung saya juga, penulis sangat berterima kasih

(7)

vi

teman-teman Ilmu Hukum B, teman-teman UIN Jakarta, semuanya. Terima

kasih sekali sudah mau diajak diskusi, diajak pusing, memberi semangat,

direpotkan juga, membantu bermacam-macam. Maaf tidak bisa disebutkan satu

persatu karena banyak teman-teman yang telah membantu dan direpotkan oleh

penulis;

7. Pihak perpustakaan UI dan UIN Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan

buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari

referensi;

8. Penulis artikel, skripsi, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam

proses penulisan;

9. Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu,

menyemangati, dan mendokan penulis.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa

semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, Januari 2014

(8)

vii

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Kerangka Konseptual ... 6

E. Kajian (Review) Studi Terdahulu ... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian ... 16

B. Bentuk-bentuk Pengawasan ... 24

C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro ... 30

D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro ... 33

BAB III FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan ... 38

B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan ... 40

C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan ... 41

(9)

viii

A. Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh

Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-undang Nomor 1

tahun 2013 ... 51

B. Sinergi Antara Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ... 54

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengawasan Lembaga

Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan ... 57

D. Analisa ... 62

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66

(10)

ix

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

(11)

1

(Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 2013)

A. Latar Belakang Masalah

Perekonomian adalah suatu hal yang sangat penting dalam suatu

Negara karena perekonomian menjadi tolak ukur kesuksesan suatu Negara dalam

mensejahterakan rakyatnya. Dalam kegiatan perekonomian tersebut sangat

dibutuhkan peran aktif yang baik tidak hanya dari Negara melainkan juga oleh

masyarakat.Peran Negara dalam hal perekonomian untuk mensejahterakan

masyarakat dapat dilakukan baik secara makro ekonomi maupun mikro ekonomi,

seperti menjaga kelancaran sistem keuangan, menjaga sistem moneter,

menyalurkan kredit kepada rakyat seperti KUR, KPR, dan lain sebagainya.

Selain Negara, masyarakat pada umumnya memiliki andil yang

cukup besar pula dalam perekonomian suatu Negara. Tidak jauh berbeda dengan

Negara, andil masyarakat dalam bidang perekonomian dapat mencakup aspek

makro dan mikro ekonomi, seperti mendirikan perusahaan-perusahaan swasta,

membuat lapangan pekerjaan sendiri atau wiraswasta, memberikan pinjaman

bagi masyarakat lain sebagai modal untuk melakukan usaha, dan lain-lain.

Pembahasan mengenai ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan

uang sebagai salah satu bentuk modal. Salah satu cara bagi masyarakat luas

(12)

pasal 1 angka 11 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka

waktu tertentu dengan pemberian bunga;

Selama ini kita mengenal beberapa lembaga-lembaga baik

Internasional maupun Nasional untuk memberikan kemudahan bagi Negara

maupun masyarakat dalam memperoleh dana-dana segar demi kelancaran

kegiatan suatu perekonmian. Dalam lingkup Internasional, lembaga tersebut

dapat berupa World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan lain-lain

yang secara aktif memberikan pinjaman-pinjaman bagi negara untuk melakukan

pembangunan agar terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat.

Di dalam negeri, lembaga-lembaga yang juga aktif untuk

memberikan suntikan dana-dana tersebut salah satunya adalah bank dimana

masyarakat yang melakukan peminjaman atas dana-dana tersebut didominasi

oleh para pengusaha dan masyarakat menegah keatas yang telah berorientasi

pada bisnis yang cakupannya skala nasional dan internasional.

Masyarakat dengan perekonomian menegah kebawah acap kali

kurang merasakan manfaat dari keberadaan bank yang memiliki fungsi

intermediasi untuk menyalurkan dana dalam bentuk kredit, mengingat dalam

penyaluran kredit tersebut cukup memiliki persyaratan yang rumit, harus adanya

(13)

melahirkan lembaga-lembaga yang dapat menyusur masyarakat dengan

perekonomian menengah kebawah. Lembaga tersebut dikenal sebagai Lembaga

Keuangan Mikro (LKM).

Keberadaan LKM terus berjalan tanpa adanya regulasi yang

mengatur lembaga-lembaga tersebut. Hal tersebut menyebabkan terjadinya

penipuan-penipuan maupun tindakan kejahatan lain yang dilakukan oleh LKM

sehingga menurut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu dibuat aturan yang

secara khusus mengenai LKM agar dapat memberikan perlindungan baik itu

LKM itu sendiri maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang menggunakan jasa

LKM tersebut. Proses legislasi di DPR untuk menggodok Rancangan

Undang-Undang mengenai LKM hingga akhirnya DPR bersama dengan pemerintah

sepakat untuk mensyahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang No 1 Tahun

2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro pada hari selasa tanggal 11 Desember

20121.

Dalam pasal 28 Undang-Undang No 1 Tahun 2013 dinyatakan

bahwa LKM akan diatur dan diawasi oleh OJK. Namun dalam ayat (3) pasal 28

tersebut dinyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK didelegasikan

kepada Pemerintah Daerah.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian mengenai Pengawasan pada Lembaga Keuangan Mikro

1

(14)

dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PENGAWASAN

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OJK (Analisis Undang-Undang No 1

Tahun 2013)”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan lembaga keuangan yang diatur dalam

Undang-Undang LKM ini, maka penelitian ini difokuskan hanya pada

masalah mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas

Jasa Keuangan dan kesesuaian pengawasan Lembaga Keuangan Mikro

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2012 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang

telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut:

a. Bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh

Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013?

b. Apakah terjadi sinergi antara ketentuan pengawasan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 21 Tahun

(15)

c. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengawasan Lembaga

Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang

pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut

ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan

Mikro. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro

oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang No 1 tahun 2013.

b. Untuk mengetahui adanya sinergi antara ketentuan pengawasan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2011.

c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga

Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan dibidang hukum lembaga keuangan mikro khususnya di bidang

pengawasan terhadap lembaga keuangan mikro tersebut.

(16)

1. Masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan

yang mendukung berjalannya pengawasan pada lembaga keuangan

mikro.

2. Dapat dimanfaatkan oleh para pelaku lembaga keuangan mikro agar

dapat menjalankan lembaga keuangan tersebut dengan baik.

3. Adanya pengawasan yang baik dalam lembaga keuiangan mikro maka

masyarakat yang menggunakan jasa lembaga keuangan mikro dapat

merasakan manfaatnya.

D. KERANGKA KONSEPTUAL

Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa

konsep-konsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan

dalam penelitian ini, yaitu:

1. Kredit

Kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank sebagai

kreditur dengan nasabah sebagai debitur.2

2. Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2011 adalah lembaga yang independen yang bebas dari campur

tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang

2

(17)

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang ini.

3. IMF

International Monetary Fund (IMF) lahir bersamaan dengan kelahiran Bank

Dunia. IMF atau dana keuangan internasional lahir setelah konferensi di

Bretton Woods Amerika Serikat3. Kegiatan IMF diutamakan untuk

membantu negara-negara anggotanya melalui Bank Sentral masing-masing

anggota IMF.4

4. Pemerintah Daerah

Dalam Pasal 18 UUD 1945 dikatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia

atas daerah besar dan kecil, dengan undang-undang , dengan memandang

dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara,

dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 5

Untuk membentuk susunan pemerintahan daerah-daerah itu, pemerintah

bersama-sama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang dilaksanakan

dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1974.

Undang-undang itu mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintah daerah

3

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet-VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 331

4

Ibid, h. 333 5

(18)

otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi

tugas pemerintahan pusat di daerah. Selain itu, diatur juga pokok-pokok

penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas deswentralisasi,

dekonsentrasi, dan asas tugas perbantuan.6

5. Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam

bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan aset nonfinansial

atau set riil.7

6. Pembiayaan

Pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan

uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil.8

7. Lembaga Keuangan Mikro

Lembaga keuangan mikro atau Micro Finance Institution merupakan

lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada

pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang

tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi

pasar untuk tujuan bisnis.9

6

Ibid, h. 3 7

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h. 5

8

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 92 9Rudjito, “Peran

(19)

E. Kajian (Review) Studi Terdahulu

Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan penelitian

terhadap studi review terdahulu dimana untuk mendapatkan dan mengetahui

perbedaan penelitian sebelumnya dengan yang penulis lakukan .review studi

pertama yang digunakan adalah skripsi yang berjudul “Pengaruh Pembentukan

Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang

Pengawasan Perbankan” yang disusun oleh Afika Yumya Syahmi, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia Tahun 200810. Skripsi ini membahas mengenai

pentingnya pengawasan perbankan di Indonesia oleh lembaga Otoritas jasa

Keuangan (OJK). Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan memang

seputar mengenai lembaga OJK namun peran dan fungsi pengawasan OJK

tersebut pada lembaga keuangan mikro sebagaimana diamanatkan oleh

Undang-Undang No 1 Tahun 2013.

Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul “Efektifitas Linkage

Program Bank Syariah Mandiri Dalam Penguatan Pembiayaan Lembaga

Keuangan Mikro” yang disusun oleh Siti Maesaroh, Fakultas Syariah dan

10

(20)

Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta11. Skripsi ini membahas mengenai

penerapan program linpage untuk meningkatkan laba, asset, modal, dan jumlah

nasabah pada lembaga keuangan mikro selain itu membahas mengenai kinerja

lembaga keuangan mikro baik sebelum dan sesudah menggunakan program

linkage dengan menggunakan perhitungan CAMEL. Yang membedakan

penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah pada skripsi

tersebut lebih menekankan pada aspek-aspek ekonomi pada lembaga keuangan

mikro dengan menggunakan program linkpage, sedangkan yang akan dilakukan

penulis melakukan penekanan pada pengawasan lembaga keuangan mikro

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013.

Adapun buku rujukan yang menjadi salah satu bahan studi terdahulu

yaitu Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro oleh Mohammad Iqbal yang

diterbitkan oleh Elex Media dengan tanggal terbit 6 Juni 2006.

F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;

11

(21)

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak

adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.12

Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.13

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada

norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan

keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau

juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.14

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu normatif,

maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan

pendekatan historis (historical approach).Pendekatan perundang-undangan

dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif

bagi terselenggaranya pengawasan bagi lembaga keuangan

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.

13 Ibid

14

(22)

mikro.Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep tentang

pengawasan lembaga keuangan mikro sehingga diharapkan penormaan

dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang

bermakna ganda.Pendekatan historis dilakukan untuk mengetahui sejarah

pembentukan Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia.

3. Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi

perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim15. Dalam

penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah

Undang No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,

Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang OJK, Naskah Akademik Pembentukan

Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, dan Naskah Akademik

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.16

15

(23)

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa

buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,

Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang

mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum

tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan

peneliti.17

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dari ketiga bahan hukum tersebut, baik bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan

sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis

untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan.“Cara pengolahan bahan

hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang

dihadapi”18.Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis

terhadap bahan hukum agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan mengenai

pengawasalan lembaga keuangan mikro oleh OJK.

17Ibid

. h. 143 18

(24)

G. SISTEMATIKA PENELITIAN

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”

dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas

beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun

perinciannya sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, memuat: Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan

Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Kajian (Review) Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Kerangka Teoritis, pada bab ini akan diuraikan mengenai

Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian, Bentuk-bentuk

Pengawasan, Pengertian Lembaga Keuangan Mikro, Asas dan

Tujuan Lembaga Keuangan Mikro.

BAB III Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaga

Keuangan Mikro. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejarah

OJK, Pengertian OJK, Tujuan dan Fungsi OJK, Tugas dan

Wewenang OJK, Dewan Komisioner OJK.

BAB IV Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh OJK. Dalam bab ini

akan dibahas mengenai Mekanisme pengawasan LKM oleh OJK

menurut UU No 1 Tahun 2013, Kesinergian antara ketentuan

(25)

dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Faktor-faktor

yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh

Otoritas Jasa Keuangan.

BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab

terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik

beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis

(26)

16 A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian

Dalam Kamus Bahasa Indonesia istilah pengawasan berasal dari kata

awas yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan

cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan

berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi 1. Dari definisi

tersebut dapat diartikan bahwa hasil dari suatu pengawasan harus sesuai

berdasarkan kenyataan yang terjadi dari apa yang telah diawasi.

Sebagai bahan perbandingan, penulis mengambil beberapa pendapat

menurut para sarjana di bawah ini diantaranya menurut Prayudi, pengawasan

adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan,

dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,

direncanakan atau diperhatikan2. Dilain pihak Sarwoto mengatakan, pengawasan

adalah kegiatan manager yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan

terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki3.

Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur

pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat

1

Sarwoto. Dasar-dasar Organisasi Dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.93 2

Prayudi, Hukum Administrasi Negara, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.80 3

(27)

mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan4. M.

Manullang pun mengatakan bahwa pengawasan adalah suatu proses untuk

menetapkan suatu pekerjaan yang sudah dilaksanakan, menilainya dan

mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai

dengan rencana semula5. Menurut Harold Koonz, dkk, yang dikutip oleh John

Salindeho juga mengatakan bahwa pengawasan adalah pengukuran dan

pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin bahwa apa yang

terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi pengawasan itu mengukur pelaksanaan

dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatkan dimana ada

penyimpangan yang negatif dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk

memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya

rencana-rencana.6

Pengawasan menurut Sondang P. Siagian yaitu proses pengamatan dari

pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua

pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan7.

Menurut Terry dalam buku Sujanto menyatakan pengawasan adalah untuk

menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan

mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar

4

Saiful Anwar. (Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press : Jakarta,2004) , h.127

5

M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.18 6

John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen. (Sinar Grafika : Jakarta, 1998), h.39 7

(28)

hasilnya sesuai dengan rencana8. Menurut Dale dalam buku Winardi mengatakan

bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan

hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan

meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang

direncanakan9. Sedangkan menurut Winardi sendiri, pengawasan adalah semua

aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa

hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan.10 Sedangkan menurut Basu

Swastha, pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa

kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan.11

Menurut Komaruddin, pengawasan adalah berhubungan dengan

perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal untuk langkah perbaikan

terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti.12

Lebih lanjut menurut Kadarman, pengawasan adalah suatu upaya yang

sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang

sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan

standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu

penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang

8

Sujanto, Op.Cit, h.17 9

Winardi, Kepemimpinan Dalam Manajemen. (Rineka Cipta, Jakarta : 2000), h.224 10Ibid

, h.585 11

Kadarman, A.M dan Udaya, Jusuf. Pengantar Ilmu Manajemen. ( PT. Prenhallindo : Jakarta, 2001), h.159

12

(29)

diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah

digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.13

Menurut Semito, pengawasan (controlling) adalah usaha untuk dapat

mencegah kemungkinan-kemungkinan penyimpangan daripada rencana-rencana,

instruksi-instruksi, saran-saran dan sebagainya yang telah ditetapkan14. Di lain

pihak menurut Fayol dalam buku Sofyan Harahap mengemukakan bahwa

pengawasan adalah upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan

rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut.

Juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan agar dihindari

kejadiannya di kemudian hari15. Lebih luas lagi pengertian pengawasan

dikemukakan Situmorang dan Jusuf yang mengemukakan bahwa dikalangan ahli

atau sarjana telah disamakan pengertian controlling ini dengan pengawasan. Jadi

pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata

“kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki

kegiatan yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar. Kenyataan

dalam praktek sehari-hari bahwa isitilah controlling itu sama dengan istilah

pengawasan dan istilah pengawasan inipun telah mengandung pengertian luas,

yakni tidak hanya sifat melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil

kegiatan mengawasi tadi tetapi juga mengandung pengendalian dalam arti

13

Bayu Swastha. Azas-Azas Marketing. (Edisi 3, Liberty : Yogyakarta, 1996), h.216 14

A.N Semito. Manajemen Personalia. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1984), h.17 15

(30)

menggerakkan, memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang

sesuai dengan apa yang direncanakan.16

Pengawasan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha sistematis dalam

manajemen bisnis untuk membandingkan kinerja standar, rencana, atau tujuan

yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah kinerja sejalan

dengan standar tersebut dan untuk mengambil tindakan penyembuhan yang

diperlukan untuk melihat bahwa sumber daya manusia digunakan dengan

seefektif dan seefisien mungkin didalam mencapai tujuan.

Dari definisi-definisi para sarjana yang telah disebutkan diatas, dapat

diambil kesimpulan bahwa pengawasan adalah suatu upaya untuk mengawasi,

mengendalikan, dan menjaga suatu proses kinerja agar tetap berjalan sesuai

rencana semula dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan adanya

pengawasan maka kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghambat suatu

proses kinerja dapat dihindari dan apabila terlanjur terjadi maka dapat diberikan

solusi untuk memperbaikinya agar proses kinerja tersebut dapat kembali berjalan

sesuai dengan rencana semula.

Adapun maksud dari pengawasan yaitu untuk mencegah atau untuk

memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, dan lainnya yang tidak

sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Karena pada dasarnya

16

(31)

maksud pengawasan bukan untuk mencari kesalahan terhadap orangnya, tetapi

mencari kebenaran terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan dengan tujuan agar hasil

pelaksanaan pekerjaan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif)

sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Menurut Mc. Farland, pengawasan harus berpedoman terhadap hal-hal

berikut:17

1). Rencana (planning) yang telah ditentukan.

2). Perintah (orders) terhadap pelaksanaan pekerjaan (performance).

3). Tujuan.

4). Kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya.

Pengawasan pun memiliki beberapa tugas/fungsi sebagai berikut: 18

a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi

tugas dan wewenang dalam pelaksanaan pekerjaan.

b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai

dengan prosedur yang telah ditentukan.

c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kelalaian, dan

kelemahan, agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.

17

Maringan Masry Simbolon. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 2004), h.61.

(32)

d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan

pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.

Disamping itu kita pun harus mengetahui prinsip-prinsip dari pengawasan yaitu:19

1. Pengawasan berorientasi kepada tujuan organisasi.

2. Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum

daripada kepentingan pribadi.

3. Pengawasan harus berorientasi terhadap kebenaran menurut

peraturan-peraturan yang berlaku (wetmatigheid), berorientasi terhadap kebenaran atas

prosedur yang telah ditetapkan (rechmatigheid), dan berorientasi terhadap

tujuan (manfaat) dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatigheid).

4. Pengawasan harus menjamin daya dan hasil guna pekerjaan.

5. Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif, teliti (accurate),

dan tepat.

6. Pengawasan harus bersifat terus-menerus (continue).

7. Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik (feed back) terhadap

perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan, perencanaan dan

kebijaksanaan waktu yang akan datang.

Pendelegasian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pemberian

wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain. Kegiatan seseorang untuk

19Ibid

(33)

menugaskan stafnya/bawahannya untuk melaksanakan bagian dari tugas manajer

yang bersangkutan dan pada waktu bersamaan memberikan kekuasaan kepada

staf/bawahan tersebut, sehingga bawahan itu dapat melaksanakan tugas-tugas itu

sebaik baiknya serta dapat mempertanggung jawabkan hal hal yang didelegasikan

kepadanya. 20

Adapun menurut Sujak dalam bukunya yaitu Pendelegasian merupakan proses

penugasan, wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan21. Robert Heller

mendefinisikan pendelegasian sebagai mempercayakan pekerjaan pada orang lain

akan tetapi tanggung jawab atas pekerjaan atau pekerjaan tersebut masih berada di

tangan pendelegasi. Tony Atherton mendefinisikan pendelegasian pekerjaan

sebagai mempercayakan wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan yang didefinisikan dengan jelas, dan disetujui di

bawah pengawasan pendelegasi sambil tetap memegang seluruh tanggung jawab

atas keberhasilan pekerjaan atau pekerjaan itu. Dari uraian tersebut diatas dapat

disimpulkan bahwa :

Pendelegasian ialah proses terorganisir dalam kerangka hidup

organisasi/keorganisasian untuk secara langsung melibatkan sebanyak mungkin

orang dan pribadi dalam pembuatan keputusan, pengarahan, dan pengerjaan kerja

yang berkaitan dengan pemastian tugas. Pendelegasian ialah tindakan

20

M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.10 21

(34)

memercayakan tugas (yang pasti dan jelas), kewenangan, hak, tanggung jawab,

kewajiban, dan pertanggungjawaban kepada bawahan secara individu dalam

setiap posisi tugas. Pendelegasian dilakukan dengan cara membagi tugas,

kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, serta pertanggungjawaban, yang

ditetapkan dalam suatu penjabaran/deskripsi tugas formil dalam organisasi.22

B. Bentuk-bentuk Pengawasan

a. Pengawasan dari Dalam Organisasi (Internal Control)

Pengawasan dari dalam, berarti pengawasan yang dilakukan oleh

aparat/unit pengawasan yang dibentuk dalam organisasi itu sendiri.

Aparat/unit pengawasan ini bertindak atas nama pimpinan orgsanisasi.

Aparat/unit pengawasan ini bertugas mengumpulkan segala data dan

informasi yang diperlukan oleh organisasi. 23

Data-data tersebut yang sudah terkumpul akan digunakan oleh

pimpinan untuk menilai kemajuan dan kemunduran dalam pelaksanaan

pekerjaan. Keputusan-keputusan dari hasil pengawasan yang sudah

dikeluarkan oleh pimpinan dapat digunakan dalam nilai kebijaksanaan

pimpinan. Maka itu terkadang pimpinan perlu meninjau kembali

keputusan-keputusan tersebut yang sudah dikeluarkan. Pimpinan pun dapat melakukan

22

agus-krisdianto.weebly.com diakses pada tanggal 25 Januari 2014 23

(35)

tindakan-tindakan perbaikan (korektif) terhadap pelaksanaan pekerjaan yang

dilakukan oleh bawahannya.

b. Pengawasan Dari Luar Organisasi (External Control)

Pengawasan eksternal (external control) berarti pengawasan yang

dilakukan oleh aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu. Aparat/unit

pengawasan dari luar organisasi itu adalah pengawasan yang bertindak atasn

nama atasan pimpinan organisasi itu, atau bertindak atas nama pimpinan

organisasi itu karena permintaannya, misalnya pengawasan yang dilakukan

oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara. Terhadap suatu

departemen, aparat pengawasan ini bertindak atas nama pemerintah/presiden

melalui menteri keuangan. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh

Badan Pemeriksa Keuangan, ialah pemeriksaan/pengawasan yang bertindak

atas nama negara Republik Indonesia. 24

Pimpinan organisasi pun dapat meminta bantuan dari pihak luar

organisasinya untuk melakukan pengawasan tersebut dengan maksud-maksud

tertentu seperti untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar,

mengetahui jumlah keuntungan, mengetahui efisiensi kerjanya, dan

sebagainya. Pihak luar organisasi tersebut misalnya, akuntan swasta,

perusahaan konsultan, dan lain sebagainya.

24Ibid

(36)

c. Pengawasan Preventif

Arti dari pengawasan preventif ialah pengawasan yang dilakukan

sebelum rencana itu dilaksanakan. Maksud dari pengawasan preventif ini

ialah untuk mencegah terjadinya kekeliruan/kesalahan dalam pelaksanaan.

Dalam sistem pemeriksaan anggaran pengawasan preventif ini disebut

preaudit. Adapun dalam pengawasan preventif ini dapat dilakukan hal-hal

berikut.25

a. Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan sistem

prosedur, hubungan, dan tata kerjanya.

b. Membuat pedoman/manual sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah

ditetapkan.

c. Menentukan kedudukan, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.

d. Mengorganisasikan segala macam kegiatan, penempatan pegawai dan

pembagian pekerjaannya.

e. Menentukan sistem koordinasi, pelaporan, dan pemeriksaan.

f. Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang menyimpang dari

peraturan yang telah ditetapkan.

25Ibid

(37)

d. Pengawasan Represif

Arti dari pengawasan represif ialah pengawasan yang dilakukan

setelah adanya pelaksanaan pekerjaan. Maksud diadakannya pengawasan

represif ialah untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan pekerjaan agar

hasilnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam sistem

pemeriksaan anggaran, pengawasan represif ini disebut post-audit. Adapun

pengawasan represif ini dapat menggunakan sistem-sistem pengawasan

sebagai berikut.

1) Sistem Komperatif

a) Mempelajari laporan-laporan kemajuan (progress report) dari

pelaksanaan pekerjaan, dibandingkan dengan jadwal rencana atau

pelaksanaan.

b) Membandingkan laporan-laporan hasil pelaksanaan pekerjaan dengan

rencana yang telah diputuskan sebelumnya.

c) Mengadakan analisis terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk

faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk

para penanggung jawabnya.

e) Mengambil keputusan tata usaha perbaikannya atau

(38)

2) Sistem Verivikatif

a) Menentukan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan prosedur

pemeriksaan.

b) Pemeriksaan tersebut harus dibuat laporan secara periodik atau secara

khusus.

c) Mempelajari laporan untuk mengetahui perkembangan dari hasil

pelaksanaannya.

d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk

para penanggung jawabnya.

e) Mengambil keputusan tata usaha perbaikannya atau

penyempurnaannya.

3) Sistem Inspeksi

Inspeksi dimaksudkan untuk mengecek kebenaran dari suatu laporan yang

dibuat oleh para petugas pelaksanaannya. Dalam pemeriksaan di tempat

(on the spot inspection), instruksi-instruksi diberikan dalam rangka

perbaikan dan penyempurnaan pekerjaan. Inspeksi dimaksudkan untuk

memberikan penjelasan-penjelasan terhadap kebijaksanaan pimpinan.

Penjelasan-penjelasan ini merupakan kontak pribadi antara pimpinan/wakil

(39)

menimbulkan rasa kesetiakawanan (jiwa korps), rasa solidaritas, dan

ketinggian moral.

Untuk menjamin hasil yang objektif dalam inspeksi ini, kadang-kadang

diperlukan penggantian jabatan (tour of duty) dalam periode tertentu.

Penggantian jabatan ini dimaksudkan pula untuk lebih menyegarkan

tugas-tugas inspeksi, karena tugas-tugas-tugas-tugas tersebut kecuali membosankan juga

menjemukan.

4) Sistem Investigatif

Sistem ini lebih menitikberatkan terhadap penyelidikan/penelitian yang

lebih mendalam terhadap suatu masalah yang bersifat negatif.

Penyelidikan/penelitian ini didasarkan atas suatu laporan yang masih

bersifat hipotesis (anggapan). Laporan tersebut mungkin benar dan mudah

salah. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih mendalam untuk dapat

mengungkapkan hipotesis tersebut.26

Agar dapat memperoleh jawaban tersebut (yang benar) diperlukan

pengumpulan data, menganalisis data atau mengolah data, dan penelitian

atas data tersebut. Berdasarkan atas hasil penelitian/penyelidikan tersebut,

kemudian segera diambil keputusannya. Yang perlu diperhatikan di sini

26Ibid

(40)

adalah validitas data tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Data-data

tersebut pun harus diperoleh dengan penuh ketelitian.

C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro

Pengertian Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 1 angka (1) yakni:

“Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah

lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan

usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan

dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan,

maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata

mencari keuntungan”.

Pengertian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Menurut Microcredit

Summit (1997) dalam buku Ashari, mengemukakan definisi kredit mikro yaitu

“Programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that

generate income, allowing them to care for themselves and their families” atau

“Program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk

membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan

(41)

keluarganya27. Sementara menurut Paket Kebijaksanaan (1993) dalam buku Totok

Budisantoso menyatakan bahwa “Kredit untuk usaha kecil adalah kredit yang

diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit maksimum 250 juta

untuk membiayai usaha produktif”.28

“Sedangkan pengertian kredit untuk usaha mikro adalah “Kredit yang

diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit sampai dengan 25

juta”. Meskipun terdapat perbedaan, tapi kedua pernyataan di atas mempunyai

persamaan bahwa kredit mikro diberikan bagi pengusaha kecil dan mikro dengan

plafon kredit yang berbeda untuk membiayai kegiatan usaha yang produktif.

Usaha dikatakan produktif apabila usaha tersebut dapat memberikan nilai tambah

dalam menghasilkan barang dan jasa serta pendapatan mereka. Kredit mikro ini

disalurkan melalui lembaga keuangan yang umumnya disebut dengan Lembaga

Keuangan Mikro (LKM). Mandala Manurung dan Prathama Rahardja

menyatakan bahwa “Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan yang

memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin

serta para pengusaha kecil”.29

27

Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dan Kebijakan Pengembangannya. Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Volume 4 No.2, Juni 2006:h.146

28

Totok Budisantoso dan Triandaru Sigit. 2006. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta:Salemba Empat, h.121

29

(42)

Sementara itu menurut ahli lain, “Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan

sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi

sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan”.30

Menurut Direktorat Pembiayaan, Deptan (2004) dinyatakan bahwa

“Lembaga Keuangan Mikro dikembangkan berdasarkan semangat untuk

membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin baik untuk kegiatan konsumtif

maupun produktif keluarga miskin tersebut”31

. Menurut Krishnamurti (2005),

walaupun terdapat banyak definisi keuangan mikro, namun secara umum terdapat

tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan

beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman

masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan

sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan,

pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat

miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk

melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada

sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan

prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan

konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan

30

Sutanto Hadinoto, Joko Retnadi. Kredit Mikro, Kunci Sukses Kredit Mikro. (PT Gramedia : Jakarta,2005), h.72

31

(43)

mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual

dan fleksibel.32

D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro

Asas-asas Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 2 yaitu:

LKM berasaskan:

a. Keadilan;

b. Kebersamaan;

c. Kemandirian;

d. Kemudahan;

e. Keterbukaan;

f. Pemerataan;

g. Keberlanjutan; dan

h. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.

32

(44)

Penjelasan asas-asas tersebut diatas:

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan

kesempatan yang sama kepada masyarakat, terutama masyarakat

miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pelayanan

dari LKM.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu

kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan

bersama.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu

kegiatan yang dilakukan tanpa banyak bergantung kepada pihak lain,

baik dari aspek sumber daya manusia maupun permodalan.

(45)

Yang dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa

prosedur pembiayaan dan penyimpanan dana dalam LKM dibuat

seserdahana mungkin.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu

kegiatan usaha yang proses pengelolaannya dapat diketahui oleh

masyarakat.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah pemberian

Pinjaman atau Pembiayaan yang menjangkau seluruh masyarakat

miskin dan/atau berpenghasilan rendah.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan

kehasilgunaan” adalah suatu kegiatan pemberdayaan sekaligus

mendayagunakan usaha dan layanan keuangan mikro untuk

masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.33

33

(46)

Sedangkan tujuan Lembaga Keuangan Mikro menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro

Pasal 3 yaitu:

LKM bertujuan untuk:

a. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;

Dengan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat maka

masyarakat yang menbutuhkan pembiayaan untuk usaha mikronya

diharapkan dapat berjalan dengan baik.

b. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas

masyarakat;

Tujuan ini dapat mengurangi banyaknya pengangguran yang

merajalela di masyarakat. Masyarakat dapat membuka usaha

bahkan menciptakan lapangan kerja dari usaha kecil mereka

tersebut.

c. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

(47)

Dengan berjalannya usaha mikro yang mereka bangun, maka

pendapatan masyarakat miskin diharapkan lebih meningkat supaya

(48)

38 A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan

Awal mula tercetus pemikiran tentang lahirnya lembaga otoritas jasa

keuangan adalah berkaca dari pengalaman krisis moneter yang terjadi pada

1997, krisis finansial global 2008, dan krisis yang menimpa zona Euro 2010,

industri keuangan diprediksi akan mengalami kondisi sangat buruk. Kebijakan

fiskal dan kebijakan moneter dibutuhkan untuk menyelamatkan

perekonomian. Besar kemungkinan krisis keuangan mengancam Indonesia.1

Pada akhir 2011, sebagai upaya reformasi sektor keuangan,

pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mendirikan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian pada 22 November 2012,

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disahkan.

Lembaga yang disebut independen ini akan berfungsi mulai 31 Desember

2012 dimana menggantikan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan yang

selama ini dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas

Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).2

1

Hamud M. Balfas. ( Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: PT.Tatanusa, 2012). h.7 2Ibid.,

(49)

Kemudian di akhir tahun 2013, giliran fungsi, tugas dan wewenang

pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia (BI) juga akan

dialihkan ke OJK.

Posisinya, OJK akan tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas

Sektor Keuangan (FKSSK) bersama Kementerian Keuangan, BI dan Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS). FKSSK merupakan protokol koordinasi untuk

menjaga stabilitas sistem keuangan.setelah diundangkannya undang-undang

no.21 tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan (UU-OJK) terdapat

perubahan besar terhadap landskap industri keuangan di Indonesia, hal ini

karena berdasarkan UU-OJK pengaturan serta pengawasan industri jasa

keuangan di Indonesia yang termasuk didalamnya pasar modal, perbankan

dan lembaga keuangan mikro akan diawasi oleh lembaga otoritas jasa

keuangan.3

Berdasarkan peraturan peralihan UU-OJK pasal 55 menyatakan bahwa

sejak tanggal 31 Desember 2012 tugas, fungsi, dan kewenangan pengaturan

dan pengawasan kegiatan keuangan di sektor pasar modal dan jasa keuangan

non bank seperti perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan

lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari menteri keuangan dan badan

pengawas pasar modal (BAPEPAM) dan lembaga keuangan (LK) ke otoritas

jasa keuangan (OJK). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi kewenangan

3

(50)

Bank Indonesia dalam pengaturan serta pengawasan jasa keuangan di bidang

perbankan.4

B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurut Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 angka (1) yaitu:

“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga

yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,

tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.5

Dengan berlakunya undang-undang tersebut segala tugas sebagai regulator

dan pengawas di sektor keuangan di ambil alih oleh lembaga otoritas jasa keuangan

yang menggantikan kedudukan BAPEPAM-LK di sektor pasar modal dan bank

Indonesia di sektor perbankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 undang-undang

ini “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang

terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan“. Sebagai

lembaga yang mempunyai kewenangan pengaturan di sektor keuangan. Secara

kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai

bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah.

Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah

4

Ibid., h.7

5

(51)

karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa

keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam

hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan

keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan

Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi

kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. 6

C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

(OJK), OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan:

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,

b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan

stabil, dan

c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

OJK mempunyai tujuan yang sangat strategis dalam memastikan adanya

transparansi, stabilitas serta dapat memberikan perlindungan kepentingan kepada

konsumen dan masyarakat dalam industri jasa keuangan7. Dengan tujuan

pembentukannya hal yang menjadi harapan dari masyarakat adalah menyangkut

6

Ibid., h.8

7

(52)

perlindungan konsumen dan masyarakat terkait transparansi dan stabilitas di sektor

industri keuangan yang walaupun sebelumnya telah dijalankan dengan baik oleh

BAPEPAM-LK. Karena perlindungan konsumen dalam industri jasa keuangan

adalah salah satu hal yang sangat penting mengingat jasa keuangan bukan saja

menyangkut hal kekayaan milik investor saja melainkan banyaknya jenis-jenis

transaksi yang sangat rumit dan dalam banyak hal tidak dipahami oleh investor yang

berinvestasi dalam jasa keuangan yang ditawakan. Selain itu di sektor keuangan juga

rawan berpotensi terjadinya kejahatan yang dapat merugikan masyarakat secara luas

dan pelakunya dapat membawa hasil kejahatan dengan cara yang sangat cepat. Selain

itu Otoritas Jasa Keuangan juga dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan

jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,

transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh

secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan

masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor

jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain

itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber

daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan,

dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.

Selain itu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK melaksanakan tugas pengaturan

(53)

a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan

b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga

pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Dengan adanya pasal tersebut mengartikan dengan jelas bahwa segala bentuk

pengaturan dan pengawasan di sektor industri keuangan akan dilimpahkan kepada

lembaga otoritas jasa keuangan selaku regulator di sektor industri jasa keuangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang

terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

Tugas Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013

tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 6 yaitu:

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Sedangkan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas

pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam

(54)

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,

merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;

dan

2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk

hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal

minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap

simpanan, dan pencadangan bank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan

5. standar akuntansi bank;

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang; dan

(55)

d. pemeriksaan bank.

Diterangkan pula dalam Pasal 8 bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;

e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap

Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada

Lembaga Jasa Keuangan;

h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,

memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Lalu dalam Pasal 9 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan

sebagaimana dimkasud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

(56)

b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala

Eksekutif;

c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen,

dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau

penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak

tertentu;

e. melakukan penunjukkan pengelola statuter;

f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran

terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. memberikan dan/atau mencabut:

1. izin usaha;

2. izin orang perseorangan

3. efektifnya pernyataan pendaftaran;

4. surat tanda terdaftar;

5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;

6. pengesahan;

7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan

(57)

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan

asas-asas sebagai berikut:

1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku;8

2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;9

3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;10

4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan

atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia

sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;11

5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan

pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;12

8

Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8 9

Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8 10Ibid

.,. h.8 11Ibid

., h.8 12Ibid

(58)

6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral

dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas

Jasa Keuangan; dan

7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada publik.13

E. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan

Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 10 yaitu:

(1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.

(2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif

dan kolegial.

(3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang

ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri

atas:

a. seorang Ketua merangkap anggota;

b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;

c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;

d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;

(59)

e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,

Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya

merangkap anggota;

f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan

Konsumen;

h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan

anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang

merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

(5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

memiliki hak suara yang sama.

Berikut adalah anggota-anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yaitu:

1. Muliaman D. Hadad, PhD

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan

2. DR. Rahmat Waluyanto, MBA

Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Ketua

Komite Etik

3. Nelson Tampubolon, SE, MSM

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala

Referensi

Dokumen terkait

Panitia Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Pengadaan Barang Selaku Kelompok Kerja Pekerjaan Jalan Dan Jembatan Provinsi Jawa Tengah Pada Balai Pelaksana Teknis

KEGIATAN : KEGIATAN PERENCANAAN DAN PENGAWASAN TEKNIS PENINGKATAN JALAN DAN PENGGANTIAN JEMBATAN PROVINSI PAKET : PENGAWASAN PENINGKATAN JALAN DAN JEMBATAN DI BPT WILAYAH PURWODADI..

Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien tertentu disebabkan oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi, biasanya dapat

Hasil analisis pakar menunjukkan: (1) terdapat isi uraian modul yang tidak penting bahkan salah; (2) beberapa pargraf yang tidak baik susunannya atau tidak memenuhi

Tabel 1. Perbedaan sistem informasi akuntansi yang diterapkan dengan teori Unsur-Unsur yang Terkait dengan Sistem Akuntansi Persediaan Sistem Informasi Akuntansi

pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh pasien. Sistem dapat menangani pendaftaran pemeriksaan pasien kolektif. Tidak menangani proses penyerahan komisi dokter pengirim,

Mengingat , bahwa dalam resolusi no. 7 dari Kongres Ketujuh, Komite diserukan untuk mempertimbangkan kebutuhan akan pedoman yang berkaitan, antara lain, dengan

Template Dokumen ini adalah milik Direktorat Pendidikan - ITB Dokumen ini adalah milik Program Studi PSPA-SF ITB. Dilarang untuk me-reproduksi dokumen ini tanpa diketahui