Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Naomi Nasaria NIM: 109048000054
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
iv
Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. ix + 67 halaman + 4 halaman daftar pustaka + lampiran.
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Thaun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Informasi didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Simpulan dari penelitian ini bahwa mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 adalah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang mendelegasikan kewenangannya dalam hal pengawasan tersebut kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang telah ditunjuk langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan, agar dapat membantu proses pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro tersebut.
Kata Kunci : Lembaga Keuangan Mikro, Otoritas Jasa Keuangan, Kredit, Pemerintah Daerah.
Pembimbing : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA
v
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa
memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik material dan immaterial,
oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M. beserta seluruh jajaran
dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;
2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum.
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum;
3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku pembimbing skripsi penulis. Terima
kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis;
4. Mama saya yang telah menemani saya saat begadang, Ayah, dan Adik terima
kasih telah memberi bantuan dalam bentuk materiil, doa, dukungan, dan
semuanya terus menerus tanpa lelah;
5. Sahabat-sahabat saya Mustika Nurul Fadhilah, S.Pd yang telah membantu saya
menyelesaikan skripsi ini di detik-detik terakhir saat saya sedang kerepotan
mengumpulkan data, Azlika Meutia Anggraini yang selalu mendukung saya,
Novelita Evelyn yang setia mendukung saya juga, penulis sangat berterima kasih
vi
teman-teman Ilmu Hukum B, teman-teman UIN Jakarta, semuanya. Terima
kasih sekali sudah mau diajak diskusi, diajak pusing, memberi semangat,
direpotkan juga, membantu bermacam-macam. Maaf tidak bisa disebutkan satu
persatu karena banyak teman-teman yang telah membantu dan direpotkan oleh
penulis;
7. Pihak perpustakaan UI dan UIN Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan
buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari
referensi;
8. Penulis artikel, skripsi, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam
proses penulisan;
9. Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu,
menyemangati, dan mendokan penulis.
Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa
semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, Januari 2014
vii
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Kerangka Konseptual ... 6
E. Kajian (Review) Studi Terdahulu ... 9
F. Metode Penelitian ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian ... 16
B. Bentuk-bentuk Pengawasan ... 24
C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro ... 30
D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro ... 33
BAB III FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan ... 38
B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan ... 40
C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan ... 41
viii
A. Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh
Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-undang Nomor 1
tahun 2013 ... 51
B. Sinergi Antara Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ... 54
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan ... 57
D. Analisa ... 62
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
ix
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
1
(Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 2013)
A. Latar Belakang Masalah
Perekonomian adalah suatu hal yang sangat penting dalam suatu
Negara karena perekonomian menjadi tolak ukur kesuksesan suatu Negara dalam
mensejahterakan rakyatnya. Dalam kegiatan perekonomian tersebut sangat
dibutuhkan peran aktif yang baik tidak hanya dari Negara melainkan juga oleh
masyarakat.Peran Negara dalam hal perekonomian untuk mensejahterakan
masyarakat dapat dilakukan baik secara makro ekonomi maupun mikro ekonomi,
seperti menjaga kelancaran sistem keuangan, menjaga sistem moneter,
menyalurkan kredit kepada rakyat seperti KUR, KPR, dan lain sebagainya.
Selain Negara, masyarakat pada umumnya memiliki andil yang
cukup besar pula dalam perekonomian suatu Negara. Tidak jauh berbeda dengan
Negara, andil masyarakat dalam bidang perekonomian dapat mencakup aspek
makro dan mikro ekonomi, seperti mendirikan perusahaan-perusahaan swasta,
membuat lapangan pekerjaan sendiri atau wiraswasta, memberikan pinjaman
bagi masyarakat lain sebagai modal untuk melakukan usaha, dan lain-lain.
Pembahasan mengenai ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan
uang sebagai salah satu bentuk modal. Salah satu cara bagi masyarakat luas
pasal 1 angka 11 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga;
Selama ini kita mengenal beberapa lembaga-lembaga baik
Internasional maupun Nasional untuk memberikan kemudahan bagi Negara
maupun masyarakat dalam memperoleh dana-dana segar demi kelancaran
kegiatan suatu perekonmian. Dalam lingkup Internasional, lembaga tersebut
dapat berupa World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan lain-lain
yang secara aktif memberikan pinjaman-pinjaman bagi negara untuk melakukan
pembangunan agar terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat.
Di dalam negeri, lembaga-lembaga yang juga aktif untuk
memberikan suntikan dana-dana tersebut salah satunya adalah bank dimana
masyarakat yang melakukan peminjaman atas dana-dana tersebut didominasi
oleh para pengusaha dan masyarakat menegah keatas yang telah berorientasi
pada bisnis yang cakupannya skala nasional dan internasional.
Masyarakat dengan perekonomian menegah kebawah acap kali
kurang merasakan manfaat dari keberadaan bank yang memiliki fungsi
intermediasi untuk menyalurkan dana dalam bentuk kredit, mengingat dalam
penyaluran kredit tersebut cukup memiliki persyaratan yang rumit, harus adanya
melahirkan lembaga-lembaga yang dapat menyusur masyarakat dengan
perekonomian menengah kebawah. Lembaga tersebut dikenal sebagai Lembaga
Keuangan Mikro (LKM).
Keberadaan LKM terus berjalan tanpa adanya regulasi yang
mengatur lembaga-lembaga tersebut. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
penipuan-penipuan maupun tindakan kejahatan lain yang dilakukan oleh LKM
sehingga menurut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu dibuat aturan yang
secara khusus mengenai LKM agar dapat memberikan perlindungan baik itu
LKM itu sendiri maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang menggunakan jasa
LKM tersebut. Proses legislasi di DPR untuk menggodok Rancangan
Undang-Undang mengenai LKM hingga akhirnya DPR bersama dengan pemerintah
sepakat untuk mensyahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang No 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro pada hari selasa tanggal 11 Desember
20121.
Dalam pasal 28 Undang-Undang No 1 Tahun 2013 dinyatakan
bahwa LKM akan diatur dan diawasi oleh OJK. Namun dalam ayat (3) pasal 28
tersebut dinyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK didelegasikan
kepada Pemerintah Daerah.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai Pengawasan pada Lembaga Keuangan Mikro
1
dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PENGAWASAN
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OJK (Analisis Undang-Undang No 1
Tahun 2013)”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan lembaga keuangan yang diatur dalam
Undang-Undang LKM ini, maka penelitian ini difokuskan hanya pada
masalah mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas
Jasa Keuangan dan kesesuaian pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2012 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang
telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh
Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013?
b. Apakah terjadi sinergi antara ketentuan pengawasan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 21 Tahun
c. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang
pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro
oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang No 1 tahun 2013.
b. Untuk mengetahui adanya sinergi antara ketentuan pengawasan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga
Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan dibidang hukum lembaga keuangan mikro khususnya di bidang
pengawasan terhadap lembaga keuangan mikro tersebut.
1. Masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan
yang mendukung berjalannya pengawasan pada lembaga keuangan
mikro.
2. Dapat dimanfaatkan oleh para pelaku lembaga keuangan mikro agar
dapat menjalankan lembaga keuangan tersebut dengan baik.
3. Adanya pengawasan yang baik dalam lembaga keuiangan mikro maka
masyarakat yang menggunakan jasa lembaga keuangan mikro dapat
merasakan manfaatnya.
D. KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa
konsep-konsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Kredit
Kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank sebagai
kreditur dengan nasabah sebagai debitur.2
2. Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 adalah lembaga yang independen yang bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
2
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.
3. IMF
International Monetary Fund (IMF) lahir bersamaan dengan kelahiran Bank
Dunia. IMF atau dana keuangan internasional lahir setelah konferensi di
Bretton Woods Amerika Serikat3. Kegiatan IMF diutamakan untuk
membantu negara-negara anggotanya melalui Bank Sentral masing-masing
anggota IMF.4
4. Pemerintah Daerah
Dalam Pasal 18 UUD 1945 dikatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan undang-undang , dengan memandang
dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara,
dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 5
Untuk membentuk susunan pemerintahan daerah-daerah itu, pemerintah
bersama-sama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang dilaksanakan
dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1974.
Undang-undang itu mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintah daerah
3
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet-VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 331
4
Ibid, h. 333 5
otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi
tugas pemerintahan pusat di daerah. Selain itu, diatur juga pokok-pokok
penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas deswentralisasi,
dekonsentrasi, dan asas tugas perbantuan.6
5. Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam
bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan aset nonfinansial
atau set riil.7
6. Pembiayaan
Pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan
uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil.8
7. Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga keuangan mikro atau Micro Finance Institution merupakan
lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada
pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang
tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi
pasar untuk tujuan bisnis.9
6
Ibid, h. 3 7
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h. 5
8
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 92 9Rudjito, “Peran
E. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan penelitian
terhadap studi review terdahulu dimana untuk mendapatkan dan mengetahui
perbedaan penelitian sebelumnya dengan yang penulis lakukan .review studi
pertama yang digunakan adalah skripsi yang berjudul “Pengaruh Pembentukan
Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang
Pengawasan Perbankan” yang disusun oleh Afika Yumya Syahmi, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia Tahun 200810. Skripsi ini membahas mengenai
pentingnya pengawasan perbankan di Indonesia oleh lembaga Otoritas jasa
Keuangan (OJK). Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan memang
seputar mengenai lembaga OJK namun peran dan fungsi pengawasan OJK
tersebut pada lembaga keuangan mikro sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang No 1 Tahun 2013.
Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul “Efektifitas Linkage
Program Bank Syariah Mandiri Dalam Penguatan Pembiayaan Lembaga
Keuangan Mikro” yang disusun oleh Siti Maesaroh, Fakultas Syariah dan
10
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta11. Skripsi ini membahas mengenai
penerapan program linpage untuk meningkatkan laba, asset, modal, dan jumlah
nasabah pada lembaga keuangan mikro selain itu membahas mengenai kinerja
lembaga keuangan mikro baik sebelum dan sesudah menggunakan program
linkage dengan menggunakan perhitungan CAMEL. Yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah pada skripsi
tersebut lebih menekankan pada aspek-aspek ekonomi pada lembaga keuangan
mikro dengan menggunakan program linkpage, sedangkan yang akan dilakukan
penulis melakukan penekanan pada pengawasan lembaga keuangan mikro
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013.
Adapun buku rujukan yang menjadi salah satu bahan studi terdahulu
yaitu Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro oleh Mohammad Iqbal yang
diterbitkan oleh Elex Media dengan tanggal terbit 6 Juni 2006.
F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
11
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.12
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.13
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada
norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan
keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau
juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.14
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu normatif,
maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan
pendekatan historis (historical approach).Pendekatan perundang-undangan
dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif
bagi terselenggaranya pengawasan bagi lembaga keuangan
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.
13 Ibid
14
mikro.Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep tentang
pengawasan lembaga keuangan mikro sehingga diharapkan penormaan
dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang
bermakna ganda.Pendekatan historis dilakukan untuk mengetahui sejarah
pembentukan Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim15. Dalam
penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah
Undang No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,
Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang OJK, Naskah Akademik Pembentukan
Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, dan Naskah Akademik
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.
b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.16
15
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa
buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,
Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum
tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan
peneliti.17
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dari ketiga bahan hukum tersebut, baik bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis
untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan.“Cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi”18.Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis
terhadap bahan hukum agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan mengenai
pengawasalan lembaga keuangan mikro oleh OJK.
17Ibid
. h. 143 18
G. SISTEMATIKA PENELITIAN
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas
beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun
perinciannya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, memuat: Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kajian (Review) Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Kerangka Teoritis, pada bab ini akan diuraikan mengenai
Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian, Bentuk-bentuk
Pengawasan, Pengertian Lembaga Keuangan Mikro, Asas dan
Tujuan Lembaga Keuangan Mikro.
BAB III Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaga
Keuangan Mikro. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejarah
OJK, Pengertian OJK, Tujuan dan Fungsi OJK, Tugas dan
Wewenang OJK, Dewan Komisioner OJK.
BAB IV Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh OJK. Dalam bab ini
akan dibahas mengenai Mekanisme pengawasan LKM oleh OJK
menurut UU No 1 Tahun 2013, Kesinergian antara ketentuan
dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab
terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik
beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis
16 A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian
Dalam Kamus Bahasa Indonesia istilah pengawasan berasal dari kata
awas yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan
cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan
berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi 1. Dari definisi
tersebut dapat diartikan bahwa hasil dari suatu pengawasan harus sesuai
berdasarkan kenyataan yang terjadi dari apa yang telah diawasi.
Sebagai bahan perbandingan, penulis mengambil beberapa pendapat
menurut para sarjana di bawah ini diantaranya menurut Prayudi, pengawasan
adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan,
dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki,
direncanakan atau diperhatikan2. Dilain pihak Sarwoto mengatakan, pengawasan
adalah kegiatan manager yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan
terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki3.
Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur
pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat
1
Sarwoto. Dasar-dasar Organisasi Dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.93 2
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.80 3
mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan4. M.
Manullang pun mengatakan bahwa pengawasan adalah suatu proses untuk
menetapkan suatu pekerjaan yang sudah dilaksanakan, menilainya dan
mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai
dengan rencana semula5. Menurut Harold Koonz, dkk, yang dikutip oleh John
Salindeho juga mengatakan bahwa pengawasan adalah pengukuran dan
pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin bahwa apa yang
terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi pengawasan itu mengukur pelaksanaan
dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatkan dimana ada
penyimpangan yang negatif dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya
rencana-rencana.6
Pengawasan menurut Sondang P. Siagian yaitu proses pengamatan dari
pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan7.
Menurut Terry dalam buku Sujanto menyatakan pengawasan adalah untuk
menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan
mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar
4
Saiful Anwar. (Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press : Jakarta,2004) , h.127
5
M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.18 6
John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen. (Sinar Grafika : Jakarta, 1998), h.39 7
hasilnya sesuai dengan rencana8. Menurut Dale dalam buku Winardi mengatakan
bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan
hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan
meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang
direncanakan9. Sedangkan menurut Winardi sendiri, pengawasan adalah semua
aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa
hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan.10 Sedangkan menurut Basu
Swastha, pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa
kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan.11
Menurut Komaruddin, pengawasan adalah berhubungan dengan
perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal untuk langkah perbaikan
terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti.12
Lebih lanjut menurut Kadarman, pengawasan adalah suatu upaya yang
sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang
sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan
standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu
penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang
8
Sujanto, Op.Cit, h.17 9
Winardi, Kepemimpinan Dalam Manajemen. (Rineka Cipta, Jakarta : 2000), h.224 10Ibid
, h.585 11
Kadarman, A.M dan Udaya, Jusuf. Pengantar Ilmu Manajemen. ( PT. Prenhallindo : Jakarta, 2001), h.159
12
diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah
digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.13
Menurut Semito, pengawasan (controlling) adalah usaha untuk dapat
mencegah kemungkinan-kemungkinan penyimpangan daripada rencana-rencana,
instruksi-instruksi, saran-saran dan sebagainya yang telah ditetapkan14. Di lain
pihak menurut Fayol dalam buku Sofyan Harahap mengemukakan bahwa
pengawasan adalah upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan
rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut.
Juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan agar dihindari
kejadiannya di kemudian hari15. Lebih luas lagi pengertian pengawasan
dikemukakan Situmorang dan Jusuf yang mengemukakan bahwa dikalangan ahli
atau sarjana telah disamakan pengertian controlling ini dengan pengawasan. Jadi
pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata
“kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki
kegiatan yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar. Kenyataan
dalam praktek sehari-hari bahwa isitilah controlling itu sama dengan istilah
pengawasan dan istilah pengawasan inipun telah mengandung pengertian luas,
yakni tidak hanya sifat melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil
kegiatan mengawasi tadi tetapi juga mengandung pengendalian dalam arti
13
Bayu Swastha. Azas-Azas Marketing. (Edisi 3, Liberty : Yogyakarta, 1996), h.216 14
A.N Semito. Manajemen Personalia. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1984), h.17 15
menggerakkan, memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang
sesuai dengan apa yang direncanakan.16
Pengawasan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha sistematis dalam
manajemen bisnis untuk membandingkan kinerja standar, rencana, atau tujuan
yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah kinerja sejalan
dengan standar tersebut dan untuk mengambil tindakan penyembuhan yang
diperlukan untuk melihat bahwa sumber daya manusia digunakan dengan
seefektif dan seefisien mungkin didalam mencapai tujuan.
Dari definisi-definisi para sarjana yang telah disebutkan diatas, dapat
diambil kesimpulan bahwa pengawasan adalah suatu upaya untuk mengawasi,
mengendalikan, dan menjaga suatu proses kinerja agar tetap berjalan sesuai
rencana semula dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan adanya
pengawasan maka kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghambat suatu
proses kinerja dapat dihindari dan apabila terlanjur terjadi maka dapat diberikan
solusi untuk memperbaikinya agar proses kinerja tersebut dapat kembali berjalan
sesuai dengan rencana semula.
Adapun maksud dari pengawasan yaitu untuk mencegah atau untuk
memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, dan lainnya yang tidak
sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Karena pada dasarnya
16
maksud pengawasan bukan untuk mencari kesalahan terhadap orangnya, tetapi
mencari kebenaran terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan dengan tujuan agar hasil
pelaksanaan pekerjaan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif)
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Mc. Farland, pengawasan harus berpedoman terhadap hal-hal
berikut:17
1). Rencana (planning) yang telah ditentukan.
2). Perintah (orders) terhadap pelaksanaan pekerjaan (performance).
3). Tujuan.
4). Kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengawasan pun memiliki beberapa tugas/fungsi sebagai berikut: 18
a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi
tugas dan wewenang dalam pelaksanaan pekerjaan.
b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan.
c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kelalaian, dan
kelemahan, agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.
17
Maringan Masry Simbolon. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 2004), h.61.
d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan
pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.
Disamping itu kita pun harus mengetahui prinsip-prinsip dari pengawasan yaitu:19
1. Pengawasan berorientasi kepada tujuan organisasi.
2. Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi.
3. Pengawasan harus berorientasi terhadap kebenaran menurut
peraturan-peraturan yang berlaku (wetmatigheid), berorientasi terhadap kebenaran atas
prosedur yang telah ditetapkan (rechmatigheid), dan berorientasi terhadap
tujuan (manfaat) dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatigheid).
4. Pengawasan harus menjamin daya dan hasil guna pekerjaan.
5. Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif, teliti (accurate),
dan tepat.
6. Pengawasan harus bersifat terus-menerus (continue).
7. Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik (feed back) terhadap
perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan, perencanaan dan
kebijaksanaan waktu yang akan datang.
Pendelegasian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pemberian
wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain. Kegiatan seseorang untuk
19Ibid
menugaskan stafnya/bawahannya untuk melaksanakan bagian dari tugas manajer
yang bersangkutan dan pada waktu bersamaan memberikan kekuasaan kepada
staf/bawahan tersebut, sehingga bawahan itu dapat melaksanakan tugas-tugas itu
sebaik baiknya serta dapat mempertanggung jawabkan hal hal yang didelegasikan
kepadanya. 20
Adapun menurut Sujak dalam bukunya yaitu Pendelegasian merupakan proses
penugasan, wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan21. Robert Heller
mendefinisikan pendelegasian sebagai mempercayakan pekerjaan pada orang lain
akan tetapi tanggung jawab atas pekerjaan atau pekerjaan tersebut masih berada di
tangan pendelegasi. Tony Atherton mendefinisikan pendelegasian pekerjaan
sebagai mempercayakan wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan yang didefinisikan dengan jelas, dan disetujui di
bawah pengawasan pendelegasi sambil tetap memegang seluruh tanggung jawab
atas keberhasilan pekerjaan atau pekerjaan itu. Dari uraian tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa :
Pendelegasian ialah proses terorganisir dalam kerangka hidup
organisasi/keorganisasian untuk secara langsung melibatkan sebanyak mungkin
orang dan pribadi dalam pembuatan keputusan, pengarahan, dan pengerjaan kerja
yang berkaitan dengan pemastian tugas. Pendelegasian ialah tindakan
20
M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.10 21
memercayakan tugas (yang pasti dan jelas), kewenangan, hak, tanggung jawab,
kewajiban, dan pertanggungjawaban kepada bawahan secara individu dalam
setiap posisi tugas. Pendelegasian dilakukan dengan cara membagi tugas,
kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, serta pertanggungjawaban, yang
ditetapkan dalam suatu penjabaran/deskripsi tugas formil dalam organisasi.22
B. Bentuk-bentuk Pengawasan
a. Pengawasan dari Dalam Organisasi (Internal Control)
Pengawasan dari dalam, berarti pengawasan yang dilakukan oleh
aparat/unit pengawasan yang dibentuk dalam organisasi itu sendiri.
Aparat/unit pengawasan ini bertindak atas nama pimpinan orgsanisasi.
Aparat/unit pengawasan ini bertugas mengumpulkan segala data dan
informasi yang diperlukan oleh organisasi. 23
Data-data tersebut yang sudah terkumpul akan digunakan oleh
pimpinan untuk menilai kemajuan dan kemunduran dalam pelaksanaan
pekerjaan. Keputusan-keputusan dari hasil pengawasan yang sudah
dikeluarkan oleh pimpinan dapat digunakan dalam nilai kebijaksanaan
pimpinan. Maka itu terkadang pimpinan perlu meninjau kembali
keputusan-keputusan tersebut yang sudah dikeluarkan. Pimpinan pun dapat melakukan
22
agus-krisdianto.weebly.com diakses pada tanggal 25 Januari 2014 23
tindakan-tindakan perbaikan (korektif) terhadap pelaksanaan pekerjaan yang
dilakukan oleh bawahannya.
b. Pengawasan Dari Luar Organisasi (External Control)
Pengawasan eksternal (external control) berarti pengawasan yang
dilakukan oleh aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu. Aparat/unit
pengawasan dari luar organisasi itu adalah pengawasan yang bertindak atasn
nama atasan pimpinan organisasi itu, atau bertindak atas nama pimpinan
organisasi itu karena permintaannya, misalnya pengawasan yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara. Terhadap suatu
departemen, aparat pengawasan ini bertindak atas nama pemerintah/presiden
melalui menteri keuangan. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan, ialah pemeriksaan/pengawasan yang bertindak
atas nama negara Republik Indonesia. 24
Pimpinan organisasi pun dapat meminta bantuan dari pihak luar
organisasinya untuk melakukan pengawasan tersebut dengan maksud-maksud
tertentu seperti untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar,
mengetahui jumlah keuntungan, mengetahui efisiensi kerjanya, dan
sebagainya. Pihak luar organisasi tersebut misalnya, akuntan swasta,
perusahaan konsultan, dan lain sebagainya.
24Ibid
c. Pengawasan Preventif
Arti dari pengawasan preventif ialah pengawasan yang dilakukan
sebelum rencana itu dilaksanakan. Maksud dari pengawasan preventif ini
ialah untuk mencegah terjadinya kekeliruan/kesalahan dalam pelaksanaan.
Dalam sistem pemeriksaan anggaran pengawasan preventif ini disebut
preaudit. Adapun dalam pengawasan preventif ini dapat dilakukan hal-hal
berikut.25
a. Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan sistem
prosedur, hubungan, dan tata kerjanya.
b. Membuat pedoman/manual sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan.
c. Menentukan kedudukan, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
d. Mengorganisasikan segala macam kegiatan, penempatan pegawai dan
pembagian pekerjaannya.
e. Menentukan sistem koordinasi, pelaporan, dan pemeriksaan.
f. Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang menyimpang dari
peraturan yang telah ditetapkan.
25Ibid
d. Pengawasan Represif
Arti dari pengawasan represif ialah pengawasan yang dilakukan
setelah adanya pelaksanaan pekerjaan. Maksud diadakannya pengawasan
represif ialah untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan pekerjaan agar
hasilnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam sistem
pemeriksaan anggaran, pengawasan represif ini disebut post-audit. Adapun
pengawasan represif ini dapat menggunakan sistem-sistem pengawasan
sebagai berikut.
1) Sistem Komperatif
a) Mempelajari laporan-laporan kemajuan (progress report) dari
pelaksanaan pekerjaan, dibandingkan dengan jadwal rencana atau
pelaksanaan.
b) Membandingkan laporan-laporan hasil pelaksanaan pekerjaan dengan
rencana yang telah diputuskan sebelumnya.
c) Mengadakan analisis terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk
faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk
para penanggung jawabnya.
e) Mengambil keputusan tata usaha perbaikannya atau
2) Sistem Verivikatif
a) Menentukan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan prosedur
pemeriksaan.
b) Pemeriksaan tersebut harus dibuat laporan secara periodik atau secara
khusus.
c) Mempelajari laporan untuk mengetahui perkembangan dari hasil
pelaksanaannya.
d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk
para penanggung jawabnya.
e) Mengambil keputusan tata usaha perbaikannya atau
penyempurnaannya.
3) Sistem Inspeksi
Inspeksi dimaksudkan untuk mengecek kebenaran dari suatu laporan yang
dibuat oleh para petugas pelaksanaannya. Dalam pemeriksaan di tempat
(on the spot inspection), instruksi-instruksi diberikan dalam rangka
perbaikan dan penyempurnaan pekerjaan. Inspeksi dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan terhadap kebijaksanaan pimpinan.
Penjelasan-penjelasan ini merupakan kontak pribadi antara pimpinan/wakil
menimbulkan rasa kesetiakawanan (jiwa korps), rasa solidaritas, dan
ketinggian moral.
Untuk menjamin hasil yang objektif dalam inspeksi ini, kadang-kadang
diperlukan penggantian jabatan (tour of duty) dalam periode tertentu.
Penggantian jabatan ini dimaksudkan pula untuk lebih menyegarkan
tugas-tugas inspeksi, karena tugas-tugas-tugas-tugas tersebut kecuali membosankan juga
menjemukan.
4) Sistem Investigatif
Sistem ini lebih menitikberatkan terhadap penyelidikan/penelitian yang
lebih mendalam terhadap suatu masalah yang bersifat negatif.
Penyelidikan/penelitian ini didasarkan atas suatu laporan yang masih
bersifat hipotesis (anggapan). Laporan tersebut mungkin benar dan mudah
salah. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih mendalam untuk dapat
mengungkapkan hipotesis tersebut.26
Agar dapat memperoleh jawaban tersebut (yang benar) diperlukan
pengumpulan data, menganalisis data atau mengolah data, dan penelitian
atas data tersebut. Berdasarkan atas hasil penelitian/penyelidikan tersebut,
kemudian segera diambil keputusannya. Yang perlu diperhatikan di sini
26Ibid
adalah validitas data tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Data-data
tersebut pun harus diperoleh dengan penuh ketelitian.
C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro
Pengertian Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 1 angka (1) yakni:
“Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah
lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan
usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan
dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan,
maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata
mencari keuntungan”.
Pengertian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Menurut Microcredit
Summit (1997) dalam buku Ashari, mengemukakan definisi kredit mikro yaitu
“Programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that
generate income, allowing them to care for themselves and their families” atau
“Program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk
membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan
keluarganya27. Sementara menurut Paket Kebijaksanaan (1993) dalam buku Totok
Budisantoso menyatakan bahwa “Kredit untuk usaha kecil adalah kredit yang
diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit maksimum 250 juta
untuk membiayai usaha produktif”.28
“Sedangkan pengertian kredit untuk usaha mikro adalah “Kredit yang
diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit sampai dengan 25
juta”. Meskipun terdapat perbedaan, tapi kedua pernyataan di atas mempunyai
persamaan bahwa kredit mikro diberikan bagi pengusaha kecil dan mikro dengan
plafon kredit yang berbeda untuk membiayai kegiatan usaha yang produktif.
Usaha dikatakan produktif apabila usaha tersebut dapat memberikan nilai tambah
dalam menghasilkan barang dan jasa serta pendapatan mereka. Kredit mikro ini
disalurkan melalui lembaga keuangan yang umumnya disebut dengan Lembaga
Keuangan Mikro (LKM). Mandala Manurung dan Prathama Rahardja
menyatakan bahwa “Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan yang
memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin
serta para pengusaha kecil”.29
27
Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dan Kebijakan Pengembangannya. Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Volume 4 No.2, Juni 2006:h.146
28
Totok Budisantoso dan Triandaru Sigit. 2006. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta:Salemba Empat, h.121
29
Sementara itu menurut ahli lain, “Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan
sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi
sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan”.30
Menurut Direktorat Pembiayaan, Deptan (2004) dinyatakan bahwa
“Lembaga Keuangan Mikro dikembangkan berdasarkan semangat untuk
membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin baik untuk kegiatan konsumtif
maupun produktif keluarga miskin tersebut”31
. Menurut Krishnamurti (2005),
walaupun terdapat banyak definisi keuangan mikro, namun secara umum terdapat
tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan
beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman
masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan
sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan,
pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat
miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk
melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada
sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan
prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan
konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan
30
Sutanto Hadinoto, Joko Retnadi. Kredit Mikro, Kunci Sukses Kredit Mikro. (PT Gramedia : Jakarta,2005), h.72
31
mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual
dan fleksibel.32
D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro
Asas-asas Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 2 yaitu:
LKM berasaskan:
a. Keadilan;
b. Kebersamaan;
c. Kemandirian;
d. Kemudahan;
e. Keterbukaan;
f. Pemerataan;
g. Keberlanjutan; dan
h. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
32
Penjelasan asas-asas tersebut diatas:
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan
kesempatan yang sama kepada masyarakat, terutama masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pelayanan
dari LKM.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu
kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan
bersama.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu
kegiatan yang dilakukan tanpa banyak bergantung kepada pihak lain,
baik dari aspek sumber daya manusia maupun permodalan.
Yang dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa
prosedur pembiayaan dan penyimpanan dana dalam LKM dibuat
seserdahana mungkin.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu
kegiatan usaha yang proses pengelolaannya dapat diketahui oleh
masyarakat.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah pemberian
Pinjaman atau Pembiayaan yang menjangkau seluruh masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan” adalah suatu kegiatan pemberdayaan sekaligus
mendayagunakan usaha dan layanan keuangan mikro untuk
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.33
33
Sedangkan tujuan Lembaga Keuangan Mikro menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
Pasal 3 yaitu:
LKM bertujuan untuk:
a. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;
Dengan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat maka
masyarakat yang menbutuhkan pembiayaan untuk usaha mikronya
diharapkan dapat berjalan dengan baik.
b. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas
masyarakat;
Tujuan ini dapat mengurangi banyaknya pengangguran yang
merajalela di masyarakat. Masyarakat dapat membuka usaha
bahkan menciptakan lapangan kerja dari usaha kecil mereka
tersebut.
c. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
Dengan berjalannya usaha mikro yang mereka bangun, maka
pendapatan masyarakat miskin diharapkan lebih meningkat supaya
38 A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan
Awal mula tercetus pemikiran tentang lahirnya lembaga otoritas jasa
keuangan adalah berkaca dari pengalaman krisis moneter yang terjadi pada
1997, krisis finansial global 2008, dan krisis yang menimpa zona Euro 2010,
industri keuangan diprediksi akan mengalami kondisi sangat buruk. Kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter dibutuhkan untuk menyelamatkan
perekonomian. Besar kemungkinan krisis keuangan mengancam Indonesia.1
Pada akhir 2011, sebagai upaya reformasi sektor keuangan,
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mendirikan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian pada 22 November 2012,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disahkan.
Lembaga yang disebut independen ini akan berfungsi mulai 31 Desember
2012 dimana menggantikan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan yang
selama ini dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas
Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).2
1
Hamud M. Balfas. ( Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: PT.Tatanusa, 2012). h.7 2Ibid.,
Kemudian di akhir tahun 2013, giliran fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia (BI) juga akan
dialihkan ke OJK.
Posisinya, OJK akan tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas
Sektor Keuangan (FKSSK) bersama Kementerian Keuangan, BI dan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). FKSSK merupakan protokol koordinasi untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan.setelah diundangkannya undang-undang
no.21 tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan (UU-OJK) terdapat
perubahan besar terhadap landskap industri keuangan di Indonesia, hal ini
karena berdasarkan UU-OJK pengaturan serta pengawasan industri jasa
keuangan di Indonesia yang termasuk didalamnya pasar modal, perbankan
dan lembaga keuangan mikro akan diawasi oleh lembaga otoritas jasa
keuangan.3
Berdasarkan peraturan peralihan UU-OJK pasal 55 menyatakan bahwa
sejak tanggal 31 Desember 2012 tugas, fungsi, dan kewenangan pengaturan
dan pengawasan kegiatan keuangan di sektor pasar modal dan jasa keuangan
non bank seperti perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari menteri keuangan dan badan
pengawas pasar modal (BAPEPAM) dan lembaga keuangan (LK) ke otoritas
jasa keuangan (OJK). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi kewenangan
3
Bank Indonesia dalam pengaturan serta pengawasan jasa keuangan di bidang
perbankan.4
B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurut Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 angka (1) yaitu:
“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.5
Dengan berlakunya undang-undang tersebut segala tugas sebagai regulator
dan pengawas di sektor keuangan di ambil alih oleh lembaga otoritas jasa keuangan
yang menggantikan kedudukan BAPEPAM-LK di sektor pasar modal dan bank
Indonesia di sektor perbankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 undang-undang
ini “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan“. Sebagai
lembaga yang mempunyai kewenangan pengaturan di sektor keuangan. Secara
kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai
bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah.
Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah
4
Ibid., h.7
5
karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa
keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam
hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan
keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan
Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi
kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. 6
C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan:
a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, dan
c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
OJK mempunyai tujuan yang sangat strategis dalam memastikan adanya
transparansi, stabilitas serta dapat memberikan perlindungan kepentingan kepada
konsumen dan masyarakat dalam industri jasa keuangan7. Dengan tujuan
pembentukannya hal yang menjadi harapan dari masyarakat adalah menyangkut
6
Ibid., h.8
7
perlindungan konsumen dan masyarakat terkait transparansi dan stabilitas di sektor
industri keuangan yang walaupun sebelumnya telah dijalankan dengan baik oleh
BAPEPAM-LK. Karena perlindungan konsumen dalam industri jasa keuangan
adalah salah satu hal yang sangat penting mengingat jasa keuangan bukan saja
menyangkut hal kekayaan milik investor saja melainkan banyaknya jenis-jenis
transaksi yang sangat rumit dan dalam banyak hal tidak dipahami oleh investor yang
berinvestasi dalam jasa keuangan yang ditawakan. Selain itu di sektor keuangan juga
rawan berpotensi terjadinya kejahatan yang dapat merugikan masyarakat secara luas
dan pelakunya dapat membawa hasil kejahatan dengan cara yang sangat cepat. Selain
itu Otoritas Jasa Keuangan juga dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan
jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor
jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain
itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber
daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan,
dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.
Selain itu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK melaksanakan tugas pengaturan
a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan
b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Dengan adanya pasal tersebut mengartikan dengan jelas bahwa segala bentuk
pengaturan dan pengawasan di sektor industri keuangan akan dilimpahkan kepada
lembaga otoritas jasa keuangan selaku regulator di sektor industri jasa keuangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan
Tugas Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013
tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 6 yaitu:
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Sedangkan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,
merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;
dan
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank;
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. sistem informasi debitur;
4. pengujian kredit (credit testing); dan
5. standar akuntansi bank;
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1. manajemen risiko;
2. tata kelola bank;
3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang; dan
d. pemeriksaan bank.
Diterangkan pula dalam Pasal 8 bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap
Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada
Lembaga Jasa Keuangan;
h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Lalu dalam Pasal 9 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan
sebagaimana dimkasud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen,
dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau
penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak
tertentu;
e. melakukan penunjukkan pengelola statuter;
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. memberikan dan/atau mencabut:
1. izin usaha;
2. izin orang perseorangan
3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. surat tanda terdaftar;
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. pengesahan;
7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan
asas-asas sebagai berikut:
1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;8
2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;9
3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;10
4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;11
5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan
pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;12
8
Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8 9
Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8 10Ibid
.,. h.8 11Ibid
., h.8 12Ibid
6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral
dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas
Jasa Keuangan; dan
7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.13
E. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 10 yaitu:
(1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.
(2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif
dan kolegial.
(3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri
atas:
a. seorang Ketua merangkap anggota;
b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
merangkap anggota;
f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan
Konsumen;
h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan
anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang
merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
(5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
memiliki hak suara yang sama.
Berikut adalah anggota-anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yaitu:
1. Muliaman D. Hadad, PhD
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
2. DR. Rahmat Waluyanto, MBA
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Ketua
Komite Etik
3. Nelson Tampubolon, SE, MSM
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala