BAB IV: KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA
C. Tugas dan Wewenang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, fungsi, tugas dan kewenangan (PPATK) diperluas. PPATK saat ini bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kewenangan PPATK juga diperluas, antara lain dengan ditambahkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang terindikasi tindak pidana pencucian uang. Kewenangan PPATK diatur dalam pasal 39 sampai dengan pasal 46 Undang-Undang 8 Tahun 2010, sedangkan fungsi PPATK diatur pada pasal Pasal 40 yang berbunyi sebagai berikut :
a) Pencegahan dan pemberantasan tidak pidana pencucian uang b) Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK c) Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor dan,
d) Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain
24 Sudiharsa,Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang,tulisan dalam
http://sudiharsa.wordpress.com/2007/06/20/penanganan‐tindak‐pidana‐pencucian‐uang‐di‐
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 UU PPTPPU tersebut, PPATK mempunyai wewenang sebagaimana yang diuraikan dibawah ini :
1. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
2. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; 3. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang
dengan instansi terkait;
4. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang;
5. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
6. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
(2) Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peran PPATK Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 2010 mengenai Kedudukan terdapat dalam Pasal 37 dan Pasal 38 yaitu:
1) PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun.
2) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
3) Setiap Orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
4) PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
Pasal 38
1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2) Dalam hal diperlukan, perwakilan PPATK dapat dibuka di daerah.
Undang – Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan perluasan terhadap fungsi dan kewenangan PPATK.
Perluasan kewenangan PPATK tersebut, antara lain adalah dengan ditambahkannya kewenangan PPATK untuk melakukan penghentian sementara transaksi keuangan yang mencurigakan selama 5 hari dan dapat diperpanjang selama 15 hari sebagaimana yang diuraikan pada Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang No 8 tahun 2010, disamping melakukan pemeriksaan terhadap laporan dan informasi transaksi keuangan yang terindikasi tindak pidana pencucian uang. Perluasan peran dan kewenangan PPATK dalam Undang -Undang No 8 tahun 2010 dibanding Undang-Undang yang lama adalah merupakan langkah yang diambil untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dapat mengancam stabilitas perekonomian dan integritas system keuangan. Pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektifitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengambilan harta kekayaan hasil tindak pidana.25
Menurut Pasal 3 Undang-Undang No 8 tahun 2010, setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika, seperti termuat dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang yang sama. Pembukaan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.Peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang yang berlaku sekarang ini sudah sesuai dengan standar internasional. Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang ini telah disusun secara tegas untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah lembaga intelijen di bidang keuangan yang berperan sebagai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (money laundering) di Indonesia. Di dunia internasional, lembaga semacam PPATK dikenal dengan nama generik Financial Intelligence Unit (FIU). PPATK sebagai FIU di Indonesia memiliki bentuk administratif model, dan merupakan lembaga independen yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Model administratif ini lebih banyak berperan sebagai perantara antara masyarakat atau penyedia jasa keuangan (bank dan non-bank) dengan institusi penegak hukum. Laporan transaksi keuangan yang dilaporkan penyedia jasa keuangan itu terlebih dahulu dianalisis oleh PPATK dan baru kemudian hasil analisisnya dilaporkan kepada penegak hukum, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.26
Peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang masih memiliki keterbatasan dalam upaya pendeteksian tindak pidana pencucian uang, sehingga dapat membuka peluang bagi pelaku tindak pidana. Peran PPATK yang berfungsi sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) di Indonesia juga memiliki tugas dan kewenangan khusus serta sumber daya manusia yang dimiliki. Pasal 26 UU PTPPU menetapkan bahwa tugas pokok PPATK yaitu:
1. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;
2. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;
3. membuat pedoman mengenai tatacara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;
4. memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini;
5. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
6. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
7. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
8. membuat dan memberikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa keuangan; dan
9. memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini. Sedangkan kewenangan PPATK berdasarkan Pasal 27 UU PTPPU adalah:
a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa keuangan;
b. meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum;
c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; dan
d. memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b. Langkah-langkah nyata yang telah dilakukan oleh PPATK dalam upaya mengimplementasikan Undang-Undang TPPU adalah dengan menerbitkan serangkaian ketentuan pelaksanaannya sehingga Undang-undang dimaksud dapat dioperasionalkan sebaik mungkin oleh PJK.
Perlu dicatat bahwa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh PJK hanyalah berupa informasi transaksi keuangan suatu
nasabah yang dinilai tidak wajar (di luar kebiasaan/profilnya) yang terjadi di suatu Penyedia Jasa Keuangan dan bukan merupakan laporan transaksi keuangan yang berindikasikan suatu tindak pidana. Penyedia Jasa Keuangan hanya bertugas adanya ketidakwajaran transaksi keuangan dan tidak melakukan investigasi. Hasil analisis PPATK yang disampaikan kepada pihak penyidik adalah berupa informasi intelijen keuangan yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti suatu dugaan tindak pidana. Informasi intelijen keuangan tersebut dihasilkan oleh PPATK setelah sebelumnya dilakukan analisis terhadap informasi Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Tunai yang disampaikan oleh PJK serta informasi Laporan Pembawaan Uang Tunai dari Ditjen Bea dan Cukai. Selain laporan tersebut, untuk lebih memperkuat hasil analisisnya PPATK dapat meminta informasi tambahan dari instansi lain yang terkait seperti pihak regulator, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan FIU negara lain. Dengan kata lain hasil analisis yang disampaikan PPATK kepada pihak penyidik merupakan informasi yang sudah memiliki nilai tambah (value added). Perlu ditambah bahwa laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dari PJK dan hasil analisis PPATK tersebut bersifat sangat rahasia dan kedua dokumen tersebut bukan merupakan dokumen alat bukti yang dapat digunakan dalam sidang pengadilan.
Proses intelijen tersebut di atas dapat pula diterapkan dalam membantu penanganan kasus-kasus tindak pidana pencucian uang. Adapun tahap-tahapan proses intelijen dalam penanganan laporan transaksi keuangan yang disampaikan PJK kepada PPATK:
1. Data evaluation dalam melakukan kegiatan analisis, sumber inforrnasi yang benar-benar terpercaya (reliability) dan informasi yang valid adalah dua hal penting yang harus tersedia. Untuk itu, diperlukan adanya evaluasi atas semua informasi yang dimiliki dalam rangka menyaring data/informasi yang tidak relevan dan tidak berkualitas. Dengan demikian proses analisis akan dapat dilakukan dengan lebih baik dan pada gilirannya dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang relatif tepat.
2. Collation Semua informasi yang didapat dari kegiatan collection perlu disimpan secara aman dan rapi. Informasi yang perlu disimpan hanyalah informasi yang memang benar-benar relevan dan diperlukan, sedangkan informasi yang tidak relevan dan tidak benar harus dihilangkan. Guna memudahkan pencarian terhadap informasi yang telah disimpan.
3. Proses analisis ini, apabila informasi yang mendukung kerja analisis dinilai masih kurang maka diperlukan adanya tambahan informasi/data sebagaimana yang dilakuakan dalam tahap collection di atas. Hasil akhir dari kegiatan analisis dapat berupa suatu kesimpulan, ramalan atau perkiraan. Ketika melakukan kerja analisis atas suatu LTKM, petugas analisis dapat mencari informasi lain yang terkait dengan laporan tersebut pada data base yang dimiliki PPATK. Apabila tidak ditemukan informasi lain dalam data base maka analis PPATK dapat mencari informasi lain dari berbagai sumber seperti yang dilakukan dalam tahap collection di atas.
4. Reevaluation Tahapan ini merupakan proses review yang dilakukan secara berkesinambungan atas seluruh proses intelijen yang dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi setiap kelemahan/kekurangan yang ada dalam setiap tahapan proses intelijen. Dengan demikian kelemahan yang ada tersebut dapat segera ditanggulangi.
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan ketentuan tindak pidana pencucian uang (UU TPPU) dalam upaya mencegah dan membrantas extra ordinary crime seperti antara lain korupsi, kejahatan pajak, pembalakan liar, dan perdagangan narkoba yaitu:
1. Dari laporan-laporan yang diterima oleh PPATK seperti LTKM, LTKT dan LPUT, akan sangat membantu penegak hukum dalam mendeteksi upaya para koruptor untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang atau harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana korupsi pada sistem keuangan atau perbankan. Hal ini karena laporan-laporan tersebut disertai dengan informasi lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan analisis bagi PPATK.
2. Pasal 39 sampai 43 Undang-Undang TPPU memberikan perlindungan bagi saksi dan pelapor terkait tindak pidana pencucian uang pada setiap tahap pemeriksaan, penyidikan, penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong masyarakat untuk menjadi saksi atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal tersebut mengakibatkan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang bisa menjadi lebih efektif. Perlindungan ini antara lain
berupa kewajiban merahasiakan identitas saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi pihak yang membocorkan dan perlindungan
3. Adanya asas pembuktian terbalik, yaitu terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal 35 UU TPPU). Sementara itu, Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang No. 31, Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Untuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya (Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 37 A ayat (3). Selanjutnya terdakwa wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana (Pasal 38B);
4. Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU). Sementara itu, dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum
segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada pengacara negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya;
5. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang TPPU setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana (tindak pidana pencucian uang "pasif"). Ketentuan ini sangat membantu dalam mencegah penyebarluasan hasil korupsi dan sekaligus mempermu-dah pengejaran dan penyitaan harta hasil korupsi yang berada pada pihak lain;
6. PPATK dapat dimanfaatkan untuk memperoleh ketera-ngan atau informasi intelijen di bidang keuangan dari FIU negara lain dalam rangka penanganan perkara tindak pidana pencucian uang.
Di samping ketentuan yang telah diuraikan di atas, Pasal 30 sampai dengan 38 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang secara khusus telah mengatur proses hukum tindak pidana pencucian uang mulai dari tahapan penyidikan, penuntutan hinga ke tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses hukum) tersebut sengaja dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana baru yang memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini tercermin dari ketentuan mengenai pemblokiran harta
kekayaan, permintaan keterangan atas harta kekayaan, penyitaan, alat bukti dan tata cara proses di pengadilan yang dapat diuraikan dengan ringkas sebagai berikut:
Pemblokiran Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang tidak mengenal pemblokiran rekening, yang diatur dalam Undang-Undang TPPU adalah harta kekayaan, oleh karena itu yang dapat diblokir oleh penyidik, penuntut umum atau hakim adalah harta kekayaan dan bukan rekening (vide Pasal 32 UU TPPU). Nilai atau besarnya harta kekayaan yang diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau penghasilan lain yang didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan dalam klausula Berita Acara Pemblokiran.
Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana. Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening, melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening tersebut tidak boleh berkurang. Jumlah dana yang ada pada rekening untuk sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/Penuntut Umum/Hakim dalam surat perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan mengenai "kepastian jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir, masih dalam proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan kemudian."
Mengenai tata caranya, perintah pemblokiran dibuat secara tertulis dan jelas dengan menyebutkan point-point yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tembusan ke PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diduga dilanggar. Tembusan perlu juga dikirim ke Bank Indonesia apabila predicate crime-nya tindak pidana di bidang perbankan.
Permintaan Keterangan (Membuka Rahasia Bank). Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta keterangan dan Penyedia Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan permohonan dari Kapolri/Jaksa Agung/Ketua Mahkamah Agung untuk meminta izin dari Gubernur BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi, menurut Undang-Undang No, 31 Tahun 1999, tetap diperlukan permohonan dari Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan seorang tersangka korupsi (Pasal 29), Dengan demikian, ketentuan dalam Undang-Undang TPPU dapat mempercepat upaya untuk memperoleh barang bukti dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi. Pasal 33 Undang-Undang TPPU menjelaskan kriteria para pihak yang dapat dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku ketentuan rahasia bank yaitu:
1. pihak yang telah dilaporkan oleh PPATK; 2. tersangka; dan
Di luar tiga kategori tersebut di atas, tidak bisa dimintakan kepada bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali menggunakan mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan instansi kepada Gubernur Bank Indonesia.
D. Bentuk Kerjasama Internasional antara Penyidik dengan Lembaga