BAB III KAJIAN TEORITIS KONSEP TEOLOGI ISLAM
D. Kajian Teologi Islam
1. Tuhan
Permasalahan yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para teolog Islam dari berbagai aliran adalah masalah yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah. Masalah tersebut antara lain Allah mempunyai sifat atau tidak, sebab di dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Allah mempunyai beberapa nama, tetapi tidak ada satu ayat pun yang secara tegas bahwa Allah memiliki beberapa sifat.148 Menurut Ibn azm, penjelasan tersebut juga tidak
148
Penjelasan tentang adanya nama Allah terdapat dalam QS. h [20]: 8, al-A‟r f [7]: 180, al-Isr ‟ [17]: 110, al-Hasyr [59]: 24), az-Zumar [39]: 38. dan Hadis Nabi, bahwasannya
terdapat, baik dalam Hadis Rasulullah Saw., maupun atsar dari sahabat dan tabiin.149 Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika para teolog Islam sepakat mengatakan bahwa Allah memiliki beberapa nama (Asmaul Husnah), tetapi berbeda pendapat tentang ada dan tidaknya Allah mempunyai sifat. Sementara itu, kajian mengenai sifat Allah Swt., ada yang menafikan keberadaannya (nafy al-
ifat) dan ada pula yang mengakuinya (i bit al- ifat). Aliran yang menafikan sifat Allah adalah kelompok Mu‟tazilah.
Kaum Mu‟tazilah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat, Tuhan
tidak memiliki sifat mengetahui, bukan berarti Tuhan tidak mengetahui, tetapi Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan. Mereka mengatakan Allah Maha mengetahui dengan zat-Nya, Maha kuasa dengan zat-Nya, Maha hidup dengan Zat-Nya, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan, karena semua ini adalah sifat sedangkan sifat adalah sesuatu yang
di luar zat. Menurut Mu‟tazilah, jika sifat berada pada zat yang Qadim, sedangkan sifat qidam adalah sifat yang lebih khusus, maka akan terjadi dualisme, yakni zat dan sifat.150
Sementara itu, kelompok yang mengakui adanya sifat Allah adalah
kelompok Asy„ariah, Maturidiah, dan Salafiah. Mazhab Asy„ariah berpendirian
bahwa Tuhan memiliki sifat, yang menurut paham ini „ilm, qudrah, iradāh, ayāh dan lainnya adalah sifat Allah, tetapi sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk. Semua sifat yang melekat pada zat Allah itu adalah kadim dan azali.151 Menurut al-Asy„ari, sifat-sifat Allah tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat dan bukan pula lain dari zat.152
Kelompok Maturidiah memang mengakui adanya sifat Tuhan, tetapi pengertian al-Maturidi tetang sifat Tuhan berbeda dengan al-Asy„ari. Menurut al- Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-
siapa yang menghafalnya, maka pasti masuk surga”. ẒHR. Bukhari, no. 2736, 7392 dan Muslim,
no. 6989).
149Ab Mu ammad „Al i
bn A mad ibn Sa„ d ibn azm, al-Fasl fī al-Milal wa al-
ahwa‟ wa al-NihalẒBeirut: D r al-Jayl, t.t.), Jilid II, h. 283.
150
Al-Syahrast n , “Al-Milal”, h. 38.
151
Afrizal M., Ibn Rusyd, h. 46.
152
A mad Ma m d ub , Fī „Ilm al-KalāmẒIskand riyyah: D r al-Kutub al-J mi„iyyah, 1969), h. 153.
Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama) zat-Nya tanpa terpisah. Menetapkan sifat bagi Allah, tidak harus membawa pada pengertian antropomorpisme karena sifat tidak berwujud yang tersendiri dari zat-Nya, sehingga sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim.153
Selain itu, paham Salafiah menyakini adanya sifat Allah, menurutnya ayat- ayat atau hadis-hadis yang menyangkut dengan sifat-sifat harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak menyerupakan dengan makhluk dan tidak bertanya-tanya tentang maksud kalam Allah tersebut.154 Mereka lebih menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasulnya.
Berbeda dengan kelompok Syi„ah yang menolak bahwa Allah senantiasa bersifat mengetahui. Mereka menilai bahwa pengetahuan Allah bersifat baru,
tidak kadim. Sebagian dari kelompok Syi„ah berpendapat bahwa Allah tidak tahu
terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Sebagiannya lagi berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum Ia menghendakinya, sehingga ketika Ia menghendaki sesuatu, maka Ia pun bersifat tahu, jika Ia tidak menghendakinya, maka Ia tidak bersifat tahu. Maksud dari Allah berkehendak menurut pandangan
Syi„ah adalah Allah mengeluarkan gerakan Ẓtaharraka harkah), maka ketika gerakan itu muncul atau ada ia bersifat tahu terhadap sesuatu, dan mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.155
Perdebatan persoalan kalam kemudian berlanjut kepada permasalahan kalam Allah yaitu Alquran. Mengenai kedudukan Alquran, menurut al-Asy„ari, Alquran adalah kalam Allah atau firman Allah, bukan makhluk dalam arti ciptaan, karena Alquran adalah firman Allah, maka pastilah Alquran bersifat qadim.156
Sama halnya dengan Asy„ariah, aliran Maturidiah Bukhara dan Maturidiah
Samarkand berpendapat bahwa Alquran itu kekal dan tidak diciptakan. Kelompok Maturidiah berpendapat kalāmullāh (Alquran) adalah sesuatu yang berdiri dengan
153
Nasution, Teologi, h. 135.
154
Rozak dan Anwar, Ilmu, h. 141.
155
Ibid., h. 211-212.
156
Ilhamuddin, Ilmu, h. 152. Dalil Alquran menurut paham Asy‟ariah adalah QS. ar-R m [30]: 25, al-A„r f [7]: 54, Y s n [36]: 82, al-Kahf [18]: 109 dan al-Mu‟min n [23]: 16.
zat-Nya. Adapun yang tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian-bagian, bukan kalāmullāh secara hakikat karena kalam Allah tidak tersusun dari huruf dan kalimat, tetapi Alquran dalam pengertian kiasan (majaz).157 Pendapat ini bertentangan dengan paham Mu‟tazilah yang menyebutkan Alquran adalah makhluk, sehingga tidak kekal dan baharu.158
Selanjutnya, Mu‟tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, yang dijelaskan dengan dua argumen Mu‟tazilah dalam menguatkan pendapatnya. Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat, maka tidak dapat dilihat, dan kedua, apabila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, berarti Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini, kenyataannya tidak ada seorangpun yang dapat melihat Tuhan dalam alam ini.159 Ayat Alquran yang dijadikan sandaran pendapat di atas adalah surat al-An‟ m ayat 103, asy-Sy r ayat 51, al-
A„r f ayat 143, dan al-Kahf ayat 110. Dalam Alquran surat al-Qiy mah ayat 22- 23 yang berbunyi:
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat”Ṭ (QS. al-Qiy mah [75]: 22-23).160
Menurut paham Mu‟tazilah, ayat ini dipahami bukan berarti melihat wajah Tuhan, tetapi menunggu-nunggu balasan pahala yang akan diberikan kepada Tuhan.161 Bertentangan dengan Mu‟tazilah, menurut paham Asy„ariah ayat ini dipahami bahwa manusia dapat melihat Allah menggunakan mata kepala di akhirat kelak. Menurut al-Asy„ari kata na irah tidak bermakna i‟tibar (memerhatikan) atau intizar (menunggu), sebab kata tersebut apabila dituturkan dengan kata wajh, mengandung makna melihat dengan kedua mata yang terdapat pada wajah. Al-Asy„ari menjelaskan lebih lanjut bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai wujud, karena Allah mempunyai wujud, maka
157
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: Perkasa, 1990), h. 99.
158
Ibid., h. 101. Ayat Alquran yang dijadikan dalil menurut paham Muktazilah adalah QS. al-Anbiy ‟ [21]: 2, al- ijr [15]: 9, H d [11]: 1, dan az-Zumar [39]: 23.
159
Rozak dan Anwar, Ilmu, h. 203.
160
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an, h. 578.
161
Allah dapat dilihat, dan tentu Allah dapat membuat manusia mempunyai kemampuan melihat diri-Nya.162