• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

E. Tujuan Hidup

Sebagai seorang mantan narapidana tentu akan sulit menentukan apa tujuan hidup mereka kedepan ditambah lagi kesulitan-kesulitan yang akan mereka temui dengan status mereka. Sebagaimana U, ia telah menetapkan tujuannya kedepan untuk berkuliah, seperti yang dinyatakan dalam:

“saya harap suatu saat saya bisa kuliah, bisa sampai S2, kerja keras bangun rumah tingkat kasih saya punya orang tua supaya mereka tidak diinjak-injak lagi karena punya anak mantan napi. Saya pengen kasih bahagia saya punya bapa yang sudah banting tulang cari uang, saya punya mama yang sudah rela kerja sampai Malaysia, saya punya kaka yang sudah

berhenti sekolah demi cari uang untuk kita, saya tidak mau sia-siakan mereka punya pengorbanan untuk saya”

Berbeda halnya dengan U yang belum memikirkan apa yang akan terjadi kedepan, U hanya menjelaskan bahwa ia ingin memperbaiki hubungan baik dengan keluarganya seperti yang dinyatakan dalam:

“saya belum tau apa yang mau saya buat kedepan, paling ya kerja jual ikan saja. Hanya satu saja yang saya mau saat ini, saya bisa tinggal dengan saya punya keluarga seperti dulu, aman, tidak berselisi lagi, mereka juga bisa terima saya apa adanya”

Tujuan dari partisipan tersebut diharapkan mampu menuntun subyek dalam tahap demi tahap menuju harapan yang ingin mereka capai.

Triangulasi Sumber 1. Partisipan 1

Triangulasi partisipan pertama dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 2019 pukul 11.30 WITA bersama saudara sepupu B, yang bertempat tinggal di Kambaniru, tidak begitu jauh dari rumah B. Menurut sepupu B, saat ini B telah tinggal bersama dengan opa-omanya. Saat sebelum kejadian, B tinggal dirumah ayahnya yang bersebelahan dengan rumah sepupu B. Sepupu B menjelaskan bahwa setelah B bebas dari penjara, B menjadi sosok yang lebih dewasa dan rajin. Sepupunya selalu mengingatkan pada B untuk selalu belajar, dan B selalu mendengarkan, B juga menceritakan keinginannya untuk bisa Kuliah Teknik suatu saat, B ingin menjadi orang yang berhasil, dan selalu diiringi semangat dan doa dari keluarga.

Kemudian pada tanggal 26 Agustus 2019 wawamcara dilakukan bersama ayah B dirumahnya pada pukul 16.00 WITA. Cukup sulit bertemu dengan ayah B dikarenakan pada saat itu ayah B sedang mengerjakan proyek di Desa. Setelah bertemu untuk wawancara, ayah B menjelaskan bahwa sejak kecil memang ia sudah merawat B sendirian. Setelah kejadian yang menimpa B, ia lebih sering berada dirumah dan membantu opanya beternak. B menjadi anak yang berbeda yang dulunya suka berkelahi dan berkumpul dengan anak-anak nakal sekarang tidak seperti itu, B sudah menunjukkan perubahan yang signifikan. Tidak lupa juga ayah B terus mengingatkan untuk selalu ke gereja dan beribadah.

21

Wawancara triangulasi terakhir dilakukan bersama salah satu teman kelas partisipan yang merupakan teman dekatnya di Sekolah. Wawancara singkat dilakukan pada hari yang sama saat sore hari pukul 15.00 WITA sebelum mereka melakukan latihan Vocal Group bersama di Gereja. Teman partisipan menjelaskan bahwa partisipan merupakan anak yang baik dan pintar, partisipan juga rajin mengikuti kegiatan disekolah. Ia juga berkata bahwa partisipan tidak pernah sembarang dalam bergaul.

2. Partisipan 2

Triangulasi partisipan pertama dilakukan pada tanggal 05 Agustus 2019 pukul 15.30 WITA, wawancara dilakukan bersama teman U dipasar teman U dan teman-temannya bekerja. Teman U menjelaskan bahwa U merupakan anak yang baik dan mau membantu kesulitan teman-temannya, U juga sangat ulet bekerja, apa yang bisa ia kerjakan untuk mendapatkan uang, pasti ia lakukan asalkan itu halal. U juga jarang sekali pulang kerumah, dan sering tidur dan mandi di Pasar.

Kemudian wawancara berikut dilakukan bersama kakak sepupu U pada tanggal 8 Agustus 2019 pukul 12.00 WITA dirumahnya. Kakak U mengatakan bahwa sejak U keluar dari penjara, U tidak mau melanjutkan sekolah, U hanya ingin membantunya bekerja dan sekarang U sudah lebih bisa mandiri, dalam artian ia sudah bisa membiayai kebutuhannya sendiri. U merupakan anak yang tidak suka merepotkan orang lain sejak dulu. Harapan kakak U setelah U bekerja, sedikit-demi sedikit dia mampu melupakan kejadian pahit yang dulu terjadi padanya dan mulai menata kembali kehidupannya dengan jalan yang lebih baik.

PEMBAHASAN

Mantan narapidana merupakan sebutan bagi individu yang telah selesai menjalani masa tahanannya (Azani, dalam Galasdara, 2018). Kehidupan individu dengan status sebagai mantan narapidana bukan merupakan hal yang mudah, ditambah lagi pengalaman mereka saat berada dalam tahanan menjadikan tekanan dalam diri mantan narapidana semakin kuat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), diketahui sebanyak sebagian besar remaja dengan kasus kriminal mengalami gejala-gejala stress saat akan siding dan wajib lapor (Pasudewi, 2012).

Perlakuan yang didapatkan saat berada didalam tahanan menciptakan stresor bagi narapidana, salah satu yang menjadi alasan ialah terjadinya kekerasan (peloncoan),

pem-bully-an atau tindak semena-mena yang dilakukan baik oleh sesama terpidana maupun petugas Lapas (Martha, 2018). Hukuman serta perlakuan yang diberikan kepada narapidana tidak hanya menimbulkan efek didalam penjara, namun akan berlanjut setelah bebas dari penjara. Mantan narapidana akan menghadapi tekanan batin di luar penjara ketika kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya (Davidoff, dalam Kusumawardani & Astuti, 2015). Mantan narapidana tentu memiliki harapan untuk dapat berinteraksi dan menjalani kehidupan yang lebih baik bersama masyarakat selepas dari masa tahanannya. Namun adaptasi sosial yang terjadi antara mantan narapidana dengan masyarakat bukanlah perkara mudah dan tentu mengalami berbagai kesulitan dan penolakan. Mantan narapidana tidak terlepas dari labeling atau pemberian stigma negatif oleh masyarakat, yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi mereka untuk berbaur dengan masyarakat (Lestari, dkk., 2017).

Tekanan dari lingkungan masyarakat dalam berbagai bentuk penolakan memunculkan dampak negatif bagi mantan narapidana. Secara psikis, mantan narapidana akan memiliki rasa rendah diri dan sikap pesimis sehingga memunculkan perasaan tidak berharga dan menarik diri dari masyarakat (Iskandar, 2017). Sofhia (dalam Utami & Dewi, 2015) menjelaskan bahwa banyak narapidana yang telah bebas menjadi kehilangan jati diri, hal ini ditandai dengan sikap tertutup, acuh tak acuh, sinis dan anti sosial. Ketidakmampuan mantan narapidana dalam kontrol diri dan mengatasi persoalan tersebut akan memunculkan potensi depresi yang tinggi. Diskriminasi dari masyarakat mengakibatkan individu mengalami kecemasan, rendah diri, depresi dan menarik diri dari lingkungan (Iskandar, 2017).

Untuk itu sikap resiliensi sangat dibutuhkan oleh mantan narapidana yang memampukan mereka untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami. Individu yang memiliki resiliensi yang baik akan berhasil menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan yang kurang menyenangkan serta meminimalisir tekanan yang dialaminya (Grotberg, dalam Hendriani, 2018). Resiliensi merupakan proses koping terhadap stresor, kesulitan, perubahan, maupun tantangan yang dipengaruhi oleh faktor protektif. Resiliensi psikologis ini akan mencerminkan bagaimana kekuatan dan ketangguhan yang ada dalam diri seseorang (Richardson, dalam Hendriani, 2018).

Pengalaman hidup remaja mantan narapidana tentu berbeda dengan pengalamanan hidup individu lainnya. Remaja yang pada usia tersebut seharusnya menikmati waktu bermain, belajar dan mengeksplorasi berbagai pengalaman, kemudian harus dibatasi geraknya dalam tahanan (Hanun, 2013). Kehidupan remaja saat berada di dalam penjara penuh dengan tekanan dan stresor yang muncul. Keadaan shock membuat remaja sulit

23

berpikir jernih hingga beberapa kasus ditemukan bahwa banyak narapidana remaja yang melakukan percobaan bunuh diri (Martha, 2018). Tugas perkembangan yang dimiliki remaja belum cukup untuk menggambarkan kesiapan remaja dalam memikul tanggung jawab yang begitu besar, dimana remaja tersebut harus hidup dengan status sebagai “mantan narapidana” sampai akhir hidup mereka, tentu hal ini akan mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap pola pikir dan pola perilaku remaja (Ahmad, 2012).

Syarat utama untuk mengembangkan kemampuan resiliensi dalam diri individu adalah belajar menerima keadaan diri, hal ini penting karena dapat menunjang keberhasilan tahap-tahap resiliensi selanjutnya. Individu yang dihadapkan dengan status sebagai mantan narapidana tentu merasa mereka bukanlah diri mereka yang dulu. Hal ini disebabkan karena individu merasa malu dengan status mereka serta dapat mengakibatkan rasa rendah diri, kepercayaan diri yang menurun serta memiliki harapan hidup yang rendah (Pasudewi, 2012). Penerimaan diri dapat diwujudkan dengan optimisme atau keyakinan diri dan disertai dengan pikiran yang positif. Grotberg (dalam Hendriani, 2018) menyatakan tiga sumber resiliensi, salah satunya yaitu: I am, I am adalah sumber resiliensi yang berisi tentang perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Resiliensi dapat diringkatkan ketika seseorang mempunyai kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri seperti kepercayaan diri , memiliki sikap empati, bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan memiliki harapan akan masa depan.

Kedua subyek menerapkan penerimaan diri dengan cara yang berbeda, seperti halnya B, menceritakan semasa berada didalam masa tahanan ia mengalami tekanan dan stres hingga B memutuskan untuk melakukan percobaan bunuh diri namun digagalkan oleh salah satu tahanan, dari situ B mendapatkan banyak nasihat dan masukan yang membuat B mulai kembali memiliki harapan untuk hidup, B mulai mampu menerima realita yang terjadi dalam hidupnya dan mencoba berhenti menyalahkan diri sendiri. Sejak saat itu B menunjukkan perubahan yang signifikan seperti rajin mengikuti ibadah mingguan di Lapas, mengisi lagu dalam kebaktian dan lebih giat berdoa. B menyadari bahwa dirinya masih sangat muda untuk menyerah dan merasa masih banyak kesalahan yang harus ia tebus kepada kedua orang tuanya, sehingga kesempatan saat terbebas dari masa tahanan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk melakukan hal-hal positif yang berdampak baik.

Penerimaan diri yang dialami B cukup berbeda dengan U. U merupakan tahanan dengan kasus yang cukup sensitif dikalangan narapidana dan karenanya U lebih banyak mendapat perlakuan kurang baik seperti pernah dipukuli dan ditelanjangi oleh petugas kepolisian sebelumnya maupun tahanan yang ada di Lapas, disuruh berdiri satu kaki semalaman

dipojok sel dan lainnya. Hal tersebut tentu membuat U merasa sangat tertekan dan pasrah untuk semua yang terjadi dalam hidupnya, ditambah lagi U jarang mendapatkan kunjungan dari keluarganya yang membuat U semakin sedih. Penerimaan diri yang diterapkan U lebih mengarah pada kepasrahan akan hidup selanjutnya dan U masih memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah dilihat dari U yang takut untuk bertemu orang ayahnya karena U sempat mengalami cekcok dengan ayahnya serta U yang memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena merasa malu untuk bertemu dengan guru dan teman-temannya, tetapi U tetap mensyukuri apa yang sudah terjadi pada dirinya dan berharap bisa melakukan lebih banyak hal positif untuk kedepannya.

Setelah mantan narapidana terbebas dari masa tahanannya, mereka dihadapkan kembali dengan realitas sosial seperti membangun kembali hubungan dengan lingkungan masyarakat, salah satunya adalah adaptasi sosial. Adaptasi sosial menggambarkan bagaimana mantan narapidana kembali bersosialisasi dengan lingkungannya serta melihat kesulitan apa yang dialami dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap konsep mantan narapidana. Resiliensi memampukan individu untuk mengembangkan keterampilan hidup seperti bagaimana berkomunikasi dan membangun relasi yang baik dengan lingkungan (Utami & Helmi,2017). Hal ini berhubungan dengan pernyataan Gortberg (dalam Hendriani, 2018) mengenai tiga sumber resiliensi, salah satu diantaranya yaitu I have. I have adalah sumber resiliensi yang berhubungan dengan besarnya dukungan sosial yang diperoleh dari sekitar. Individu yang memiliki kepercayaan rendah terhadap lingkungannya cenderung memiliki sedikit jaringan sosial dan beranggapan bahwa lingkungan sosial hanya sedikit memberikan dukungan kepadanya.

Mantan narapidana juga harus kembali membangun sosialisasi dengan lingkungan yang pastinya tidak mudah. Tidak semua orang akan menerima dengan begitu saja. Hal yang paling membuat remaja mantan narapidana merasa down adalah ketika mereka mendapati diri mereka dicibir, dicaci, dihina, bahkan keluarga merekapun terkena imbasnya, hal ini membuat mental seseorang tidak kuat dan bisa menyerah kapan saja, oleh karena itu kamampuan resiliensi sangat dibutuhkan. Kedua partisipan tentu menemukan kesulitannya sendiri saat mencoba beradaptasi dengan lingkungan seperti mendapat stigma dan diskriminasi yang juga tidak luput terjadi pada sebagian besar mantan narapidana lainnya. B telah mendapatkan kesan buruk disaat hari ia dibebaskan. Ketika berada dijalan pulang B dihadang oleh segerombolan laki-laki yang salah satunya merupakan saudara korban yang ia ambil barangnya. B dipukuli hingga mengalami luka dan cedera. Saat B tinggal dirumah orang tuanya, B hampir tidak pernah keluar rumah, B lebih sering mengurung diri karena

25

takut jika keluar maka akan dipukuli lagi. Dalam waktu yang cukup lama B memberanikan diri untuk mencoba bersosialisasi dengan tetangga rumahnya namun respon yang diberikan pada B sangat tidak bersahaja dan B sering menemukan dirinya dicibir oleh orang-orang dilingkungannya. Orang tua yang ada dilingkungan B juga melarang anak mereka untuk bergaul dengan B, sehingga B hampir tidak memiliki teman pada saat itu. B juga pernah mencoba melamar pekerjaan disebuah perusahan roko namun B ditolak ketika pihak perusahaan tahu dirinya seorang mantan narapidana. Kesulitan beradaptasi yang dialami B awalnya membuat ia tertekan, namun B tidak ingin menyerah sampai disitu, akhirnya B pindah ke rumah opa-omanya yang berada cukup jauh dari tempat asalnya dan memutuskan untuk mencoba bersekolah kembali.

Masalah dalam beradaptasi juga dialami oleh U. U awalnya masih takut untuk pulang kerumahnya sehingga U memutuskan untuk tinggal bersama kakak sepupunya untuk sementara waktu. Saat U pulang kerumah U tidak mendapat sambutan hangat dari keluarganya, U merasa seperti orang asing, U juga tidak banyak bicara ayah dan saudaranya, U lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakak saudaranya. Respon yang didapatkan U saat mencoba membantu tetangganya memasang tenda acara, U merasa dijauhi dan banyak anak-anak yang justru takut berdekatan dengan U, ia juga sering menjadi bahan bicaraan dilingkungannya. U berusaha menanggapi dengan positif semua perilaku yang ia dapatkan dan memakluminya. Untuk menghindari situasi sulitnya U akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama kakak saudaranya dan membantu berjualan ikan. U tidak memiliki banyak kawan, hanya teman-teman penjual ikan yang ia rasa dapat menerima keadaannya dan tidak memandang negatif ia sebagai mantan narapidana.

Seseorang disebut resilient dikarenakan ia mampu melewati keadaan sulit dan menantang serta mampu mengubah hidupnya kearah positif. Individu yang memiliki resiliensi tinggi adalah individu yang cenderung easygoing dan mudah bersosialisasi, memiliki keterampilan berpikir dan keterampilan sosial yang baik, memiliki orang disekitar yang mendukung, memiliki satu atau lebih bakat atau kelebihan, yakin pada diri sendiri dan percaya pada kemampuannya dalam mengambil keputusan serta memiliki sprititualitas atau religiusitas (Murphey. Dalam Utami & Helmy, 2017).

Setiap manusia tentu berharap memiliki sosok yang akan mendukung mereka dalam kondisi apapun, begitu juga dengan mantan narapidana yang juga rentan mendapatkan penolakan dari masyarakat. Dukungan sosial ini mencakup relasi dengan keluarga dan teman sebaya, secure attachment pada ibu, kestabilan keluarga, hubungan yang aman dan pasti dengan orang tua, dukungan sosial dari teman sebaya serta dukungan yang didapatkan dalam

lingkungan sekolah. Keseluruhan aspek dukungan tersebut sangat diperlukan agar individu tidak merasa sendiri dan mampu menghadapi kesulitan dan tantangan dengan lebih mudah karena ada sosok yang dapat mereka andalkan.

Dukungan sosial yang didapatkan oleh B berasal dari opa-omanya yang selalu menuntun B jika ia salah mengambil langkah. Opa-oma B selalu memberikan perhatian lebih dan nasehat yang positif agar B tidak kembali mengulang kesalahan berikutnya. B juga mendapat dukungan sosial dari sepupu dan teman sekolahnya agar lebih giat untuk belajar dan mengikuti kegiatan atau organisasi disekolah. B menjadi lebih semangat belajar dan banyak mengikuti kegiatan seperti Pramuka, Sispala dan Vocal Group sekolah. Masten, dkk. (dalam Utami & Helmi, 2017) menyatakan bahwa anak-anak dan pemuda yang resilient ditandai dengan hasil pengukuran seperti: prestasi akademik (rangking dan skror nilai tes tinggi atau rendah, tinggal kelas atau lulus dari sekolah), perilaku (taat perilaku hukum vs perilaku antisosial), penerimaan teman sebaya dan persahabatan, kesehatan mental normatif (sedikit menunjukkan problem perilaku) dan keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan usia (aktivitas ekstrakurikuler, olahraga, dan pelayanan sosial). Sebagian besar karakteristik ini mampu diterapkan oleh B.

Dukungan sosial yang didapatkan oleh U berasal dari kakak sepupu dan teman-teman U. Kakak U selalu berpesan pada U agar bekerja dengan giat dan tidak boleh menyerah dengan keadaan, kaka U juga tidak pernah membicarakan hal yang melukai hati U disamping itu U juga mendapat penguatan dari teman-taman yang sama berjualan dengan U, U diminta untuk tetap tegar dan semangat, U merasa memiliki teman sepenanggungan yang sama sehingga beban yang tadinya dirasa berat kini sudah menjadi lebih ringan.

Tujuan hidup mencakup proses refleksi diri serta harapan bagi keberlangsungan hidup kedepan. Secara umum, sebagai seorang remaja tentu memiliki kehidupan yang tergolong masih panjang, individu juga diharapkan memiliki cita-cita dan harapan yang akan dilakukan kedepan serta mampu melewati tahap pertumbuhan yang akan mereka alami. Seorang remaja yang beralih status menjadi narapidana tentu akan sulit menjelaskan harapannya kedepan karena diusia remaja yang masih tergolong muda mereka telah menerima banyak tekanan dan hambatan. Dengan meningkatnya kemampuan resiliensi, individu juga dapat mengembangkan keterampilan yang realistik dalam membuat rencana hidup dan mampu mengambil langkah yang tepat bagi hidupnya (Rojas, 2015). Seperti hal-nya B yang mehal-nyadari bahwa pendidikan bagihal-nya saat ini adalah yang terpenting, karena lewat pendidikan B akan mampu mewujudkan harapannya untuk membahagiakan

27

keluarganya dan mereka tidak lagi dipandang sebelah mata oleh orang lain karena memiliki anak yang dulunya seorang mantan narapidana.

Hal mengenai harapan kedepan masih cukup sulit digambarkan oleh U. Setelah terbebas dari masa tahanan, U tidak memiliki harapan dan keinginan untuk melanjutkan sekolah. U merasa malu jika harus bertemu dengan teman-teman dan guru disekolah yang ditakutkan akan mendiskriminasinya. U kemudian memutuskan untuk mengikuti jejak kakak saudaranya dengan berjualan ikan, dengan harapan U tidak akan merepotkan banyak orang, walaupun U tidak bersekolah namun U dapat menghasilkan uang dari bekerja menjual ikan, U sadari memang tak seberapa penghasilan yang ia dapat, namun lingkungannya membuat ia menyenangi pekerjaannya dan membuat ia tidak merasa tertekan lagi. Keinginan U kedepan adalah dapat memperbaharui hubungannya dengan keluarga serta dapat diterima ditengah masyarakat sebagaimana ia saat ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait