• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESILIENSI PADA MANTAN NARAPIDANA REMAJA (Studi Kasus Mantan Narapidana Remaja di Kec. Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESILIENSI PADA MANTAN NARAPIDANA REMAJA (Studi Kasus Mantan Narapidana Remaja di Kec. Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur)"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI PADA MANTAN NARAPIDANA REMAJA (Studi Kasus Mantan Narapidana Remaja di Kec. Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur)

OLEH :

CHRISTINE RAMBU IPU MBILIYORA 802014174

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RESILIENSI PADA MANTAN NARAPIDANA REMAJA (Studi Kasus Mantan Narapidana Remaja di Kec. Kota Waingapu, Kab. Sumba Timur)

Christine Rambu Ipu Mbiliyora

Doddy Hendro Wibowo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

i Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat proses resiliensi pada remaja mantan narapida. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan setelah melewati berbagai kesulitan serta mampu membingkai kembali hidupnya secara positif. Adapun subyek dari penelitian ini berjumlah dua orang remaja laki-laki mantan narapidana yang berdomisili di Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode analisis data menggunakan teknik dengan tiga komponen yaitu: reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan. Hasil Analisa data diklasifikasikan menjadi beberapa tema antara lain; penolakan yang dialami mantan narapidana, penerimaan diri, dukungan sosial, adaptasi sosial dan tujuan hidup. Hasil dari keseluruhan penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan memiliki sikap resiliensi dengan tingkat yang berbeda-beda dalam hal mengatasi tekanan, kesulitan dan penolakan yang mereka alami.

(9)

ii Abstract

The purpose of this study is to look at the process of resilience in ex-convict adolescents. Resilience is the ability to rise from adversity after going through difficulties and being able to reframe life positively. The subjects of this study were two teenage male ex-convicts who were domiciled in the District of Waingapu City, East Sumba Regency. The method used in this research is a qualitative research method through a case study approach using interview, observation, and documentation data collection techniques. The data analysis method uses the technique consists of three components, namely: data reduction, data display, and drawing verification. The results of data analysis are classified into several themes including: rejection experienced by ex-convicts, self achievement, social adaptation, social support and the purpose of life. The results of the whole study showed that the two participants had different levels of resilience in dealing with the stresses, difficulties and rejection that they experienced.

(10)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Setiap orang tentu tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, dari tingkat permasalahan yang paling kecil maupun yang berujung pada tindak kejahatan. Kejahatan adalah perilaku yang merugikan (merusak) atau asusila yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mengadakan perlawanan terhadap perilaku tersebut dengan jalan menjatuhkan sanksi teguran maupun pengajuan tindak pidana berupa kurangan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) tergantung pada besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan (Bemmelen, dalam Hanun, 2013).

Lembaga Pemasyarakatan adalah bentuk pidana penjara yang berfungsi sebagai wadah untuk belajar kembali (resosialisasi) bagi narapidana untuk mempersiapkan diri mereka baik secara fisik maupun mental saat kembali ke masyarakat dengan membawa perubahan sikap yang lebih baik serta dapat berperan wajar dengan masyarakat lainnya (Hanun, 2013). Pelaku tindak kejahatan sering kita sebut sebagai Narapidana (Napi). Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, narapidana adalah individu pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah oleh majelis hakim dan dihukum penjara selama kurun waktu tertentu, kemudian ditempatkan dalam rumah tahanan sebagai tempat pelaksanaan hukuman tersebut. Narapidana yang telah selesai menjalani masa hukumannya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebut sebagai mantan narapidana (Lestari, dkk., 2017)

Masyarakat dalam lingkungan sosial masih sering menggeneralisasikan status mantan narapidana sebagai cerminan individu dengan karakter yang buruk dan jahat. Masyarakat pada umumnya masih banyak yang mempunyai pandangan negatif terhadap sosok mantan narapidana. Sikap penolakan ini tidak terlepas dari stigma dan diskriminasi yang diterima dari masyarakat berupa hilangnya kepercayaan terhadap mantan narapidana dalam berbagai hal, seperti dikucilkan atau perbedaan perlakuan yang biasanya merugikan mantan narapidana (Thompson, dalam Utama & Dewi, 2015). Dari perlakuan-perlakuan yang diterima, mantan napi cukup merasa resah dan sering menjauhkan diri dari hubungan sosial dengan masyarakat.

Thomas P. LeBel (dalam Lestari, dkk., 2017) menyatakan bahwa “ada permasalahan sosial tentang stigma dan diskriminasi kepada mantan tahanan, yaitu ketika kategori individu mencoba beradaptasi, maka yang ditemui ialah diskriminasi dan konsekuensi yang dihadapi

(11)

ialah ketidak percayaan, kebencian, dan permusuhan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ratusan tahanan dirilis setiap tahun dan mereka menemukan bahwa diri mereka di diskriminasi”.

Perlakuan diskriminatif tidak saja didapat saat keluar dari Lapas, para mantan narapidana juga mendapatkan perlakuan buruk saat berada dalam Lapas. Penelitian yang dilakukan oleh Martha (2018) menyatakan bahwa beberapa narapidana remaja mengaku sering di-bully atau didiskriminasi oleh para petugas lapas maupun teman narapidananya terbanyak pada narapidana dengan kasus pemerkosaan, sebab perbuatan tersebut dianggap menjijikkan dan memalukan. Beberapa narapidana remaja juga mengakui bahwa mereka sering dipukuli atau disuruh tidur dikamar mandi, sehingga para narapidana remaja ini merasa sangat tertekan dan stres ketika berada didalam Lapas.

Pemikiran-pemikiran negatif semasa menjalani masa tahanan juga ikut membebani para narapidana. Penelitian yang dilakukan oleh Herdiana (dalam Hafifah, dkk., 2015) tentang kepercayaan diri mantan narapidana pasca hukuman pidana menyatakan bahwa pada dasarnya mantan narapidana memiliki harga diri dan konsep diri yang rendah, cenderung menjadi stress dan frustasi, serta menyalahkan diri sendiri maupun orang lain, beberapa mantan narapida juga merasa seolah kehidupan mereka sudah berakhir pada tahap itu. Penelitian yang dilakukan oleh Azani (2012) menjelaskan bahwa “setiap mantan narapidana yang lepas menjalani masa tahanan akan mendapatkan tekanan secara psikologis dan memaksa mereka untuk berubah serta beradaptasi dengan lebih baik lagi sebagai masyarakat”.

Terjerat kasus hingga menjadi mantan narapidana dianggap menjadi suatu kegagalan dalam hidup yang mereka rasakan, disaat usia remaja seharusnya mampu mengembangkan diri serta mempersiapkan hidup untuk pendidikan berikut, malah terlibat dalam persoalan yang cukup rumit (Mukti, 2019). Tentu hal ini menjadi dinamika besar yang terjadi dalam diri dan kehidupan remaja mantan narapidana, jika mereka tidak mampu bangkit dari keterpurukan, lalu bagaimana mereka merencanakan atau mempertaruhkan masa depan mereka.

Resiliensi merupakan kemampuan yang sangat diperlukan individu dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. Kemampuan ini diperlukan oleh berbagai usia maupun latar belakang. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk mempertahankan stabilitas psikologis dalam menghadapi stres (Keye & Pidgeon, dalam Hendirani, 2018). Resiliensi merupakan kompetensi yang paling tepat dalam menyikapi

(12)

3

beratnya tantangan hidup dan memegang peran kunci dalam mencapai perkembangan manusia yang sehat secara mental (Olson & DeFrain, dalam Hendriani 2018).

Resiliensi dalam berbagai kajian dipandang sebagai kekuatan dasar yang menjadi pondasi berbagai karakter positif dalam diri seseorang. Secara umum, resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik sebagai berikut: kemampuan dalam menghadapi kesulitan, serta ketangguhan dalam menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami (Luthar, dalam Hendriani 2018). Resiliensi juga merupakan suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual berfungsi menahan kerusakan diri dan melakukan konstruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi dan meringankan kesulitan hidup individu (Bernard, dalam Krovetz, 1999).

Resiliensi juga berhubungan dengan tugas perkembangan terkhususnya pada mantan narapidana remaja. Erik Erikson (dalam Hurlock, 2003; Yusuf, 2002) menjelaskan bahwa remaja berada dalam tahap identity versus identity confusion yang berpengaruh pada pengalaman remaja. Erikson memandang pengalaman hidup remaja berada dalam keadaan moratorium, yaitu suatu periode saat remaja diharapkan mampu mempersiapkan dirinya untuk masa depan dan mengenal siapa dirinya dengan baik. Apabila remaja gagal dalam mengembangkan rasa identitasnya, maka remaja akan kehilangan arah. Kemampuan resiliensi sangat diperlukan agar remaja mampu membingkai kembali perencanaan dalam hidupnya kedepan. Kegagalan remaja untuk mengisi atau menuntaskan tugas ini akan berdampak tidak baik bagi perkembangan dirinya.

American Civil Liberties Union (ACLU) menuliskan bahwa kurangnya kemampuan resiliensi seseorang dapat mengakibatkan mereka tidak memiliki konsep diri yang positif, cenderung merasa stres, tidak mampu menemukan solusi atas kesulitan yang dihadapi serta pesimis, akibatnya menyerah dengan keadaan hidup mereka. Jalan yang tak dapat terhindarkan adalah dengan bunuh diri. Bunuh diri merupakan dampak yang paling sering ditemui pada narapidana anak, penelitian tersebut juga menemukan bahwa narapidana anak lebih cenderung melakukan bunuh diri, dan terlibat dalam tindakan-tindakan lain yang merugikan diri sendiri (dalam Muiz & Sulistyarini, 2015).

Individu yang resilient bukan semata-mata merupakan individu yang sama sekali tahan terhadap tekanan atau dengan mudah bebas dari berbagai kesulitan, melainkan ketika menghadapi situasi yang menekan, individu resilien tetap merasakan berbagai emosi negatif atas kejadian traumatik yang dialami. Mereka tetap merasakan marah, sedih, kecewa, cemas, khawatir dan takut, bahkan melebihi orang lain pada umumnya, hanya saja individu resilient

(13)

memiliki cara untuk segera memulihkan kondisi psikologisnya, lalu bergerak bangkit dari keterpurukan (Wielia & Wirawan, 2005).

Resiliensi tidak selalu optimal diterapkan oleh semua mantan narapidana, beberapa orang lebih memilih menyerah pada keadaan atau bahkan mengalami berbagai gangguan baik dalam kemampuan sosial, mental ataupun fisik. Mereka tidak mampu menjaga keseimbangan dalam menghadapi tekanan yang kuat. Oleh karena itu, meningkatkan resiliensi adalah tugas yang penting karena hal ini dapat memberikan dorongan bagi mereka untuk menghadapi tantangan dan kesulitan hidup. Dengan meningkatnya resiliensi yang dimiliki, mantan narapidana dapat kembali melakukan komunikasi, interaksi serta kemampuan yang realistik dalam membuat rencana hidup dan mampu mengambil langkah yang tepat bagi hidupnya (Aprilia, 2013).

Mantan narapidana dengan tingkat resiliensi yang tinggi akan mampu beradaptasi dengan lingkungan, mampu mengendalikan diri, serta memandang positif kondisi yang dialami. Sebaliknya ketika tingkat resiliensi mantan narapidana rendah, menyebabkan ketidak-mampuan mantan narapidana dalam beradaptasi dengan lingkungan, tidak mampu mengendalikan emosi, dan memandang negatif kondisi yang dialami. Adanya resiliensi pada individu dapat mengubah permasalahan menjadi tantangan, kegagalan menjadi kesuksesan, dan ketidak berdayaan menjadi kekuatan (dalam Muiz & Sulistyarini, 2015).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan serta proses resiliensi mantan narapidana remaja dalam berbagai pengalaman untuk bangkit dari keterpurukan dan kembali membangun konsep diri yang positif. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui harapan-harapan partisipan atau gambaran kehidupan yang hendak dijalani setelah terbebas dari masa tahanan.

TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Resiliensi adalah kapasitas untuk mempertahankan kemampuan yang berfungsi secara kompeten dalam menghadapi berbagai stresor kehidupan (Kaplan dkk; Egeland dkk; dalam Hendriani, 2018). Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi, serta kapasitas menusia untuk menghadapi dan memecahkan masalah setelah mengalami kesengsaraan, setiap manusia memiliki

(14)

5

kemampuan untuk menjadi resilien dan setiap orang mampu untuk belajar bagaimana menghadapi rintangan dan hambatan dalam hidupnya sehigga nantinya menjadi resilien (Grotber, dalam Hendriani, 2018).

Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi menggambarkan kemampuan individu untuk merespon adversity atau trauma yang dihadapi dengan cara-cara sehat dan produktif. Dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bangkit dari keterpurukan setelah melewati berbagai tantangan dan kesulitan hidup dengan cara merubah diri lewat sikap dan pikiran, sehingga individu mampu mewujudkan proses adaptasi yang baik ditengah masyarakat, dan individu menjadi lebih bijak dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya.

2. Sumber Resiliensi

Grotberg (1999) menyebut komponen resiliensi dengan istilah sumber. Menurutnya, terdapat tiga sumber resiliensi individu (three sources of resilience), yaitu: I have, I am, dan I can (dalam Hendriani, 2018). Ketiganya saling berinteraksi dan menentukan bagaimana resiliensi individu kemudian.

1) I Have

I have adalah sumber resiliensi yang berhubungan dengan besarnya dukungan sosial yang diperoleh dari sekitar, sebagaimana dipersepsikan atau dimaknai oleh individu. Mereka yang memiliki kepercayaan rendah terhadap lingkungannya cenderung memiliki sedikit jaringan sosial dan merasa kurangnya perhatian orang lain.

Komponen resiliensi I have terdiri dari : a) hubungan yang dilandasi dengan kepercayaan (trust), b) struktur dan peraturan yang ada dalam keluarga atau lingkungan rumah, c) model-model peran, d) dorongan seseorang untuk mandiri (otonomi), e) akses terhadap fasilitas seperti layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan.

2) I am

I am adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi dalam diri individu. Sumber ini mencakup perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Komponen resiliensi I am terdiri dari: a) penilaian personal bahwa diri memperoleh kasih sayang dan disukai banyak orang, b) memiliki empati, kepedulian dan cinta terhadap orang lain, c) mampu merasa bangga dengan diri sendiri, d) memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan dapat menerima

(15)

konsekuensi atas segala tindakannya, e) optimis, percaya diri dan memiliki harapan akan masa depan.

3) I Can

I can adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam memecahkan masalah menuju keberhasilan dengan kekuatan diri sendiri. I can berisi penilaian atas kemampuan diri yang mencakup kemampuan menyelesaikan persoalan, keterampilan sosial dan interpersonal. Sumber resiliensi ini terdiri dari: a) kemampuan dalam berkomunikasi, b) pemecahan masalah (problem solving), c) kemampuan mengelola perasaan, emosi dan impuls-impuls, d) kemampuan mengukur temperamen sendiri dan orang lain, e) kemampuan menjalin hubungan yang penuh kepercayaan.

3. Faktor-faktor Resiliensi

Menurut Reivich dan Shatte (2002) terdapat tujuh faktor resiliensi (dalam Hendriani, 2018) antara lain:

a. Emotion Regulation (Regulasi Emosi)

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah kondisi yang menekan. Hubungan yang baik dalam meregulasi memudahkan individu dalam mengolah respon saat berinteraksi dengan orang lain atau berhadapan dengan berbagai kondisi yang ada. Reivich dan Shatte juga mengungkapkan dua keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing).

b. Impulse Control (Pengendalian Impuls)

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah cepat mengalami perubahan emosi ketika berhadapan dengan berbagai stimulus dari lingkungan. Individu yang dapat mengendalikan impulsnya dapat memberikan respon yang tepat terhadap permasalahan dan dapat berpikir rasional.

c. Optimism (Optimisme)

Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa ia percaya bahwa dirinya mampu menghadapi dan menyelesaikan tantangan atau permasalahan yang ada. Optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa

(16)

7

depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut.

d. Casual Analysis (Analisis Kasual)

Faktor ini merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab dari permasalahan yang sedang dihadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasi penyebab dari permasalahan secara tepat, akan terus-menerus berbuat kesalahan yang sama.

e. Emphaty (Empati)

Empati sangat erat dengan kemampuan seseorang untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional psikologis orang lain. seorang yang mempunyai kemampuan berempati cenderung mempunyai hubungan sosial yang positif. f. Self-Efficacy (Efikasi Diri)

Efikasi diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa individu mampu memecahkan masalah yang dialami dan mencapai kesuksesan. Dengan keyakinan dan kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan, individu akan mampu mencari penyelesaian yang tepat dari permaslahan yang ada dan tidak mudah menyerah.

g. Reaching Out

Reaching out merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Rendahnya kemampuan reaching out dan berlebihan memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi dimasa mendatang sarta menunjukkan rasa takut yang berlebihan justru akan menjauhkan individu dari karakter resilient.

4. Prinsip dasar resiliensi

Menurut Reivich dan Shatte (2002) ada empat prinsip yang dijadikan dasar bagi keterampilan resiliensi (dalam Rini, 2016), yaitu:

a. Manusia dapat berubah

Setiap manusia bebas mengubah hidupnya kapan saja, memiliki keinginan dan dorongan, setiap manusia dilengkapi dengan keterampilan yang sesuai. Individu merupakan pimpinan bagi keberuntungannya sendiri.

b. Pikiran adalah kunci untuk meningkatkan resiliensi

Kognisi mempengaruhi emosi, emosi menentukan siapa yang tetap resilient dan siapa yang mengalah.

(17)

c. Ketepatan berpikir adalah kunci

Optimisme yang realistik. Tidak mengasumsikan bahwa hal-hal baik akan datang dengan sendirinya. Hal-hal baik hanya akan terjadi melalui usaha, pemecahan masalah dan perencanaan.

d. Fokus kekuatan manusia

Psikologi positif (psychology positive) memiliki dua tujuan utama, yakni: 1) meningkatkan pemahaman tentang kekuatan manusia (human strengths); dan 2) menanamkan pengetahuan ini untuk membangun kekuatan individu daripada untuk memperbaiki kelemahan mereka. Resiliensi merupakan kekuatan dasar yang mendasari semua karakteristik positif pada kondisi emosional dan psikologis manusia. Tanpa resiliensi tidak akan ada keberanian, rasionalitas dan insight.

B. Mantan Narapidana Remaja

Pengertian Narapidana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana atau terhukum. Narapidana juga merupakan seseorang yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya berperilaku yang dianggap tidak dapat ditoleransi dan harus diperbaiki dengan penjatuhan sanksi pengambilan kemerdekaan sebagai penegakan norma-norma (aturan) oleh alat-alat kekuasaan negara, yang ditujukan untuk melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma tersebut (Sofhia, dalam Ahmad, 2012).

Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) pasal 1 ayat 32 menyatakan terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kesimpulannya bahwa narapidana merupakan individu pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah oleh majelis hakim dan dihukum penjara selama kurun waktu tertentu, kemudian ditempatkan dalam rumah tahanan sebagai tempat pelaksanaan hukuman tersebut.

Kata “remaja” berasal dari bahasa Latin adolescence berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984, Rice, 1990 dalam Jahja, 2011). Anna Freud (1895-1982) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, serta proses pembentukan orientasi masa depan (dalam Sarwono, 2013). Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan membagi kurun usia remaja dalam dua bagian, yaitu remaja awal

(18)

9

10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun (dalam Sarwono, 2013). Berbeda dengan Erik Erikson, batasan usia yang diberikan ialah 10-20 Tahun (dalam Santrock, 2003).

Pandangan Kohlberg (dalam Santrock, 2012) terhadap tugas pokok remaja mencapai moralitas, kenakalan remaja digambarkan sebagai kegagalan dalam mengembangkan konsep moral dan pengendalian terhadap perilaku. Dalam pandangannya, Kohlberg juga menjelaskan bahwa remaja menafsirkan segala tindakan dan perilakunya sesuai dengan struktur mental mereka sendiri dan menilai hubungan sosial dan perbuatan tertentu sebagai adil atau tidak adil.

Perilaku kriminal merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, biasanya individu melakukan kejahatan seorang diri atau mempraktikkan jenis kejahatan tertentu. Biasanya keluarga individu tersebut berasal dari kelas menengah ataupun keluarga yang dimiliki mengalami banyak ketegangan emosional yang parah. Remaja memiliki kontrol diri rendah sehingga menyebabkan mereka rentan terlibat dalam perilaku kriminalitas (Maria, 2007)

Perilaku kriminalitas terjadi karena remaja mengalami kebingungan peran dan kekacauan identitas dalam diri. Kebingungan identitas ini diakibatkan oleh kegagalan remaja dalam memenuhi tugas perkembangan. Menurut Hurlock (1999) beberapa tugas perkembangan yang harus dilewati remaja adalah mencapai tingkah laku sosial yang bertanggungjawab dan mencapai peran sosial sesuai dengan jenis kelamin. Seperti dikatakan Tridhonanto (dalam Hilman, Indrawati, 2017) apabila tugas perkembangan pada masa remaja tidak terpenuhi atau gagal terpenuhi, maka menimbulkan kebingungan peran bahkan kekacauan identitas diri dan berpengaruh besar terhadap masa berikutnya, salah satunya dapat memicu remaja melakukan tindakan kriminalitas.

Dalam kasusnya, remaja dapat digolongkan sebagai terpidana anak maupun dewasa menurut usianya (karena remaja berada dalam tahap peralihan dari anak ke dewasa). Konsep “remaja” tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku di Indonesia, hukum Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) No.11 pasal 1 ayat 3 tahun 2012 memutuskan bahwa batas usia yang bisa dimintai pertanggung jawaban pidana adalah 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Sudarsono (2008) dalam bukunya yang berjudul “Kenakalan Remaja’ menjelaskan bahwa kenakalan anak adalah perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak

(19)

yang bersifat melawan hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan diluar KUHP (pidana khusus). Perbuatan anak-anak tersebut bersifat anti-sosial yang menimbulkan keresahan dilingkungan mayarakat, disekolah maupun keluarga. Kejahatan yang dilakukan anak-anak dapat diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya.

Menurut Yudobusono (1995) mantan narapidana adalah orang yang pernah berbuat tindak pelanggaran norma-norma yang berlaku di masyarakat dan telah selesai menjalani hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Azani (2012) juga menyatakan bahwa mantan narapidana adalah seseorang yang pernah dihukum dan menjalani hukuman di Lembaga pemasyarakatan namun sekarang sudah selesai menjalani hukuman di Lembaga pemasyarakatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (dalam Galasdara, 2018). Narapidana akan dipulangkan ke kehidupan sosial atau ketempat sebelum ia menjalani masa tahanan, beberapa tahanan merupakan narapidana bebas bersyarat (masih harus melapor diri), dan yang dibebaskan secara penuh.

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur dasar yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bodgan & Taylor dalam Moleong, 2010). Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai suatu permasalahan yang disoroti. Dalam hal ini penulis akan menggambarkan sikap resiliensi yang dimiliki oleh remaja mantan narapidana di Kota Waingapu, dengan menggunakan tema-tema resiliensi yang diperoleh melalui hasil penelitian.

Jenis penelitian ini ialah penelitian studi kasus, yang merupakan suatu proses pengumpulan data dan informasi secara mendalam, mendetail, intensif, holistik, dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode dan teknik serta banyak sumber informasi untuk memahami secara efektif bagaimana orang, kejadian, latar alami (social setting) itu beroperasi atau berfungsi sesuai dengan konteksnya (misalnya pengamatan, wawancara, bahan audiovisual, dan dokumen dan berbagai laporan), dan melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus (Creswell, dalam Afrizal, 2015).

(20)

11

Penelitian kasus memperhatikan semua aspek yang penting dari suatu kasus yang diteliti. Dengan menggunakan tipe penelitian ini akan dapat diungkapkan gambaran yang mendalam dan mendetail tentang suatu situasi atau objek. Kasus yang diteliti adalah mengenai satu perisiwa, beberapa orang dan beberapa keluarga dalam satu kelompok, yang dimaksudkan agar peneliti dapat menghayati, memahami dan mengerti bagaimana objek itu beroperasi atau berfungsi dalam latar alami yang sebenarnya.

2. Partisipan Penelitian

Pemilihan partisipan penelitian dilakukan dengan mengambil orang-orang yang memiliki ciri-ciri spesifik yang ditetapkan oleh peneliti berjumlah dua orang.

Tabel 1.

Identitas Partisipan

Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2

Nama/Inisial B U Tempat, Tanggal Lahir Waingapu, 14-10-2001 Gerung, 03-04-2000

Umur 18 Tahun 19 Tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki

Pekerjaan Siswa Penjual Ikan

Agama Kristen

Protestan Muslim

Kasus Pencurian Perlindungan Anak

Masa Tahanan 01 Thn, 06 Bln 2 Thn, 03 Bln Range waktu

kebebasan 1 Thn 2 Bulan 9 Bulan

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, tepatnya dikecamatan Kota Waingapu. Karakteristik tempat penelitian dilihat dari jumlah remaja yang cukup banyak terjerat kasus-kasus kejahatan/kriminal dari yang paling ringan hingga yang terberat, beberapa yang subjek temukan sudah bebas dari masa tahanan. Selain itu peneliti berasal dari Kota yang sama yaitu Kota Waingapu, sehingga pola komunikasi diharapkan akan lebih efektif.

4. Teknik pengumpulan data a. Observasi

(21)

Observasi adalah sistem atau rencana untuk mengamati perilaku. Selain itu sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik dan situasional terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Margono, 2003). Teknik observasi dapat mengungkap tingkah laku non-verbal dimana tingkah laku tersebut dapat diamati dengan pengamatan sendiri, sebab pengamat melihat dan mendengarkan suatu objek penelitian dan kemudian menyimpulkan dari apa yang telah diamati. Pengamat dapat memberi makna tentang realitas yang diamati dalam konteks yang alami (natural setting) serta melihat hubungan dari satu objek dengan objek yang lainnya. Teknik observasi ini sesuai dengan metode fenomenologi yang dipakai sehingga peneliti dapat merasakan dan menghayati secara langsung apa yang dialami oleh partisipan.

b. Wawancara Mendalam (indepth interview)

Wawancara merupakan percakapan tatap muka (face to face) antara pewawancara dengan sumber informasi, dimana pewawancara bertanya langsung tentang suatu obyek yang diteliti dan telah dirancang sebelumnya. Indepth interview dilakukan dengan memberikan pertanyaan secara mendalam untuk mendapatkan pernyataan dari informan yang diwawancarai mengenai perasaan, pendapat dan pengetahuan partisipan. Peneliti juga membuat interview guide berdasarkan faktor-faktor resiliensi dari Reivich dan Shatte (2002)

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu metode pengumpulan data dengan melihat atau menganalisis buku maupun dokumen-dokumen yang berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis (Yusuf, 2014). Hal ini juga berguna untuk menyusun landasan teori yang menjadi tolak ukur dalam menganalisa data penelitian untuk menjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti.

d. Triangulasi

Triangulasi (crosscheck) adalah teknik pengumpulan data bersifat menggabungkan beberapa Teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada dengan metode observasi, wawancara, juga dapat menggunakan informan lain dalam mengecek kebenaran (Sugiyono, 2010). Pengumpulan data dengan triangulasi dapat sekaligus menguji kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data.

5. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data

Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, sehingga data yang dianalisis merupakan data kualitatif. Analisis data kualitatif (Bogdan & Biken, dalam Maleong,

(22)

13

1988) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan data yang dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Prosedur analisis data dilakukan secara tematik menggunakan teknik analisis Oleh Miles dan Hubberman (1992) yang terdiri dari tiga komponen yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan kesimpulan (drawing verification). Teknik keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi sumber untuk menggali kebenaran informasi dan membandingkan informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda.

HASIL PENELITIAN

Beberapa hal yang dapat dipersiapkan dalam melakukan penelitian antara lain; 1) membuat rancangan penelitian, 2) menerapkan karakteristik partisipan, dan 3) menyiapkan perlengkapan penelitian seperti perekam suara. Penelitian ini berlangsung di kota Waingapu yang terdiri dari 2 partisipan mantan narapidana. Peneliti mengambil data identitas para mantan narapidana melalui Lapas Klas IIA Waingapu dan kemudian mendatangi lokasi keberadaan partisipan untuk kesediaan meluangkan waktu guna melakukan wawancara berkaitan dengan waktu dan tempat yang akan digunakan untuk proses wawancara.

Setelah mendapatkan partisipan yang memenuhi kriteria, ditetapkanlah metode pengambilan data yang akan dipakai yaitu metode wawancara mendalam dan metode observasi, serta menyusun panduan wawancara (interview guide). Wawancara dilakukan ditempat partisipan berada yaitu Sekolah dan tempat kerja partisipan (Pasar). Sebelum melakukan wawancara peneliti menjelaskan terlebih dahulu garis besar serta maksud dan tujuan penelitian, serta meminta ijin untuk menggunakan alat rekam dalam proses wawancara. Observasi wawancara dilakukan sewaktu wawancara berlangsung yaitu di sekolah dan ditempat kerja partisipan. Setelah partisipan menyatakan kesediaannya maka peneliti dan partisipan membuat kesepakatan waktu dan lokasi penelitian akan dilakukan.

Deskripsi Partisipan Pertama

Subyek merupakan seorang remaja laki-laki berinisial B yang berusia 18 Tahun. B berasal dari Waingapu namun bersuku Rote. B memiliki satu kakak laki-laki dari pernikahan pertama ibunya dan B merupakan anak pertama dari pernikahan kedua ibunya, B juga memiliki seorang adik laki-laki. Saat ini B bersekolah di salah satu SMK yang berada di

(23)

Kawangu kelas X. Ayah B bekerja sebagai tukang bangunan sedangkan ibunya bekerja sebagai TKW di Malaysia, saat ini B tinggal bersama opa dan omanya. B merupakan mantan narapidana kasus pencurian. B masuk penjara pada saat berumur 15 tahun. B menjelaskan bahwa ia mengambil mengambil kendaraan tetangganya, keesokan harinya B langsung didatangi oleh Polisi kemudian B ditangkap dan disidang. Kejadian tersebut berlangsung pada tahun 2016. Menjadi seorang tahanan diumurnya yang masih remaja membuat B tidak bisa menerima keadaan dan larut dalam keadaan sedih dan kecewa, lama-kelamaan hal tersebut membuat B merasa stres dan tertekan kemudian B mencoba melakukan percobaan bunuh diri namun digagalkan oleh salah satu tahanan. Tidak hanya pada saat didalam sel, banyak perlakuan buruk yang didapatkan B setelah terbebas dari masa tahanannya, seperti penolakan yang terjadi dilingkungannya dalam bentuk pemukulan, pengucilan, pencibiran serta pemberian label atau stigma negatif pada B. hal tersebut menjadi tekanan tersendiri bagi B namun B memiliki kemauan untuk bangkit dan menata kembali langkah hidupnya dengan melakukan hal-hal positif dan berdampak baik.

Deskripsi Partisipan Kedua

Subyek merupakan remaja laki-laki yang berusia 19 tahun berinisial U. U berasal dari Waingapu dan bersuku Lombok. U merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ayah U bekerja sebagai pedagang pakaian sedangkan ibu U telah wafat beberapa tahun yang lalu dan kakak U yang pertama dan kedua sudah menikah . Saat ini U bekerja sebagai penjual ikan di Pelabuhan. Kehidupan U berubah drastis semenjang kepergian ibunya, U mulai jarang masuk sekolah dan nilai-nilai U semakin menurun, pada saat itu U merasa kehilangan motivasi untuk bersekolah. U merupakan mantan narapidana dengan kasus perlindungan anak dibawah umur atau pemerkosaan anak dibawah umur. U masuk penjara pada saat berumur 16 tahun pada 2016 silam. U menceritakan bahwa ia melakukan hal tersebut dengan kekasihnya sendiri namun dilaporkan oleh orang tua kekasihnya. Saat pihak keluarga U ingin bertanggung jawab, keluarga perempuan tidak mau mengurus masalah tersebut secara kekeluargaan, akhirnya U tetap diproses dan dimasukkan ke dalam penjara. Kehidupan U saat menjadi tahanan begitu sulit karena kasus yang dijatuhi padanya merupakan kasus yang sangat sensitif dikalangan terpidana, sehingga U banyak mendapatkan perlakuan kasar semasa ia menjadi tahanan. Kehidupan U setelah terbebas dari penjara pun tidak luput dari respon negatif dari lingkungan, hubungan U dengan keluarganya pun menjadi renggang dikarenakan U sering cekcok dengan ayahnya, akhirnya U memutuskan untuk tinggal bersama kakak sepupunya dan membantu kakak sepupunya

(24)

15

bekerja menyulu dan menjual ikan. Terlihat bahwa kondisi emosi U belum sepenuhnya stabil sehingga U mudah tersulut emosi. U menyadari bahwa dirinya cukup berbeda dengan yang dulu, U masih terus berusaha menghilangkan sifat buruknya agar ia tidak menyakiti siapapun lewat tutur kata dan sikapnya, U memiliki harapan agar ia mampu melewati segala kesulitanya dengan usaha-usaha yang sedang ia kerjakan saat ini.

Dari hasil wawancara dan analisa data yang telah dilakukan, diketahui bahwa kedua partisipan memiliki pengalaman dan proses mencapai resiliensi yang berbeda. Mereka mengalami berbagai penolakan dari teman-teman, keluarga, lingkungan ataupun tempat kerja oleh karena status mereka sebagai mantan narapidana (Thomas P. LeBel dalam Lestari, dkk., 2017) Perubahan kondisi dari remaja biasa menjadi mantan narapidana memunculkan stresor yang dirasakan memberi tekanan yang cukup besar (Hendriani, 2013). Dari pengalaman tersebut diklasifikasikan beberapa tema yang dapat menggambarkan tahapan resiliensi pada kedua partisipan, antara lain:

A. Penolakan yang Dialami Mantan Narapidana

Kedua subyek mengakui bahwa mereka mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan baik ketika berada didalam Lapas maupun setelah keluar dan bersosialisasi dengan masyarakat. B mendapatkan tekanan yang cukup besar ketika berada didalam penjara hingga B memutuskan untuk melakukan percobaan bunuh diri, seperti yang dinyatakan dalam:

“ia dulu pas awal-awal masuk penjara rasanya stres skali, tertekan, takut, tidak kuat hidup di penjara, pikiran tidak karuan rasanya pingin mati saja pingin bunuh diri segala macam, pernah satu kali saya dapat kater mau bunuh diri sudah, mau mati, bosan sudah saya, tidak ada lagi saya punya pikiran untuk mau hidup, pokoknya berakhir sudah semua, saya pas mau ayun kater dileher ada satu orang bapa tua datang ketuk terali trus tanya ada buat apa, disitu saya kaget, langsung dia ambil itu kater, mulai omong sudah nasihat saya, saya menangis baru saya sadar kalau yang saya buat itu salah”

Dari kejadian yang dialami B, B menyadari bahwa ia masih memiliki jalan hidup yang panjang lalu memutuskan untuk bertahan hingga masa tahanan selesai. Setelah keluar dari Lapas B masih mendapat perlakuan yang kurang baik dari masyarakat, B awalnya dijauhi oleh orang-orang disekitarnya, dicibir dan sempat dipukuli hingga B

(25)

sempat merasa takut pada situasi tersebut dan tidak mampu hidup dalam ketenangan, seperti yang dinyatakan dalam:

“awalnya pasti dapat penolakan kayak sulit cari kerja, sulit bergaul, mau keluar juga takut, kayak tertekan semua, susah, mau keluar saja pikir nanti orang pukul sampai mati. Dirumah juga mau sendiri-sendiri bingung, kayak mau gila tidak gila, mau mati tidak mati, hidup tidak hidup, begitu semua, bercampur.

Namun siring berjalannya waktu B mampu mengontrol perasaan takutnya dan mulai tidak terlalu peduli dengan perkataan orang lain. B mampu mengusahakan dirinya untuk melakukan hal positif agar sedikit mengurangi beban moralnya. Penolakan juga tidak luput dalam kehidupan U. Jenis kasus yang dilakukan U cenderung lebih mendapat sorotan baik saat berada didalam Lapas maupun saat berada ditengah masyarakat. U mengakui bahwa dirinya mendapat perlakuan kasar dari petugas kepolisian saat menjadi tahanan Polres dan ketika berpindah ke Lapas U juga mendapat perlakuan kasar secara verbal maupun non-verbal yang membuat trauma tersendiri pada U, seperti yang dinyatakan dalam:

“dulu yang pas masih dikantor polisi kena pukul, kena maki, ai banyak yang mereka buat, disitu saya hanya bisa pasrah saja, di Lapas juga begitu, kena pukul kena maki kena ejek hina hanya saya tahan saja saya punya emosi, pernah juga berkelahi di Lapas karena tidak kuat saya dengar mereka punya omongan. Saya tidak tau harus hadapai bagaimana, saya kayak rasa sendiri, hanya tau menangis dan pasrah saja, mau bunuh diri juga saya pikir saya punya keluarga pasti tambah terbebani mereka, saya masih belum kasih bahagia mereka”

Dalam kondisi tertekan U berhasil untuk tidak memilih keputusan yang salah, U tetap memilih bertahan melewati masa tahanan yang berat dan penuh tekanan. Setelah kembali ke masyarakat sama halnya U sebagai mantan narapidana juga mendapat penolakan dari orang-orang disekitarnya, seperti yang dinyatakan dalam:

“pas keluar penjara juga saya tidak banyak bergaul, saya punya teman-teman lama juga tidak pernah datang main lagi, kalo lewat depan rumah juga tidak pernah tegur saya, mereka punya mama-mama juga yang larang

(26)

17

bergaul, sering saya dengar orang suka omong-omong namanya saya. Saya pasrah saja, malas urus yang begitu, saya punya hidup sudah sulit jangan lagi kalian buat sulit, saya tidak mau ambil pusing kaka, lebih baik saya buat apa yang menurut saya baik ”

Berbagai penolakan dan diskriminasi yang dialami U tidak membuatnya rendah diri melainkan memberikan ia kekuatan untuk bertahan dan melakukan hal-hal yang memberikan perubahan baik untuk U.

B. Penerimaan Diri

Dari hasil wawancara, kedua subyek menunjukkan respon yang berbeda terhadap penerimaan diri mereka. B menanggapi positif terhadap pengalaman buruk yang telah terjadi padanya, B terlihat mampu menerima statusnya sebagai mantan narapidana dan tidak lagi mempermasalahkan status tersebut, seperti yang dinyatakan sebagai berikut:

“saya terima saja, mau bagaimana lagi, namanya juga dulu saya pernah buat salah, selagi saya pernah buat salah buat apa juga saya mempermasalahkan orang punya pendapat, terima saja, saya juga sudah kebal dengan orang punya kata-kata”

Rasa kepercayaan diri B juga diwujudkan dengan keyakinan untuk melanjutkan sekolah, B mencoba menyingkirkan rasa malu dan rendah diri dan tetap fokus pada tujuannya untuk bersekolah. Berbeda dengan U, sikap penerimaan diri yang diperlihatkan U belum maksimal. U tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolahnya dikarenakan takut mendapat penolakan dari guru dan teman-teman sekolahnya, seperti yang dinyatakan dalam:

“tidak punya pikiran sama sekali waktu itu untuk lanjut sekolah, saya sudah jadi napi begini tiba-tiba muncul disekolah, mereka bilang apa sudah, yang ada mereka semua menjauh dari saya karena takut”

U terlihat tidak percaya diri dengan statusnya sebagai mantan narapida sehingga ia mengurungkan niatnya untuk bersekolah, namun U tidak menyerah dalam hidupnya, U membuktikan dengan mau bekerja walau dengan penghasilan tidak seberapa tetapi ia mau belajar bertanggung jawab terhadap dirinya.

(27)

C. Adaptasi Sosial

Kedua partisipan menemukan pemasalahan yang sama yaitu sulitnya membangun relasi yang baik dalam lingkungan tempat mereka tinggal. Berbagai respon penolakan mau tidak mau harus mereka terima. B menjelaskan bahwa ia pernah dipukuli ketika hari pertama bebas dari Lapas, B juga mendapatkan respon yang kurang menyenangkan dari tetangga rumah yang suka mencibir dan mendiskriminasi keluarga B, seperti yang dinyatakan dalam:

“waktu saya baru keluar dari Lapas saya dihadang oleh banyak orang-orang besar, laki-laki semua mereka datang dengan banyak motor, salah satunya saya kenal, dia saudara yang saya ambil barangnya waktu itu, tetangga juga. Waktu itu saya kena keroyok kena pukul dari mereka sampai luka-luka memar semua dibadan”

“kadang yang bikin tidak nyaman itu tetangga-tetangga saja yang suka omong nama, bilang ini itu, omong saya punya keluarga begini begitu, ada saja bahan yang tidak habis-habis mereka omong”

Walau terlihat kesal tetapi B tidak mernah merespon secara serius apa yang dikatakan padanya karena B berpikir hanya akan menambah masalah jika sampai berkelahi. Masa adaptasi yang sulit juga dialami oleh U, U juga pernah berkelahi dengan anak muda yang ada dilingkungannya karena ia terus-terusan diejek, seperti yang dinyatakan dalam:

“pernah satu kali saya berkelahi dengan anak-anak didekat rumah karena saya main kena ganggu trus bilang napi, penjahat, apa segala macam, satu dua kali saya kasih tinggal tapi keterusan, siapa yang tahan kaka kalau orang omong begitu, saya pukul dia sudah. Banyak masalah yang saya dapat karena saya mantan napi, hanya semua orang bisa jadi jahat, bisa jadi baik, hanya orang tidak paham itu ”

Terlihat bahwa U cukup kecewa dengan perlakuan yang ia dapatkan, namun U tidak terlihat menyimpan dendan tetapi U lebih kepada keinginannya untuk berubah agar suatu saat pikiran masyarakat lebih terbuka dan lebih dapat menerima mantan narapida dengan segala kondisi mereka.

(28)

19

D. Dukungan Sosial

Kedua partisipan tentu memiliki sumber dukungan yang berbeda-beda baik dari keluarga, sahabat atau dari siapapun. Dukungan yang didapatkan oleh B berasal dari opa-oma, sepupu serta teman-temannya, seperti yang dinyatakan dalam:

“kalau dirumah ada opa dengan oma yang selalu dukung, kasih semangat, kasih nasehat, mereka orang yang paling kawatir kalau saya kenapa-kenapa, ada juga sepupu yang selalu kasih ingat belajar jangan banyak main, kawan-kawan juga yang suka anak ikut kegiatan Pramuka, menyanyi, main music, banyak”

Hal ini membuat B lebih bersemangat. U juga mendapatkan sumber dukungan dan penyemangat dari kaka sepupunya serta teman-teman sesama penjual ikan, seperti yang dinyatakan dalam:

“ada kakak sepupu yang selalu kasih semangat, kasih ingat untuk giat kerja karena saya tidak mau sekolah, dia kasih ingat saya juga untuk pergi sholat, ada juga kawan-kawan yang sama juga kita tidak sekolah, tapi liat mereka semangat bikin saya juga jadi semangat, mereka kawan baik yang tidak pernah pandang saya napi ko saya apa ko, tidak ada yang begitu”

Dengan dukungan sosial yang didapatkan kedua partisipan, mereka akan lebih mudah melewati kesulitan-kesulitan hidup yang mereka alami. Adanya dukungan sosial menyadarkan mereka bahwa mereka tidak sendiri

E. Tujuan Hidup

Sebagai seorang mantan narapidana tentu akan sulit menentukan apa tujuan hidup mereka kedepan ditambah lagi kesulitan-kesulitan yang akan mereka temui dengan status mereka. Sebagaimana U, ia telah menetapkan tujuannya kedepan untuk berkuliah, seperti yang dinyatakan dalam:

“saya harap suatu saat saya bisa kuliah, bisa sampai S2, kerja keras bangun rumah tingkat kasih saya punya orang tua supaya mereka tidak diinjak-injak lagi karena punya anak mantan napi. Saya pengen kasih bahagia saya punya bapa yang sudah banting tulang cari uang, saya punya mama yang sudah rela kerja sampai Malaysia, saya punya kaka yang sudah

(29)

berhenti sekolah demi cari uang untuk kita, saya tidak mau sia-siakan mereka punya pengorbanan untuk saya”

Berbeda halnya dengan U yang belum memikirkan apa yang akan terjadi kedepan, U hanya menjelaskan bahwa ia ingin memperbaiki hubungan baik dengan keluarganya seperti yang dinyatakan dalam:

“saya belum tau apa yang mau saya buat kedepan, paling ya kerja jual ikan saja. Hanya satu saja yang saya mau saat ini, saya bisa tinggal dengan saya punya keluarga seperti dulu, aman, tidak berselisi lagi, mereka juga bisa terima saya apa adanya”

Tujuan dari partisipan tersebut diharapkan mampu menuntun subyek dalam tahap demi tahap menuju harapan yang ingin mereka capai.

Triangulasi Sumber 1. Partisipan 1

Triangulasi partisipan pertama dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 2019 pukul 11.30 WITA bersama saudara sepupu B, yang bertempat tinggal di Kambaniru, tidak begitu jauh dari rumah B. Menurut sepupu B, saat ini B telah tinggal bersama dengan opa-omanya. Saat sebelum kejadian, B tinggal dirumah ayahnya yang bersebelahan dengan rumah sepupu B. Sepupu B menjelaskan bahwa setelah B bebas dari penjara, B menjadi sosok yang lebih dewasa dan rajin. Sepupunya selalu mengingatkan pada B untuk selalu belajar, dan B selalu mendengarkan, B juga menceritakan keinginannya untuk bisa Kuliah Teknik suatu saat, B ingin menjadi orang yang berhasil, dan selalu diiringi semangat dan doa dari keluarga.

Kemudian pada tanggal 26 Agustus 2019 wawamcara dilakukan bersama ayah B dirumahnya pada pukul 16.00 WITA. Cukup sulit bertemu dengan ayah B dikarenakan pada saat itu ayah B sedang mengerjakan proyek di Desa. Setelah bertemu untuk wawancara, ayah B menjelaskan bahwa sejak kecil memang ia sudah merawat B sendirian. Setelah kejadian yang menimpa B, ia lebih sering berada dirumah dan membantu opanya beternak. B menjadi anak yang berbeda yang dulunya suka berkelahi dan berkumpul dengan anak-anak nakal sekarang tidak seperti itu, B sudah menunjukkan perubahan yang signifikan. Tidak lupa juga ayah B terus mengingatkan untuk selalu ke gereja dan beribadah.

(30)

21

Wawancara triangulasi terakhir dilakukan bersama salah satu teman kelas partisipan yang merupakan teman dekatnya di Sekolah. Wawancara singkat dilakukan pada hari yang sama saat sore hari pukul 15.00 WITA sebelum mereka melakukan latihan Vocal Group bersama di Gereja. Teman partisipan menjelaskan bahwa partisipan merupakan anak yang baik dan pintar, partisipan juga rajin mengikuti kegiatan disekolah. Ia juga berkata bahwa partisipan tidak pernah sembarang dalam bergaul.

2. Partisipan 2

Triangulasi partisipan pertama dilakukan pada tanggal 05 Agustus 2019 pukul 15.30 WITA, wawancara dilakukan bersama teman U dipasar teman U dan teman-temannya bekerja. Teman U menjelaskan bahwa U merupakan anak yang baik dan mau membantu kesulitan teman-temannya, U juga sangat ulet bekerja, apa yang bisa ia kerjakan untuk mendapatkan uang, pasti ia lakukan asalkan itu halal. U juga jarang sekali pulang kerumah, dan sering tidur dan mandi di Pasar.

Kemudian wawancara berikut dilakukan bersama kakak sepupu U pada tanggal 8 Agustus 2019 pukul 12.00 WITA dirumahnya. Kakak U mengatakan bahwa sejak U keluar dari penjara, U tidak mau melanjutkan sekolah, U hanya ingin membantunya bekerja dan sekarang U sudah lebih bisa mandiri, dalam artian ia sudah bisa membiayai kebutuhannya sendiri. U merupakan anak yang tidak suka merepotkan orang lain sejak dulu. Harapan kakak U setelah U bekerja, sedikit-demi sedikit dia mampu melupakan kejadian pahit yang dulu terjadi padanya dan mulai menata kembali kehidupannya dengan jalan yang lebih baik.

PEMBAHASAN

Mantan narapidana merupakan sebutan bagi individu yang telah selesai menjalani masa tahanannya (Azani, dalam Galasdara, 2018). Kehidupan individu dengan status sebagai mantan narapidana bukan merupakan hal yang mudah, ditambah lagi pengalaman mereka saat berada dalam tahanan menjadikan tekanan dalam diri mantan narapidana semakin kuat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), diketahui sebanyak sebagian besar remaja dengan kasus kriminal mengalami gejala-gejala stress saat akan siding dan wajib lapor (Pasudewi, 2012).

Perlakuan yang didapatkan saat berada didalam tahanan menciptakan stresor bagi narapidana, salah satu yang menjadi alasan ialah terjadinya kekerasan (peloncoan),

(31)

pem-bully-an atau tindak semena-mena yang dilakukan baik oleh sesama terpidana maupun petugas Lapas (Martha, 2018). Hukuman serta perlakuan yang diberikan kepada narapidana tidak hanya menimbulkan efek didalam penjara, namun akan berlanjut setelah bebas dari penjara. Mantan narapidana akan menghadapi tekanan batin di luar penjara ketika kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya (Davidoff, dalam Kusumawardani & Astuti, 2015). Mantan narapidana tentu memiliki harapan untuk dapat berinteraksi dan menjalani kehidupan yang lebih baik bersama masyarakat selepas dari masa tahanannya. Namun adaptasi sosial yang terjadi antara mantan narapidana dengan masyarakat bukanlah perkara mudah dan tentu mengalami berbagai kesulitan dan penolakan. Mantan narapidana tidak terlepas dari labeling atau pemberian stigma negatif oleh masyarakat, yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi mereka untuk berbaur dengan masyarakat (Lestari, dkk., 2017).

Tekanan dari lingkungan masyarakat dalam berbagai bentuk penolakan memunculkan dampak negatif bagi mantan narapidana. Secara psikis, mantan narapidana akan memiliki rasa rendah diri dan sikap pesimis sehingga memunculkan perasaan tidak berharga dan menarik diri dari masyarakat (Iskandar, 2017). Sofhia (dalam Utami & Dewi, 2015) menjelaskan bahwa banyak narapidana yang telah bebas menjadi kehilangan jati diri, hal ini ditandai dengan sikap tertutup, acuh tak acuh, sinis dan anti sosial. Ketidakmampuan mantan narapidana dalam kontrol diri dan mengatasi persoalan tersebut akan memunculkan potensi depresi yang tinggi. Diskriminasi dari masyarakat mengakibatkan individu mengalami kecemasan, rendah diri, depresi dan menarik diri dari lingkungan (Iskandar, 2017).

Untuk itu sikap resiliensi sangat dibutuhkan oleh mantan narapidana yang memampukan mereka untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami. Individu yang memiliki resiliensi yang baik akan berhasil menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan yang kurang menyenangkan serta meminimalisir tekanan yang dialaminya (Grotberg, dalam Hendriani, 2018). Resiliensi merupakan proses koping terhadap stresor, kesulitan, perubahan, maupun tantangan yang dipengaruhi oleh faktor protektif. Resiliensi psikologis ini akan mencerminkan bagaimana kekuatan dan ketangguhan yang ada dalam diri seseorang (Richardson, dalam Hendriani, 2018).

Pengalaman hidup remaja mantan narapidana tentu berbeda dengan pengalamanan hidup individu lainnya. Remaja yang pada usia tersebut seharusnya menikmati waktu bermain, belajar dan mengeksplorasi berbagai pengalaman, kemudian harus dibatasi geraknya dalam tahanan (Hanun, 2013). Kehidupan remaja saat berada di dalam penjara penuh dengan tekanan dan stresor yang muncul. Keadaan shock membuat remaja sulit

(32)

23

berpikir jernih hingga beberapa kasus ditemukan bahwa banyak narapidana remaja yang melakukan percobaan bunuh diri (Martha, 2018). Tugas perkembangan yang dimiliki remaja belum cukup untuk menggambarkan kesiapan remaja dalam memikul tanggung jawab yang begitu besar, dimana remaja tersebut harus hidup dengan status sebagai “mantan narapidana” sampai akhir hidup mereka, tentu hal ini akan mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap pola pikir dan pola perilaku remaja (Ahmad, 2012).

Syarat utama untuk mengembangkan kemampuan resiliensi dalam diri individu adalah belajar menerima keadaan diri, hal ini penting karena dapat menunjang keberhasilan tahap-tahap resiliensi selanjutnya. Individu yang dihadapkan dengan status sebagai mantan narapidana tentu merasa mereka bukanlah diri mereka yang dulu. Hal ini disebabkan karena individu merasa malu dengan status mereka serta dapat mengakibatkan rasa rendah diri, kepercayaan diri yang menurun serta memiliki harapan hidup yang rendah (Pasudewi, 2012). Penerimaan diri dapat diwujudkan dengan optimisme atau keyakinan diri dan disertai dengan pikiran yang positif. Grotberg (dalam Hendriani, 2018) menyatakan tiga sumber resiliensi, salah satunya yaitu: I am, I am adalah sumber resiliensi yang berisi tentang perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Resiliensi dapat diringkatkan ketika seseorang mempunyai kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri seperti kepercayaan diri , memiliki sikap empati, bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan memiliki harapan akan masa depan.

Kedua subyek menerapkan penerimaan diri dengan cara yang berbeda, seperti halnya B, menceritakan semasa berada didalam masa tahanan ia mengalami tekanan dan stres hingga B memutuskan untuk melakukan percobaan bunuh diri namun digagalkan oleh salah satu tahanan, dari situ B mendapatkan banyak nasihat dan masukan yang membuat B mulai kembali memiliki harapan untuk hidup, B mulai mampu menerima realita yang terjadi dalam hidupnya dan mencoba berhenti menyalahkan diri sendiri. Sejak saat itu B menunjukkan perubahan yang signifikan seperti rajin mengikuti ibadah mingguan di Lapas, mengisi lagu dalam kebaktian dan lebih giat berdoa. B menyadari bahwa dirinya masih sangat muda untuk menyerah dan merasa masih banyak kesalahan yang harus ia tebus kepada kedua orang tuanya, sehingga kesempatan saat terbebas dari masa tahanan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk melakukan hal-hal positif yang berdampak baik.

Penerimaan diri yang dialami B cukup berbeda dengan U. U merupakan tahanan dengan kasus yang cukup sensitif dikalangan narapidana dan karenanya U lebih banyak mendapat perlakuan kurang baik seperti pernah dipukuli dan ditelanjangi oleh petugas kepolisian sebelumnya maupun tahanan yang ada di Lapas, disuruh berdiri satu kaki semalaman

(33)

dipojok sel dan lainnya. Hal tersebut tentu membuat U merasa sangat tertekan dan pasrah untuk semua yang terjadi dalam hidupnya, ditambah lagi U jarang mendapatkan kunjungan dari keluarganya yang membuat U semakin sedih. Penerimaan diri yang diterapkan U lebih mengarah pada kepasrahan akan hidup selanjutnya dan U masih memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah dilihat dari U yang takut untuk bertemu orang ayahnya karena U sempat mengalami cekcok dengan ayahnya serta U yang memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena merasa malu untuk bertemu dengan guru dan teman-temannya, tetapi U tetap mensyukuri apa yang sudah terjadi pada dirinya dan berharap bisa melakukan lebih banyak hal positif untuk kedepannya.

Setelah mantan narapidana terbebas dari masa tahanannya, mereka dihadapkan kembali dengan realitas sosial seperti membangun kembali hubungan dengan lingkungan masyarakat, salah satunya adalah adaptasi sosial. Adaptasi sosial menggambarkan bagaimana mantan narapidana kembali bersosialisasi dengan lingkungannya serta melihat kesulitan apa yang dialami dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap konsep mantan narapidana. Resiliensi memampukan individu untuk mengembangkan keterampilan hidup seperti bagaimana berkomunikasi dan membangun relasi yang baik dengan lingkungan (Utami & Helmi,2017). Hal ini berhubungan dengan pernyataan Gortberg (dalam Hendriani, 2018) mengenai tiga sumber resiliensi, salah satu diantaranya yaitu I have. I have adalah sumber resiliensi yang berhubungan dengan besarnya dukungan sosial yang diperoleh dari sekitar. Individu yang memiliki kepercayaan rendah terhadap lingkungannya cenderung memiliki sedikit jaringan sosial dan beranggapan bahwa lingkungan sosial hanya sedikit memberikan dukungan kepadanya.

Mantan narapidana juga harus kembali membangun sosialisasi dengan lingkungan yang pastinya tidak mudah. Tidak semua orang akan menerima dengan begitu saja. Hal yang paling membuat remaja mantan narapidana merasa down adalah ketika mereka mendapati diri mereka dicibir, dicaci, dihina, bahkan keluarga merekapun terkena imbasnya, hal ini membuat mental seseorang tidak kuat dan bisa menyerah kapan saja, oleh karena itu kamampuan resiliensi sangat dibutuhkan. Kedua partisipan tentu menemukan kesulitannya sendiri saat mencoba beradaptasi dengan lingkungan seperti mendapat stigma dan diskriminasi yang juga tidak luput terjadi pada sebagian besar mantan narapidana lainnya. B telah mendapatkan kesan buruk disaat hari ia dibebaskan. Ketika berada dijalan pulang B dihadang oleh segerombolan laki-laki yang salah satunya merupakan saudara korban yang ia ambil barangnya. B dipukuli hingga mengalami luka dan cedera. Saat B tinggal dirumah orang tuanya, B hampir tidak pernah keluar rumah, B lebih sering mengurung diri karena

(34)

25

takut jika keluar maka akan dipukuli lagi. Dalam waktu yang cukup lama B memberanikan diri untuk mencoba bersosialisasi dengan tetangga rumahnya namun respon yang diberikan pada B sangat tidak bersahaja dan B sering menemukan dirinya dicibir oleh orang-orang dilingkungannya. Orang tua yang ada dilingkungan B juga melarang anak mereka untuk bergaul dengan B, sehingga B hampir tidak memiliki teman pada saat itu. B juga pernah mencoba melamar pekerjaan disebuah perusahan roko namun B ditolak ketika pihak perusahaan tahu dirinya seorang mantan narapidana. Kesulitan beradaptasi yang dialami B awalnya membuat ia tertekan, namun B tidak ingin menyerah sampai disitu, akhirnya B pindah ke rumah opa-omanya yang berada cukup jauh dari tempat asalnya dan memutuskan untuk mencoba bersekolah kembali.

Masalah dalam beradaptasi juga dialami oleh U. U awalnya masih takut untuk pulang kerumahnya sehingga U memutuskan untuk tinggal bersama kakak sepupunya untuk sementara waktu. Saat U pulang kerumah U tidak mendapat sambutan hangat dari keluarganya, U merasa seperti orang asing, U juga tidak banyak bicara ayah dan saudaranya, U lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakak saudaranya. Respon yang didapatkan U saat mencoba membantu tetangganya memasang tenda acara, U merasa dijauhi dan banyak anak-anak yang justru takut berdekatan dengan U, ia juga sering menjadi bahan bicaraan dilingkungannya. U berusaha menanggapi dengan positif semua perilaku yang ia dapatkan dan memakluminya. Untuk menghindari situasi sulitnya U akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama kakak saudaranya dan membantu berjualan ikan. U tidak memiliki banyak kawan, hanya teman-teman penjual ikan yang ia rasa dapat menerima keadaannya dan tidak memandang negatif ia sebagai mantan narapidana.

Seseorang disebut resilient dikarenakan ia mampu melewati keadaan sulit dan menantang serta mampu mengubah hidupnya kearah positif. Individu yang memiliki resiliensi tinggi adalah individu yang cenderung easygoing dan mudah bersosialisasi, memiliki keterampilan berpikir dan keterampilan sosial yang baik, memiliki orang disekitar yang mendukung, memiliki satu atau lebih bakat atau kelebihan, yakin pada diri sendiri dan percaya pada kemampuannya dalam mengambil keputusan serta memiliki sprititualitas atau religiusitas (Murphey. Dalam Utami & Helmy, 2017).

Setiap manusia tentu berharap memiliki sosok yang akan mendukung mereka dalam kondisi apapun, begitu juga dengan mantan narapidana yang juga rentan mendapatkan penolakan dari masyarakat. Dukungan sosial ini mencakup relasi dengan keluarga dan teman sebaya, secure attachment pada ibu, kestabilan keluarga, hubungan yang aman dan pasti dengan orang tua, dukungan sosial dari teman sebaya serta dukungan yang didapatkan dalam

(35)

lingkungan sekolah. Keseluruhan aspek dukungan tersebut sangat diperlukan agar individu tidak merasa sendiri dan mampu menghadapi kesulitan dan tantangan dengan lebih mudah karena ada sosok yang dapat mereka andalkan.

Dukungan sosial yang didapatkan oleh B berasal dari opa-omanya yang selalu menuntun B jika ia salah mengambil langkah. Opa-oma B selalu memberikan perhatian lebih dan nasehat yang positif agar B tidak kembali mengulang kesalahan berikutnya. B juga mendapat dukungan sosial dari sepupu dan teman sekolahnya agar lebih giat untuk belajar dan mengikuti kegiatan atau organisasi disekolah. B menjadi lebih semangat belajar dan banyak mengikuti kegiatan seperti Pramuka, Sispala dan Vocal Group sekolah. Masten, dkk. (dalam Utami & Helmi, 2017) menyatakan bahwa anak-anak dan pemuda yang resilient ditandai dengan hasil pengukuran seperti: prestasi akademik (rangking dan skror nilai tes tinggi atau rendah, tinggal kelas atau lulus dari sekolah), perilaku (taat perilaku hukum vs perilaku antisosial), penerimaan teman sebaya dan persahabatan, kesehatan mental normatif (sedikit menunjukkan problem perilaku) dan keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan usia (aktivitas ekstrakurikuler, olahraga, dan pelayanan sosial). Sebagian besar karakteristik ini mampu diterapkan oleh B.

Dukungan sosial yang didapatkan oleh U berasal dari kakak sepupu dan teman-teman U. Kakak U selalu berpesan pada U agar bekerja dengan giat dan tidak boleh menyerah dengan keadaan, kaka U juga tidak pernah membicarakan hal yang melukai hati U disamping itu U juga mendapat penguatan dari teman-taman yang sama berjualan dengan U, U diminta untuk tetap tegar dan semangat, U merasa memiliki teman sepenanggungan yang sama sehingga beban yang tadinya dirasa berat kini sudah menjadi lebih ringan.

Tujuan hidup mencakup proses refleksi diri serta harapan bagi keberlangsungan hidup kedepan. Secara umum, sebagai seorang remaja tentu memiliki kehidupan yang tergolong masih panjang, individu juga diharapkan memiliki cita-cita dan harapan yang akan dilakukan kedepan serta mampu melewati tahap pertumbuhan yang akan mereka alami. Seorang remaja yang beralih status menjadi narapidana tentu akan sulit menjelaskan harapannya kedepan karena diusia remaja yang masih tergolong muda mereka telah menerima banyak tekanan dan hambatan. Dengan meningkatnya kemampuan resiliensi, individu juga dapat mengembangkan keterampilan yang realistik dalam membuat rencana hidup dan mampu mengambil langkah yang tepat bagi hidupnya (Rojas, 2015). Seperti hal-nya B yang mehal-nyadari bahwa pendidikan bagihal-nya saat ini adalah yang terpenting, karena lewat pendidikan B akan mampu mewujudkan harapannya untuk membahagiakan

(36)

27

keluarganya dan mereka tidak lagi dipandang sebelah mata oleh orang lain karena memiliki anak yang dulunya seorang mantan narapidana.

Hal mengenai harapan kedepan masih cukup sulit digambarkan oleh U. Setelah terbebas dari masa tahanan, U tidak memiliki harapan dan keinginan untuk melanjutkan sekolah. U merasa malu jika harus bertemu dengan teman-teman dan guru disekolah yang ditakutkan akan mendiskriminasinya. U kemudian memutuskan untuk mengikuti jejak kakak saudaranya dengan berjualan ikan, dengan harapan U tidak akan merepotkan banyak orang, walaupun U tidak bersekolah namun U dapat menghasilkan uang dari bekerja menjual ikan, U sadari memang tak seberapa penghasilan yang ia dapat, namun lingkungannya membuat ia menyenangi pekerjaannya dan membuat ia tidak merasa tertekan lagi. Keinginan U kedepan adalah dapat memperbaharui hubungannya dengan keluarga serta dapat diterima ditengah masyarakat sebagaimana ia saat ini.

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kedua partisipan remaja mantan narapidana memiliki sikap resiliensi yang berbeda dalam menghadapi tekanan dan penolakan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Pada aspek emosi partisipan pertama atau B menunjukkan penerimaan diri yang baik dan positif, terlihat ketika B mau mengambil keputusan untuk bersekolah dan mengesampingkan rasa rendah diri dan ketidakpercaayan dirinya. Penerimaan diri yang diwujudkan U berupa menghindari segala sesuatu yang berpontensi akan menolak kehadirannya, seperti tidak memiliki keinginan untuk kembali bersekolah dan tidak ingin tinggal dalam lingkungan yang penuh tekanan, namun hal positif yang mampu diwujudkan U adalah bersikap mandiri,

Proses adaptasi yang dilakukan oleh kedua partisipan sama-sama mengalami kesulitan dikarenakan banyak respon penolakan dari lingkungan yang mereka terima. B lebih memilih untuk mengabaikan, dan U memilih untuk menjauhi lingkungan yang memunculkan tekanan baginya. Penolakan yang diterima oleh mereka tidak dijadikan sebagi stimulus yang merugikan, melainkan kedua partisipan mampu mengambil nilai positif untuk perubahan diri mereka kearah positif.

Kedua partisipan juga menerima dukungan sosial yang positif dari orang terdekat mereka. Dengan adanya dukungan sosial yang diterima, kedua partisipan tidak merasa sendiri dalam menghadapi kesulitan serta kedua partisipan mendapatkan semangat untuk dapat melanjutkan hidup dengan lebih bermakna.

Perihal tujuan hidup kedepan, B mampu menggambarkan tujuan hidupnya kedepan, dan U lebih kepada memperbaharui hubungan kekeluargaan yang cukup renggang. B dan U juga bertekad untuk berusaha lebih giat demi mewujudkan harapan mereka untuk menjadi orang yang lebih baik kedepan. Kedua partisipan menunjukkan progress yang cukup baik walaupun masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi, namun sikap optimisme yang terlihat dari kedua subyek dipercaya mampu membawa perubahan positif pada diri mereka sendiri dan orang lain kedepannya.

Proses menuju resilien tidaklah mudah bagi kedua partisipan, namun ketika berbicara usaha-usaha untuk bertahan saat mengalami tekanan dan stresor kedua partisipan telah mampu mencapainya dengan baik. Proses hidup yang sulit saat menjadi mantan narapidana menjadikan kedua partisipan semakin tangguh dalam menyelesaikan permasalahan yang kemungkinan akan mereka hadapi dikehidupan mereka kedepannya.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum

Berisi analisa desain dari objek penelitian, Strengthness (Kekuatan dan Kelebihan yang dimiliki dari objek yang di teliti) perbandingan dengan objek penelitian yang sudah ada

Nem az volt a kérdés, hogy adott diagnózis vagy terápia helytálló-e vagy sem, hanem az, hogy az adott diagnózis, terápia, vagy az orvos más értelmez ı eljárásai mit

participan de un acto en Montevideo, convocados por el Plenario Intersindical de Trabajadores-Convención Nacional de Trabajadores (PIT-CNT), la Federación Uruguaya de Cooperativas

Strategi pengendalian ter- sebut dapat dilakukan dengan pencegahan terjadinya infeksi, antara lain melalui pengendalian terhadap serangga vektor, pemusnahan tanaman sakit,

Technoromantism merupakan pemikiran siber urbanisme sosial kategori yang berpandangan simpatik, empatik dan sentimental kepada golongan yang lemah, terpinggir dan dipinggirkan

Tepi potong, permukaan lembaran dan bidang potong lembaran dari hasil pengamatan secara visual terhadap tepi potong permukaan lembaran dan bidang potong Tabel 1

Pada penelitian sebelumnya, populasi S1 lebih virulen terhadap varietas Untup Rajab daripada populasi X1, meskipun dengan tingkat ketahanan yang lebih tinggi, yaitu skor 3