BAB I PENGANTAR .................................................................................. 1-6
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap kadar glukosa darah serta mengetahui metode yang lebih mempengaruhi kadar glukosa darah.
7
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Stres
Stres dapat didefinisikan sebagai ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan fisik, mental atau emosi baik internal atau eksternal yang cenderung mengganggu fungsi normal organisme (Dorland dan Newman, 2000). Menurut sudut pandang psikologi, stres dapat diartikan sebagai keadaan yang dialami ketika terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya (Looker dan Gregson, 2005). Penggunaan istilah stres secara populer mencakup hal-hal mengenai konflik batin maupun fisik berkepanjangan, tekanan terus menerus yang tidak terkendalikan, atau gangguan-gangguan yang membuat individu merasa tertekan dan tidak nyaman (Wade dan Tavris, 2007).
Kondisi stres mencakup komponen fisik yang melibatkan tantangan jasmaniah yang dihadapi oleh individu dan komponen psikologis yang mencakup mengenai bagaimana seseorang merasakan setiap keadaan dalam hidupnya. Stres melibatkan proses interaksi dan penyesuaian diri secara berkesinambungan hingga seseorang merasakan ketidaksesuaian antara tuntutan fisik ataupun psikologis dari situasi yang dihadapi dan pada akhirnya akan mempengaruhi sistem biologis, psikologis dan kondisi sosial seseorang (Sarafino, 2008).
B. Stresor
Menurut Looker dan Gregson (2005) stresor diartikan sebagai segala sesuatu di lingkungan yang dapat mengakibatkan aktivasi respon stres. Seberapa tinggi respon stres yang dihasilkan dipengaruhi oleh seberapa sering stresor tersebut terjadi atau dijumpai. Sumber stresor bisa bersifat endogenus (berasal dari dalam diri) atau bersifat eksogenus (berasal dari luar diri) (Porth dan Matfin, 2009).
Stresor merupakan keadaan fisik maupun psikologis yang menantang dan dapat menimbulkan tekanan pada sistem biologis, psikologis serta kondisi sosial seseorang. Respon fisiologis dan psikologis terhadap stresor disebut sebagai strain. Tingkat stres seseorang akan meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi, intensitas dan durasi stresor yang dihadapi. Semakin kuat stresor yang diberikan makastrainyang ditunjukkan juga semakin kuat (Sarafino, 2008).
C. Stres Sebagai Stimulus
Menurut Marks, dkk (2009) stres digambarkan sebagai stimulus. Hal ini mencakup situasi tidak menyenangkan atau situasi penuh tekanan yang dijumpai oleh setiap individu di lingkungannya sehingga menimbulkan respon. Dalam hal ini individu berhadapan dengan sumber stresor potensial yang berasal dari lingkungannya. Skema yang menunjukkan stres sebagai suatu stimulus ditunjukkan oleh gambar 1.
Gambar 1. Skema stres sebagai stimulus (Smet, 1994)
D. Stres sebagai Respon
Konteks ini menggambarkan reaksi individu terhadap stressor dan menggambarkan stres sebagai suatu respon. Respon yang dialami mencakup dua komponen yaitu :
1. Komponen psikologis yang meliputi perilaku, pola pikir, emosi, dan perasaan stres.
2. Komponen fisiologis, berupa rangsangan-rangsangan fisik yang meningkat seperti jantung berdebar-debar, mulut kering, perut mulas, badan berkeringat (Smet, 1994).
Gambar 2. Skema stres sebagai respon (Smeth, 1994)
E. Tahapan Stres
Hans Selye memberikan gambaran terkait tahapan organisme bereaksi terhadap stres yang dialami. Hal tersebut dikenal dengan General Adaptation Syndrome(GAAS). Tahapan ini mencakup tiga fase yaitu:
1. Fase alarm (alarm reaction)
Pada fase ini sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat, maka akan terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar adrenalin membesar dan thimus menjadi lemah. Saat stresor memiliki intensitas cukup untuk mengancam individu maka tubuh mengalokasikan energi untuk menghadapi ancaman tersebut (Davidson, Neal dan Kring, 2004).
Fase ini dikenal sebagai reaksi “fight or flight”. Pada tahap ini individu mulai mengenali adanya ancaman dari stresor sehingga akan mempersiapkan diri untuk melawan atau menghindar. Fase alarm adalah fase saat tubuh menggerakkan sistem saraf simpatetik untuk menghadapi ancaman langsung dan
terjadi pelepasan hormon adrenal, epinefrin dan norepinefrin (Wade dan Travis, 2007).
Fase alarm dibagi menjadi dua bagian yaitu shock phase dan counter shock phase. Selama shock phase, stresor yang ada dapat disadari atau tidak disadari oleh individu. Sistem saraf otonom bereaksi dengan melepaskan epinefrin (adrenalin) dan kortison ke tubuh dalam jumlah yang besar. Respon ini durasinya singkat, bertahan antara 1 menit hingga 24 jam. Selama countershock phase perubahan yang terjadi pada tubuh selama shock phase akan dipulihkan. Dengan demikian individu tersebut akan siap bereaksi selamashock phasepada fase alarm (Watson, 2000).
2. Fase resistensi (resistance phase)
Tahap ini menyangkut tentang konsekuensi stres terhadap aspek fisiologis, biologis, psikologis dan perilaku. Respon yang terjadi mencakup komponen psikologis dan fisiologis (Marks,dkk, 2000). Idealnya individu akan segera berpindah dari fase alarm ke fase resistensi dengan cepat sehingga ketahanan fisiologis yang dimiliki dapat digunakan untuk meningkatkan resistensi terhadap stres. Pada tahap ini organisme akan beradaptasi dengan stresor. Resistensi ini bervariasi pada masing-masing individu, tergantung pada fungsi fisiologis, kemampuan menghadapi stres, jumlah dan intensitas stresor yang dihadapi (Watson, 2000).
3. Fase kelelahan (exhausted phase)
Tahap ini menunjukkan bahwa stres yang dialami bersifat menetap atau organisme tidak mampu merespon secara efektif stresor yang dihadapi sehingga
tidak mampu beradaptasi lagi dan mengalami kelelahan (Davidson., et al., 2004). Respon adaptasi terhadap stres menurut Hans Selye ditunjukkan oleh skema pada gambar 3.
Gambar 3. Skema respon adaptasi terhadap stres berdasarkan teori Hans Selye (Watson, 2000)
F. Gejala stres
Seseorang yang mengalami stres biasanya akan menunjukkan gejala-gejala yang sulit dikenali oleh individu bersangkutan. Gejala yang muncul terkadang dikaitkan dengan gejala penyakit lain atau gejala bersifat simptomatis (Porth dan Matfin, 2009). Lau (2009) dalam bukunya menuliskan bahwa
tanda-tanda stres pada setiap orang rata-rata sama, yaitu jantung berdetak lebih cepat, pikiran menjadi lebih fokus, keringat mengucur, muncul rasa gugup dan gemetar, merasa panik. Pada individu yang sering mengalami stres hingga melampaui daya tahan individu tersebut biasanya akan muncul gejala-gejala lain seperti sakit kepala, sesak nafas, pegal-pegal, demam, tekanan darah tinggi, sembelit, keringat berlebihan dan otot tegang. Gejala itu merupakan reaksi non spesifik pertahanan diri dan ketegangan akan merangsang kelenjar anak ginjal (korteks ginjal) untuk melepaskan adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih kuat (Hartono, 2007).
G. Stres dan Kesehatan
Respon stres melibatkan semua fungsi tubuh. Stres yang terlampau besar akan menghabiskan sumber-sumber adaptif dan menyebabkan kelelahan, beragam masalah kesehatan dan bahkan masalah fatal. Aksi respon stres yang berlebihan, sering dan berkepanjangan dapat menyebabkan beragam gangguan dan penyakit. Saat mengalami stres perilaku dan gaya hidup seseorang seringkali berubah. Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan (Looker dan Greegson, 2005).
Stres mengakibatkan berbagai perubahan psikologis dan fisiologis tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan terutama jika stres itu bersifat berat dan kronis. Hubungan antara penyakit dan derajat reaktifitas seseorang dilihat dari sistem kardiovaskuler, sistem endokrin dan sistem imun individu tersebut saat mengalami stres. Reaktifitas kardiovaskuler meliputi perubahan yang terjadi di jantung, pembuluh darah dan darah dalam respon terhadap stresor. Reaktivitasi endokrin melibatkan aktivasi
hypothalamus-pituytary-adrenanl axis (HPA aksis) yang melepaskan hormon endokrin terutama katekolamin dan kortikosteroid selama periode stres (Sarafino, 2008). Menurut Atkinson, Smith, Bem (2010) stres dapat mempengaruhi kesehatan melalui beberapa jalur, yaitu:
1. Jalur langsung
Stresor mungkin memiliki efek negatif dan langsung pada kesehatan fisik jika paparan dipertahankan hingga tahap kronis. Rangsangan berlebihan (overarousal) dan jangka panjang terhadap sistem simpatis atau sistem korteks adrenal dapat menyebabkan kerusakan pada arteri dan sistem organ. Stres juga memiliki efek langsung pada kekebalan tubuh yaitu dengan menurunkan kekebalan tubuh.
2. Jalur interaktif
Jalur ini sering disebut sebagai model kerentanan stres. Hal ini menjadikan individu peka terhadap gangguan-gangguan tertentu, tetapi gangguan tersebut hanya akan muncul saat individu berhadapan dengan stres. Kerentanan biologis terhadap suatu penyakit mungkin berupa predisposisi genetik terhadap gangguan atau kelainan struktural pada tubuh yang mempredisposisikan individu kepada gangguan. Misalnya kerentanan individu terhadap hipertensi atau diabetes. Bagi sebagian individu, predisposisi genetik ini memungkinkan perkembangan penyakit jika individu berhadapan dengan situasi stres kronis.
3. Jalur perilaku sakit
Stresor menyebabkan sejumlah gejala tidak menyenangkan seperti gelisah, depresi, lelah, gangguan tidur, gangguan lambung. Sebagian orang yang
mengalami hal tersebut menginterpretasikannya sebagai gejala suatu penyakit dan menghubungi paramedis untuk mencari bantuan. Selanjutnya, perhatian yang mereka peroleh dari profesional medis dapat memperkuat perilaku sakit tersebut, artinya menjadikan lebih sering bagi mereka untuk mencari perhatian medis untuk gejala stres lagi di kemudian hari. Selain itu dengan menginterpretasikan gejala stres sebagai penyakit, orang mungkin akan memiliki alasan untuk menghindari stresor. Penelitian menyatakan bahwa orang yang mengalami stres lebih sering menggunakan pelayanan kesehatan dibandingkan orang yang tidak mengalami stres.
H. Respon terhadap Stres
Individu sebagai suatu sistem selalu merespon stresor yang dijumpai dalam hidupnya. Hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan fisik yang menjadi patofisiologis. Stresor dengan kekuatan dan intensitas yang cukup dapat menyebabkan perubahan pada fungsi normal tubuh. Bila individu memiliki kerentanan terhadap stresor maka perubahan-perubahan ini dapat dimanifestasikan sebagai penyakit (Tambayong, 2000).
Respon terhadap stres dapat berupa respon psikologis maupun fisiologis. Respon tersebut bertujuan untuk menangani atau mengatasi stresor. Respon ini mencakup aktivasi sistem saraf simpatis dan pelepasan berbagai hormon serta peptida pada aksis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA aksis), sistem opioid endogen, vasopresin arginin, dan oksitosin (Corwin, 2007).
I. Stres dan Respon Psikologis Tubuh
Menurut Atkinson dkk. (2010) tubuh akan memberikan respon jika berhadapan dengan stres. Respon yang ditunjukkan dapat berupa respon psikologis maupun respon fisiologis. Respon psikologis tersebut berupa:
1. Kecemasan
Kecemasan merupakan respon umum terhadap suatu stresor. Kecemasan diartikan sebagai emosi tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah seperti khawatir, prihatin, tegang dan takut yang dialami oleh individu bersangkutan dengan derajat yang berbeda.
2. Kemarahan dan agresi
Hal ini terjadi saat upaya yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu terhalangi hingga individu tersebut mengalami frustasi dan merasa marah. Kemarahan akan menimbulkan dorongan agresif untuk melampiaskan rasa frustasi yang dialami.
3. Apati dan depresi
Hal ini terjadi ketika kondisi stres terus berjalan dan individu bersangkutan tidak sanggup mengatasinya. Apati yang semakin parah akan menimbulkan depresi.
4. Gangguan kognitif
Selain menunjukkan reaksi emosional terhadap stres, individu cenderung menunjukkan gangguan kognitif cukup berat jika berhadapan dengan stresor yang serius. Individu tersebut merasa sulit berkonsentrasi dan mengorganisir pikiran mereka secara logis sebagai akibatnya kemampuan
dalam melakukan pekerjaan terutama pekerjaan yang kompleks cenderung menurun. Semakin cemas, marah atau depresinya seseorang karena stresor yang dihadapi maka kemungkinan dalam mengalami gangguan kognitif juga semakin besar.
J. Stres dan Respon Fisiologis Tubuh
Secara spesifik, stres terjadi melalui melalui interaksi antara sistem saraf dan hormon-hormon stres (Roizen dan Mehmet, 2007). Komponen fisiologis yang terlibat dalam respon tubuh terhadap stres adalah sistem saraf pusat, hipotalamus, sistem saraf simpatik, kelenjar pituitari anterior dan posterior, medula adrenal dan korteks adrenal. Komponen fisiologis dan hasil sekresi hormon bertanggung jawab dalam respon neuroendokrin terhadap stresor. Respon neuroendokrin ini melibatkan sistem saraf, sistem endokrin dan sistem imun. Karena 3 hal ini saling berhubungan maka respon individu terhadap stres mencerminkan integrasi dari ketiga sistem ini (Watson, 2000).
Saat terjadi stres, hipotalamus akan teraktivasi. Aktivasi hipotalamus sebagai respon terhadap stres akan melibatkan sistem endokrin. Sistem saraf simpatik juga menstimulasi kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) ke aliran darah (Watson, 2000).
Sistem hormon yang teraktivasi sebagai respon terhadap stres ini dikenal sebagai hypothalamus-pituytary-adrenal axis (HPA aksis). Saat individu dihadapkan pada stresor maka hipotalamus akan melepaskan CRH yang kemudian menstimulai kelenjar pituitari untuk melepaskan hormon lain yaitu ACTH ke sirkulasi darah. ACTH ini akan memberi sinyal kepada kelenjar adrenal untuk
melepaskan kortisol yang merangsang pelepasan norepinefrin (Roizen dan Mehmet, 2007). Respon fisiologis terhadap stres ditunjukkan pada gambar 4.
Gambar 4. Skema respon fisiologis tubuh terhadap stres (Watson, 2000)
K. Hormon yang Terlibat dalam Respon Fisiologis Tubuh terhadap Stres a. Katekolamin
Epinefrin dan norepinefrin merupakan hormon katekolamin. Efek fisiologis dari sekresi hormon ini adalah menurunnya pelepasan insulin dan meningkatnya pelepasan glukagon yang menyebabkan meningkatnya proses
glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis, proteolisis dan penurunan uptake glukosa dari jaringan perifer (Porth dan Matfin, 2009). Epinefrin merupakan katekolamin yang desekresikan oleh medula adrenal. Hormon epinefrin akan meningkatkan level glukosa dengan menstimulasi terjadinya glikogenolisis. Produksi hormon dipicu oleh stres fisik atau stres emosional (Anderson dan Cockayne, 1993). Glikogenolisis di otot akan menyebabkan peningkatan glikolisis sedangkan di hati hal ini akan menyebabkan pembebasan glukosa ke aliran darah (Murray, Granner, Rodwel, 2009).
b. Corticotropin-releasing factor(CRF)
CRF merupakan komponen sentral sistem endokrin yang berhubungan dengan respon neuroendokrin terhadap stres. CRF merupakan small peptide hormone yang dijumpai pada hipotalamus dan ekstrahipotalamus dan berperan dalam pengaturan aktivitas adrenal dan pituitari serta merupakan neurotransmiter yang terlibat dalam aktivitasAutonomic Nervous System(ANS), metabolisme dan tingkah laku. CRF dari hipotalamus akan menginduksi sekresi ACTH dari kelenjar pituitari anterior (Porth dan Matfin, 2009).
c. Adrenocorticotropic hormone(ACTH)
ACTH disebut juga sebagai kortikotropin dan merupakan substansi yang disekresikan oleh kelenjar pituitari anterior. Hormon ini akan meningkatkan level glukosa dalam darah dan memiliki aksi antagonis terhadap insulin (Anderson dan Cockayne, 1993). ACTH akan menstimulasi sintesis dan pelepasan kortisol (Porth dan Matfin, 2009).
d. Glucocorticoid hormones
Hormon glukokortikoid memiliki sejumlah efek langsung ataupun tidak langsung yang memediasi respon stres. Hormon ini mempotensiasi kerja epinefrin dan glukagon, menghambat pelepasan hormon reproduksi dan TSH, menyebabkan penurunan sel imun dan mediator inflamasi (Porth dan Matfin, 2009). Kortisol disekresikan oleh korteks adrenal. Kerja hormon ini meningkatkan level glukosa darah dengan cara menstimulasi glukoneogenesis, selain itu hormon ini juga merupakan antagonis insulin (Anderson dan Cockayne, 1993). Hormon ini juga menghambat pemakaian glukosa di jaringan ekstra hepatik (Murray.,et al., 2009). e. Mineralocorticoroid hormones
Hormon ini diskresikan oleh kortek adrenal. Bekerja dengan meningkatkan absorpsi sodium oleh ginjal. Aldosterone merupakan hormon golongan ini (Porth dan Matfin, 2009).
f. Antidiuretic hormone(ADH, vasopresin)
Hormon ini diskresikan oleh hipotalamus dan pituitari posterior. Kerja hormon adalah meningkatkan absorpsi air oleh ginjal, menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan menstimulasi pelepasan ACTH (Porth dan Matfin, 2009).
L. Bising
Bising merupakan bunyi atau suara dengan intensitas tinggi yang tidak dikehendaki, dirasakan sebagai gangguan dan bahkan dapat merusak pendengaran. Apabila paparan bising yang dialami melebihi ambang atau dialami dalam waktu lama maka akan menimbulkan efek buruk bagi tubuh. Bising yang
mengganggu dapat menimbulkan efek fisiologis pada tubuh (Nasution, 2004). Batasan kebisingan untuk lingkungan jalan raya, perusahaan dan industri yang diijinkan adalah 85 dB (Babba, 2007).
Menurut Leake (cit., Marpaung, 2006) kebisingan pada suatu lingkungan, baik secara terus menerus ataupun tidak yang dipaparkan pada tikus akan mempengaruhi kerja otak yang berhubungan dengan kelenjar endokrin. Keadaan ini disebabkan oleh bising yang dapat menstimulasi kerja saraf otonom. Kelenjar endokrin yang terpengaruh oleh adanya bising adalah korteks adrenal. Efek dari hal ini adalah terjadi peningkatan sekresi kortisol (glukokortioid) yang berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein, mengatur sistem imun serta mekanisme adaptasi terhadap stres.
M. Aktifitas Fisik Maksimal
Aktifitas fisik maksimal diartikan sebagai kerja fisik yang menyangkut sistem lokomotor tubuh dan dilakukan dalam intensitas tinggi hingga batas maksimal yang dapat dilakukan tubuh. Aktifitas ini akan menyebabkan perubahan fisiologis tubuh baik yang bersifat sementara maupun menetap (Harahap, 2008).
Menurut Bawono (2011) stres fisik yang dialami tubuh dapat menyebabkan gangguan homeostasis. Hal ini dikarenakan pada aktivitas fisik berat tubuh membutuhkan energi yang besar sehingga akan membutuhkan glukosa dalam jumlah besar sebagai sumber energi sel. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi kadar glukosa dalam darah. Tubuh akan meningkatkan kecepatan metabolisme agar pasokan energi terpenuhi. Selama aktivitas fisik, sekresi glukagon meningkat sedangkan insulin menurun. Efek kerja hormon glukagon
tersebut adalah merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah.
Adanya stres akan meningkatkan sekresi glukortikoid sehingga uptake glukosa ke dalam sel akan terhambat. Penghambatan uptake glukosa ini akan menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat (Torres.,et al., 2001).
N. Metabolisme Glukosa
Karbohidrat dalam makanan yang dapat dicerna akan menghasilkan glukosa, galaktosa dan fruktosa yang kemudian dimasukkan ke dalam vena porta hepatika. Galaktosa dan fruktosa akan cepat diubah menjadi glukosa di hati. Glukosa merupakan sumber energi bagi sebagian besar fungsi sel dan jaringan tubuh dalam melakukan aktivitasnya. Metabolisme oksidatif glukosa menghasilkan sebagian besar energi yang diperlukan oleh tubuh. Sumber glukosa yang berasal dari makanan terdapat dalam bentuk disakarida ataupun polisakarida kompleks (pati). Dalam mukosa usus halus, disakarida diuraikan menjadi konstituen monosakarida oleh enzim disakaridase. Enzim ini bersifat spesifik untuk satu jenis sakarida. Sedangkan pati diuraikan oleh amilase yang dikeluarkan oleh pankreas dan kelenjar air liur. Gula diserap tubuh dalam bentuk monosakarida (Sacher dan McPherson, 2000).
Kebutuhan glukosa terpenuhi melalui intake makanan, maupun dari sumber nonkarbohidrat. Proses pembentukan glukosa dari sumber nonkarbohidrat tersebut berasal dari asam amino, laktat atau gliserol. Pada kondisi long therm fasting proses ini merupakan proses yang berperan dalam memenuhi kebutuhan glukosa dalam tubuh (Anderson dan Cocayne, 1993).
Menurut Irawan (cit., Kartika 2008) glukosa yang telah diserap (diabsorpsi) kemudian akan terdistribusi ke dalam semua sel tubuh melalui aliran darah. Glukosa pada tubuh tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot dan hati serta tersimpan dalam bentuk glukosa darah (blood glucose). Glukosa ini kemudian dimanfaatkan sebagai bahan bakar bagi proses metabolisme dan sumber energi utama bagi kerja otak. Glukosa digunakan tubuh untuk mensintesis molekul ATP (adenosine triphospate) melalui proses oksidasi. ATP merupakan molekul dasar penghasil energi dalam tubuh. Dalam kebutuhan harian, glukosa menyediakan hampir 57-75% dari total kebutuhan energi tubuh. Apabila glukosa tidak segera dimetabolisme untuk menghasilkan energi, glukosa akan disimpan di hati atau otot sebagai glikogen. Hati juga dapat mengubah glukosa melalui jalur metabolik lain menjadi asam lemak yang disimpan sebagai trigliserida atau menjadi asam amino yang digunakan untuk membentuk protein.
Apabila persediaan glikogen dalam tubuh menipis dan tubuh tidak memiliki cukup glukosa untuk memenuhi kebutuhan energi maka hati akan membentuk glukosa dari asam lemak dan asam amino melalui proses glukoneogenesis (Sacher dan McPherson, 2000). Glukoneogenesis merupakan mekanisme yang bertanggung jawab mengubah senyawa non karbohidrat menjadi glukosa atau glikogen. Mekanisme ini memenuhi kebutuhan glukosa pada saat intake karbohidrat tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk mensuplai kebutuhan glukosa sebagai sumber energi (Murray.,et al., 2009).
O. Pengaturan Kadar Glukosa Darah
Pengaturan kadar glukosa darah merupakan mekanisme homeostatik yang melibatkan hati, jaringan ekstra hepatik, dan beberapa hormon. Sel hati bersifat permeabel terhadap glukosa (melalui glucose transporter 2 (GLUT 2)), sedangkan sel jaringan ekstrahepatik (selain sel β pulau Langerhans pankreas) relatif impermeabel. Pengangkut glukosa pada jaringan ekstrahepatik adalah insulin oleh karena itu penyerapan glukosa dari aliran darah merupakan penentu kecepatan dalam pemakaian glukosa di jaringan ekstrahepatik (Murray., et al., 2009).
Menurut Merentek (cit., Kartika, 2008) pada kondisi sesudah makan, kadar glukosa darah akan meningkat. Hal ini akan merangsang sel beta melepaskan GLUT sehingga glukosa darah tersebut akan ditangkap oleh sel beta melalui GLUT dan sibawa ke dalam sel. Di dalam sel, glukosa akan mengalami fosforilase menjadi glukosa-6-fosfat (G6P) dengan bantuan enzim glukokinase. G6P akan mengalami glikolisis menjadi asam piruvat. Proses glikolisis juga menghasilkan produk 6-8 ATP. Penambahan ATP akan meningkatkan rasio ATP/ADP dan menutup kanal kalium. Penumpukan kalium dalam sel mengakibatkan depolarisasi membran sel sehingga membuka kanal kalsium. Terbukanya kanal kalsium akan menyebabkan kalsium masuk ke dalam sel dan insulin dilepaskan dalam sel. Insulin ini memperantarai tranport glukosa ke dalam sel. Insulin akan berikatan dengan reseptor insulin dan meningkatlkan sinyal trasnduksi. Sinyal ini kemudian akan merangsang GLUT 4 untuk membawa glukosa ke dalam sel sehingga kadar glukosa dalam darah terkontrol. Pada kondisi
puasa, kadar glukosa darah akan turun, ATP-sensitive K channels pada membran sel beta akan terbuka sehingga ion kalium akan meninggalkan sel beta, dan Ca-channels tertutup, akibatnya kalsium tidak dapat masuk ke sel beta dan perangsangan sel beta untuk mensekresi insulin menurun. Selain itu penurunan kadar glukosa darah juga akan merangsang sel alfa melepaskan glukagon sehingga kadar glukosa darah meningkat dan kebutuhan glukosa dalam tubuh terpenuhi. Mekanisme homeostasis pengaturan kadar glukosa darah secara ringkas dicantumkan dalam gambar 5.
Gambar 5.Mekanisme homeostasis pengaturan kadar glukosa darah melalui umpan balik negatif (Paul, 2011)
P. Keterkaitan Stres dengan Kadar Glukosa Darah
Pada kondisi stres, hipotalamus akan melepaskan CRH yang kemudian menstimulai kelenjar pituitari untuk melepaskan hormon lain yaitu ACTH ke sirkulasi darah. ACTH kemudian memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk
melepaskan kortisol (Roizen dan Mehmet, 2007). Kortisol akan meningkatkan level glukosa darah dengan cara menstimulasi glukoneogenesis, selain itu kerja hormon ini juga antagonis terhadap insulin (Anderson dan Cockayne, 1993). Kortisol juga menghambat pemakaian glukosa di jaringan ekstra hepatik (Murray., et al., 2009). Mcphee dan Ganong (2006) menyampaikan bahwa efek dari sekresi hormon-hormon tersebut adalah terjadinya peningkatan kadar glukosa darah.
Pada kondisi stres tubuh merasa bahwa dirinya berada dalam ancaman. Ancaman tersebut membuat tubuh merasa perlu melakukan aksi untuk melindungi