• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal terhadap kadar glukosa darah pada tikus putih jantan - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal terhadap kadar glukosa darah pada tikus putih jantan - USD Repository"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH STRESOR DENGAN METODE BISING DAN AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Elizabeth Rahayu Primadhani NIM : 088114072

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

PENGARUH STRESOR DENGAN METODE BISING DAN AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Elizabeth Rahayu Primadhani NIM : 088114072

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENGARUH STRESOR DENGAN METODE BISING DAN AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS PUTIH JANTAN Yang diajukan oleh :

Elizabeth Rahayu Primadhani NIM : 088114072

telah disetujui oleh :

(4)
(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Terkadang jalanan yang dilewati teraca curam, terjal dan berbatu

Ada kalanya merasa lelah, putus asa dan ingin berhenti

Tapi percayalah, Tuhan tak pernah meninggalkanmu tuk berjalan

sendirian

Dia selalu menjagamu, membantumu dan menopangmu

Jalani semua dengan penuh semangat dan selalu percaya,

Tuhan tak akan pernah mengecewakanmu.

Always Believe

(Anonim)

Life is an opportunity, benefit from it. Life is a dream,

realize it. Life is a challenge, meet it. Life is a duty,

complete it. Life is a struggle, accept it. Life is an

adventure, dare it. Life is too precious, do not destroy

it. Life is life, fight for it.

(Mother Teresa)

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan dartaf pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Yogyakarta, 19 Juli 2012 Penulis

(7)

vii

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Elizabeth Rahayu Primadhani

Nomor Mahasiswa : 088114072

Demi perkembangan ilmu pegetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Aktivitas Fisik Maksimal terhadap Kadar Glukosa Darah pada Tikus Putih Jantan

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 19 Juli 2012 Yang menyatakan

(8)

viii

PRAKATA

Segenap puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat, kasih karunia serta kekuatanNya yang telah memampukan penulis menyelesaikan skripsi berjudul “Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Aktivitas Fisik Maksimal terhadap Kadar Glukosa Darah pada Tikus Putih Jantan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat doa, bimbingan, perhatian serta dukungan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Drs. Mulyono., Apt. (alm) yang telah membantu peneliti dalam menentukan tema dan judul skripsi.

3. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, memberikan arahan, semangat, saran, dan kritik yang sangat berarti selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.

4. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku dosen penguji atas bantuan, kritik serta saran yang berarti dalam proses penyusunan skripsi.

5. dr. Fenty, M.Kes, Sp.PK. selaku dosen penguji atas bantuan, kritik serta saran yang berarti dalam proses penyusunan skripsi.

(9)

ix

7. Bapak Edy, selaku kepala penanggungjawab Laboratorium Fisika atas izin peminjaman instumen penelitian “sound level meter”.

8. Laboran Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma (Mas Kayat, Mas Parjiman, Mas Heru, Mas Satijo) atas bantuan yang diberikan selama proses penelitian di laboratorium.

9. dr. Ari selaku pengelola Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas bantuannya dalam menyediakan hewan uji dan beberapa informasi yang berguna bagi pelaksanaan proses penelitian.

10. Bapak dan Ibuk tercinta atas segala doa, kasih sayang dan dukungan yang tiada henti sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Adik-adikku tersayang Putri dan Devi atas keceriaan dan dukungan mereka

sehingga penulis selalu merasa terhibur dan mendapat semangat baru setiap merasa jenuh dalam mengerjakan skripsi.

12. Ledy, Utik, Arum, Adista yang menjadi teman seperjuangan di laboratorium, sahabat dekat dan rekan seperjuangan dalam menjalani masa-masa sulit dan menyenangkan di dunia perkuliahan.

13. Teman-teman fakultas Farmasi angkatan 2008 khususnya kelas FKK-A 2008 atas kebersamaan dan dukungan selama masa perkuliahan.

14. Teman-teman Kost Tastiti atas kebersamaan dan rasa kekeluargaan yang telah diberikan selama ini.

(10)

x

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca serta menjadi tambahan informasi yang berguna bagi masyarakat.

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... viii-x DAFTAR ISI ... xi-xiv DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii-xviii INTISARI ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I PENGANTAR ... 1-6 A. Latar Belakang ... 1-3 1. Permasalahan ... 4

2. Keaslian Penelitian ... 4-5 3. Manfaat Penelitian ... 5-6 B. Tujuan ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

(12)

xii

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 7-29 A. Stres ... 7 B. Stresor ... 8 C. Stres Sebagai Stimulus ... 8-9 D. Stres Sebagai Respon ... 9-10 E. Tahapan Stres ... 10-12 F. Gelaja Stres ... 12-13 G. Stres dan Kesehatan ... 13-15 H. Respon Terhadap Stres ... 15 I. Stres dan Respon Psikologis Tubuh ... 16-17 J. Stres dan Respon Fisiologis Tubuh ... 17-18 K. Hormon yang terlibat dalam Respon Fisiologis Tubuh terhadap

(13)

xiii

BAB III METODE PENELITIAN ... 30-37 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 30 B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 30-31

1. Variabel Penelitian ... 30 2. Definisi Operasional ... 31 C. Subjek Penelitian ... 31 D. Alat/Instrumen Penelitian ... 31-32 E. Tata Cara Penelitian ... 32-25 1. Pemilihan Hewan Uji ... 32 2. Pemeliharaan Hewan Uji ... 32-33 3. Perlakuan Hewan Uji ... 33-35 4. Pengukuran Kadar Glukosa ... 35 F. Analisis Hasil ... 36-37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38-51

A. Pengaruh Stresor terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih

Jantan dengan Metode Bising ... 38-44 B. Pengaruh Stresor terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih

Jantan dengan Metode Aktivitas Fisik Maksimal ... 44-49 C. Perbedaan Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Aktivitas

Fisik Maksimal terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih

(14)

xiv

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Cakupan uji hipotesis ... 37 Tabel II. Rata-rata Pengukuran Kadar Glukosa Darah Sebelum dan

Sesudah Perlakuan pada Kelompok kontorol dan

Perlakuan Bising ... 39 Tabel III. Rangkuman Hasil Uji 2 Data Berpasangan dengan Taraf

Kepercayaan 95% pada Kelompok Kontrol dan

Perlakuan Bising ... 40 Tabel IV. Rata-rata Pengukuran Kadar Glukosa Darah Sebelum dan

Sesudah Perlakuan Aktivitas Fisik Maksimal (AFM)

Pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan ... 45 Tabel V. . Rangkuman Hasil Uji 2 Data Berpasangan dengan Taraf

Kepercayaan 95% pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan

AFM ... 46 Tabel VI. Rata-rata Selisih Pengukuran Kadar Glukosa Darah

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Skema stres sebagai stimulus ... 9 Gambar 2. Skema stres sebagai respon ... 10 Gambar 3. Skema respon adaptasi terhadap stres berdasarkan teori

hans selye... 12 Gambar 4. Skema respon fisiologis tubuh terhadap stres ... 18 Gambar 5. Mekanisme homeostasis pengaturan kadar glukosa

darah melalui umpan balik negatif ... 25 Gambar 6. Diagram batang rata-rata kadar glukosa darah kelompok

kontrol bising sebelum dan sesudah perlakuan ... 42 Gambar 7. Diagram batang rata-rata kadar glukosa darah kelompok

perlakuan sebelum dan sesudah pemaparan bising ... 42 Gambar 8. Diagram batang rata-rata selisih kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan bising ... 44 Gambar 9. Diagram batang rata-rata kadar glukosa darah

kelompok kontrol AFM sebelum dan sesudah perlakuan 46 Gambar 10. Diagram batang rata-rata kadar glukosa darah

kelompok perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan AFM ...

47

Gambar 11. Diagram batang rata-rata selisih kadar glukosa darah

kelompok perlakuan bising dan perlakuan AFM ... 48 Gambar 12. Diagram batang rata-rata selisih kadar glukosa darah

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Foto hewan uji saat perlakuan bising ... 58 Lampiran 2. Foto hewan uji saat perlakuan AFM ... 58 Lampiran 3. Data kadar glukosa darah kelompok kontrol dan

perlakuan bising... 59 Lampiran 4. Data kadar glukosa darah kelompok kontrol dan

perlakuan AFM ...

59

Lampiran 5. Data uji normalitas sebelum dan sesudah perlakuan

pada kelompok kontrol bising ... 60 Lampiran 6. Data uji normalitas sebelum dan sesudah perlakuan

bising ... 60 Lampiran 7. Data uji normalitas sebelum dan sesudah perlakuan

pada kelompok kontrol AFM ... 60 Lampiran 8. Data uji normalitas sebelum dan sesudah perlakuan

pada kelompok kontrol AFM ... 61 Lampiran 9. Data uji normalitas selisih sebelum dan sesudah

perlakuan pada kelompok kontrol bising ... 61 Lampiran10. Data uji normalitas selisih sebelum dan sesudah

perlakuan pada kelompok perlakuan bising ... 61 Lampiran 11. Data uji normalitas selisih sebelum dan sesudah

perlakuan pada kelompok kontrol AFM... 62 Lampiran 12. Data uji normalitas selisih sebelum dan sesudah

(18)

xviii

Lampiran 15. DataMann Whitney testkelompok kontrol-perlakuan

bising ... 64 Lampiran 16. Data ujiWilcoxonkelompok kontrol AFM... 65 Lampiran 17. Datapair t testkelompok perlakuan AFM ... 66 Lampiran 18. Dataindependent t testkelompok kontrol-perlakuan

AFM ... 67 Lampiran 19. Data uji Mann-Whitney kelompok perlakuan

(19)

xix

INTISARI

Beberapa penelitian menemukan bahwa stres dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Stres disebabkan oleh paparan stresor. Penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh stresor dengan menggunakan metode bising dan Aktivitas Fisik Maksimal (AFM) terhadap kadar glukosa darah.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan pretest dan post test group design. Penelitian menggunakan 20 ekor tikus putih jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan ± 200-300 gram yang secara acak dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan. Metode bising menggunakan bising berintensitas 85-100 dB selama 2 jam/hari selama 3 hari. Metode AFM berupa perlakuan berenang selama 30 menit/hari selama 3 hari. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan 30 menit sebelum pemaparan stresor dan segera setelah perlakuan berakhir. Pengukuran menggunakan instrumen Architectc systemdengan metode glukosa heksokinase. Normalitas distribusi data ditentukan menggunakan uji Shapiro Wilk. Signifikansi perubahan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan ditentukan menggunakan ujipair t testatau Wilcoxon. Perbedaan pengaruh metode bising dan AFM terhadap kadar glukosa darah ditentukan dengan uji independent t test atau Mann Whitney. Taraf kepercayaan yang digunakan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa stresor dengan metode AFM mempengaruhi kadar glukosa darah tikus putih jantan sedangkan stresor dengan metode bising tidak. Stresor dengan metode AFM memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan jika dibandingkan dengan stresor yang menggunakan metode bising.

(20)

xx

ABSTRACT

Some of the previous researches had discovered that stress can lead to the elevated level of blood glucose. Stress is caused by the exposure of stressor. This research is going to find out the effect stress on blood glucose level used noise method and maximun physical activity method.

This research is pure experimental with pretest and post test group design. This research used 20 wistar white male rats, age 2-3 month, weight ± 200-300 gram that were randomly divided into 2 group, control and treatment with stressor. The Noise method consist of noise with 85-100 dB intensity about 2 hours/day for 3 days. On maximum physical activity method the rats was allowed to swim for 30 minutes/day for 3 days. The measurement of blood glucose level used Architect c system with glucose hexokinase method. All data obtained were analyzed statistically by using Shapiro Wilk test to know the normality of distribution. Pair t test or Wilcoxon was used to see the significance change in level before and after the treatment. To determine the difference between noise method and maximum physical activity method effect on blood glucose level used Independent t test or Mann Whitney. The interval that was used is about 95%.

The result showed that the maximum physical activity was affect the blood glucose level of white male rats, while noise method was not. Stressor using maximum physical activity method had a greater effect to increase blood glucose level than the noise method.

(21)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Istilah stres secara populer mencakup hal-hal mengenai konflik batin maupun fisik berkepanjangan, tekanan terus menerus yang tidak terkendalikan, atau gangguan-gangguan yang membuat individu merasa tertekan dan tidak nyaman (Wade dan Tavris, 2007). Menurut Looker dan Gregson (2005) stres dapat dialami siapa saja sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan sekitar dan merupakan hal yang melekat pada kehidupan itu sendiri sehingga tidak dapat dihilangkan begitu saja. Stres dapat didefinisikan sebagai ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan fisik, mental atau emosi baik internal atau eksternal yang cenderung mengganggu fungsi normal organisme (Dorland dan Newman, 2000).

Terjadinya stres dapat dipicu oleh berbagai hal yang bersumber dari dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, komunitas dan lingkungan sekitar (Sarafino, 2008). Menurut Looker dan Gregson (2005) segala sesuatu di lingkungan yang dapat mengakibatkan aktivasi respon stres disebut sebagai stresor.

(22)

psikologis dan fisiologis tubuh yang pada akhirnya dapat mempengaruhi fungsi normal tubuh dan kondisi kesehatan. Risiko yang ditimbulkan akan semakin besar jika stres yang dialami bersifat kronis dan berat (Sarafino, 2008).

Respon stres yang berlebihan, sering dan berkepanjangan dapat menyebabkan beragam gangguan dan penyakit. Saat mengalami stres, perilaku dan gaya hidup seseorang seringkali berubah. Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan (Looker dan Greegson, 2005). Keterkaitan antara stres dengan timbulnya suatu penyakit serta cara menanggulanginya merupakan hal yang sedang menjadi fokus dunia kesehatan saat ini (Porth dan Matfin, 2009). Salah satu kondisi tubuh yang terpengaruh oleh stres adalah kadar glukosa darah. Adanya stres akan memicu tubuh untuk mensekresikan hormon-hormon yang menimbulkan peningkatan kadar glukosa darah. Hormon yang sekresinya meningkat selama periode stres antara lain Corticotropin-releasing factor (CRF), Adrenocorticotropic hormone (ACTH), katekolamin dan glukokortikoid (Roizen dan Mehmet, 2007). Stres akan memicu sekresi hormon tersebut secara terus menerus yang pada akhirnya dapat menimbulkankan kondisi hiperglikemi (McPhee dan Ganong, 2006). Peningkatan kadar glukosa darah terutama jika terjadi kondisi hiperglikemi tentunya akan berisiko bagi individu yang sudah memiliki gangguan terkait kadar glukosa darah seperti diabetes.

(23)

stresor. Penelitian ini akan membahas mengenai pengaruh stresor terhadap kadar glukosa darah dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal.

(24)

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan maka dapat dirumus permasalahan yang akan diteliti, yaitu:

a. Bagaimana pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas maksimal terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan?

b. Stresor dengan metode apa yang lebih mempengaruhi kadar glukosa darah tikus putih jantan?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya antara lain:

a. Effects of Stress on Exacerbation of Diabetes Mellitus, Serum Glucose and Cortisol Levels and Body Weight in Rats oleh Radahmadi, Shadan, Karimian, Sadr dan Nasimi (2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya stres mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan pada hewan uji diabetes maupun kontrol nondiabetes, akan tetapi tidak ditemukan adanya glukosa dalam urin.

(25)

c. The Effects of Noise on Biochemical Parameter using Rats’s Hearts oleh Rahma, Win, Rafidah, Ailin (2011). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemaparan bising mengakibatkan peningkatan kadar glukosa plasma. jika dibandingkan dengan kontrol.

Penelitian yang dilakukan berbeda dengan penelitian tersebut di atas. Sejauh penelusuran pustaka, belum pernah dilakukan dan dipublikasikan penelitian mengenai pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan di lingkup Universitas Sanata Dharma. Penelitian-penelitian sebelumnya membahas mengenai pengaruh stres terhadap kadar glukosa ataupun pengaruh stres terhadap parameter lain, sedangkan penelitian ini membahas mengenai pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal terhadap peningkatan kadar glukosa dan membandingkan pengaruh kedua metode terhadap kadar glukosa darah.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perbedaan pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal terhadap kadar glukosa darah.

b. Manfaat praktis

(26)

masyarakat yang memiliki gangguan terkait kadar glukosa darah sehingga individu tersebut dapat menghindari atau meminimalisir kontak dengan stresor serta mengelola stres yang dialami dengan tepat sehingga tidak membahayakan kesehatan.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres terhadap kadar glukosa darah.

2. Tujuan khusus

(27)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Stres

Stres dapat didefinisikan sebagai ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan fisik, mental atau emosi baik internal atau eksternal yang cenderung mengganggu fungsi normal organisme (Dorland dan Newman, 2000). Menurut sudut pandang psikologi, stres dapat diartikan sebagai keadaan yang dialami ketika terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya (Looker dan Gregson, 2005). Penggunaan istilah stres secara populer mencakup hal-hal mengenai konflik batin maupun fisik berkepanjangan, tekanan terus menerus yang tidak terkendalikan, atau gangguan-gangguan yang membuat individu merasa tertekan dan tidak nyaman (Wade dan Tavris, 2007).

(28)

B. Stresor

Menurut Looker dan Gregson (2005) stresor diartikan sebagai segala sesuatu di lingkungan yang dapat mengakibatkan aktivasi respon stres. Seberapa tinggi respon stres yang dihasilkan dipengaruhi oleh seberapa sering stresor tersebut terjadi atau dijumpai. Sumber stresor bisa bersifat endogenus (berasal dari dalam diri) atau bersifat eksogenus (berasal dari luar diri) (Porth dan Matfin, 2009).

Stresor merupakan keadaan fisik maupun psikologis yang menantang dan dapat menimbulkan tekanan pada sistem biologis, psikologis serta kondisi sosial seseorang. Respon fisiologis dan psikologis terhadap stresor disebut sebagai strain. Tingkat stres seseorang akan meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi, intensitas dan durasi stresor yang dihadapi. Semakin kuat stresor yang diberikan makastrainyang ditunjukkan juga semakin kuat (Sarafino, 2008).

C. Stres Sebagai Stimulus

(29)

Gambar 1. Skema stres sebagai stimulus (Smet, 1994)

D. Stres sebagai Respon

Konteks ini menggambarkan reaksi individu terhadap stressor dan menggambarkan stres sebagai suatu respon. Respon yang dialami mencakup dua komponen yaitu :

1. Komponen psikologis yang meliputi perilaku, pola pikir, emosi, dan perasaan stres.

2. Komponen fisiologis, berupa rangsangan-rangsangan fisik yang meningkat seperti jantung berdebar-debar, mulut kering, perut mulas, badan berkeringat (Smet, 1994).

(30)

Gambar 2. Skema stres sebagai respon (Smeth, 1994)

E. Tahapan Stres

Hans Selye memberikan gambaran terkait tahapan organisme bereaksi terhadap stres yang dialami. Hal tersebut dikenal dengan General Adaptation Syndrome(GAAS). Tahapan ini mencakup tiga fase yaitu:

1. Fase alarm (alarm reaction)

Pada fase ini sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat, maka akan terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar adrenalin membesar dan thimus menjadi lemah. Saat stresor memiliki intensitas cukup untuk mengancam individu maka tubuh mengalokasikan energi untuk menghadapi ancaman tersebut (Davidson, Neal dan Kring, 2004).

(31)

terjadi pelepasan hormon adrenal, epinefrin dan norepinefrin (Wade dan Travis, 2007).

Fase alarm dibagi menjadi dua bagian yaitu shock phase dan counter shock phase. Selama shock phase, stresor yang ada dapat disadari atau tidak disadari oleh individu. Sistem saraf otonom bereaksi dengan melepaskan epinefrin (adrenalin) dan kortison ke tubuh dalam jumlah yang besar. Respon ini durasinya singkat, bertahan antara 1 menit hingga 24 jam. Selama countershock phase perubahan yang terjadi pada tubuh selama shock phase akan dipulihkan. Dengan demikian individu tersebut akan siap bereaksi selamashock phasepada fase alarm (Watson, 2000).

2. Fase resistensi (resistance phase)

Tahap ini menyangkut tentang konsekuensi stres terhadap aspek fisiologis, biologis, psikologis dan perilaku. Respon yang terjadi mencakup komponen psikologis dan fisiologis (Marks,dkk, 2000). Idealnya individu akan segera berpindah dari fase alarm ke fase resistensi dengan cepat sehingga ketahanan fisiologis yang dimiliki dapat digunakan untuk meningkatkan resistensi terhadap stres. Pada tahap ini organisme akan beradaptasi dengan stresor. Resistensi ini bervariasi pada masing-masing individu, tergantung pada fungsi fisiologis, kemampuan menghadapi stres, jumlah dan intensitas stresor yang dihadapi (Watson, 2000).

3. Fase kelelahan (exhausted phase)

(32)

tidak mampu beradaptasi lagi dan mengalami kelelahan (Davidson., et al., 2004). Respon adaptasi terhadap stres menurut Hans Selye ditunjukkan oleh skema pada gambar 3.

Gambar 3. Skema respon adaptasi terhadap stres berdasarkan teori Hans Selye (Watson, 2000)

F. Gejala stres

(33)

tanda-tanda stres pada setiap orang rata-rata sama, yaitu jantung berdetak lebih cepat, pikiran menjadi lebih fokus, keringat mengucur, muncul rasa gugup dan gemetar, merasa panik. Pada individu yang sering mengalami stres hingga melampaui daya tahan individu tersebut biasanya akan muncul gejala-gejala lain seperti sakit kepala, sesak nafas, pegal-pegal, demam, tekanan darah tinggi, sembelit, keringat berlebihan dan otot tegang. Gejala itu merupakan reaksi non spesifik pertahanan diri dan ketegangan akan merangsang kelenjar anak ginjal (korteks ginjal) untuk melepaskan adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih kuat (Hartono, 2007).

G. Stres dan Kesehatan

Respon stres melibatkan semua fungsi tubuh. Stres yang terlampau besar akan menghabiskan sumber-sumber adaptif dan menyebabkan kelelahan, beragam masalah kesehatan dan bahkan masalah fatal. Aksi respon stres yang berlebihan, sering dan berkepanjangan dapat menyebabkan beragam gangguan dan penyakit. Saat mengalami stres perilaku dan gaya hidup seseorang seringkali berubah. Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan (Looker dan Greegson, 2005).

(34)

hypothalamus-pituytary-adrenanl axis (HPA aksis) yang melepaskan hormon endokrin terutama katekolamin dan kortikosteroid selama periode stres (Sarafino, 2008). Menurut Atkinson, Smith, Bem (2010) stres dapat mempengaruhi kesehatan melalui beberapa jalur, yaitu:

1. Jalur langsung

Stresor mungkin memiliki efek negatif dan langsung pada kesehatan fisik jika paparan dipertahankan hingga tahap kronis. Rangsangan berlebihan (overarousal) dan jangka panjang terhadap sistem simpatis atau sistem korteks adrenal dapat menyebabkan kerusakan pada arteri dan sistem organ. Stres juga memiliki efek langsung pada kekebalan tubuh yaitu dengan menurunkan kekebalan tubuh.

2. Jalur interaktif

Jalur ini sering disebut sebagai model kerentanan stres. Hal ini menjadikan individu peka terhadap gangguan-gangguan tertentu, tetapi gangguan tersebut hanya akan muncul saat individu berhadapan dengan stres. Kerentanan biologis terhadap suatu penyakit mungkin berupa predisposisi genetik terhadap gangguan atau kelainan struktural pada tubuh yang mempredisposisikan individu kepada gangguan. Misalnya kerentanan individu terhadap hipertensi atau diabetes. Bagi sebagian individu, predisposisi genetik ini memungkinkan perkembangan penyakit jika individu berhadapan dengan situasi stres kronis.

3. Jalur perilaku sakit

(35)

mengalami hal tersebut menginterpretasikannya sebagai gejala suatu penyakit dan menghubungi paramedis untuk mencari bantuan. Selanjutnya, perhatian yang mereka peroleh dari profesional medis dapat memperkuat perilaku sakit tersebut, artinya menjadikan lebih sering bagi mereka untuk mencari perhatian medis untuk gejala stres lagi di kemudian hari. Selain itu dengan menginterpretasikan gejala stres sebagai penyakit, orang mungkin akan memiliki alasan untuk menghindari stresor. Penelitian menyatakan bahwa orang yang mengalami stres lebih sering menggunakan pelayanan kesehatan dibandingkan orang yang tidak mengalami stres.

H. Respon terhadap Stres

Individu sebagai suatu sistem selalu merespon stresor yang dijumpai dalam hidupnya. Hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan fisik yang menjadi patofisiologis. Stresor dengan kekuatan dan intensitas yang cukup dapat menyebabkan perubahan pada fungsi normal tubuh. Bila individu memiliki kerentanan terhadap stresor maka perubahan-perubahan ini dapat dimanifestasikan sebagai penyakit (Tambayong, 2000).

(36)

I. Stres dan Respon Psikologis Tubuh

Menurut Atkinson dkk. (2010) tubuh akan memberikan respon jika berhadapan dengan stres. Respon yang ditunjukkan dapat berupa respon psikologis maupun respon fisiologis. Respon psikologis tersebut berupa:

1. Kecemasan

Kecemasan merupakan respon umum terhadap suatu stresor. Kecemasan diartikan sebagai emosi tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah seperti khawatir, prihatin, tegang dan takut yang dialami oleh individu bersangkutan dengan derajat yang berbeda.

2. Kemarahan dan agresi

Hal ini terjadi saat upaya yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu terhalangi hingga individu tersebut mengalami frustasi dan merasa marah. Kemarahan akan menimbulkan dorongan agresif untuk melampiaskan rasa frustasi yang dialami.

3. Apati dan depresi

Hal ini terjadi ketika kondisi stres terus berjalan dan individu bersangkutan tidak sanggup mengatasinya. Apati yang semakin parah akan menimbulkan depresi.

4. Gangguan kognitif

(37)

dalam melakukan pekerjaan terutama pekerjaan yang kompleks cenderung menurun. Semakin cemas, marah atau depresinya seseorang karena stresor yang dihadapi maka kemungkinan dalam mengalami gangguan kognitif juga semakin besar.

J. Stres dan Respon Fisiologis Tubuh

Secara spesifik, stres terjadi melalui melalui interaksi antara sistem saraf dan hormon-hormon stres (Roizen dan Mehmet, 2007). Komponen fisiologis yang terlibat dalam respon tubuh terhadap stres adalah sistem saraf pusat, hipotalamus, sistem saraf simpatik, kelenjar pituitari anterior dan posterior, medula adrenal dan korteks adrenal. Komponen fisiologis dan hasil sekresi hormon bertanggung jawab dalam respon neuroendokrin terhadap stresor. Respon neuroendokrin ini melibatkan sistem saraf, sistem endokrin dan sistem imun. Karena 3 hal ini saling berhubungan maka respon individu terhadap stres mencerminkan integrasi dari ketiga sistem ini (Watson, 2000).

Saat terjadi stres, hipotalamus akan teraktivasi. Aktivasi hipotalamus sebagai respon terhadap stres akan melibatkan sistem endokrin. Sistem saraf simpatik juga menstimulasi kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) ke aliran darah (Watson, 2000).

(38)

melepaskan kortisol yang merangsang pelepasan norepinefrin (Roizen dan Mehmet, 2007). Respon fisiologis terhadap stres ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Skema respon fisiologis tubuh terhadap stres (Watson, 2000)

K. Hormon yang Terlibat dalam Respon Fisiologis Tubuh terhadap Stres a. Katekolamin

(39)

glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis, proteolisis dan penurunan uptake glukosa dari jaringan perifer (Porth dan Matfin, 2009). Epinefrin merupakan katekolamin yang desekresikan oleh medula adrenal. Hormon epinefrin akan meningkatkan level glukosa dengan menstimulasi terjadinya glikogenolisis. Produksi hormon dipicu oleh stres fisik atau stres emosional (Anderson dan Cockayne, 1993). Glikogenolisis di otot akan menyebabkan peningkatan glikolisis sedangkan di hati hal ini akan menyebabkan pembebasan glukosa ke aliran darah (Murray, Granner, Rodwel, 2009).

b. Corticotropin-releasing factor(CRF)

CRF merupakan komponen sentral sistem endokrin yang berhubungan dengan respon neuroendokrin terhadap stres. CRF merupakan small peptide hormone yang dijumpai pada hipotalamus dan ekstrahipotalamus dan berperan dalam pengaturan aktivitas adrenal dan pituitari serta merupakan neurotransmiter yang terlibat dalam aktivitasAutonomic Nervous System(ANS), metabolisme dan tingkah laku. CRF dari hipotalamus akan menginduksi sekresi ACTH dari kelenjar pituitari anterior (Porth dan Matfin, 2009).

c. Adrenocorticotropic hormone(ACTH)

(40)

d. Glucocorticoid hormones

Hormon glukokortikoid memiliki sejumlah efek langsung ataupun tidak langsung yang memediasi respon stres. Hormon ini mempotensiasi kerja epinefrin dan glukagon, menghambat pelepasan hormon reproduksi dan TSH, menyebabkan penurunan sel imun dan mediator inflamasi (Porth dan Matfin, 2009). Kortisol disekresikan oleh korteks adrenal. Kerja hormon ini meningkatkan level glukosa darah dengan cara menstimulasi glukoneogenesis, selain itu hormon ini juga merupakan antagonis insulin (Anderson dan Cockayne, 1993). Hormon ini juga menghambat pemakaian glukosa di jaringan ekstra hepatik (Murray.,et al., 2009). e. Mineralocorticoroid hormones

Hormon ini diskresikan oleh kortek adrenal. Bekerja dengan meningkatkan absorpsi sodium oleh ginjal. Aldosterone merupakan hormon golongan ini (Porth dan Matfin, 2009).

f. Antidiuretic hormone(ADH, vasopresin)

Hormon ini diskresikan oleh hipotalamus dan pituitari posterior. Kerja hormon adalah meningkatkan absorpsi air oleh ginjal, menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan menstimulasi pelepasan ACTH (Porth dan Matfin, 2009).

L. Bising

(41)

mengganggu dapat menimbulkan efek fisiologis pada tubuh (Nasution, 2004). Batasan kebisingan untuk lingkungan jalan raya, perusahaan dan industri yang diijinkan adalah 85 dB (Babba, 2007).

Menurut Leake (cit., Marpaung, 2006) kebisingan pada suatu lingkungan, baik secara terus menerus ataupun tidak yang dipaparkan pada tikus akan mempengaruhi kerja otak yang berhubungan dengan kelenjar endokrin. Keadaan ini disebabkan oleh bising yang dapat menstimulasi kerja saraf otonom. Kelenjar endokrin yang terpengaruh oleh adanya bising adalah korteks adrenal. Efek dari hal ini adalah terjadi peningkatan sekresi kortisol (glukokortioid) yang berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein, mengatur sistem imun serta mekanisme adaptasi terhadap stres.

M. Aktifitas Fisik Maksimal

Aktifitas fisik maksimal diartikan sebagai kerja fisik yang menyangkut sistem lokomotor tubuh dan dilakukan dalam intensitas tinggi hingga batas maksimal yang dapat dilakukan tubuh. Aktifitas ini akan menyebabkan perubahan fisiologis tubuh baik yang bersifat sementara maupun menetap (Harahap, 2008).

(42)

tersebut adalah merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah.

Adanya stres akan meningkatkan sekresi glukortikoid sehingga uptake glukosa ke dalam sel akan terhambat. Penghambatan uptake glukosa ini akan menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat (Torres.,et al., 2001).

N. Metabolisme Glukosa

Karbohidrat dalam makanan yang dapat dicerna akan menghasilkan glukosa, galaktosa dan fruktosa yang kemudian dimasukkan ke dalam vena porta hepatika. Galaktosa dan fruktosa akan cepat diubah menjadi glukosa di hati. Glukosa merupakan sumber energi bagi sebagian besar fungsi sel dan jaringan tubuh dalam melakukan aktivitasnya. Metabolisme oksidatif glukosa menghasilkan sebagian besar energi yang diperlukan oleh tubuh. Sumber glukosa yang berasal dari makanan terdapat dalam bentuk disakarida ataupun polisakarida kompleks (pati). Dalam mukosa usus halus, disakarida diuraikan menjadi konstituen monosakarida oleh enzim disakaridase. Enzim ini bersifat spesifik untuk satu jenis sakarida. Sedangkan pati diuraikan oleh amilase yang dikeluarkan oleh pankreas dan kelenjar air liur. Gula diserap tubuh dalam bentuk monosakarida (Sacher dan McPherson, 2000).

(43)

Menurut Irawan (cit., Kartika 2008) glukosa yang telah diserap (diabsorpsi) kemudian akan terdistribusi ke dalam semua sel tubuh melalui aliran darah. Glukosa pada tubuh tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot dan hati serta tersimpan dalam bentuk glukosa darah (blood glucose). Glukosa ini kemudian dimanfaatkan sebagai bahan bakar bagi proses metabolisme dan sumber energi utama bagi kerja otak. Glukosa digunakan tubuh untuk mensintesis molekul ATP (adenosine triphospate) melalui proses oksidasi. ATP merupakan molekul dasar penghasil energi dalam tubuh. Dalam kebutuhan harian, glukosa menyediakan hampir 57-75% dari total kebutuhan energi tubuh. Apabila glukosa tidak segera dimetabolisme untuk menghasilkan energi, glukosa akan disimpan di hati atau otot sebagai glikogen. Hati juga dapat mengubah glukosa melalui jalur metabolik lain menjadi asam lemak yang disimpan sebagai trigliserida atau menjadi asam amino yang digunakan untuk membentuk protein.

(44)

O. Pengaturan Kadar Glukosa Darah

Pengaturan kadar glukosa darah merupakan mekanisme homeostatik yang melibatkan hati, jaringan ekstra hepatik, dan beberapa hormon. Sel hati bersifat permeabel terhadap glukosa (melalui glucose transporter 2 (GLUT 2)), sedangkan sel jaringan ekstrahepatik (selain sel β pulau Langerhans pankreas)

relatif impermeabel. Pengangkut glukosa pada jaringan ekstrahepatik adalah insulin oleh karena itu penyerapan glukosa dari aliran darah merupakan penentu kecepatan dalam pemakaian glukosa di jaringan ekstrahepatik (Murray., et al., 2009).

(45)

puasa, kadar glukosa darah akan turun, ATP-sensitive K channels pada membran sel beta akan terbuka sehingga ion kalium akan meninggalkan sel beta, dan Ca-channels tertutup, akibatnya kalsium tidak dapat masuk ke sel beta dan perangsangan sel beta untuk mensekresi insulin menurun. Selain itu penurunan kadar glukosa darah juga akan merangsang sel alfa melepaskan glukagon sehingga kadar glukosa darah meningkat dan kebutuhan glukosa dalam tubuh terpenuhi. Mekanisme homeostasis pengaturan kadar glukosa darah secara ringkas dicantumkan dalam gambar 5.

Gambar 5.Mekanisme homeostasis pengaturan kadar glukosa darah melalui umpan balik negatif (Paul, 2011)

P. Keterkaitan Stres dengan Kadar Glukosa Darah

(46)

melepaskan kortisol (Roizen dan Mehmet, 2007). Kortisol akan meningkatkan level glukosa darah dengan cara menstimulasi glukoneogenesis, selain itu kerja hormon ini juga antagonis terhadap insulin (Anderson dan Cockayne, 1993). Kortisol juga menghambat pemakaian glukosa di jaringan ekstra hepatik (Murray., et al., 2009). Mcphee dan Ganong (2006) menyampaikan bahwa efek dari sekresi hormon-hormon tersebut adalah terjadinya peningkatan kadar glukosa darah.

Pada kondisi stres tubuh merasa bahwa dirinya berada dalam ancaman. Ancaman tersebut membuat tubuh merasa perlu melakukan aksi untuk melindungi diri dengan meningkatkan produksi hormon-hormon yang kemudian akan bekerjasama untuk mempertahankan kadar glukosa agar kebutuhan energi tubuh tetap terpenuhi (Anonim 1a, 2011). Cara menghadapi ancaman tersebut adalah dengan memaksimalkan pengeluaran glukosa oleh hati, merangsang lipolisis serta menghambat penyerapan glukosa (yang dipengaruhi oleh insulin) di jaringan perifer. Peristiwa-peristiwa tersebut bertujuan untuk menyediakan energi yang cukup bagi sel agar siap menghadapi ancaman yang timbul. Energi diperoleh dari penguraian gula dan lemak yang tersimpan. Selama periode stres dapat terjadi kondisi hiperglikemi akibat kerja hormon-hormon tersebut (McPhee dan Ganong, 2006) .

(47)

glikolisis di otot sedangkan di hati hal ini menyebabkan pembebasan glukosa ke dalam aliran darah (Corwin, 2007).

Q. Metode Pengukuran Kadar Glukosa

Pada pengukuran kadar glukosa darah, sampel yang digunakan dapat berupa sampel darah lengkap (whole blood), serum atau plasma. Akan tetapi jenis sampel yang paling sering digunakan dalam analisis pengukuran kadar adalah serum. Alasan penggunaan serum adalah jumlah glukosa dalam serum atau plasma 10-15% lebih tinggi dari sampel whole blood (Anderson dan Cockayne, 1993). Menurut Sacher dan McPherson (2000) eritrosit memiliki kadar hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan serum. Serum sendiri memiliki kadar air yang lebih tinggi sehingga glukosa yang terlarut dalam serum lebih banyak dibandingkan dengan sampel darah utuh.

(48)

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih jantan berusia 2-3 bulan. Menurut Giknis dan Clifford (2008) nilai normal kadar glukosa darah tikus putih jantan usia 2-3 bulan adalah adalah 70-208 mg/dL.

R. Landasan Teori

Stres mencakup hal-hal mengenai konflik batin maupun fisik berkepanjangan, tekanan terus menerus yang tidak terkendalikan, atau gangguan-gangguan yang membuat individu merasa tertekan dan tidak nyaman. Penyebab stres disebut dengan stresor. Tubuh yang mengalami stres akan menunjukkan respon fisiologis dengan meningkatkan pelepasan hormon-hormon CRF, ACTH, Glukokortikoid (kortisol), katekolamin (epinefrin dan norepinefrin). Efek dari pelepasan hormon tersebut adalah terjadinya peningkatan kadar glukosa darah akibat kerja hormon yang menstimulasi pelepasan glukosa ke aliran darah ataupun menghambat kerja insulin.

(49)

S. Hipotesis

(50)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan pretest dan postest group design. Pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana. Penelitian yang dilakukan bersifat eksploratif. Dalam hal ini akan diteliti mengenai pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian adalah metode stresor yang dipaparkan terhadap hewan uji yaitu metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal (AFM).

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dari penelitian adalah kadar glukosa darah hewan uji (mg/dL).

c. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian meliputi jenis kelamin, umur, berat badan dan galur. Hewan uji yang digunakan berjenis kelamin jantan dengan range umur 2-3 bulan, berat badan ± 200-300 gram dan termasuk ke dalam galurWistar.

(51)

2. Definisi operasional

a. Stres yang dialami hewan uji dalam penelitian adalah saat hewan uji diberi paparan stresor sesuai metode yang ditentukan.

b. Metode bising adalah pemaparan bising dengan intensitas 85-100 dB selama 2 jam/hari selama 3 hari.

c. Metode aktifitas fisik maksimal (AFM) adalah dengan membiarkan hewan uji berenang selama 30 menit/hari selama 3 hari.

d. Kandang bising adalah kandang yang terbuat dari kaca berukuran 20 x 20 x 35 cm dengan penutup berperedam suara dan dipasang sumber bunyi.

e. Aquarium dalam metode AFM adalah aquarium berukuran 50 x 30 x 34 cm dengan kedalaman air ± 24 cm.

f. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan 30 menit sebelum pemaparan stresor dan segera setelah pemaparan stresor sesuai metode yang digunakan.

C. Subjek Penelitian

Subjek uji dalam penelitian yang dilakukan adalah 20 ekor tikus putih jantan galur Wistar dengan berat badan ± 200-300 gram, umur 2-3 bulan yang diperoleh dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

D. Alat/Instrumen Penelitian

(52)

speaker (sebagai sumber bising), stopwatch, timbangan, alat-alat gelas (tabung darah, pipa kapiler,beaker glass).

E. Tata Cara Penelitian 1. Pemilihan hewan uji

Penelitian menggunakan hewan uji tikus putih jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan dengan berat ± 200-300 gram sebanyak 20 ekor. Usia yang dipilih adalah usia 2-3 bulan karena merupakan usia dewasa sehingga fungsi organ dan hormonal sudah berkerja dengan optimal.

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian dibagi menjadi empat kelompok. Pembagian hewan uji ke dalam masing-masing kelompok dilakukan secara acak sederhana menggunakan metode undi (lotre). Masing-masing kelompok terdiri atas lima hewan uji. Kelompok tersebut adalah kelompok kontrol bising, kelompok kontrol AFM, kelompok perlakuan bising dan kelompok perlakuan AFM.

2. Pemeliharaan hewan uji

(53)

terhadap hewan uji termasuk pemindahan kandang dapat menyebabkan hewan uji mengalami stres. Penelitian ini membahas pengaruh stres sehingga apabila proses adaptasi yang dilakukan terlalu singkat dikhawatirkan hewan uji masih mengalami stres akibat perpindahan lokasi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil akhir penelitian.

Hewan uji dipelihara secara berkelompok (5 ekor tikus per kandang) dan ditempatkan dalam kandang yang terbuat dari plastik (ukuran 30 x 20 x10 cm). Permukaan kandang ditutup dengan kawat kasa halus. Dasar kandang hewan uji dilapisi dengan sekam setebal 0,5-1cm yang diganti setiap 2 hari sekali. Makanan hewan uji berupa pelet dan diberi minum ad libitum. Cahaya, temperatur dan kelembapan ruangan dibiarkan sesuai dengan kondisi di laboratorium.

Secara umum hewan uji dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok kontrol dan perlakuan. Pada kelompok kontrol, hewan uji tidak diberi perlakuan apapun. Kelompok kontrol di sini menggambarkan kondisi normal sehingga tidak diberi perlakuan stres.

3. Perlakuan hewan uji

(54)

Pengambilan sampel darah melalui rute lain seperti melalui metode sayatan ekor tidak efektif untuk dilakukan karena volume darah yang keluar sedikit dan proses keluarnya darah lama sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan hewan uji mengalami stres. Setelah pengambilan darah, hewan uji diistirahatkan selama 30 menit sebelum diberi perlakuan. Tujuan pengistirahatan ini adalah supaya hewan uji sudah tidak mengalami stres akibat proses pengambilan darah. Tiga puluh menit setelah pengambilan darah, hewan uji diperlakukan sesuai dengan kelompok perlakuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

a. Metode bising

(55)

b. Metode aktivitas fisik maksimal (AFM)

Metode AFM mengacu pada penelitian Harahap (2008) dalam metode ini hewan uji kelompok kontrol ditempatkan dalam ruangan kontrol dan pada kelompok perlakuan AFM satu per satu hewan uji dibiarkan berenang di dalam aquarium berukuran 50 x 30 x 34 cm yang berisi air setinggi 24 cm. Hewan uji dibiarkan berenang dalam aquarium selama 30 menit. Perlakuan serupa diulang selama 3 hari. Pada hari ketiga, darah hewan uji diambil sebanyak ± 2 mL. Pengambilan darah dilakukan segera setelah hewan uji berenang. Pengambilan darah tetap melalui mata. Setelah itu dilakukan pengukuran kadar glukosa darah. Kadar yang terukur ditetapkan sebagai kadar sesudah perlakuan.

4. Pengukuran kadar glukosa

(56)

F. Analisis Hasil

Data yang diperoleh berupa data kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan stresor, data selisih antara sebelum dan sesudah perlakuan. Data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram batang. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji Shapiro Wilk untuk mengetahui normalitas distribusi data.

Uji statistik selanjutnya digunakan untuk melihat signifikansi perubahan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan serta melihat signifikansi perbedaan antara kelompok kontrol dengan perlakuan atau perbedaan antara kelompok perlakuan stresor dengan metode bising dan metode AFM.

(57)

Tabel I. Cakupan Uji hipotesis (Dahlan, 2009)

(58)

38

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Stresor dengan Metode Bising terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan

Pada penelitian digunakan metode bising sebagai stresor. Bising tersebut berupa suara mesin kendaraan dan mesin pabrik dengan intensitas 85-100 dB. Stresor tersebut dipaparkan selama 2 jam/hari selama 3 hari. Bising sebagai stresor akan direspon otak sebagai suatu gangguan dan bahkan ancaman sehingga dapat menimbulkan stres, hal ini juga disampaikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Babba (2007). Pada kelompok kontrol, subjek uji tidak diberi paparan bising karena kelompok ini digunakan untuk menggambarkan kondisi normal. Kelompok perlakuan diberi paparan bising sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya.

(59)

sebelum perlakuan bising tercantum dalam lampiran 4 dan telah diringkas pada tabel II.

Tabel II. Rata-rata pengukuran kadar glukosa darah sebelum dan sesudah pemaparan bising kelompok kontrol dan perlakuan

Kelompok Kadar Rata-Rata Glukosa Darah (mg/dL) ± SE

Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Kontrol 106,2 ± 3,5 119,6 ± 3,7

Perlakuan 101,0 ± 4,0 123,4 ± 2,7

Tabel II menunjukkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok kontrol. Pada pengukuran sebelum perlakuan, rata-rata kadar glukosa darah sebesar 106,2 mg/dL dan meningkat menjadi 119,6 mg/dL pada pengukuran sesudah perlakuan. Hal serupa juga terjadi pada kelompok perlakuan bising, rata-rata kadar glukosa darah sebelum perlakuan adalah 101,0 mg/dL dan meningkat menjadi 123,4 mg/dL pada pengukuran sesudah perlakuan bising.

(60)

Data yang diperoleh pada kondisi sebelum dan sesudah perlakuan merupakan data berpasangan. Hasil uji normalitas menunjukkan data terdistribusi normal sehingga signifikansi perubahan kadar glukosa darah kelompok kontrol dan perlakuan bising pada saat sebelum dan sesudah perlakuan dilihat menggunakan uji pair t test.Data hasil uji pair t test terlampir (lampiran 14 dan 15). Gambaran signifikansi perbedaan kadar glukosa sebelum dan sesuah perlakuan terangkum dalam tabel III.

Tabel III. Rangkuman hasil uji dua data berpasangan dengan taraf kepercayaan 95% pada kelompok kontrol dan perlakuan bising

Keterangan Df Signifikansi (p)

Kelompok Kontrol 4 0,072

Kelompok Perlakuan Bising 4 0,009

Menurut hasil uji pair t test, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi kelompok kontrol sebesar 0,072 dan kelompok perlakuan sebesar 0,009. Perubahan yang terjadi dikatakan signifikan apabila p < 0,05. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa sebelum dan sesudah perlakuan yang terjadi pada kelompok kontrol tidak signifikan karena nilai p yang diperoleh > 0,05 yaitu sebesar 0,072, sedangkan peningkatan kadar glukosa yang terjadi pada kondisi sebelum dan sesudah perlakuan bising memiliki perbedaan yang signifikan karena nilai p yang diperoleh < 0,05 yaitu sebesar 0,009.

(61)

normal). Pada kelompok perlakuan bising terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan bising. Hal ini dikarenakan paparan stresor yang diberikan mengakibatkan hewan uji mengalami stres. Bising akan direspon oleh otak sebagai suatu ancaman dan gangguan yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya stres. Kebisingan yang dianggap sebagai stres akan mempengaruhi kerja otak yang berhubungan dengan fungsi kelenjar endokrin. Stres yang ditimbulkan oleh bising ini merupakan stres yang bersifat psikologis. Stres ini akan menstimulasi hipotalamus untuk melepaskan hormon katekolamin seperti epinefrin dan norepinefrin dan hormon glukortikoid seperti kortisol (Corwin, 2007). Seperti yang disampaikan McPhee dan Ganong (2006) bahwa pada kondisi stres tubuh merasa dirinya berada dalam ancaman sehingga untuk melindungi diri dari ancaman tersebut tubuh akan memaksimalkan pengeluaran glukosa oleh hati, merangsang lipolisis serta menghambat penyerapan glukosa yang dipengaruhi insulin di jaringan perifer. Tujuan dari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut adalah untuk menyediakan energi yang cukup bagi sel agar siap menghadapi ancaman yang timbul. Energi tersebut didapatkan dari penguraian gula dan lemak tersimpan sehingga sebagai akibatnya akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah.

(62)

menstimulasi terjadinya proses glukoneogenesis dan menghambat penggunaan glukosa di jaringan hepatik (Murray.,et al., 2009).

Gambaran kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol dan perlakuan ditampilkan dalam diagram batang pada gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Diagram batang kadar rata-rata glukosa darah kelompok kontrol sebelum dan sesudah perlakuan

(63)

Setelah diketahui signifikansi perubahan kadar glukosa darah pada kondisi sebelum dan sesudah perlakuan perlu dilakukan uji statistik selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan bising. Uji statistik yang digunakan adalah uji untuk 2 sampel tidak berpasangan. Data yang digunakan pada uji ini adalah data selisih antara kondisi sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok. Data mengenai selisih kadar glukosa sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok tercantum dalam lampiran 4.

(64)

Gambar 8. Diagram batang rata-rata selisih kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan bising

Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa perlakuan bising dengan kelompok kontrol memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Secara kualitatif hewan uji pada kelompok perlakuan bising menunjukkan gejala stres seperti gelisah dan mengeluarkan kotoran dalam konsistensi yang lebih encer akan tetapi, stres yang diakibatkan oleh bising tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah tikus putih jantan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji Mann Whitney yang menunjukkan bahwa kelompok kontrol dan perlakuan bising berbeda tidak signifikan (p>0,05).

B. Pengaruh Stresor dengan Metode Aktivitas Fisik Maksimal terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan

Stresor yang digunakan adalah metode aktifitas fisik maksimal (AFM). Dalam metode ini hewan uji akan dibiarkan berenang sekuat-kuatnya hingga hewan uji kelelahan. Kelelahan ditunjukkan dengan melemahnya pergerakan dan hewan uji nampak seperti akan tenggelam. Lamanya berenang adalah 30 menit

(65)

dan dilakukan hingga 3 hari. Prosedur pengambilan darah yang dilakukan sama dengan perlakuan bising.

Setelah perlakuan segera dilakukan pengambilan darah sebanyak ± 2 mL melalui mata. Setelah itu dilakukan pengukuran kadar glukosa darah. Hasil pengukuran kadar glukosa darah setelah perlakuan tercantum dalam lampiran 5 dan dirangkum dalam tabel IV.

Tabel IV. Rata-rata pengukuran kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan AFM pada kelompok kontrol dan perlakuan

Kelompok Kadar Rata-Rata Glukosa Darah (mg/dL) ± SE

Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

ontrol 111 ± 7,04 119,8 ± 4,2

erlakuan 111,2 ± 5,7 158,8 ± 8,4

Rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok kontrol mengalami peningkatan dari sebelum perlakuan sebesar 110 mg/dL menjadi 119,8 mg/dL pada pengukuran setelah perlakuan. Hal serupa juga terjadi pada kelompok perlakuan AFM yaitu dari sebelum perlakuan sebesar 11,2 mg/dL menjadi 158,8 mg/dL. Kedua kelompok tersebut menunjukkan peningkatan kadar glukosa darah akan tetapi perlu dilakukan pengecekan untuk mengetahui peningkatan pada masing-masing kelompok tersebut signifikan atau tidak.

(66)

terdistribusi normal (p > 0,05) sehingga untuk melihat signifikansi data digunakan uji pair t test. Hasil uji Wilcoxon dan pair t test terlampir (lampiran 17 dan 18), secara singkat terangkum dalam tabel V.

Tabel V. Rangkuman hasil uji dua sampel berpasangan dengan taraf kepercayaan 95% pada kelompok kontrol dan perlakuan AFM

Keterangan Df Signifikansi (p)

Kelompok Kontrol 4 0,225

Kelompok Perlakuan AFM 4 0,006

Berdasarkan uji Wilcoxon diketahui bahwa nilai signifikansi kelompok kontrol sebesar 0,225 (p>0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah pengukuran berbeda tidak bermakna. Berdasarkan uji pair t test diketahui bahwa signifikansi kelompok perlakuan sebesar 0,006 (p<0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan AFM. Gambaran kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol dan perlakuan AFM ditampilkan dalam diagram batang pada gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Diagram batang kadar rata-rata glukosa darah kelompok kontrol sebelum dan sesudah perlakuan

(67)

Gambar 10. Diagram Batang Kadar Rata-Rata Glukosa Darah Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Perlakuan AFM

Setelah diketahui perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan, pada masing-masing kelompok dilakukan uji statistik lanjutan untuk melihat perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan AFM. Data yang digunakan adalah data selisih kadar glukosa darah dari kondisi sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok. Data mengenai selisih kadar glukosa sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok terlampir (lampiran 5). Uji normalitas data menggunakan uji Shapiro Wilk, menurut uji ini data selisih terdistribusi normal. Data uji normalitas terlampir (lampiran 12 dan 13).

Untuk melihat perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan AFM pada data yang terdistribusi normal digunakan independent t test. Data mengenai hasil independent t test tercantum dalam lampiran 19. Hasil independent t test menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,009 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara selisih kadar glukosa darah kelompok kontrol dengan kelompok yang mengalami perlakuan

(68)

AFM. Gambaran rata-rata selisih kadar kelompok kontrol dan perlakuan bising ditampilkan pada diagram batang pada gambar 11.

Gambar 11. Diagram batang rata-rata selisih kadar glukosa darah kelompok kontrol dan perlakuan AFM

Berdasarkan pengamatan, saat perlakuan AFM hewan uji menunjukkan gejala stres seperti mencicit dan terlihat panik. Pada awal prosedur AFM hewan uji terlihat agresif dalam berenang namun pada menit-menit akhir menjelang menit ke 30 hewan uji mulai terlihat melemah dan semakin sering mencicit. Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa pemaparan stresor dengan metode AFM akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah. Stresor dengan metode AFM akan mengakibatkan hewan uji mengalami stres dan sebagai akibatnya akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Hal ini sesuai dengan penelitian Radahmadi dkk. (2005) yang mengemukakan bahwa AFM akan mengakibatkan hewan uji mengalami stres baik fisik maupin psikologis. Stres psikologis tersebut dikarenakan hewan uji merasa takut akan tenggelam sedangkan stres fisik berupa aktivitas fisik motorik yang berat.

(69)

Bawono (2011) dalam artikelnya menyampaikan bahwa stres fisik yang dialami tubuh dapat menyebabkan gangguan homeostasis. Hal ini dikarenakan pada aktivitas fisik berat tubuh membutuhkan energi yang besar sehingga akan membutuhkan glukosa dalam jumlah besar sebagai sumber energi sel. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi kadar glukosa dalam darah. Tubuh akan meningkatkan kecepatan metabolisme agar pasokan energi terpenuhi. Selama aktivitas fisik, sekresi glukagon meningkat sedangkan insulin menurun. Efek kerja hormon glukagon tersebut adalah merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa arah. Penelitian yang dilakukan Amano., et.al (2007) mengungkapkan bahwa selama periode stres otak akan terstimulasi untuk melepaskan hormon-hormon stres seperti katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) dan glukokortikoid (kortisol). Tujuan ditingkatkannya pelepasan hormon ini adalah untuk menyediakan kebutuhan energi (glukosa dan lemak) yang cukup bagi sel untuk menghadapi ancaman. Efek langsung dari hal tersebut adalah terjadinya peningkatan kadar glukosa dalam darah. Torres dkk. (2001) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa adanya stres akan meningkatkan sekresi glukortikoid sehingga uptake glukosa ke dalam sel akan terhambat. Penghambatan uptake glukosa ini akan menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat.

C. Perbedaan Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Aktivitas Fisik Maksimal terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan

(70)

kemungkinan pemaparan stresor dengan metode yang berbeda akan memberikan efek yang berbeda terhadap kadar glukosa darah. Perbedaan tersebut dilihat dengan cara membandingkan data selisih sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan. Data selisih tercantum dalam lampiran 4 dan 5 yang secara ringkas dirangkum dalam tabel VI.

Tabel VI. Rata-rata selisih pengukuran kadar glukosa darah kelompok perlakuan bising dan perlakuan AFM

Kelompok Kadar Rata-Rata Glukosa Darah (mg/dL) ± SE

Bising 22,4 ± 4,6

AFM 47,6 ± 8,7

(71)

Gambar 12. Diagram Batang Rata-Rata Selisih Kadar Glukosa Darah pada Kelompok Perlakuan Bising dan Perlakuan AFM

Menurut Amano dkk.(2007) stres yang bersifat psikologis memberikan peningkatan kadar noradrenalin yang ringan sedangkan stres fisik menyebabkan peningkatan kadar noradrenalin yang tinggi. Hormon tersebut merupakan hormon katekolamin yang akan menghambat pelepasan insulin dan meningkatkan pelepasan glukagon yang menyebabkan meningkatnya proses glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis, proteolisis dan penurunanuptakeglukosa dari jaringan perifer. Efek dari peristiwa tersebut adalah terjadinya peningkatan kadar glukoa darah, selain itu menurut Radahmadi dkk. (2005) stresor dengan metode AFM akan mengakibatkan stres yang bersifat fisik dan psikologis sehingga pengaruh terhadap peningkatan kadar glukosa darah akan semakin besar. Hal-hal tersebut bisa menjelaskan mengapa stresor dengan metode AFM memberikan pengaruh yang lebih besar dalam meningkatkan kadar glukosa darah jika dibandingkan dengan stresor yang menggunakan metode bising.

(72)

52

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa: 1. Stresor dengan metode bising tidak meningkatkan kadar glukosa darah

sedangkan stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah.

2. Stresor dengan metode AFM memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan kadar glukosa darah tikus putih jantan jika dibandingkan dengan stresor yang menggunakan metode bising.

B. Saran

Saran yang disampaikan berdasarkan hasil penelitian adalah:

1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pengaruh stresor dengan metode bising dan AFM terhadap kadar glukosa dengan waktu penelitian yang lebih panjang ataupun durasi pemaparan stresor yang lebih panjang.

2. Dapat dilakukan penelitian serupa dengan menggunakan hewan uji dalam kondisi diabetes.

(73)

DAFTAR PUSTAKA

Amano, M., Suemaru, K., Cui, R., Umeda, Y., Li, B., Gomita, Y., et.al., 2007, Effects of Physical and Psycological Stress on 5-HT2A

Receptor-mediated Wet-dog Shake Responses in Streptozotocin-induced Diabetic Rats, Acta Med.Okayama vol 61, No 4, 205-212, Okayama University Medical School.

Anonim 1a., 2011, Stress, American Diabetes Association,

http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/complications/stress.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2012.

Anonim 1b, 2010, Architect/Aeroset; Glucose, Abbott Laboratories, USA.

Anderson, S.C. dan Cockayne, S., 1993, Clinical Chemistry Concepts and Applications, WB Saunders Company, Philadelpia, pp. 143-146, 148, 155-158.

Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., Bem, D.J., 2010, Introduction to Psycgology, diterjemahkan oleh Kusuma, W., pp. 349-355, 358-369, Interaksara Publisher, Tangerang.

Babba, J., 2007, Hubungan antara Intensitas Kebisingan di Lingkungan Kerja Dengan Peningkatan Tekanan Darah (Penelitian pada Karyawan PT Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan), Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang.

Balcombe, P.J., Barnard, N.D., Sandusky, D., 2004, Laboratory routine Cause

Animal Stress,

http://www.animalliberationfront.com/Philosophy/Animal%20Testing /Vivisection/Balcombe%20et%20al%202004%20Routines.pdf, diakses 19 September 2011

Bawono, M. N., 2011, Kontrol Hormon Insulin dan Glukagon dalam Perubahan

Metabolisme Selama Latihan,

pelangiilmu.jurnal.unesa.ac.id/artikel.(M._Nur_Bawono), diakses 10 Februari 2012.

(74)

Dahlan, S. M., 2009., Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, pp. 59.

Davidson, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M., 2004, Abnormal Psychology, 9th edition, diterjemahkan oleh Fajar, N., hal.274, Grafindo, Jakarta. Dorland, W.A., and Newman, 2000, Dorland’s Illustrated Medical Dictionary,

diterjemahkan oleh Huariawati, H., dkk., Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Gunarsa, D.S., 2002, Asas-asas Psikologi: Keluarga Idaman, Penerbit PT BPK Gunung Mulia, pp. 137-139.

Giknis, M.L., dan Clifford, C.B., 2008, Clinical Laboratory Parameters, http://www.criver.com/sitecollectiondocuments/rm_rm_r_wistar_han_ clin_lab_parameters_08.pdf, diakses tanggal 9 Januari 2012.

Harahap, N. S., 2008., Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit pada mencit Jantan, Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Hartono, L.A., 2007,Stres & Stroke, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, pp. 13-17. Inayah, 2008, Pengaruh Kebisingan terhadap Jumlah Leukosit Mencit BALB/C,

Artikel Karya Tulis Ilmiah, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Kartika, L., 2008, Efek Hipoglikemik Infusa Biji Pinang (Areca cattechu L) Pada Tikus Putih Jantan Terbebani Glukosa, Skripisi, 8-9, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Lau, E., 2009,Healthy Express: Super Sehat dalam 2 Minggu, Gramedia, Jakarta, pp. 132.

Looker, T. dan Gregson, O., 2005, Managing Stres: Mengatasi Stres Secara Mandiri, Penerbit Baca, Yogyakarta.

Marks, D.F., Murray, M., Evans, B., Willig, C., 2000, Healthy Psychology: Theory, Research and Practice, Sage Publication, London, pp. 99-106.

(75)

McPhee, S.J. dan Ganong, W.F., 2006,Patofisiologi Penyakit, Pengantar Menuju Kedokteran Klinis, edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 565.

Mudrikah, 2007, Hubungan Stres Psikososial dengan Motivasi Kerja Perawat RSU Banjar Jawa Barat, Skripsi, 38, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Murray, R.K., Granner, D.K., Rodwel, V.W., 2009, Biokimia Harper, edidi 27, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 179-181.

Muth, D., James, E., 1999, Basic Statistic and Pharmaceutical Statistical Applications, Marcel Dekker Inc, New York, pp. 169-202.

Nasution, J., 2004, Uji Pengaruh Kebisingan Tinggi Terhadap Kadar Kortisol pada Tikus Betina, Tesis,Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Paul, I., 2011, Blood Sugar Regulation, http://www.biologyreference.com/Bl-Ce/Blood-Sugar-Regulation.html, diakses pada tanggal 21 Februari 2012.

Porth, C.M. dan Matfin, G., 2009, Pathophysiology, 8th edition: Concept of Altered Health States, Lippincolt William&Wilkins, Wolter Kluwer Health, pp. 198-212.

Radahmadi, M., Shadan, F., Karimian, S.D., Sadr, S., Nasimi, A., 2005,Effects of Stress on Excacerbation or Diabetes Mellitus, http://www.fcf.usp.br/Ensino/Graduacao/Disciplinas/Exclusivo/Inserir /Anexos.pdf, diakses tanggal 17 Oktober 2011.

Rahma, M., Win., Rafidah., Ailin, R., 2011, The Effects of Noise on Biochemical Parameter using Rat’s Hearts, http://www.eurojournals.com/ejsr.htm, diakses 9 Januari 2012.

Roizen, M.F. dan Mehmet, C., 2007, You Staying Young: The Owner’s Manual Extending Your Warranty, diterjemahkan oleh Ekawati, R.S., hal 94-106, Penerbit Qanita, Bandung.

Sacher, R.A. dan McPherson, R.A., 2000, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi II, Penerbit Buku Kedokterab EGC, Jakarta, pp. 287-286, 483-485.

(76)

Smet, B., 1994,Psikologi Kesehatan, PT Grasindo, Jakarta, pp. 107-118.

Tambayong, J.A.N., 2000, Patofisiologi untuk Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 11.

Torres, I.L.S., Gamaro, G. D., Cucco, S. N., Michalowski, M. B., Correa. J.B., Perry, M.L.S., et al., 2001., Effects of acute and repeated restraint stress on glucose oxidation to CO2in hippocampal and cerebral cortex

slices, Brazilian Journal of Medical and Biological Research., (2001)34, 111-116.

Wade, C. dan Tavris, C., 2007, Psikologi, edisi 9 jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta, pp. 285.

Watson, A., 2000, Stress and Adaptation, http:

//www.bookdev.com/Pearson/Osborn/dap/chapters/M12_OSBO1023_

(77)
(78)

Lampiran 1. Foto hewan uji saat perlakuan bising

(79)

Lampiran 3. Data kadar glukosa darah kelompok kontrol dan perlakuan bising

Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan AFM Sebelum

± SE 106,2±3,55 119,6±3,74 13,4±5,50 101±4,04 123,4±2,77 22,4±4,66

Keterangan: isi tabel merupakan rekap data hasil pengukuran kadar glukosa darah di Laboratorium Klinik Parahita

Lampiran 4. Data kadar glukosa darah kelompok kontrol dan perlakuan AFM

Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan AFM Sebelum

111±7,04 119,8±4,24 8,8±7,11 111,2±5,70 158,8±8,42 47,6±8,73

Gambar

Tabel I.Cakupan uji hipotesis .........................................................
Gambar 1. Skema stres sebagai stimulus (Smet, 1994)
Gambar 2. Skema stres sebagai respon (Smeth, 1994)
Gambar 3. Skema respon adaptasi terhadap stres berdasarkan teori Hans Selye (Watson, 2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian besar peserta pelatihan paham dengan pentingnya cuci tangan (rerata pretest 34,5 – rerata post test 82,6) dan efektivitas teknik 6 langkah cuci tangan yang benar

Berdasarkan hasil dari pengolahan data menggunakan inversi Res2divn2D diperoleh nilai resistivitas tanah yang diindikasi sebagai bidang gelincir dengan rentang 1068

Hubungan variabel penggunaan dan efek samping obat dengan ketidakpatuhan penggunaan obat anti TB ... Hubungan variabel PMO dengan ketidakpatuhan penggunaan obat anti

berseberangan dengan simpul mati yang pertama. 47) Menyelimuti kembali bayi dan menutupi bagian kepalanya. Memastikan handuk atau kainnya bersih atau kering. 48) Mengajurkan

Deep Ecology memusatkan perhatian pada semua spesies termasuk spesies bukan manusia, demikian pula Deep Ecology tidak hanya memusatkan perhatian jangka pendek,

Dalam upaya mengatasi kemacetan lalu lintas yang semakin tinggi di DKI Jakarta, telah diberlakukan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor yang mengatur

 Pada kotak ‘ Link’, Anda bisa memilih ‘ Parent’ untuk membuat sub menu pada kanal, klik ‘Add URL’ untuk menghubungkan menu dengan halaman atau website tertentu..

Membandingkan teknologi produksi bioflok yang telah ada perlu dilakukan guna mengetahui efektiviitasnya masing-masing dan nilai nutrisi bioflok yang dihasilkan. Dua metode