• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penulisan akhir ini adalah untuk mengetahui apakah kadar betametason valerat pada sediaan krim betametason 0,1% yang diproduksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi V. Adapun manfaat dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang krim betametason 0,1% yang diproduksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan telah memenuhi persyaratan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan derivat hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting termasuk mengontrol respons inflamasi (Johan, 2015).

Menurut Johan (2015), kortikosteroid hormonal dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:

1. Glukokortikoid, yaitu kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat antiinflamasinya nyata. Prototip golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alami. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, seperti prednisolon, triamsinolon dan betametason.

2. Mineralokortikoid, yaitu kortikosteroid yang mempunyai aktivitas utama menahan garam dan terhadap keseimbangan air dan elektrolit. Umumnya golongan ini tidak mempunyai efek antiinflamasi yang berarti, sehingga jarang digunakan. Pada manusia, mineralokortikoid yang terpenting adalah aldosteron.

Dari glukokortikoid yang ada dalam perdagangan sejumlah besar berupa ester, yang secara berurutan adalah asetat, propionate, trimetilasetat (pivalat), pentanoat (valerat) dan heksanoat (kapronat) (Schunack, dkk., 1990).

2.2 Betametason

Betametason adalah obat kortikosteroid yang mengandung fluor yang mempunyai daya kerja lebih besar. Akan tetapi penggunaan obat kortikosteroid yang mengandung fluor dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan pelebaran kapiler dan pembuluh nadi halus yang bersifat permanen sampai terjadi atropi kulit. Pada penggunaan jangka waktu lama, sebaiknya menggunakan salep kulit Hidrokortison (Sartono, 1996).

Betametason valerat adalah glukokortikoid sintetis yang digunakan luas untuk pengobatan dermatosis dan penyakit kulit lainnya dalam bentuk sediaan seperti krim, gel, salep, larutan dan losion. Ester ini sensitif terhadap panas dan mengalami degradasi ke jumlah senyawa yang memiliki terapi lebih rendah (Khattak, dkk., 2012).

Indikasi : Alergi dan peradangan lokal (Sartono, 1996).

Kontraindikasi : Infeksi bakteri, fungi dan penyakit kulit yang disebabkan oleh virus. Selain itu penderita acne rosaceae dan perioral dermatitis (Sartono, 1996).

Efek samping : Atropi lokal, gatal-gatal, hipopigmentasi, perioral dan alergi dermatitits, serta infeksi sekunder (Sartono, 1996).

2.2.1 Sifat fisika dan kimia

Menurut Dirjen POM (2014), sifat fisika dan kimia betametason valerat yaitu:

Struktur :

Gambar 2.1 Struktur Betametason Valerat Berat molekul : 476,58

Pemerian : Serbuk, putih sampai praktis putih, tidak berbau, melebur pada suhu lebih kurang 190º disertai peruraian

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseton dan dalam kloroform, larut dalam etanol, sukar larut dalam benzen dan dalam eter.

2.3 Metode Penetapan Kadar Betametason

Menurut Dirjen POM (2014), uji kuantitatif krim betametason dapat dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Pemeriksaan betametason valerat secara kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan fase gerak: asetinotril-air (3:2), pelarut: asam asetat glasial-metanol (1 dalam 1000), kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 254 nm dan fase diam: kolom 30 cm x 4 mm berisi bahan pengisi L1 dan laju alir:

±1,2 mL/menit.

2.3.1 Penetapan kadar betametason secara umum

Menurut Khattak, dkk (2012), penetapan kadar betametason valerat dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(KCKT). Pada pemerikasaan ini digunakan kolom penjaga C-18 (id 10 × 4 mm, ukuran partikel, 5 μm). Fase gerak: campuran asetonitril dan air (60:40, v/v). Laju alir: 1 mL/menit, pada suhu kamar. Deteksi dilakukan pada 238 nm.

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi merupakan teknik analisis yang paling sering digunakan dalam analisis sediaan farmasetik. Suatu pemahaman terhadap parameter-parameter yang berpengaruh terhadap kinerja kromatografi akan meningkatkan sistem kromatografi sehingga akan dicapai suatu pemisahan yang baik (Rohman, 2009).

Kromatografi adalah istilah umum untuk berbagai cara pemisahan berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas atau zat cair dan fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat (Johnson dan Stevenson, 1991).

Metode kromatografi, karena pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara luas untuk pemisahan analitik dan preparatif. Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot molekul rendah sampai tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya dengan beberapa metode kromatografi. Salah satu metode kromatografi yaitu Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) (Gritter, dkk., 1991).

Kromatografi cair kinerja tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut HPLC

yang diterima secara luas untuk analisis bahan obat dalam cairan biologis (Rohman, 2009).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan suatu metoda pemisahan canggih dalam analisis farmasi yang dapat digunakan sebagai uji identitas, uji kemurnian dan penetapan kadar. Titik beratnya adalah untuk analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap dan tidak stabil pada suhu tinggi, yang tidak bisa dianalisis dengan Kromatografi Gas. Banyak senyawa yang dapat dianalisis, dengan KCKT mulai dari senyawa ion anorganik sampai senyawa organik makromolekul. Untuk analisis dan pemisahan obat atau bahan obat campuran rasemis optis aktif dikembangkan suatu fase pemisahan kiral yang mampu menentukan rasemis dan isomer aktif (Putra, 2004).

Adapun prinsip dari KCKT yaitu suatu sampel berupa larutan diinjeksikan kedalam kolom yang berisi fase diam dan fase gerak, kemudian diberikan tekanan tinggi sehingga fase gerak dapat mengelusi sampel keluar dari kolom dan terdeteksi oleh detektor yang kemudian dihasilkan kromatogram (Kardila dan Saputri, 2017).

2.4.1 Instrumentasi kromatografi cair kinerja tinggi

Pada dasarnya alat kromatografi cair kinerja tinggi terdiri atas wadah pelarut, fase gerak, pompa, tempat penyuntikan sampel, kolom, detektor dan perekam.

1. Wadah pelarut

Wadah pelarut harus mempunyai beberapa ciri. Bahan wadah harus lembam terhadap berbagai fase gerak berair dan tidak berair. Sehingga baja nir (anti) karat dan gelas menjadi bahan terpilih. Tetapi baja nirkarat jangan dipakai pada pelarut

yang mengandung ion halida dan jika wadah pelarut harus bertekanan, hindari penggunaan gelas. Daya tampung wadah harus lebih besar dari 500 mL, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir yang umumnya 1-2 mL/menit (Munson, 1991).

2. Fase gerak

Menurut Johnson dan Stevenson (1991), pada kromatografi cair, susunan pelarut atau fase gerak merupakan salah satu peubah yang mempengaruhi pemisahan. Berbagai macam pelarut dipakai dalam semua ragam KCKT, tetapi ada beberapa sifat yang diinginkan yang berlaku umum.

Fase gerak haruslah murni tanpa cemaran, tidak bereaksi dengan kemasan, sesuai dengan detektor, dapat melarutkan cuplikan, memiliki visikositas rendah, memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan dan harganya wajar (Johnson dan Stevenson, 1991).

3. Pompa

Pompa yang cocok untuk kromatografi cair kinerja tinggi mempunyai beberapa ciri. Seperti wadah pelarut, pompa harus dibuat dari bahan yang lembam terhadap semua macam pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas, baja nirkarat, teflon dan batu nilam. Pompa harus mampu menghasilkan tekanan sampai 5000 psi pada kecepatan sampai 3 mL/menit (Munson, 1991).

Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat,

4. Tempat penyuntikan sampel

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal (Rohman, 2009).

5. Kolom

Kolom merupakan bagian kromatografi cair kinerja tinggi yang mana terdapat fase diam untuk berlangsungnya proses pemisahan solut/analit. Oktadesil silica (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang maupun tinggi (Rohman, 2009).

Menghilangkan gas (gelembung udara) dari solven, terutama untuk KCKT yang menggunakan pompa bolak balik (reciprocating pump) sangat diperlukan terutama bila detektor tidak tahan kinerja sampai 100 psi. Udara yang terlarut yang tidak dikeluarkan akan menyebabkan gangguan yang besar di dalam detektor sehingga data yang diperoleh tidak dapat digunakan. Menghilangkan gas (degassing) juga sangat baik bila menggunakan kolom yang sangat sensitif terhadap udara (contoh: kolom berikatan dengan NH2) (Putra, 2004).

6. Detektor

Detektor diperlukan untuk mengindera adanya komponen cuplikan di dalam eluen kolom dan mengukur jumlahnya (Johnson dan Stevenson, 1991). Suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel; (2) mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada kadar yang sangat kecil; (3) stabil

dalam pengoperasiannya; (4) mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita; (5) signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada kisaran yang luas (kisaran dinamis linier); dan (6) tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak (Rohman, 2009).

Detektor KCKT yang umum digunakan adalah detektor UV 254 nm.

Variabel panjang gelombang dapat digunakan untuk mendeteksi banyak senyawa dengan range yang lebih luas. Detektor indeks refraksi juga digunakan secara luas, terutama pada kromatografi eksklusi, tetapi umumnya kurang sensitif jika dibandingkan dengan detektor UV (Johnson dan Stevenson, 1991).

2.4.2 Metoda analisis kuantitatif kromatografi cair kinerja tinggi a. Metoda persentase tinggi/lebar puncak

Metoda ini disebut juga Metoda Normalisasi Internal. Untuk analisis kuantitatif diasumsikan bahwa lebar atau tinggi puncak (peak) sebanding (proportional) dengan kadar/konsentrasi zat yang menghasil puncak. Dalam metoda yang paling sederhana diukur lebar atau tinggi puncak, yang kemudian dinormalisasi (ini berarti bahwa setiap lebar atau tinggi puncak diekspresikan sebagai suatu persentase dari total) (Putra, 2004).

b. Metoda baku luar (External standard method)

Pada metoda ini kita membuat suatu baku/standar yang mengandung senyawa atau senyawa-senyawa yang akan ditetapkan kadarnya, idealnya jumlah baku sama dengan jumlah bahan yang akan dianalisis, dan kita membandingkan

c. Metoda baku dalam (Internal standard method)

Dalam metoda ini kita menambahkan ke dalam sampel sejumlah tertentu (jumlah yang diketahui) zat standar (baku dalam). Kromatogram yang diperoleh dibandingkan dengan kromatogram sampel atau campuran senyawa dalam sampel. Metoda ini mempunyai keuntungan dibanding dengan metoda baku luar karena, ia mengkompensasi variasi volume injeksi dan juga untuk perubahan yang kecil dari sensitivitas detektor atau perubahan kromatograti yang bisa terjadi (Putra, 2004).

2.4.3 Keuntungan kromatografi cair kinerja tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi mempunyai banyak keuntungan jika diandingkan dengan kromatografi cair tradisional yaitu: cepat, daya pisahnya baik, peka, detektor unik, kolom dapat dipakai kembali, ideal untuk molekul besar dan ion dan mudah memperoleh kembali cuplikan (Johnson dan Stevenson, 1991).

a. Kecepatan

Waktu analisis yang kurang dari satu jam merupakan hal yang lazim.

Banyak analisis dapat dilakukan dalam 15-30 menit. Memang, untuk analisis yang tidak rumit, dapat dicapai waktu analisis kurang dari 5 menit.

b. Daya pisah

kemampuan linarut berantaraksi secara selektif dengan fase diam dan fase gerak memberikan parameter tambahan untuk mencapai pemisahan yang dikehendaki.

c. Kolom yang dapat dipakai kembali

Banyak analisis dapat dilakukan pada kolom yang sama sebelum kolom itu harus diganti. Akan tetapi, kolom tersebut turun mutunya; laju penurunan mutu itu

bergantung pada jenis cuplikan yang disuntikkan, kemurnian pelarut dan jenis pelarut yang dipakai.

d. Kepekaan

Detektor serapan UV yang biasa dipakai dalam KCKT dapat mendeteksi berbagai jenis senyawa dalam jumlah nanogram (10-9 g). Detektor fluoresensi dan elektrokimia dapat mendeteksi dalam jumlah pikogram (10-12 g).

e. Molekul besar dan ion

KCKT dalam ragam eksklusi dan pertukaran ion ideal untuk menganalisis molekul besar dan ion.

f. Mudah memperoleh kembali cuplikan

Sebagian besar detektor yang dipakai pada KCKT tidak merusak sehingga komponen cuplikan dapat dikumpulkan dengan mudah ketika mereka melewati detektor.

BAB III

METODE PENGUJIAN

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Pengujian ini dilaksanakan pada tanggal 2 Februari – 9 Februari 2017 di ruang Quality Control bagian instrumen yang terdapat di PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan yang berada di Jalan Sisingamangaraja XII Km. 9 No.

59 Medan.

3.2 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada pengujian adalah batang pengaduk, beaker glass (Pyrex ukuran 100 mL, 1000 mL), bola karet, botol vial corong, gelas ukur

(Pyrex ukuran 50 mL, 1000 mL), kromatografi cair kinerja tinggi (Alliance type e2695), labu tentukur (Pyrex ukuran 25 mL, 50 mL), neraca analitik (Digital semi micro balance), pipet tetes, pipet volum (Pyrex ukuran 1 mL), saringan millipore (Phenex NY 0,45 µm), spuit (1 mL) dan ultrasonic bath.

3.3 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada pengujian adalah akuabides (PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan), asam asetat glasial (Merck Germany), asetonitril (Merck Germany), betametason valerat Baku Pembanding Farmakope Indonesia (BPFI), krim betametason 0,1% (PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan) dan metanol (J.T. Baker).

3.4 Prosedur Pengujian 3.4.1 Pengambilan sampel

Diambil 10 gram krim betametason 0,1% dalam bentuk produk ruahan (PT.

Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan), ditimbang seksama lebih kurang 1 gram sebanyak dua kali.

3.4.2 Pembuatan larutan standar

Ditimbang seksama lebih kurang 25 mg betametason valerat, dimasukkan kedalam labu tentukur 100 mL. Ditambahkan ±35 mL larutan asam asetat glasial-metanol (1 dalam 1000). Diletakkan di ultrasonic bath selama 15 menit.

Ditambahkan larutan asam asetat glasial-metanol (1 dalam 1000) sampai garis tanda. Dipipet 1 mL kemudian dimasukkan kedalam labu tentukur 25 mL.

Ditambahkan 25 mL larutan asam asetat glasial-metanol (1 dalam 1000) lalu dikocok. Disaring dengan saringan millipore 0,45 µm dan dimasukkan kedalam botol vial.

3.4.3 Pembuatan larutan sampel

Ditimbang seksama lebih kurang 1 gram produk ruahan krim betametason 0,1%, dimasukkan kedalam beaker glass 100 mL, diencerkan ±25 mL larutan asam asetat glasial-metanol (1 dalam 1000), dimasukkan kedalam labu tentukur 50 mL, dibilas beaker glass dengan ±5 mL larutan asam asetat glasial-metanol (1 dalam 1000), dimasukkan kedalam labu tentukur 50 mL tersebut, diletakkan di ultrasonic bath selama 15 menit, ditambahkan larutan asam asetat glasial-metanol (1 dalam 1000) sampai garis tanda, disaring dengan saringan millipore 0,45 µm

3.4.4 Pengukuran kadar betametason valerat secara KCKT a. Persiapan alat KCKT

Dihidupkan komputer. Dihidupkan power detector 2489 dan pump 1525.

Didetektor sampai muncul tampilan panjang gelombang 254 nm. Dibuka kran pada pump 1525 kearah kanan, kemudian lakukan purging, set laju alir 5,00 mL/menit. Dilakukan purging selama 5 menit. Setelah selesai tekan stop pump.

Diatur laju alir 1,50 mL/menit dan komposisi fase gerak yaitu asetonitril- akuabides (3:2) kemudian dilakukan conditioning selama 20 menit.

b. Persiapan injek

Sebelum diinjeksikan larutan baku dan larutan sampel disaring dengan filter 0,45 µm. Disuntikkan secara terpisah larutan baku sebanyak 6 kali dan larutan uji sebanyak 2 kali (duplo). Dipilih inject only selected lines untuk inject run time dan tampilkan kromatogram mentah. Setelah peak muncul kemudian diatur setting run time 5,50 menit. Kemudian set run time produk. Ditunggu sampai pada layar

monitor tertulis waiting for injection maka sampel/standar siap diinjeksikan.

Dilakukan injeksi ke dalam injection port dengan volum injeksi 20 µL.

Larutan standar dan larutan uji diukur dengan:

Fase gerak : asetonitril-akuabides (3:2)

Fase diam : kolom bondapack C18 (3,9 × 300 mm) Panjang gelombang : 254 nm

Volume injeksi : 20 µL

Laju alir (flow rate) : 1,50 mL/menit.

3.4.6 Perhitungan

Kadar betametason valerat dalam krim betametason 0,1% dapat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini:

Keterangan:

Au : Luas area larutan uji As : Luas area larutan standar

BWS : Bobot betametason valerat yang ditimbang (mg) KWS : Kadar betametason valerat (%)

Bu : Bobot sampel yang ditimbang (mg)

1/1000 : Kandungan betametason valerat pada krim 25/1 × 50 : Faktor pengenceran larutan standar

50 : Faktor pengenceran larutan uji 3.4.7 Persyaratan

Menurut Farmakope Indonesia Edisi V persyaratan kadar betametason valerat yaitu tidak kurang dari 90,00% dan tidak lebih dari 110,00% dari jumlah yang tertera pada etiket.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pada pengujian kadar betametason valerat dalam sediaan krim betametason 0,1% produksi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan diperoleh hasil yaitu:

Tabel 4.1 Data Hasil Penetapan Kadar Betametason Valerat pada Krim Betametason 0,1%. Keterangan : KWS = Kadar working standar

Gambar hasil kromatogram standar betametason valerat dapat dilihat pada Lampiran 1 dan kromatogram sampel uji pada Lampiran 2. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3. Sedangkan gambar alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.2 Pembahasan

Hasil kadar yang diperoleh yaitu bets X (a) = 104,45% dan bets X (b) = 104,30%, maka diperoleh kadar rata-ratanya yaitu 104,37%. Adanya perbedaan kadar antara bets X (a) dan bets X (b) disebabkan karena masing-masing sampel yang ditimbang tidak tepat sama yaitu ±1 gram dan sampel yang digunakan tidak tercampur merata. Hal ini menyebabkan puncak pada kromatogram berbeda,

sehingga mempengaruhi kadar. Namun perbedaan yang ada tidak berbeda jauh dikarenakan sampel yang di uji hanya satu bets saja.

Menurut Farmakope Indonesia Edisi V persyaratan kadar betametason valerat yaitu tidak kurang dari 90,00% dan tidak lebih dari 110,00% dari jumlah yang tertera pada etiket. Dengan demikian betametason valerat dalam krim betametason 0,1% yang di produksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan telah memenuhi syarat.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil pengujian penetapan kadar betametason valerat dalam sediaan krim betametason 0,1% dengan menggunakan alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) yaitu dengan kadar rata-rata 104,37%. Hasil yang diperoleh memenuhi persyaratan yang tertera pada Farmakope Edisi V, yaitu tidak kurang dari 90,00%

dan tidak lebih dari 110,00%.

5.2 Saran

Diharapkan agar PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan tetap menjaga mutu hasil produksinya.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. (2014). Farmakope Indonesia.

Edisi Kelima. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I. hal. 240-241.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M., dan Schwarting, A.E. (1991). Pengantar Kromatografi.

Bandung: Penerbit ITB. hal. 1.

Johan, R. (2015). Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat. IAI. CDK-227.

42(4):308.

Johnson, E.D., dan Stevenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Bandung:

Penerbit ITB. hal. 1:6-10.

Kardila, I., dan Saputri, F.A., (2017). Derivatisasi Senyawa pada KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) dengan Detektor Fluoresens.

Farmaka. 4(3):2.

Khattak, S.U.R., Ahmad, D.S.I., and Usmanghani, K. (2012). Kinetics of Thermal Degradation of Betamethasone Valerate and Betamethasone Dipropionate in Different Media. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences. 133-134.

Munson, J.W. (1991). Analisis Farmasi Metode Modern. Parwa B. Surabaya:

Airlanggan University Press. hal. 26-27.

Putra, E.D.L. (2004). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dalam Bidang Farmasi.

Medan: Fakultas FMIPA Universitas Sumatera Utara. 5-18.

Rohman, A. (2009). Kromatografi untuk Analisis Obat. Yogyakarta: Graha Ilmu.

hal. 2:111-116.

Sartono. (1996). Apa yang Sebaiknya Anda Ketahui Tentang Obat Wajib Apotek.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 88-89:94.

Schunack, W., Mayer, K., dan Haake, M. (1990). Senyawa Obat. Edisi Kedua.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 517.

Lampiran 1. Gambar Kromatogram Standar Betametason Valerat

Lampiran 1. (Lanjutan)

Lampiran 2. Gambar Kromatogram Sampel Uji Betametason Valerat

Lampiran 2. (Lanjutan)

Lampiran 3. Perhitungan Penetapan Kadar Betametason Valerat

Panetapan kadar betametason valerat menggunakan rumus:

Keterangan:

Au : Luas area larutan uji As : Luas area larutan standar

BWS : Bobot betametason valerat yang ditimbang (mg) KWS : Kadar betametason valerat (%)

Bu : Bobot sampel yang ditimbang (mg)

1/1000 : Kandungan betametason valerat pada krim 25/1 x 50 : Faktor pengenceran larutan standar

50 : Faktor pengenceran larutan uji Diketahui:

Batch X (a) Batch X (b)

Au : 381172 Au : 380599

As : 361813 As : 361813

BWS : 25,02 mg BWS : 25,02 mg

KWS : 99,124% KWS : 99,124%

Bu : 1,00059 g Bu : 1,00050 g

Lampiran 3. (Lanjutan)

Kadar rata-rata betametason valerat

=

Lampiran 4. Gambar Alat-alat yang digunakan

Alat kromatografi cair kinerja tinggi

Alat digital semimicro balance

Dokumen terkait