• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika 1 Dasar Pemidanaan dan Penjatuhan Pidana

2. Tujuan Pemidanaan

Di Indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Tujuan pemidanaan bila dilihat dari pendapat beberapa sarjana seperti menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu :

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale

preventif), atau

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.100

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana

99

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 1996), hlm. 43.

100

merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

P.A.F. Lamintang menyatakan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,

b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan

c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan- kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.101

a. Teori absolut atau teori pembalasan

Dari kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut:

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law,102

101

Loc.Cit. 102

E. Utrecht, Op.Cit. hlm.157.

bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagi sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharusnya

menerima ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidk boleh tetap ada pada anggota masyarakat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut:

Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatn itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.103

Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku sedangkan pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukaka oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana” hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.

104

Karl O. Cristiansen memngungkapkan ciri dari teori retributif, yaitu:

Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana ringan pun terkadang merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah pelaku tindak pidana itu memiliki lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan tetap menjai lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali.

105

103

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm.26. 104

a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan merupakan tujuan utam, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana; d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;

e. Pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori absolut ini, Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut:106

1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative.

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keberuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness.

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliaran retributif ini disebut

proportionality.

Dilihat dari sejarahnya mungkin teori ini dipandang tepat pada zamannya. Akan tetapi dalam konteks perkembangan masyarakat yang semakin beradab, maka sulit untuk menjelaskan bahwa seseoarang dipidana hanya karena orang telah melakukan kejahatan. Meskipun rasa dendam ada pada setiap diri manusia dan kelompok masyarakat akan tetapi pemikiran yang

105

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 17. 106

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 83-84.

rasional jelas tidak bijak untuk mengikuti tuntutan balas dendam. Justru tugas pemikir untuk mengarahkan perasaan dendam pada tindakan yang lebih bermartabat dan bermanfaat.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu:107 1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschaappelijke

orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschaappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); 5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).

Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan pendapat tentang teori ini, bahwa: Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ni adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan

nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).108

107

Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), hlm. 12.

108

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.16.

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya dapat dijadikan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuantujuan dari pidana adalah:109

Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai berikut: “prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar sedangkan prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar”.

1. mencegah semua pelanggaran;

2. mencegah pelanggaran yang paling jahat; 3. menekan kejahatan;

4. menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu: a) prevensi umum (generale preventie),

b) prevensi khusus (speciale preventie).

110 109 Ibid, hlm. 30-31. 110 E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 157.

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:

a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);

b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan. e. pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur

pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.111

Sistem hukum pidana Indonesia boleh dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini terbukti dengan perkembangan teori pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan yang kemudian Selanjut Muladi dan Arief mengatakan bahwa teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama pemidanan, yaitu: preventif, deterrence, dan reformatif. Teori ini diadopsi di Indonesia dan dijadikan dasar teori pemasyarakatan. Namun ternyata teori pemasyarakatan banyak juga kelemahannya. Karena latar belakang pelaku kejahatan dan jenis kejahatan yang beragam.

Dari uraian di atas, teori tujuan ini juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan. Berkenaan dengan pandangan Jeremy Bantham, bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Perlu dipersoalkan, karena kejahatan dilakukan dengan motif yang beragam. Tidak semua kejahatan dapat dilakukan dengan rasional, dalam melakukan kejahatan tidak jarang manusia melakukan tidak atas dasar rasionya tapi lebih pada dorongan emosional yang kuat sehingga mengalahkan rasionya. Ini artinya dari sisi motif kejahatan dapat diklasifikasikan atas kejahatan dengan motif rasional dan kejahatan dengan motif emosional.

111

diimplementasikan dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Dari rumusan rancangan KUHP112

c. Teori Gabungan (Integratif)

juga terlihat kedekatan gagasan tersebut dengan teori relatif.

Kendati demikian pemidanaan dengan tujuan membina penjahat menjadi pentobat, juga sulit dilakukan tanpa dilakukan dengan pendekatan individualisasi pidana. Contoh sederhana adalah apakah bisa disamakan peminaan terhadap pencuri ayam yang mencuri karena lapar, koruptor yang rakus, dan pecandu narkoba serta pembunuh yang membunuh karena sakit hati. Gambaran ini mengidikasikan bahwa teori tujuan juga tidak dapat untuk memberikan landasan secara utuh tentang perlunya pidana.

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:113

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut- nakuti sulit dilaksanakan.

112

Pasal 54 RUU KUHP Tahun 2005: (1)Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan

rasa damai dalam masyarakat;

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana, dan memaafkan terpidana.

(2)Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

113

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.

Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:114

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.

115

Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat

114

Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm.24.

115

tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus), (b) perlindungan masyarakat, (c) memelihara solidaritas masyarakat, (d) pengimbalan/pengimbangan.116

Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspek pidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si korban.

Berlandaskan hasil pengkajian terhadap ketiga teori tujuan pemidanaan itu, pada akhirnya Muladi memunculkan konsep tujuan pemidanaan yang disebut sebagai tujuan pidana yang integratif (kemanusian dalam sistem pancasila). Teori tujuan integratif tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap kesimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulakan kerusakan individual dan masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

117

Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga R dan satu D, yakni:

Dari beberapa pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana dan pemidanaan sebagaimana disebutkan di atas, kesemuanya menunjukkan bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasan semata, atau untuk pencegahan saja. Penulis sependapat bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara yang memiliki tujuan yang sejalan satu dengan lainnya.

118

116

Ibid, hlm. 61. 117

J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hlm. 22.

118

Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence. Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Teori gabungan pada hakekatnya lahir dari ketidakpuasan terhadap gagasan teori pembalasan maupun unsur-unsur yang positif dari kedua teori tersebut yang kemudian dijadikan titik tolak dari teori gabungan. Teori ini berusaha untuk menciptakan keseimbangan antara unsur pembalasan dengan tujuan memperbaiki pelaku kejahatan. Meskipun dimulai dengan menekan kekurangan dari teori pembalasan.

Dari uraian diatas, teori gabungan atau integratif pada dasarnya menganut tujuan pidana dan pemidanaan itu tidak tunggal. Sehingga dalam penerapannya teori ini menganut sistem dua jalur (double track system), sistem yang didalamnya terdapat sanksi pidana dan sanksi tindakan.

d. Teori Treatment

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk member tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagi pengganti dari penghukuman. Argumen aliaran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).119

119

Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casre Lobroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofolo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.120

Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu sosial mempengaruhi pemikiran tentang kejahatan. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau ”Course in Positive

Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “There could be

no real knowledge of sosial phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach”.

Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Drawin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untuk menjelaskan hubungan antara kejahatn dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau ”The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic

120 Ibid.

Stigmata yang membedakan manusia criminal dengan yang bukan criminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang.121

Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliaran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempuyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikan si pelaku.122

1. Rejected legal definition of crime;

Secara lebih rinci, Reid mengemukakan cirri-ciri aliaran positif ini sebagai berikut:

2. Let the punishment fit the criminal;

3. Doctrin of determinism;

4. Abolition of death penalty;

5. Empirical research, inductive method;

6. Indeterminate sentence.123

Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham rehabilitasions dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebai tema sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist

121 Ibid, hlm. 80. 122 Ibid. 123 Ibid.

merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence.124

Basis utama aliran ini adalah konsepsinya bahwa kejahatan disebabkan oleh multi faktor yang menyangkut kehidupan natural manusia di dunia ini, antara lain faktor biologis dan faktor lingkungan sosial. Oleh karena itu aliran positif bersandarkan paham indeterminisme yang mengakui bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (free will) karena dibatasi oleh faktor-faktor tadi. Dalam hal penjatuhan pidana, aliran ini menganut sistem “indefinite sentence”, yaitu pidana yang dijatuhkan tidaka ditentukan secara pasti karena setiap pelaku kejahatan mempunyai kebutuhan yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lambroso, bahwa penerapan pidana yang sama pada semua pelaku kejahatan, merupakan suatu kebodohan karena setiap pelaku mempunyai kebutuhan yang berbeda.125

Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam

Dokumen terkait