• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Hakim tentang Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika (Studi Putusan Nomor : 35 PID 2012 PT.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Putusan Hakim tentang Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika (Studi Putusan Nomor : 35 PID 2012 PT.TK)"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN A. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika

1. Pengaturan Hukum Tentang Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Saat ini Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.43

Apabila dikaitkan dengan beberapa ahli hukum tentang politik hukum khususnya, hukum itu diberlakukan dalam bentuk undang-undang yang kemudian hari dalam penerapannya banyak terdapat kendala, yang juga bersumber dari undang-undang dan politik hukum pemberlakuan undang-undang. Beberapa ahli tersebut berpendapat bahwa politik hukum itu sendiri berbeda dengan pendapat penerapan hukum oleh ahli hukum lainnya, sama halnya dengan pendapat ahli Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

43

(2)

hukum tentang apa itu hukum, pastilah menemukan jawaban yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat sub sistem politik dan sub sistem hukum, maka tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah,44

Rouscoe Pound menyatakan tentang “law as a too of sosial engineering” sebagai keinginan tentu wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakat akan menjadi relevan. Pendapat Rouscoe Pound ini benbanding terbalik dengan pendapat Sutjipto Raharjo yang menyatakan bahwa hukumlah yang lebih berperan dalam gerak langkah masyarakat kedepan. Apabila dikaitkan dengan undang maka undang-undang yang dibuat di dewan perwakilan rakyat haruslah benar-benar selayaknya dapat memobilisasi masyarakat ke arah yang lebih baik. Apabila dihubungkan lagi dengan pendapat Van Savigny mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat, ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi dependent variable atas keadaan politiknya. Van Savaiqni berpendapat bahwa hukum dan politik bukan tidak bisa di satukan satu dengan yang lainnya, namun keduanya harus saling menyeimbangi satu dengan yang lainnya.

itulah pendapat Sutjipto Raharjo tentang politik dan hukum, bahwa menurut Sutjipto Raharjo bahwa hukum akan lemah bila dihadapkan dengan politik, sehingga politik akan selalu menang bila dihadapkan dengan hukum. Konsekuensinya adalah bahwa apabila hukum itu adalah undang-undang, maka undang-undang yang akan dibuat oleh legislatif akan kuat aroma politiknya, dibandingkan dengan manfaat undang-undang tersebut bagi tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat.

45

44

(3)

Dilihat dari pandangan beberapa ahli ini dihubungkan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah UU Narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tidak lagi dapat mencegah secara efektif tindak pidana narkotika yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Secara substansial, perubahan yang signifikan pada UU No. 35 tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang terdahulu, adalah pada penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.

Kalau kita lihat sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini, ada tersirat bahwa Undang-Undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan subtansi antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 antara lain pada:46

1. Hal Pembatasan Penyimpanan

Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun, namun hanya diperbolehkan terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan. Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun.

(4)

2. Hal Rehabilitasi dan Pengobatan

Pada Undang-Undang terdahulu, pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah. Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh tidak lagi diberikan. Para pecandu mempunyai kewajiban rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dimana para pecandu narkotika diwajibkan untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri.

3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang diemban Badan Narkotika Nasional (BNN)

Porsi besar bagi BNN47

47

http://id.wilkipedia.org/wiki/Badan-Narkotika-Nasional diakses pada tanggal 1 Maret 2013 “Badan Narkotika Nasional (disingkat BNN) adalah sebuah lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, precursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dasar hukum BNN sebagai LPNK adalah Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007.

(5)

penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3 x 24 jam ditambah penyadapan dalam hal melakukan kewenangannya dalam pemberantasan narkotika.

Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, maka di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan48

4. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika

(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy) dan teknik penyerahan yang

diawasi (controlled delevery) serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Kata “dapat” pada pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 digunakan untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.

5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan

Selain Polri , BNN dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Artinya masyarakat diberi wewenang seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut.

48

(6)

Peran serta masyarakat yang terpayungi oleh UU ini memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.

6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan

Dalam Tindak Pidana narkotika penggunaan kata “setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niat melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.

Hal ini berpotensi menjerat orang untuk dijadikan tersangka dalam tindak pidana narkotika yang tidak sengaja, baik karena “dijebak” oleh orang lain maupun atas kekurang-tahuan atas bentuk jenis narkotika yang ada maupun kondisi lain yang memungkinkan seperti: menerima titipan barang dari orang lain untuk diantar ke suatu tempat dan tanpa sepengetahuannya di dalam barang tersebut ada narkotika yang diselipkan, menerima paket dari pos dan kondisi lainnya.

7. Penggunaan Sistem Pidana Minimal

(7)

8. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai.

Dalam Undang-undang pidana lain ada pembedaan punishment antara suatu tindak pidana selesai dengan suatu tidak pidana tidak selesai (percobaan), sedangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi, namun tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.

Dari ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya sebagai berikut:

a. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika

b. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika c. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika

d. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika

e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika

f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika

h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika

i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu

(8)

m. Kejahatan yang menyangkut prekursor narkotika

n. Kejahatan yang menyangkut narkotika yang dilakukan oleh korporasi o. Kejahatan yang menyangkut narkotika secara pemufakatan jahat

p. Kejahatan yang menyangkut penyamaran hasil dari tindak pidana narkotika

Pada dasarnya, pengedar narkotika dalam terminologis hukum dikategorikan sebagai pelaku (daders) akan tetapi pengguna dapat dikategorikan baik sebagai pelaku dan/atau korban. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pelaku penyalahguna narkotika terbagi atas dua katagori yaitu pelaku sebagai “pengedar” dan / atau “pemakai”. Pada Undang-undang Narkotika secara eksplisit tidak dijelaskan pengertian pengedar narkotika. Secara implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa, “pengedar narkotika” adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan narkotika. Akan tetapi, secara luas pengertian “pengedar narkotika” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi penjual, pembeli untuk mengedarkan, menyangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan kegiatan mengekspor dan mengimpor narkotika. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka “pengedar” diatur dalam pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125.

(9)

Terlupakannya korban tindak pidana tidak dapat dilepaskan dengan hukum pidana di Indonesia yang bersumber dari hukum pidana neo-klasik yang notabene melahirkan hukum pidana yang bersifat “daad–dader strafrecht”, yakni hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan dan pelaku.49

Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana,

yakni jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Perhatian terhadap pelaku tindak pidana yang memperoleh perlindungan berlebihan, dalam artian tidak seimbang dengan kepentingan korban, merupakan suatu gambaran timpang sebagai akibat dalam hukum acara pidana di Indonesia, lebih mengedepankan “proses hukum yang adil” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “due process model”.

Pecandu narkotika merupakan “Self Victimizing Victims” yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Namun demikian korban penyalahgunaan narkotika itu sepatutnya mendapatkan perlindungan agar korban tersebut dapat menjadi baik.

50

49

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm25-26 dan 62. 50

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.24.

Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku agar ia berubah. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelaku. Berdasarkan hal tersebut double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat, karena berdasarkan

(10)

pelaku, victimologi tetap menempatkan penyalahguna narkotika sebagai korban, meskipun dari tindakan pidana/kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merupakan hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa pengguna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 yang menjadi pegangan pertimbangan hakim dalam memutus narkotika.

Oleh karena itu, maka pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk mendapat perlindungan. Namun, karena pecandu narkotika juga sebagai pelaku tindak pidana/kejahatan maka ia juga harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah maka dikatakan bahwa double track

system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling

tepat.

Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika sebagai self victimizing victims adalah dalam bentuk menjalani masa hukuman dalam penjara, sedangkan sanksi tindakan yang diberikan kepada pecandu narkotika sebagai korban adalah berupa pengobatan dan/atau perawatan yang diselenggarakan dalam bentuk fasilitas rehabilitasi. Sistem pelaksanaannya adalah masa pengobatan dan/atau perawatan dihitung sebagai masa menjalani hukuman.

(11)

Dalam hukum pidana menurut beberapa ahli ada tiga persoalan yang mendasar. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan onrecht, schult, dan strafe. Sementara Packer menyebut ketiga masalah itu berkenaan dengan crime, responsibility dan punishment.51 Menurut Soedarto persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang itu dan pidana yang diancamkan terhadap pelarangan larangan itu.52 Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan.53

1. Kemampuan Bertanggungjawab

Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka harus diketahui apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya, dimana ada beberapa unsur yang penting untuk dianalisis sehingga kita mengetahui secara jelas apakah orang tersebut harus diminta pertanggungjawabannya atau tidak. Adapun unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab, alasan penghapusan pidana.

Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu tidak hanya saja manusia yang dapat pertanggungjawaban pidana bahkan hewan atau benda mati lainnya dapat dipertanggungjawabkan tindak pidananya. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya saja terbatas pada pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkan terhadap

51

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.7.

52

Soedarto, Tentang Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Kertas Kerja, pada simponsium Pembaharuan Hukum Pidana, (Semarang, 1980).

53

(12)

jenis-jenis perbuatan yang berbeda didasari oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.

Seetelah revolusi Prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme (mazhab taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana perbuatan yang tidak baik.54

I… Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is

legally subjected to the exaction.

Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound menyatakan bahwa :

55

Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang yang telah dirugikan,56

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toeraken-baarheid”,

criminal responsibility”, “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana yang dimaksudkan

disini untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya itu.

menurutnya bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Roscoe Pound, “an introduction to the philosophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar maju, 2000), hlm. 65

56

Romli Atmasasmita, Ibid. 57

(13)

Di dalam pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Simons menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan psychis, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya.58 Seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni apabila:59

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri

b. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum

c. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut

Keadaan yang dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannnya si pembuat atas perbuatannya/syarat-syarat kemampuan bertanggungjawabnya secara negatif yakni:60

a. Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Persaksian keadaan pribadi si pembuat berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit. Psikiater yang akan menyelidiki keadaan jiwa si pembuat tersebut pada saat perbuatan dilakukan.

b. Adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya, dalam hal ini yang menentukan adanya hubungan kausal adalah hakim.

Di dalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan,yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab

58

Loc.Cit. 59

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), hlm. 165 60

(14)

karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.61

Kemampuan bertanggungjawab juga dikemukakan oleh Van Hammel yang mengatakan seseorang yang mampu bertanggungjawab harus memliki tiga syarat, yaitu: pertama, dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan; kedua, dapat menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat; ketiga, mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.

62

Suatu perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan,63

2. Kesalahan

yakni pertama, pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya. Kedua pendekatan ini yang melihat kejahatan sebagai perwujutan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.

Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (

subjective guilt).

61

Sutrisna, I Gusti Bagus, “ Penerapan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tinjauan terhadap pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 78

62

Sutrisna, I Gusti Bagus, Ibid. hlm. 79 63

(15)

Disini berlaku apa yang disebut dengan “TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” (

keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld ) atau NULLA POENA SINE CULPA (

“Culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Dari apa yang telah di sebutkan di atas,

maka dapat di katakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah :

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau

Zurechnungsfahigkeit) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau keapaan (culpa) : ini di sebut bentuk-bentuk kesalahan.

3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di pidana.64

Dalam pengertian tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidana .Tindakan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “ apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana. “Tidak

Sekalipun kesalahan telah di terima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam penerapannya. Dengan kata lain, pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.

64

(16)

di pidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld:actus non facit reum nisi mens sir rea)”.

Namun lainya halnya dengan hukum pidana fisikal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau di rampas. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het

materiele feit (fait materielle).65

Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin di kenakan pidana, meskipun orang tersebut di kenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain,sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana.66

Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat dijabarkan sebagai berikut:

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang- Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.

67

a. Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.

65

Dahulu atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu H.R.1916 Nederland ( Van Bammalen Arresten strafrecht), hal itu di tiadakan.Demikan pula bagi delik-delik jenis overtradingen, berlaku asa tanpa kesalahn, tak mungkin di pidana.

66

Moeljatno, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”, Pidato Ilmiah. 67

Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm 88. Kesalahan dapat ditinjau dari 3 sisi yakni :

a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang yang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.

b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan

(17)

b. Simons mengartikan kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka kesalahan tersebut berupa keadaan psychis dari si pembuat. Hubungannya terhadap perbuatan itu dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychis perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal di samping melakukan tindak pidana, yakni :

1. Adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu; dan

2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang di lakukan,

hingga menimbulkan celaaan tadi.

c. Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan pengertian psychologis, hubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.

d. Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal.

(18)

sedangkan sifat melawan hukum, merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana ia dicela.68

Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur kesalahan dalam arti luas, sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan tersebut meliputi:

a. Kesengajaan

Kesengajaaan (dolus/opzet) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld). Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa69. Kesengajaan ini biasanya suatu kondisi dimana melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak sesuatu.70

Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.71

Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan ssengaja, yaitu “niat” (voorhomen) dan dengan rencana terlebih dahulu (met voorberachterade). Dalam pasal 35 ayat 1 KUHP tentang

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu dia berbuat.

68

S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986), hlm 163.

69

S.R.Sianturi, Op.Cit., hlm. 166. 70

Sathocid Kartanegara, Op Cit., hlm. 292. 71

(19)

percobaan dikatakan “percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud sipembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”.

Antara niat dan kesengajaan dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan, yang membedakan hanya selesai tidaknya perbuatan itu dilakukan. Tapi dasar untuk melakukan perbuatan itu sama yakni sudah ada niat. Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu72

1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark) :

2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of

noodzakelijkheid)

3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met

waarschlijkheidbewustzijn).

Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja ia hanya menghendaki tindakannya itu tetapi juga menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika menghendaki tindakannya itu artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya dengan tindakannya, tidak diisyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.73

Kesengajaan yang dianut oleh Hukum Pidana Indonesia adalah kesengajaan jenis kedua yaitu kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu. Undang-undang hukum pidana

72

Sudarto, Op.Cit, hlm. 103-105. 73

(20)

menentukan dapat dipidananya seseorang tidak tergantung dari keinsyafannya, apakah suatu tindak pidana dilarang dan diancam dengan pidana karena hal tersebut akan memberikan beban kepada para penegak hukum terutama hakim dalam membuktikannya. Sebagai imbalannya ialah bahwa hanya tindakan tertentu (yang harus diatur dalam undang-undang) yang ditentukan sebagai kejahatan, yang oleh setiap orang yang berpendidikan normal dapat mengetahui bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan ketertiban masyarakat atau kesusilaan74

Kesengajaan tanpa sifat tertentu di dalam praktik peradilan dan menurut doktrin dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya: pertama, kesengajaan sebagai maksud (dolus

directus atau opzet als oogmerk) yang berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu

adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan si pelaku, pada delik formal diatur dalam Pasal 406 KUHP dan pada delik material diatur dalam Pasal 338 KUHP. Kedua, kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidesbewustzijn), yang menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi. Ketiga, kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atou voorwaar delijk opzet) merupakan kesengajaan dalam tingkat yang terendah dimana yang menjadi sandaran kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran si pelaku tentang tindak pidana dan akibat terlarang yang mungkin terjadi serta termasuk juga kesadaran pelaku mengenai kemungkinan terjadinya suatu tindakan dan akibat setelah melalui beberapa syarat-syarat tertentu

.

75

74

Ibid, hal 172 75

Ibid, hal 172

(21)

b. Kelalaian (culpa)

Yang dimaksud dengan kelalaian adalah jika seseorang tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi dia tidak mengindahkan larangan itu.Dia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jadi, dalam kelalaiannya kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.76

Selanjutnya dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kelalaian itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

77

Dari uraian diatas sering dipandang bahwa bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan untuk diancam dengan pidana, cukup dicari sarana lain dari pada pidana. Pidana dianggap hanya sebagai obat terakhir (ultimatum remedium).

78

1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.

Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu :

2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu

(22)

akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.

Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri dari :

1. Kealpaan berat (culpa lata). Kealpaan berat dalam bahasa Belanda disebut dengan merlijke

schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berat ini tersimpul dalam

”kejahatan karena kealpaan”, seperti dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP

2. Kealpaan ringan dalam bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP.

Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya adalah:79

1. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-baiknya, tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.

2. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu, tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena sifat melawan hukum.

MvT menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat80

1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan

:

79

S. R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 192. 80

(23)

2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan 3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan

Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah suatu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan, tetapi dapat pula dikatakan kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan karena bila mana dalam kesengajaan sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki pelaku, maka dalam kealpaan justru akibat itu tidak dikehendaki walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya.81

1. Dilihat dari sudut kecerdasan atau ingatan pelaku, maka dapat dibagi atas Pembagian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut yaitu:

82

a) Kealpaan yang berat (culpa lata), yang diisyaratkan adanya kekurangwaspadaan

(onvoorzichtigheid)

:

b) Kealpaan yang ringan (culpa levis), yeng diisyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku dan perbandingan tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang terpandai dalam golongan pelaku. 2. Dilihat dari sudut kesadaran (bewustheid), dapat dibagi atas83

a) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), jika pelaku dapat membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul juga.

:

(24)

c. Dapat dipertanggungjawabkan

Pompe menyatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan maksudnya adalah ia ada pada suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup mampu untuk mengerti arti perbuatannya dan sesuai dengan pandangan itu menentukan kemauannya. Kemampuan berfikir terdapat pada orang-orang normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir dapat diduga pada si pembuat. Dengan kata lain dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana itu kepada pelaku apabila pelaku mempunyai kemampuan berpikir dan menginsyafi arti perbuatannya.84

Berdasarkan pendapat tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan tetapi pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku85

3. Alasan Penghapusan Pidana .

Di dalam KUHPidana pembicaraan mengenai alasan penghapusan pidana dimuat dalam Buku I Bab III tentang hal-hal yang menghapus atau memberatkan pengenaan pidana. Sebagaimana diketahui bahwa KUHPidana yang berlaku saat ini secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu bagian umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang peraturan umum) dan bagian khusus yang terdiri dari dua buku sebagaimana terdapat dalam buku kedua (tentang kejahatan) dan buku ketiga (tentang pelanggaran). Alasan penghapusan pidana disamping diatur dalam bagian umum buku kesatu KUHPidana (yang berlaku secara umum) juga pengaturannya terdapat dalam bagian khusus buku kedua

84

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Jakarta: Paradnya, 1996), hlm. 32

85

(25)

KUHPidana (yang berlaku secara khusus bagi tindak pidana tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal tersebut).

Di dalam bagian pertama buku umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang pengaturan umum) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan pidana. Ketidakmampuan bertanggungjawab sebenarnya merupakan alasan penghapusan kesalahan atau alasan pemaaf. Menentukan keadaan dimana seseorang tidak mampu bertanggung jawab sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui metode berikut, yakni:86

a. Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa seseorang yang dilakukan oleh psikiater.

b. Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa abnormal dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode ini adalah akibat penyakit jiwa dengan perbuatannya sehingga dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana.

c. Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan keadaan jiwa dan kemudian keadaan jiwa itu dinilai dengan perbuatannya untuk ditanyakan tidak mampu bertanggung jawab.

Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut perbuatan atau pembuatnya, sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana (umum) yakni:

a. Alasan Pemaaf, yakni menyangkut pribadi si pembuat dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakian perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Dalam Ketentuan Umum KUHPidana alasan

86

(26)

penghapusan pidana ini dirumuskan dalam Buku Kesatu Bab III. Adapun alasan pemaaf yang terdapat pada KUHPidana adalah:

1) Pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggungjawab karena tidak sempurna akal, jiwanya atau terganggu karena sakit.

2) Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya paksa dapat dibedakan dalam 2 hal yakni:87

a) Paksaan absolute, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal ini kekuasaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.

b) Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan mengadakan perlawanan. 3) Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari

beberapa syarat yaitu:88

a) Melampaui batas pembelaan yang diperlukan

b) Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat

c) Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka harus ada hubungan kuasal antara keduanya

4) Pasal 51 ayat (2) yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, namum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:89

a) Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah

b) Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah

87

Fuad Usfa dan Togat, Pengantar Hukum Pidana, ( Malang, UMM Pers, 2004), hlm. 90 88

S.R Sianturi, Op.Cit, hlm. 293 89

(27)

b. Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHPidana adalah pada:

1) Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat atau terpaksa (noodweer) yang memiliki syarat:

a) Adanya serangan. Tidak pada semua serangan dapat diadakan pembelaan melainkan pada serangan yang bersifat seketika; langsung mengancam; melawan hukum; sengaja ditujukan pada badan, perikesopanan, dan harta benda.

b) Adanya pembelaan yang perlu ditujukan terhadap serangan itu, dengan syarat: pembelaan harus dan perlu diadakan; pembelaan harus menyangkut pembelaan pada badan, perikesopanan dan harta benda.

(28)

seseorang itu sedang melakukan kewajibannya yang dinyatakan sebagai “dalam melaksanakan suatu ketentuan”.

3) Pasal 51 yakni melaksanakan perintah jabatan. Perintah jabatan di sini haruslah perintah jabatan yang sah, dimana sah maksudnya adalah bila perintah tersebut berdasar tugas, wewenang, atau kewajiban yang didasarkan pada suatu peraturan, dan antara orang yang diperintah dengan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan subordinansi, meskipun sifatnya sementata serta tindakan tersebut tidak boleh melampaui batas kepatutan.

Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana narkotika tidaklah berbeda dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Mengenai pertanggungjawaban pidana tersebut masih juga dikaitkan dengan beberapa unsur pertanggungjawaban pidana seperti unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dan alasan pengahapusan pidana.

Mengingat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, setiap pelaku tindak pidana narkotika yang telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana, maka terhadap pelaku tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban pidana dan dijatuhkan sanksi pidana.

(29)

1) Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54, pasal 55 dan pasal 103.

3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

(30)

pendekatan keagamaan, tradisioanal , maupun pendekatan altematif lainnya. Tentang kewajiban untuk melaporkan pecandu narkotika yang belum cukup umur, ataupun yang telah cukup umur diatur pada pasal 55 yang menyebutkan bahwa orang tua, wali, maupun keluarga wajib untuk melaporkan keluarganya yang menjadi pecandu narkotika kepada Pusat Kesehatan Masyarakat, rumah sakit, dan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang sudah mengatur lebih luas dengan menerapakan proses rehabilitasi atau perawatan tersebut terhadap korban dari penyalahgunaan narkotika, tidak hanya terhadap pelaku penyalahgtmaan narkotika atau sering disebut pecandu narkotika saja. Dalam pasal 46 mewajibkan orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur untuk melaporkan kepada pejabat yng ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan. Tentang kewajiban untuk melaporkan pecandu narkotika yang belumcukup umur maupun pecandu yang telah cukup umur, diatur dengan keputusan Menteri Kesehatan.

Melihat ketentuan pasal 127 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka seorang pecandu narkotika dapat dijatuhkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan sanksi tindakan berupa rehabilitasi. Hal ini bila dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana. Sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan kepada pecandu narkotika apabila pecandu narkotika tersebut telah memenuhi unsur kesalahan, unsur dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak terpenuhinya unsur alasan penghapusan pidana.

(31)

telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, tetapi dalam kenyataannya beberapa kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika sering divonis oleh hakim dengan penjatuhan sanksi berupa pemberian rehabilitasi. Mengenai alasan mengapa sanksi berupa pemberian rehabilitasi tersebut dijatuhkan oleh Hakim, hal ini berdasarkan atas keyakinan hakim terhadap bukti atau fakta-fakta dipersidangan dan dapat diperkuat lagi dengan adanya surat keterangan dokter berupa uji laboratorium yang menerangkan sebagai pecandu narkotika.

Adapun pertimbangan yang dapat disimpulkan dalam menjatuhkan sanksi berupa rehabilitasi karena menganggap pecandu narkotika itu sebagai korban kejahatan penyalahgunaan narkotika dan menganggap seorang pecandu lebih cocok dijatuhkan vonis sanksi rehabilitasi yang akan memberikan perawatan serta pembinaan yang bersifat mendidik dan memperbaiki fisik dan mental dari para pecandu sehingga mereka dapat kembali hidup normal di dalam masayarakat. Hal ini didasarkan pada pendapat Ezzet Abdul Fateh menyatakan bahwa penyalahguna narkotika dimasukkan ke dalam tipologi “false victims”, yaitu mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri, begitu pula Stefhen Schafer menyatakan bahwa mereka ini dimasukkan sebagai “self victimizing victims”, yaitu korban dari kejahatan yang dilakukan oleh sendiri. Menurut Sellin dan Wolfgang, korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika merupakan “mutual victimization”, yaitu menjadi korban kejahatan, juga sebagai pelaku kejahatan itu sendiri.90

Dengan adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai penerapan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika tersebut secara jelas, maka seharusnya aparat penegak hukum khususnya para hakim dalam memutus perkara terhadap pecandu narkotika dapat mernberikan ancaman putusan berupa penerapan rehabilitasi yang bertujuan untuk meperbaiki kesehatan dari pecandu narkotika dengan memutus mereka untuk menjalani perawatan dan rehabilitasi pada panti-panti rehabilitasi

90

(32)

yang ada. Menghukum mereka di penjara bukan jalan keluar yang tepat, justru menambah masalah terutama bagi mereka yang pada awalnya hanya sebagai pecandu narkotika seiring waktu berjalan, mereka dapat belajar di dalam sel penjara pada para narapidana yang berasal dari golongan kejahatan selain narkotika, dimana hal ini sering disebut “sekolah kriminalitas”.

B. Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika 1. Dasar Pemidanaan dan Penjatuhan Pidana

Pembahasan mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan habisnya mengingat justru aspek pidana merupakan bagian yang terpenting dari suatu undang-undang hukum pidana. Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat peradapan bangsa yang bersangkutan. Pemidanaan91

Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut sistem single track system, yakni sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Berkaitan dengan itu Sudarto menyatakan bahwa aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan repsresif terhadap tindak pidana.

agar dapat dipahami lebih mendalam maka harus diketahui dasar dari pemidanaan yang dimulai dari aliran klasik.

92

91

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 73-75. Menurut J.D. Mabbott, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni kukum (purely legal matter). J.D. Mabbott memandang seorang “penjahat” sebagai seorang yang telah melanggar hukum, bukan orang jahat. Sebagai seorang retributivis, Mabbott memandang pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum tetapi dari pelanggaran hukum.artinya jahat atai tidak jahat, bila seseoarng telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana. Menurut Ted Honderich, berpendapat pemidanaan memuat 3 (tiga) unsur, yaitu:

Aliran ini muncul pada abad XVIII yang berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum

1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan.

2. Setiap pemidanaan harus dating dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai haasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa.

3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.

92

(33)

pidana perbuatan ( daad-strafrecht), Karenanya, sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence). Artinya penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan.93

Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :94

Pada abad XIX lahirlah aliran modern yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan kehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah pidana, menurut aliran modern ini harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme dan menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.

a. Definisi hukum dari kejahatan;

b. Pidana harus sesuai dengan kejahatannya; c. Doktrin kebebasan berkehendak;

d. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana; e. Tidak ada riset empiris; dan

f. Pidana yang ditentukan secara pasti.

95

93

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm.25-26 dan 62. 94

95

(34)

Aliran modern memiliki ciri-ciri sebagai berikut :96

Dalam perkembangannya muncullah aliran neo-klasik yang juga menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia (doctrine of free will). Aliran ini telah berkembang selama abad XIX yang mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran neo-klasik menyatakan dengan tegas bahwa konsep keadilan sosial berdasarkan hukum, tidak realistis dan bahkan tidak adil.

a. Menolak definisi hukum dari kejahatan;

b. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana; c. Doktrin determinisme;

d. Penghapusan pidana mati; e. Riset empiris; dan

f. Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.

97

Aliran ini berpangkal dari aliran klasik yang dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi aliran modern. Ciri dari aliran ini yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban pidana. Beberapa modifikasinya antara lain, diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating

circumstances) baik fisikal, lingkungan maupun mental, termasuk keadaan-keadaan lain yang

dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseoarang pada waktu terjadinya kejahatan. Juga diperkenankan (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pidana.98

a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal);

Bertitik tolak dari konsepsi-konsepsi kedua aliran hukum pidana yang tersebut diatas, lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

96

Log.Cit. 97

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 26. 98

(35)

b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas “tiada pidana tanpa kesalahan);

c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristisk dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.99

2. Tujuan Pemidanaan

Di Indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Tujuan pemidanaan bila dilihat dari pendapat beberapa sarjana seperti menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu :

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale

preventif), atau

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.100

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana

99

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 1996), hlm. 43.

100

(36)

merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

P.A.F. Lamintang menyatakan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,

b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan

c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.101

a. Teori absolut atau teori pembalasan

Dari kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut:

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law,102

101

Loc.Cit. 102

E. Utrecht, Op.Cit. hlm.157.

(37)

menerima ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidk boleh tetap ada pada anggota masyarakat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut:

Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatn itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.103

Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku sedangkan pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukaka oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana” hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.

104

Karl O. Cristiansen memngungkapkan ciri dari teori retributif, yaitu:

Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana ringan pun terkadang merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah pelaku tindak pidana itu memiliki lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan tetap menjai lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali.

105

103

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm.26. 104

(38)

a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan merupakan tujuan utam, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana; d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;

e. Pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori absolut ini, Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut:106

1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative.

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keberuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness.

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliaran retributif ini disebut

proportionality.

Dilihat dari sejarahnya mungkin teori ini dipandang tepat pada zamannya. Akan tetapi dalam konteks perkembangan masyarakat yang semakin beradab, maka sulit untuk menjelaskan bahwa seseoarang dipidana hanya karena orang telah melakukan kejahatan. Meskipun rasa dendam ada pada setiap diri manusia dan kelompok masyarakat akan tetapi pemikiran yang

105

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 17. 106

(39)

rasional jelas tidak bijak untuk mengikuti tuntutan balas dendam. Justru tugas pemikir untuk mengarahkan perasaan dendam pada tindakan yang lebih bermartabat dan bermanfaat.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu:107 1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschaappelijke

orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschaappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); 5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).

Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan pendapat tentang teori ini, bahwa: Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ni adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan

nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).108

107

Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), hlm. 12.

108

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.16.

(40)

Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya dapat dijadikan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuantujuan dari pidana adalah:109

Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai berikut: “prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar sedangkan prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar”.

1. mencegah semua pelanggaran;

2. mencegah pelanggaran yang paling jahat; 3. menekan kejahatan;

4. menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu: a) prevensi umum (generale preventie),

b) prevensi khusus (speciale preventie).

110

109

Ibid, hlm. 30-31. 110

E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 157.

(41)

Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:

a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);

b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan. e. pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur

pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.111

Sistem hukum pidana Indonesia boleh dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini terbukti dengan perkembangan teori pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan yang kemudian Selanjut Muladi dan Arief mengatakan bahwa teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama pemidanan, yaitu: preventif, deterrence, dan reformatif. Teori ini diadopsi di Indonesia dan dijadikan dasar teori pemasyarakatan. Namun ternyata teori pemasyarakatan banyak juga kelemahannya. Karena latar belakang pelaku kejahatan dan jenis kejahatan yang beragam.

Dari uraian di atas, teori tujuan ini juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan. Berkenaan dengan pandangan Jeremy Bantham, bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Perlu dipersoalkan, karena kejahatan dilakukan dengan motif yang beragam. Tidak semua kejahatan dapat dilakukan dengan rasional, dalam melakukan kejahatan tidak jarang manusia melakukan tidak atas dasar rasionya tapi lebih pada dorongan emosional yang kuat sehingga mengalahkan rasionya. Ini artinya dari sisi motif kejahatan dapat diklasifikasikan atas kejahatan dengan motif rasional dan kejahatan dengan motif emosional.

111

(42)

diimplementasikan dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Dari rumusan rancangan KUHP112

c. Teori Gabungan (Integratif)

juga terlihat kedekatan gagasan tersebut dengan teori relatif.

Kendati demikian pemidanaan dengan tujuan membina penjahat menjadi pentobat, juga sulit dilakukan tanpa dilakukan dengan pendekatan individualisasi pidana. Contoh sederhana adalah apakah bisa disamakan peminaan terhadap pencuri ayam yang mencuri karena lapar, koruptor yang rakus, dan pecandu narkoba serta pembunuh yang membunuh karena sakit hati. Gambaran ini mengidikasikan bahwa teori tujuan juga tidak dapat untuk memberikan landasan secara utuh tentang perlunya pidana.

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:113

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

112

Pasal 54 RUU KUHP Tahun 2005: (1)Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan

rasa damai dalam masyarakat;

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana, dan memaafkan terpidana.

(2)Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

113

(43)

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.

Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:114

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.

115

Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat

114

Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm.24.

115

Referensi

Dokumen terkait

Tipe 4 Jawaban benar atau salah yang dengan jelas menunjukkan ciri-ciri karakteristik yang menonjol dari dua urutan tahap berpikir van Hiele dan mengandung

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan data sekunder, yang dilakukan untuk mengukur suatu fenomena penelitian

RKPD PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 pembentukan modal tetap bruto serta net ekspor yang signifikan untuk. dapat mengatasi pertumbuhan angkatan

meningkatkan kualitas pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, serta pembangunan pedesaan; melalui penguatan perekonomian yang didukung pengembangan pertanian dan

115 Dalam arti ini komunitas politis adalah kumpulan orang yang tinggal di dalam daerah yang sama, yang memutuskan diri untuk menyatu, guna mempertahankan tradisi dan

Prinsip-prinsip ekonomi diajarkan di dalam kitab suci Alquran dan kemudian telah dikembangkan dan menjadi dasar aktivitas ekonomi umat Islam sepanjang masa kejayaannya. Namun

Sinyal internet yang kurang lancar, kurangnya pemahaman terhadap system OPAC Sigilib yang sudah dilakukan perlu dikaji ulang, apakah program internet sudah benar-benar

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini