• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORITIS

2.3. Teori Pidana 1. Pengertian Pidana

2.3.3. Tujuan Pidana

Berkaitan dengan tujuan hukum pidana, maka muncullah teori-teori mengenai hal tersebut, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien), dan teori gabungan (verenigingstheorien). Menurut Sofjan Sastrawijaya, munculnya teori-teori ini adalah untuk menjawab pertanyaan terkait dasar pembenaran penjatuhan pidana oleh negara terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau yang telah melanggar

undang-undang hukum pidana.114

Teori absolut muncul pada akhir abad ke-18. Penganut teori ini antara lain Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sudah tentu juga sarjana hukum Islam yang

mendasarkan teorinya pada ajaran qishash dalam al-Qur’an.115

Menurut teori absolut, penjatuhan pidana itu dibenarkan

semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan.116

Oleh karena itulah teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu

dijatuhkan, tetapi menjadi keharusan.117

Mendasarkan pada beberapa pendapat penganut teori

absolut ini, Sofjan Sastrawidjaja menuliskan:118

114 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai

dengan Alasan Peniadaan Pidana), h. 25-26.

115 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 31.

116 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai

dengan Alasan Peniadaan Pidana), h. 26.

117 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, 3 h. 1.

118 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai

Pidana itu merupakan akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran pidana terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Oleh karena kejahatan itu mengakibatkan penderitaan kepada orang yang terkena kejahatan, maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa pidana kepada orang yang melakukan kejahatan itu.

Sementara itu, Andi Hamzah menyatakan:119

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengadung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan

harus berakibat dijatuhkan pidana kepada

pelanggar.

Menurut teori relatif, pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.120 Oleh

sebab itu, tujuan dari pidana adalah menghindarkan

dilakukannya suatu pelanggaran hukum. E. Utrecht

mengemukakan, ancaman pidanalah yang dapat menakutkan seseorang yang berniat jahat melakukan apa yang telah direncanakannya. Ancaman pidana dapat membawa suatu akibat psikologis.121

119 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 31.

120 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai

dengan Alasan Peniadaan Pidana), h. 28.

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, yaitu tujuan untuk prevensi (pencegahan) terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda, antara lain menakutkan, memperbaiki, atau

membinasakan. Lalu, dibedakan prevensi umum dan khusus.122

Prevensi umum didasarkan kepada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan

melakukan kejahatan.123 Bentuk tertua dari prevensi umum

dipraktikkan sampai revolusi Prancis. Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. Andi Hamzah melukiskan sebagai berikut:124

Kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah

diputuskan itu dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya, supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya. Untuk itu, terkenallah adagium Latin, “Nemo prudens punit, quia

peccatum, sed net peccetur” (supaya khalayak ramai betul-betul

takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum).

Sementara itu, menurut teori prevensi khusus, maka

tujuan pidana ialah menahan niat buruk pelaku.125 Prevensi

khusus didasarkan pada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan.126

122 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 34.

123 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai

dengan Alasan Peniadaan Pidana), h. 28.

124 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 34.

125 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, h. 184.

126 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai

Mengenai teori prevensi khusus ini, Van Hammel, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, membuat suatu gambaran tentang pidana yang bersifat prevensi khusus itu

sebagai berikut:127

1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.

2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. 3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang

tidak mungkin diperbaiki.

4. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tertib hukum.

Sementara itu, teori gabungan merupakan gabungan teori absolut dengan teori relatif. Kedua teori tersebut harus digabungkan menjadi 1 (satu), sehingga akan menjadi praktis, puas, dan seimbang. Hal ini dikarenakan, pidana bukan hanya sebagai penderitaan, tetapi juga harus seimbang dengan

kejahatannya.128

Teori gabungan dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

1. Teori-teori menggabungkan yang menitikberatkan

pembalasan, tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat

mempertahankan tata tertib masyarakat.129 Pidana itu

127 Van Hamel, “Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Strafrecht”, dalam Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, h. 35-36.

128 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai

dengan Alasan Peniadaan Pidana), h. 30-31.

bermaksud melaindungi ketertiban hukum, mengembalikan hormat kepada hukum dan pemerintah. Oleh karena itu, pada hakikatnya pidana hanya suatu ultimum remidium (suatu jalan terakhir boleh dipakai, apabila tiada lagi jalan lain).130

2. Teori-teori menggabungkan yang menitiberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi pidana tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan

beratnya perbuatan yang dilakukan oleh si terpidana.131

3. Teori-teori menggabungkan yang menganggap kedua asas

tersebut harus dititikberatkan sama.132