• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PROFIL PENGEMBANGAN DESA WISATA WATU LEDHEK

D. Tujuan

1. Untuk menganalisis SWOT dalam pengembangan Desa Wisata Watu Ledhek

2. Untuk mengidentifikasi modal sosial dalam Pengembangan Desa Wisata Watu Ledhek

3. Untuk mengetahui fungsi modal sosial dalam pengembangan Desa Wisata Watu Ledhek

4. Untuk mengetahui efektivitas fungsi modal sosial dalam pengembangan Desa Wisata Watu Ledhek

5. Untuk mengetahui hubungan empiris modal sosial dan Pengembangan Desa Wisata Watu Ledhek

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat kepada seluruh pembaca serta dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan tentang modal sosial dalam pengembangan desa wisata.

2. Manfaat Empiris

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pengembangan pengukuran terkait modal sosial dalam masyarakat berkaitan dengan sektor pariwisata, sehingga penelitian selanjutnya dapat menjadi lebih baik. 3. Manfaat Praktis

a. Bagi pembaca

Penelitian ini diharapkan menjadi pemicu munculnya modal sosial di dalam diri setiap manusia sehingga dapat mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya dan lingkungan sekitarnya.

b. Bagi Masyarakat Dusun Dayakan

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan desa wisata dan dapat memperkuat modal sosial dalam Pokdarwis serta masyarakat Dusun Dayakan.

c. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat mendorong pemerintah menyebarluaskan pemanfaatan modal sosial yang dimiliki masyarakat Dusun Dayakan sebagai dusun yang mampu mengembangkan pariwisata yang diprakarsai oleh masyarakat lokal.

F. Sistematika Penulisan

Agar diperoleh susunan penelitian yang sistematis, penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penelitian dilakukan, batasan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan penelitian.

BAB II : Tinjauan Literatur

Dalam bab ini diuraikan tentang tinjauan teoritis yang mendukung penelitian ini, penelitian oleh peneliti terdahulu, model teoritis dan hipotesis penelitian. Uraian dalam bab ini akan digunakan sebagai dasar penelitian dan pengolahan data.

BAB III : Metode Penelitian

Dalam bab ini diuraikan mengenai jenis penelitian, lokasi penelitian, pelaksanaan penelitian, sampel penelitian, metode pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV : Profil Pengembangan Desa Wisata Watu Ledhek

Dalam bab ini diuraikan profil pengembangan Desa Wisata Watu Ledhek sebagai tempat dilaksanakannya penelitian.

BAB V : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan pada Pokdarwis Watu Ledhek.

BAB VI : Kesimpulan dan Saran

Dalam bab ini diuraikan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran untuk seluruh pembaca.

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka berisikan sumber-sumber literasi sebagai bahan referensi dalam pembuatan penelitian.

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoretis

1. Pengertian Modal Sosial

Modal sosial didefinisikan sebagai seperangkat nilai dan norma informal yang dibagikan di antara anggota kelompok masyarakat yang memungkinkan kerjasama di antara mereka (Magson, et al., 2014). Modal sosial didefinisikan sebagai aspek-aspek struktur hubungan individu yang memungkinkan mereka untuk menciptakan nilai-nilai baru (Ma’ruf, 2017). Modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial, seperti jaringan norma dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan (Putnam dalam Kusuma, et al., 2017). Modal sosial mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma dan jaringan-jaringan yang dapat meningkatkan efesiensi dalam masyarakat melalui fasilitas bagi tindakan-tindakan yang terkoordinasi (Anggraini & Agus, 2018). Modal sosial juga ditentukan oleh fungsinya (Coleman, 1988). Modal sosial merupakan aspek hubungan sosial yang tumbuh dalam suatu kelompok sosial dan memungkinkan terwujudnya kerja sama dan koordinasi sehingga dapat menciptakan nilai baru serta mengakomodasi tindakan kolaboratif yang bermanfaat bagi kelompok sosial tersebut.

Bentuk modal sosial dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Modal sosial pengikat dan modal sosial yang menjembatani digambarkan sebagai bentuk modal sosial atau dimensi modal sosial (Woolcock & Narayan 2000). Konsep modal sosial penghubung ditambahkan dalam bentuk modal sosial untuk menggambarkan hubungan antara orang-orang atau lembaga di berbagai kelas sosial (Woolcock, 2001). Bentuk modal sosial dikategorikan ke dalam tiga bagian (Keeley, 2007). Pertama, bonds: tautan ke orang berdasarkan rasa identitas bersama seperti keluarga, teman dekat dan orang yang memiliki latar belakang yang sama. Kedua, bridges: tautan yang melampaui rasa identitas bersama, misalnya ke teman, kolega, dan rekan yang jauh. Ketiga, linkages: tautan ke orang atau kelompok yang lebih jauh atau lebih rendah dari kelas sosial. Menurut Abdullah (2013), tiga tipologi modal sosial meliputi pengikat, perekat (bonding social capital), penyambung, menjembatani (bridging social capital) dan pengait, koneksi, jaringan (lingking social capital).

a. Bonding Social Capital. Modal sosial pengikat menjadi bentuk modal sosial yang mengacu pada jaringan yang berorientasi ke dalam kelompok. Modal sosial pengikat adalah jenis modal sosial yang menggambarkan koneksi dalam suatu kelompok atau komunitas yang ditandai dengan tingkat kesamaan yang tinggi dalam karakteristik demografis, sikap, dan informasi serta sumber daya yang tersedia (Claridge, 2018). Modal sosial pengikat ada di antara kita yang memiliki hubungan dekat yang kuat seperti anggota keluarga, teman dekat, dan

tetangga. Ikatan modal sosial mengacu pada kepercayaan dan ikatan yang kuat dalam kelompok-kelompok yang homogen (Parlinah, et al., 2018). Ikatan modal sosial secara inheren memandang ke dalam dengan memperkuat identitas eksklusif dan karakteristik kelompok homogen, seperti yang terkait dengan sumber daya homogen (Birendra, et al., 2018). Ikatan dalam modal sosial juga disebut sebagai jejaring sosial antara kelompok-kelompok homogen (Putnam dalam Nunkooa, 2017). Ikatan modal sosial mengacu pada jaringan kelompok-kelompok intra-komunitas yang homogen dengan minat yang sama dan kohesi sosial yang kuat sosial (Shakya, 2016).

b. Bridging Social Capital. Modal sosial yang menjembatani merupakan bentuk modal sosial yang mengacu pada jaringan yang dibentuk diluar kelompok. Modal sosial yang menjembatani adalah jenis modal sosial yang menggambarkan koneksi yang menghubungkan orang-orang lintas latar belakang yang merupakan kelompok masyarakat (seperti ras, kelas, atau agama) (Claridge, 2018). Ini adalah asosiasi yang 'menjembatani' antara komunitas, kelompok, atau organisasi. Menjembatani modal sosial mengacu pada beragam jaringan dan hubungan antar kelompok (Parlinah, et al., 2018). Menjembatani modal sosial secara inheren tampak luar, karena memungkinkan koneksi ke orang lain atau kelompok yang berbeda satu sama lain dalam beberapa cara (Birendra, et al., 2018). Menjembatani modal sosial berhubungan dengan jejaring sosial antara kelompok-kelompok heterogen secara sosial (Putnam

dalam Nunkooa, 2017). Sejalan dengan itu, jaringan ekstra-komunitas telah digambarkan sebagai modal sosial yang menjembatani (Shakya, 2016).

c. Linking Social Capital. Menghubungkan modal sosial merupakan betuk modal sosial tertinggi karena menghubungkan berbagai kelompok yang heterogen secara hierarki. Menghubungkan modal sosial adalah jenis modal sosial yang menggambarkan norma-norma dan jaringan hubungan saling percaya antara orang-orang yang berinteraksi melintasi gradien kekuasaan atau otoritas yang eksplisit, formal atau dilembagakan dalam masyarakat (Szreter & Woolcock, 2004). Hubungan ini digambarkan sebagai 'vertikal' dan fitur utamanya adalah perbedaan posisi sosial atau kekuasaan. Menghubungkan modal sosial mengacu pada hubungan antara individu dan kelompok dalam hubungan hierarkis (Woolcock, 2001). Modal sosial penghubung mengacu pada hubungan antara individu dan kelompok dalam strata sosial yang berbeda dalam hierarki di mana kekuasaan, status sosial dan kekayaan diakses oleh kelompok yang berbeda (Healy & Cote 2001).

3. Elemen Modal Sosial

Modal sosial tidak akan terpisah dari tiga elemen utama, yaitu: (a) Kepercayaan (kejujuran, keadilan, sikap egaliter, toleransi, dan kedermawanan), (b) Jejaring Sosial (partisipasi, timbal balik, solidaritas, kerja sama), (c) Norma (nilai bersama, norma dan sanksi, aturan) (Ma’ruf, 2017). Penelitian lain menyebutkan modal sosial berunjuk kepada norma

atau jaringan sosial yang memungkinkan orang untuk membangun suatu perilaku kerjasama kolektif (Kusuma, et al., 2017). Komponen lain modal sosial, di antaranya adalah interaksi dan komunikasi, kesamaan nilai dan norma, jaringan, kepercayaan, solidaritas dan nilai timbal balik (Fiisabiilillah, et al., 2014). Berdasarkan beberapa pendapat mengenai elemen modal sosial tersebut terdapat beberapa elemen yang mendominasi modal sosial, elemen utama modal sosial tersebut ialah kepercayaan (trust), jaringan (network) dan nilai atau norma (norms).

a. Kepercayaan (Trust). Kepercayaan merupakan elemen terpenting dalam modal sosial karena ini sebagai dasar keterlibatan di masyarakat. Teori modal sosial menyatakan bahwa kebiasaan kepercayaan dalam kehidupan publik bertindak sebagai perekat sosial dan membuatnya lebih mungkin bahwa orang akan menjadi warga negara yang aktif dan terlibat dalam pertukaran (Ballet, et al., 2007). Hubungan saling percaya dapat tumbuh apabila orang berlaku jujur, dengan kejujuran akan tumbuh sikap fair dan paham egaliter, seseorang akan toleran karena itu ia akan mudah bersosisalisasi (Anggraini & Agus, 2018). Trust atau rasa percaya adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak pada suatu pola tindakan yang saling mendukung (Febriani & Saputra, 2018). Suatu hubungan apabila tidak saling percaya, maka tidak peduli seberapa padat hubungan itu dan jabatan yang dimiliki

aktor, mereka tidak akan mau berbagi informasi berharga dan saling membantu sehingga tingkat kepercayaan diperlukan untuk dinilai di masyarakat (Yu, 2013). Kepercayaan dicatat sebagai faktor penting untuk terlibat dalam perilaku timbal balik, karena berbagai informasi dan budaya pertukaran membutuhkan pemahaman umum (Birendra, et al., 2018). Individu dengan tingkat kepercayaan, timbal balik, dan kolaborasi yang lebih tinggi dikaitkan dengan akses yang lebih besar ke keterlibatan politik (Hidalgoa & Harris, 2018).

b. Jejaring Sosial (Network). Jaringan sosial terbentuk karena interaksi atau pertukaran sosial yang terjadi di masyarakat. Jaringan sosial memiliki nilai jika ada interaksi dan koneksi dalam mengembangkan norma bersama, kepercayaan, dan timbal balik yang pada gilirannya mendorong untuk mencapai tujuan bersama (Jones, 2005). Jaringan sosial dapat memberikan manfaat bagi anggota mereka dan dapat menimbulakan inefisiensi sendiri (Munshi dalam Situmorang, 2018). Selain pentingnya memperkuat jaringan internal, suatu komunitas juga membutuhkan jaringan eksternal untuk memperluas komunitas. Hubungan pola yang menghubungkan warga negara dengan mereka yang berada di luar kelompok disebut jejaring sosial (Stolley dalam Situmorang, 2018). Keluasana jaringan kerja dari suatu kelompok masyarakat tercermin dari ketersediaan warga bermitra antar sesama; keterbukaan dalam berhubungan dengan kelompok lain dan keaktifan memelihara hubungan baik di antara kelompok (Anggraini & Agus,

2018). Hubungan saling percaya akan tumbuh dalam jaringan sosial yang menyediakan ruang bagi warganya untuk berpartisipasi setara, bermodal itulah akan bekerja prinsip-prinsip reprositas dan akan mendorong tumbuhnya solidaritas antar warga, selanjutnya terjadi kerjasama yang dengan adanya pranata dan saling percaya akan melahirkan keadilan. Jaringan terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antar individu atau lebih, suatu norma muncul karena terjadinya pertukaran yang saling menguntungkan, artinya jika pertukaran tersebut hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja maka pertukaran sosial selanjutnya tidak akan terjadi (Kusuma, et al., 2017).

c. Norma (Norms). Norma dalam modal sosial berperan dalam mengontrol perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma timbal balik yang tertanam dalam jejaring sosial memfasilitasi semua jenis tindakan kolektif (Ansari, 2013). Norma sosial berperan dalam mengontrol bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat (Febriani & Saputra, 2018). Norma sosial adalah sekumpulan aturan masyarakat yang diharapkan agar dipatuhi serta diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu (Inayah, 2012). Aturan-aturan tersebut biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tetapi dapat dipahami sebagai suatu penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sanksi sosial yang diberikan jika melanggar. Norma sosial juga dapat menentukan kuatnya hubungan antar individu karena dapat merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi

perkembangan masyarakat (Kusuma, et al., 2017). Norma dapat tecipta karena adanya beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus dipelihara.

4. Ekowisata

Ekowisata (ecotourism) menawarkan alternatif pariwisata yang ramah lingkungan. Ekowisata bertindak sebagai pariwisata alternatif yang berkontribusi pada konservasi dan pengembangan masyarakat berkelanjutan (Miller, 2017). The International Ecotourism Society (1991) mendefinisikan konsep ekowisata ialah aktivitas wisata yang memiliki tanggung jawab pada daerah objek wisata yang masih alami guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan tetap menjaga pelestarian lingkungan yang ada di daerah tersebut. Ekowisata juga merupakan salah satu cara dalam pengelolaan hutan potensial untuk pembangunan pedesaan, terutama di lingkungan yang rapuh (Duangjai dalam Situmorang, 2018). Ekowisata sangat memperhatikan dampak kegiatan pariwisata terhadap masyarakat dan sumber daya lingkungan (Musavengane, 2015). Ekowisata merupakan jenis wisata yang menitikberatkan pada keindahan alam yang masih alami serta kebudayaan masyarakat lokal sebagi daya tarik pendukung, karena para praktisi maupun pelaku di bidang ekowisata menyepakati untuk menerapkan bahwa konsep ekowisata berbeda dengan objek wisata konvensional lainnya (Kusuma, et al., 2017). Pola ekowisata yang diterapkan yaitu dengan meminimalkan dampak negatif yang akan

timbul pada lingkungan maupun terhadap budaya masyarakat lokal serta konsep ekowisata diharapkan mampu meningkatkan pendapatan bagi masyarakat lokal dan menjujung nilai konservasi.

5. Desa Wisata

Kemunculan desa wisata diiringi dengan keterlibatan masyarakat dan potensi yang ada di desa itu sendiri. Pertumbuhan pariwisata pedesaan sering mengarah pada pembuatan "kantong-kantong wisata", yang ditandai dengan folklorisasi identitas lokal dan komodifikasi budaya, yang mendukung pembangunan pedesaan berbasis tempat (Dieckow, et al., dalam Chiodo, et al., 2019). Konsep baru diperlukan dari sumber daya pedesaan berbasis tempat untuk mencapai profil pariwisata pedesaan yang lebih tinggi, dalam hal keberlanjutan dan saling ketergantungan dengan warisan alam/budaya (Garrod, et al. dalam Chiodo, et al., 2019). Pada dasarnya, dapat dinyatakan bahwa pengembangan wisata pedesaan berbasis tempat terdiri dari tiga aset utama: yang naturalistik (terkait dengan sumber daya lingkungan), yang dibangun (terkait dengan pemukiman pedesaan) dan sosial budaya dan ekonomi (terkait sektor ekonomi, identitas lokal, dan budaya) (Chiodo, et al., 2019). Pariwisata pedesaan dapat dianggap sebagai "kata payung", termasuk berbagai produk wisata seperti pariwisata di desa-desa (ekowisata) (Ceballo-Lascurai dalam Chiodo, 2019). Desa wisata dicari karena situasi alam yang ditemui wisatawan, ini berbeda dengan objek wisata modern yang mengharuskan make-up agar disebut layak (Pramanik, et al., 2018). Wisata pedesaan membawa perubahan pada area kehidupan komunitas, oleh karena

itu sebagai tuan rumah, pertemuan positif komunitas dengan wisatawan dan pengembangan terkait telah dianggap penting untuk pariwisata yang sukses dan berkelanjutan (Gursoy, et al.; Rekom & Go; dalam Hwang & Stewart, 2016)

6. Fungsi Modal Sosial

Setiap bentuk modal sosial memiliki fungsinya masing-masing. Fungsi modal sosial yaitu, bagaimana modal sosial menghubungkan para pelaku (Sato, 2013). Kekuatan modal sosial dapat dijelaskan melalui tiga tipologinya yang meliputi pengikat, perekat (bonding social capital), penyambung, menjembatani (bridging social capital) dan pengait, koneksi, jaringan (linking social capital) (Abdullah, 2013). Modal sosial pengikat cenderung membantu orang 'bertahan' dan memberikan norma dan kepercayaan yang memfasilitasi tindakan kolaboratif (Claridge, 2018). Fungsi ini ditemukan di antara kelompok-kelompok yang terhubung erat dengan ikatan afektif yang kuat yang menghubungkan anggota kelompok satu sama lain, penting dalam memberikan dukungan sosial dan meningkatkan solidaritas dalam kelompok (Agnistch, et al, 2006). Modal sosial yang menjembatani sangat penting dalam memperoleh berbagai sumber daya yang lebih luas dan meningkatkan penyebaran informasi di dalam dan antar kelompok (Putnam dalam Agnitsch, et al., 2006). Menjembatani lebih efektif daripada ikatan dalam menghasilkan hasil yang diinginkan (Saxton & Benson dalam Agnistch, et al, 2006), karena melibatkan banyak pihak dengan kepentingan dan latar belakang yang

berbeda. Modal sosial penghubung melibatkan hubungan sosial dengan mereka yang berwenang yang dapat digunakan untuk mengakses sumber daya atau kekuasaan (Stone dan Hughes dalam Claridge, 2018). Modal sosial penghubung dapat menghubungkan pejabat pemerintah dengan orang-orang yang memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan pekerjaan mereka (Jordan dalam Claridge, 2018).

7. Efektivitas Modal Sosial

Modal sosial merupakan entitas unik yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas kinerja desa melalui indikatornya (mis., produktifitas, keberlanjutan pembangunan, politik, sosial). Efektivitas sejauh mana tujuan yang dinyatakan dipenuhi mencapai apa yang ingin dicapai (Productivity Commission, 2013). Definisi sederhana efektivitas yaitu sejauh mana organisasi dapat mewujudkan tujuannya (Etzioni dalam Hall, 1980). Setiap modal sosial menyediakan cost dan benefit yang berbeda-beda tiap fungsinya (Agnistch, et al., 2006). Modal sosial digunakan untuk sejumlah penggunaan produktif (Situmorang, 2018). Modal tersebut dapat mempermudah transfer praktik yang relevan dari satu bagian ke bagian lainnya dan dalam campur tangan barang publik atau sumber daya bersama (Lesser dalam Situmorang, 2018). Modal sosial juga terdiri dari investasi dalam hubungan sosial yang meningkatkan akses dan mobilisasi sumber daya bernilai dan pada gilirannya menghasilkan pengembalian baik bagi individu maupun masyarakat (Lin dalam Hidalgoa & Harris, 2018). Modal sosial berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan desa (Amalia &

Sumarti dalam Pramanik, et al., 2018) dan juga pertumbuhan ekonomi lokal (Arasli dalam Pramanik, et al., 2018).

8. Hubungan Modal Sosial dan Pengembangan Pariwisata

Modal sosial berperan penting dalam pengembangan pariwisata. Modal sosial berkontribusi pada kemampuan orang untuk mengembangkan bisnis pariwisata, terutama di daerah pedesaan (Eshliki et al., dalam Pramanik, et al., 2018). Tingkat modal sosial kognitif dan struktural yang lebih tinggi secara positif terkait dengan lebih banyak kesempatan untuk belajar tentang dan mengambil bagian dalam keputusan pariwisata (Hidalgoa & Harris, 2018). Modal sosial yang sudah ada sebelumnya dalam bentuk lembaga lokal dan kohesi sosial memfasilitasi bottom-up, perencanaan pariwisata partisipatif dan komitmen masyarakat terhadap pengembangan pariwisata (Shakya, 2016). Pengembangan pariwisata yang diprakarsai oleh masyarakat ditentukan oleh seberapa kuat modal sosial yang dimiliki (Prakasa, et al., 2019).

Pentingnya modal sosial dalam pariwisata secara khusus juga dinyatakan dalam hubungannya dengan ekowisata. Faktor modal sosial memainkan peran penting dalam pengembangan pariwisata khusus seperti misalnya ekowisata berbasis masyarakat (Jones, 2005). Peningkatan akses modal sosial memiliki potensi untuk berkontribusi dalam mengurangi ketidakadilan politik dalam hal-hal terkait ekowisata (Hidalgoa & Harris, 2018). Modal sosial pada gilirannya dapat secara langsung mempengaruhi

modal alam dengan memfasilitasi tindakan kolektif dan pengelolaan ekosistem yang efektif. (Mauthe et al., dalam Parlinah, et al., 2018).

B. Tinjauan Studi Empiris

Berdasarkan tinjaun teori yang telah dipaparan sebelumnya, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang digunakan untuk landasan teoretis/konseptual dalam penelitian ini. Tinjauan studi empiris digunakan untuk memberikan acuan dan pembanding terhadap penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa modal sosial berperan penting dalam pengembangan pariwisata. Modal sosial memiliki peran penting dan merupakan pendorong utama dalam pengembangan pariwisata perkotaan (Prakasa, et al., 2019). Modal sosial berdampak positif bagi masyarakat dengan keterlibatan pada pengelolaan pariwisata dan lingkungan hidup. Komunitas Muara Baimbai memiliki modal sosial yang kuat dalam mengelola kawasan ekowisata bakau, ini mewujudkan keberhasilan masyarakat merehabilitasi kawasan hutan bakau sebagai lokasi ekowisata (Situmorang, 2018). Penggunaan modal sosial yang optimal menjadikan madu kelulut sebagai komoditas di Kecamatan Lubuk juga sebagai sektor pendapatan masyarakat dan sektor pariwisata (Febriani & Saputra, 2018).

Adapun perbedaan dari penelitian sebelumnya terdapat pada variabel yang digunakan dalam penelitian. Penelitian oleh Prakasa et al. (2019) menggunakan variabel stakeholder, modal sosial (kognitif, jaringan, struktural) dan pengembangan pariwisata. Sedangkan penelitian oleh Situmorang (2018) menggunakan tingkat partisipasi, tingkat kepercayaan, koneksi internal dan

eksternal (jaringan); dan nilai serta manfaat dalam penelitiannya. Penelitian oleh Febriani dan Saputra (2018) melibatkan partisipasi dalam jaringan, trust atau kepercayaan, timbal balik, serta norma dalam upaya merehabilitasi kawasan hutan wisata menjadi pariwisata. Selanjutnya penelitian oleh Ma’ruf. (2017) melibatkan pengembangan modal sosial dengan pendekatan Strengths, Opportunities, Aspirations, dan Results serta Participatory Rural Appraisal. Penelitian oleh Wildan, et al., (2016) merupakan penelitian tentang pengembangan pariwisata; identifikasi kemungkinan konflik; perspektif pemangku kepentingan tentang ekowisata; keterlibatan masyarakat setempat; identifikasi segmen pasar; dan kelayakan pariwisata berbasis modal sosial.

No Nama Judul Metode analisis dan variabel Hasil 1. Prakasa Yudha,

Danar Oscar Radyan, dan Fanani Angga Akbar (2019)

Urban Tourism Based on Social Capital Development Model

Analisis menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Variabel: Stakeholder, Modal sosial (kognitif, jaringan, struktural) dan pengembangan pariwisata.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa modal sosial merupakan pendorong utama dalam pengembangan pariwisata perkotaan. Pendekatan tata kelola kolaboratif terbukti mampu mengembangkan tujuan wisata melalui penguatan modal sosial secara berkelanjutan.

2. Rospita O. P. Situmorang (2018)

Social Capital In Managing Mangrove Ecotourism Area By The Muara Baimbai Community

Analisis menggunakan metode kulitatif dan kuantitatif.

Variabel: tingkat partisipasi; tingkat kepercayaan; koneksi internal dan eksternal (jaringan); dan nilai serta manfaat.

Komunitas Muara Baimbai memiliki modal sosial yang tinggi dalam mengelola kawasan ekowisata bakau. Indikator dari modal sosial yang kuat dengan berjalannya kelompok sesuai dengan yang diharapkan.

3. Luna Febriani dan Putra Pratama Saputra (2018)

Modal Sosial Dalam Pengembangan Madu Kelulut Sebagai Komoditas Ekonomi Dan Pariwisata Di Kecamatan Lubuk Kabupaten Bangka Tengah

Data kualitatif dinyatakan dalam bentuk kalimat dan uraian.

Variabel: partisipasi dalam jaringan, trust atau kepercayaan, timbal balik, norma sosial dan tindakan proaktif serta pengembangan madu kelulut

Mobiliasi modal sosial ini berpengaruh pada masyarakat dalam mengembangkan budidaya madu kelulut

Of Ecotourism’s Infrastructure

Variabel: pengembangan modal sosial (pendekatan Strengths, Opportunities, Aspirations, dan Results serta Participatory Rural Appraisal)

kemandirian, dan toleransi terhadap potensi untuk menjadi dioptimalkan untuk menjaga infrastruktur pedesaan yang ada.

5. Uma Adi Kusuma, Dias Satria, dan Asfi Manzilati (2017)

Modal Sosial Dan Ekowisata: Studi Kasus Di Bangsring Underwater, Kabupaten Banyuwangi

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi.

Variabel: elemen modal sosial

Modal sosial memiliki pengaruh positif dalam mensukseskan program pemberdayaan yang dilakukan kepada para nelayan Desa.

Modal sosial yang kuat dalam masyarakat dapat mengurangi bahkan menghilangkan biaya transaksi 6. Wildan, Sukardi, dan M. Zulfikar Syuaib (2016) The Feasibility of Development of Social Capital-Based Ecotourism in West Lombok

Data dianalisis secara kualitatif melalui tiga cara, yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi. Variabel: pengembangan pariwisata; identifikasi kemungkinan konflik; perspektif pemangku kepentingan tentang

Dokumen terkait