• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun yang menjadi tujuan perjanjian asuransi adalah : 1. Peralihan Resiko

17

Prof. Ny. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, SH, Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok

Pertanggungan Kerugian, Kebakaran dan Jiwa), cet. V, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum

diakibatkan oleh peristiwa tertentu dapat diperalihkan kepada orang lain dengan diperjanjikan sebelumnya dengan syarat-syarat yang mereka sepakati bersama. Gambaran dari adanya tujuan seperti itu juga dapat dilihat tersimpul di dalam Pasal 246 KUHDagang sebagai pasal pertama dari title 9 buku I yang mengatur pertanggungan kerugian pada umumnya, menentukan bahwa :

”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti”.

Dari kata-kata bahwa penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian, dapat diketahui secara jelas adanya tujuan peralihan resiko.

2. Pembagian resiko

Pembagian resiko didalam praktek dapat terjadi dengan berbagai rupa yang pada azasnya sebagai berikut :

a. Suatu perusahaan pertanggungan yang terdiri dari gabungan beberapa orang pengusaha yang bergerak dalam pertanggungan sebagai anggotanya.

Resiko yang dipikul oleh seseorang di antara mereka pada suatu ketika, akan dipikul secara bersama dari iuran-iuran yang telah mereka kumpul secara bersama-sama pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Pembagian resikopun dapat terlihat pada lembaga reasuransi (pertanggungan kembali). Di dalam reasuransi seseorang penanggung mempertanggungkan lagi resiko yang telah diperalihkan kepadanya di dalam suatu perjanjian pertanggungan. Hal itu dilakukannya oleh karena dia menganggap atau memperhitungkan bahwa resiko itu terlalu besar untuk dipikulnya sendiri sehingga dia menganggap atau memperhitungkan bahwa resiko itu terlalu besar untuk dipikulnya sendiri sendiri sehingga dia dengan mempertanggungkannya kembali kepada orang lain sebagian resikonya sendiri atau pertanggung-jawaban atas pertanggungan pertama, maka terjadilah pembagian peralihan resiko dari pertanggungan pertama.

Namun harus disadari bahwa antara dua tujuan memperalihkan reiko dan membagi resiko di dalam pertanggungan tidak dapat ditarik suatu garis pemisah yang tegas oleh karena di dalam suatu pembagian yang juga tercakup pembagian resiko dan demikian juga di dalam tujuan memperalihkan resiko dapat tersimpul pembagian resiko.

Selain memiliki tujuan, yaitu peralihan resiko dan pembagian resiko, perjanjian asuransi juga memiliki sifat-sifat yang merupakan ciri-ciri khas dari diadakannya perjanjian asuransi.

Menurut Pasal 257 perjanjian pertanggungan terjadi, bila sudah ada kesepakatan (persetujuan kehendak antara para pihak). Jadi perjanjian pertanggungan itu bersifat konsensual, yakni perjanjian itu terjadi bila sudah ada consensus (kesepakatan, persetujuan kehendak).18

18

Untuk sahnya suatu perjanjian asuransi tidaklah tergantung pada terdapatnya suatu akta, yang disebut polis, karena sifat perjanjian asuransi adalah konsensual.

Walaupun demikian, akan lebih baik bila dibuat suatu akta. Sebab dengan akta inilah dimuat tentang perjanjian kedua belah pihak, juga mengenai ganti rugi sejumlah uang termasuk pula didalamnya tentang pemberitahuan keadaan yang diketahui oleh tertanggung mengenai benda yang diasuransikan.

Dengan demikian akta atau polis tersebut dapat dijadikan bukti tertulis bila terjadi kerugian, bahwa telah terjadi perjanjian asuransi yang disepakati bersama. Ketentuan ini merupakan perlindungan terhadap penanggung bahwa undang-undang hanya menghendaki pembuktia tentang adanya perjanjian asuransi dengan pembuktian tertulis (Pasal 2257 KUHDagang).

Dalam asuransi tidak ada tawar-menawar untuk membuat perjanjian karena dalam Pasal 254 KUHDagang sudah ada cara membuat bentuk baku kontrak oleh karena tawar-menawar tersebut akan memperlambat pembuatan perjanjian tersebut dan merupakan pemborosan waktu dan tenaga, yang sering disebut tidak efisien. Perjanjian asuransi yang merupakan kontrak yang mengikat kedua belah pihak, sehingga timbul hak dan kewajiban para pihak dimana jika tertanggung telah membayar premi, perusahaan asuransi harus melunasi kerugian. Walaupun perusahaan asuransi telah berjanji untuk membayar ganti rugi, tetapi tertanggung harus memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati bersama.

Dalam pembuatan perjanjian asuransi tersebut, maka kontrak asuransi harus dibuat secara jujur. Maksudnya bahwa tujuan para pihak yang berjanji tersebut adalah dengan itikad baik, bukan dengan tujuan spekulasi. Dalam suatu kontrak asuransi, tujuan untuk diadakan kontak tersebut bukanlah merupakan tindakan yang mencari untung. Hal tersebut tidak diperkenankan. Melainkan bertujuan untuk peralihan dan pembagian resiko.

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PT.ASURANSI JASA RAHARJA PUTERA DAN ASURANSI KECELAKAAN DIRI

A. Sejarah Singkat Perusahaan Asuransi Jasa Raharja Putera

Lahir dan tumbuh kembang sejak tanggal pendirian 27 Nopember 1993, PT. Asuransi Jasa Raharja Putera (JP-INSURANCE) merupakan entitas baru sebagai hasil perubahan struktur dan nama perusahaan sebelumnya yaitu PT. Aken Raharja.

Perubahan nama dari PT. Aken Raharja menjadi PT. Asuransi Jasa Raharja Putera dilakukan sebagai implementasi peraturan pemerintah mengenai deregulasi permodalan perusahaan asuransi berkaitan dengan masuknya Yayasan Dana Pensiun Jasa Raharja sebagai pemegang saham perusahaan.

Dengan bergabungnya PT. Asuransi Jasa Raharja, sebuah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang asuransi sosial di lingkungan Departemen Keuangan, sebagai pemegang saham mayoritas, perusahaan memasuki babak baru dan semakin memperkokoh posisinya dalam industri asuransi di Indonesia.

Sesuai dengan anggaran dasar perusahaan, JP-INSURANCE memberikan layanan asuransi kerugian dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk di dalamnya kegiatan usaha Surety Bond. JP-INSURANCE merupakan salah satu diantara sedikit perusahaan asuransi di Indonesia yang aktif dalam pengembangan layanan Surety Bond sebagai salah satu jenis produk baru di Indonesia dengan prospek yang sangat cerah.

Dengan pengalaman operasional lebih dari 10 tahun tersebut JP-INSURANCE mampu memanfaatkan setiap peluang yang ada dengan tetap berpedoman pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan didukung oleh 489 karyawan, 24 jaringan cabang serta 53 kantor cabang pembantu dan unit layanan di seluruh Indonesia, JP-INSURANCE bertekad untuk senantiasa memberikan pelayanan dan perlindungan optimal bagi seluruh nasabah. Kepercayaan para nasabah dan mitra usaha akan semakin mengukuhkan tekad untuk mencatat pertumbuhan yang pesat serta menempatkan diri sebagai salah satu pemain utama di pasar asuransi kerugian di Indonesia.

B. Syarat-syarat yang berkaitan dengan Pelaksanaan Perjanjian Asuransi

Pada setiap perjanjian yang akan dilakukan, harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat-syarat yang dimaksud adalah :

1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Keempat syarat tersebut berlaku umum. Namun demikian asuransi kecelakaan diri merupakan salah satu asuransi sosial, maka akan terdapat penyimpangan dari hal yang diisyaratkan Pasal 1320 KUH Perdata.

Asuransi sosial, ialah ”Alat untuk menghimpun resiko dengan memindahkannya kepada organisasi yang biasanya adalah organisasi Pemerintah, yang diharuskan oleh undang-undang untuk memberikan manfaat keuangan atau pelayanan kepada atau atas nama orang-orang yang diasuransikan itu pada waktu terjadinya kerugian tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya”.19

1. Penanggung (biasanya suatu organisasi di bawah wewenang pemerintah). Dari defenisi diatas dapat dilihat ciri-ciri khusus dari asuransi sosial, yakni antara lain adalah :

2. Tertanggung (biasanya masyarakat luas anggota/golongan masyarakat

tertentu).

3. Resiko (suatu kerugian yang sudah diatur dan ditentukan terlebih dahulu). 4. Wajib (berdasarkan suatu ketentuan undang-undang atau peraturan lain).20 Timbulnya asuransi sosial berbeda latar belakangnya dengan asuransi lainnya (asuransi pada umumnya).

Asuransi pada umumnya diadakan karena adanya kebutuhan akan peralihan resiko semata-mata dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Peralihan resiko

merupakan suatu kebutuhan pribadi dari satu pihak, dalam hal ini adalah penanggung dengan didasari adanya kata sepakat. Perjanjian disini ialah perjanjian asuransi/pertanggungan. Dengan adanya peralihan resiko tadi, dengan didasari adanya suatu perjanjian, maka akan timbul konsekuensi selanjutnya ialah pihak yang mengalihkan resiko tadi harus membayar

19

Djoko Prakoso, SH, I. Ketut Murtika, SH, Op.cit, hal. 232. 20

premi kepada pihak lain (penanggung). Karena adanya kepentingan pribadi, terutama dalam lapangan perdagangan, maka dapat dimengerti bahwa asuransi pada umumnya itu timbul karena kegiatan peniagaan. Jadi lahir karena tujuan ekonomi, yaitu bahwa seseorang menghendaki supaya resiko yang akan dideritanya dialihkan kepada orang lain.

Asuransi kecelakaan diri bagi wisatawan sebagai salah satu asuransi sosial justru timbul karena suatu kebutuhan masyarakat yang akan terselenggaranya jaminan sosial (social security). Jadi timbulnya karena adanya suatu kebutuhan masyarakat berhubungan karena keadaan dan perkembangannya sudah demikian mendesak dan tidak dapat ditunda lagi. Bila dihubungkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk setiap perjanjian harus ada kesepakatan kehendak, maka pada suransi kecelakan diri, ia bersifat wajib, sehingga tidak diperlukan lagi adanya kesepakatan kehendak. Keadaan inilah yang menyebabkan adanya penyimpangan dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Penyimpangan ini sejalan dengan ciri-ciri asuransi sosial, yakni bersifat wajib dan pengelolaannya diserahkan kepada salah satu badan pemerintah. Asuransi kecelakan diri sebagai salah satu asuransi sosial proses pengikatan perjanjiannya juga tidak memerlukan adanya kesepakatan kehendak seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal inilah yang dimaksud dengan penyimpangan ketentuan yang diisyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

C. Pihak-pihak yang terkait dalam Asuransi Kecelakan Diri

Dari dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jadi setiap persetujuan harus selalu ada dua pihak atau lebih, dimana satu pihak bertindak sebagai yang berhak atau sebagai yang berhak berkewajiban dan dilain pihak bertindak sebagai yang berkewajiban saja atau sebagai yang berkewajiban dan yang berhak. Yang jelas pihak-pihak dalam suatu persetujuan adalah merupakan subyek hukum yaitu yang merupakan pendukung hak dan kewajiban, yang biasanya adalah manusia dan badan hukum.

Jika dilihat ketentuan Pasal 246 KUHD, yang secara yuridis dengan nyata menyebutkan pihak-pihak yang terkait dalam suatu perjanjian asuransi adalah penanggung dan tertanggung.

Penanggung (verzekeraar, asurador, penjamin) ialah mereka yang mendapat premi, dan berjanji akan mengganti kerugian ataupun membayar sejumlah uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung.21 Sedangkan tertanggung atau terjamin (verzekerde, insured) adalah manusia dan badan hukum, sebagai pihak yang berhak dan yang berkewajiban, dalam perjanjian asuransi, dengan membayar premi.22

Begitu pula di dalam asuransi kecelakaan diri. Asuransi kecelakaan diri yang merupakan bagian dari asuransi kerugian, dilakukan oleh dua pihak yang saling terkait. Pihak-pihak yang saling terkait itu adalah penanggung dan tertanggung,

21

sedangkan dalam pertanggungan jumlah, pihak tertanggung dapat memecahkan diri menjadi dua pihak, yaitu sebagai penutup pertanggungan dan penikmat.

Karena pertanggungan campuran mempunyai dua sifat, yakni sebagai pertanggungan kerugian dan pertanggungan jiwa, maka tertanggung dapat terdiri dari satu atau dua orang. Bila tertanggung menunjuk orang lain sebagai penikmatnya, maka ia bertindak sebagai penutup pertanggungan. Sedangkan bila penutup pertanggungan (asuransi) menunjuk dirinya sendiri sebagai penikmat, maka ia betul-betul bertindak sebagai tertanggung.

Adapun benda yang menjadi objek pertanggungan, pada asuransi kerugian dikenal benda pertanggungan (verzekerde voorwerp), yakni benda yang dipertanggungkan, atas nama dapat terserang bahaya, sehingga dapat merugikan tertanggung. Meskipun pertanggungan campuran mempunyai dua sifat, yaitu sifat sebagai pertanggungan kerugian dan sebagai pertanggungan jiwa, tetapi anehnya pertanggungan campuran ini tidak mengenal apa yang disebut benda pertanggungan, sebab hal yang dipertanggungkan itu bukan barang, melainkan ”orang”, yang diistilahkan sebagai ”badan tertanggung” (lijt).

Adapun bahaya-bahaya yang menjadi beban penanggung ialah ”kecelakaan”, yang mungkin mengenai badan tertanggung itu. Dan kalau kecelakaan itu benar-benar terjadi, maka timbullah kewajiban bagi penanggung untuk melakukan prestasi terhadap tertanggung.

22

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Asuransi Kecelakan Diri

1. Hak Penanggung Dan Kewajiban Penanggung 1.1Hak Penanggung23

a. Menurut pembayaran premi kepada tertanggung sesuai dengan perjanjian,

b. Meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada tertanggung yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan kepadanya,

c. Memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal peristiwa yang diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHDagang),

d. Memiliki premi yang sudah diterima dalam asuransi batal atau gugur yang disebabkan oleh perbuatan curang dari tertanggung (Pasal 282 KUHDagang),

e. Melakukan asuransi kembali (reinsurance, hervezekering) kepada penanggung yang lain, dengan maksud untuk membagi resiko yang dihadapinya (Pasal 271 KUHDagang).

1.2Kewajiban Penanggung

a. Memberitahukan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang kepada tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi, kecuali jika terdapat hal yang dapat menjadi alasan untuk membebaskan dari kewajiban tersebut,

b. Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung (Pasal 259, 260 KUHDagang),

c. Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi batal atau gugur, dengan syarat tertanggung belum menanggung resiko sebagian atau seluruhnya (premi restorno, pasal 281 KUHDagang).24

2. Hak dan Kewajiban Tertanggung

2.1 Hak Tertanggung

a. Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal 259

KUHDagang),

b. Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung (Pasal 260 KUHDagang),

c. Meminta ganti kerugian kepada penanggung karena pihak yang disebut terakhir lalai menandatangani dan menyerahkan polis sehingga menimbulkan kerugian kepada tertanggung (Pasal 261 KUHDagang),

d. Melalui pengadilan, tertanggung dapat membebaskan penanggung dari segala kewajibannya pada waktu yang akan datang, untuk selanjutnya tertanggung dapat mengasuransikan kepentingannya kepada penanggung yang lain untuk waktu dan bahaya yang sama dengan asuransi yang sama (Pasal 272 KUHDagang),

e. Mengadakan solvebiliteit verzekering, karena tertanggung ragu-ragu akan kemampuan penanggungnya (Pasal 280KUHDagang), dalam hal ini harus

23

M. Suparman Sastrawidjaya, SH, SU MPR, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat

tegas bahwa tertanggung hanya akan mendapat ganti kerugian dari salah satu penanggung saja,25

f. Menuntut pengembalian premi baik seluruhnya maupun sebagian, apabila perjanjian asuransi batal atau gugur. Hak tertanggung mengenai hal ini dilakukan apabila tertanggung beritikad baik, sedangkan penanggung bersangkutan belum menanggung resiko (premi restorno, Pasal 281 KUHDagang),

g. Menuntut ganti kerugian kepada penanggung apabila peristiwa yang diperjanjikan dalam polis terjadi.

2.2 Kewajiban Tertanggung

Kewajiban terpenting dari terjamin ialah membayar uang premi, di samping kewajiban lainnya seperti :

a. Memberitahukan kepada asurador hal-hal yang perlu mengenai barang-barang yang dijamin (Pasal 251, 283 dan 654 W.v.K),

b. Berdaya upaya untuk menghindarkan timbulnya kerugian atau memperkecil kemungkinan timbulnya kerugian ( Pasal 283 dan 655 W.v.K),

c. Kewajiban-kewajiban khusus yang mungkin disebutkan dalam polis, misalnya untuk memberitahukan kepada asurador, bahwa resiko dari asurador diperberat oleh karena suatu sebab tertentu.26

24 Ibid, hal. 20-21. 25 Ibid, hal. 21-22. 26

Dalam pembahasan-pembahasan terdahulu telah dikatakan, bahwa perjanjian asuransi merupakan persetujuan yang bersifat timbal balik (wederkering).

Terhadap kewajiban asurador untuk menjamin si terjamin dari suatu resiko, maka pihak terjamin selaku kontra prestasi berkewajiban untuk membayar uang premi dan kewajiban-kewajiban lain yang telah disebutkan.

Oleh karena membayar uang premi merupakan kewajiban si terjamin maka apabila si terjamin tidak membayarnya, si asurador dapat menuntut melalui hakim agar si terjamin dihukum atau membayar uang premi itu.

Pasal 256 ayat (7) KUHDagang juga menentukan, bahwa dalam polis harus disebutkan jumlah uang premi yang harus dibayar oleh terjamin.

Selanjutnya menurut polis asuransi kecelakaan diri, yang menjadi kewajiban tertanggung jika terjadi kecelakaan adalah :

1. Setelah Tertanggung kecelakaan dalam suatu keadaan dimana pada umumnya seseorang harus minta pertolongan dokter, terutama karena sesudah kecelakaan ia seluruhnya atau sebagian tidak dapat melakukan pekerjaan, Tertanggung wajib minta pertolongan dokter. Jika karena kecelakaan yang sama itu berkali-kali timbul keadaan yang demikian atau ketidakmampuan bekerja seperti dimaksud diatas ini, maka ia wajib berbuat demikian pula. 2. Dalam waktu 3 kali 24 jam setelah untuk pertama kali setelah kecelakaan

terjadi diminta pertolongan dokter, kecelakaan itu harus diberitahukan kepada kantor Penanggung terdekat, dengan memberitahukan pula tempat dimana Tertanggung. Jika karena kecelakaan yang sama itu juga perawatan dokter,

setelah sementara dihentikan, dimulai lagi, maka dalam waktu 24 jam hal itu harus diberitahukan sedemikian pula. Dalam hal kecelakaan menyebabkan kematian, hal itu harus diberitahukan dengan segera (dalam 24 jam) kepada Penanggung.

3. Jika pemberitahuan itu terlambat, Penanggung dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam ayat 4, Penanggung berhak menggantungkan santunan/ganti rugi kepada bukti bahwa tidak terjadi hal-hal yang akan dikemukakan oleh Penanggung yang seluruh atau sebagiannya dapat membebaskan Penanggung dari kewajibannya. Walaupun setelah dibawa bukti seperti dimaksud diatas Penanggung masih berhak menetapkan bahwa pemberian santunan/ganti rugi biaya pengobatan dan rawatan terbatas pada biaya yang timbul sejak diterimaannya pemberitahuan itu, sedangkan biaya pengobatan dan rawatan mengenai waktu sebelumnya tidak mendapat penggantian dari penanggung.

4. Jika pemberitahuan itu baru diterima Penanggung lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari setelah kecelakaan terjadi, Penanggung bebas dari kewajibannya membayar santunan.ganti rugi mengenai kewajiban untuk membayar santunan.ganti rugi selanjutnya, jika dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari setelah perawatan dokter dimulai lagi, pemberitahuan tentang hal itu belum diterima Penanggung.

5. Segala keterangan yang diminta Penanggung harus diberikan selekas mungkin, secara lengkap, dengan teliti dan sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.

6. Tertanggung harus memakai pertolongan dokter atau perawatan yang bersifat medis yang dilaksanakan dengan cara-cara berdasarkan ilmu kedokteran, dan Tertanggung tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menghalangi penyembuhan atau pemulihan kesehatannya.

7. Pada setiap waktu harus diberikan kesempatan kepada dokter yang ditunjuk oleh Penanggung untuk mengadakan pemeriksaan kepada Tertanggung dan sepanjang tidak bertentangan dengan dokter yang merawat Tertanggung sebelumnya, Tertanggung wajib menurutinya.

8. Jika Tertanggung selama waktu ia masih sakit sebagai akibat kecelakaan meninggalkan tempat tinggalnya yang terakhir yang telah diberitahukan kepada Penanggung untuk lebih dari tujuh hari berturut-turut, maka hal itu harus diberitahukan dengan segera kepada Penanggung dengan memberitahukan pula tempat tinggal yang baru. Jika pemindahan itu terjadi dengan tidak ada persetujuan Penanggung, maka segala hak atas tunjangan mengenai akibat-akibat kecekalakaan yang timbul selama Tertanggung tidak berada di tempat tinggalnya yang dimaksudkan tadi menjadi batal, Penanggung berhak memberi persetujuan dengan syarat-syarat yang tertentu. 9. Jika Tertanggung meninggal dunia, maka yang berhak menerima santunan

wajib memberi bantuannya. Jika hal itu diminta supaya dokter yang ditunjuk Penanggung diberi kesempatan untuk mengadakan pemeriksaan mayat (otopsi), dan jika perlu kuburan dibuka dan segala yang berhubungan dengan hal tersebut menjadi beban Penanggung.

10. Jika kewajiban-kewajiban yang tersebut paa ayat 1, 5, 6, 7, dan 9 pasal ini tidak dipenuhi, maka segala hak atas santunan/ganti rugi menjadi batal.

Perjanjian pertanggungan kerugian menurut KUHD adalah suatu perjanjian yang bersifat konsensual, artinya dapat diadakan sah berdasarkan adanya persesuaian kehendak (kata sepakat) antara para pihak. Untuk berlakunya perjanjian pertanggungan tidak bergantung pada adanya suatu syarat atau akta.

Didalam hukum pertanggungan, dikenal bukti sebagai alat bukti adanya perjanjian pertanggungan antara penanggung dan tertanggung, yaitu yang disebut polis (policy). Polis ini sebagai akta (bukti tertulis) tentang adanya perjanjian pertanggungan, dan fungsinya bukan sebagai syarat mutlak untuk adanya perjanjian pertanggungan tetapi hanya sebagai alat bukti terhadap perjanjian pertanggungan. Hal ini terbukti menurut Pasal 257 ayat (I) KUHD yang menyatakan bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Pasal ini seolah-olah bertentangan dengan pasal pasal 255 KUHD yang menyatakan bahwa suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Seolah-olah polis itu merupakan suatu syarat untuk adanya perjanjian itu. Sehubungan dengan hal tersebut, tidak boleh ditarik suatu kesimpulan polis merupakan syarat mutlak untuk sahnya perjanjian pertanggungan, karena untuk sahnya perjanjian pertanggungan harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Dalam asuransi kecelakaan diri yang mengelola adalah Pemerintah, dalam hal ini diserahkan kepada PT.Jasa Raharja Putera maka polis dalam asuransi ini hanya berlaku sepihak. Dalam arti hanya pihak penanggung saja yang banyak berperan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi karena pihak penanggung merupakan suatu badan hukum yang memiliki tanggung jawab sosial untuk menyelesaikan penuntutan pembayaran ganti kerugian pertanggungan. Ditinjau dari sudut prestasi penanggung, maka pertanggungan kecelakaan ini mewajibkan penanggung untuk mengganti kerugian yang diderita tertanggung dan membayar sejumlah uang yang telah disepakati pada waktu ditutupnya pertanggungan.

Jika polis asuransi ini hilang padahal klaim akan dilakukan bukan berarti asuransi ini akan hapus, karena polis dalam asuransi kecelakaan diri ini dibuat secara berkelompok sehingga walaupun polis tersebut itu hilang maka asuransi itu tetap dibayar.

BAB IV

ASURANSI KECELAKAAN DIRI WISATAWAN DI DAERAH OBJEK WISATA DANAU LAU KAWAR

A. Dasar Hukum Asuransi Kecelakaan Diri

Mengenai kedudukan hukum dari asuransi kecelakaan diri, maka lebih dulu, dibatasi ruang lingkup dari perasuransian yang ada di Indonesia pada umumnya, dan secara khususnya tentang asuransi kecelakaan diri.

Usaha perasuransian yang sehat merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi resiko yang dihadapi anggota masyarakat dan sekaligus

Dokumen terkait