• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 8-125)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.2. Tujuan

Tujuan dilaksanakannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di rumah sakit adalah untuk memahami tugas beserta fungsi instalasi farmasi, pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dan peran Apoteker di rumah sakit.

2.1 Definisi Rumah Sakit

Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Menurut UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

2.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, untuk menjalankan tugas sebagaimana yang dimaksud, rumah sakit mempunyai fungsi sebagai berikut :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.3 Klasifikasi Rumah Sakit

Suatu sistem klasifikasi rumah sakit diperlukan untuk memberi kemudahan mengetahui identitas, organisasi, jenis pelayanan yang diberikan, pemilik, kapasitas tempat tidur serta evaluasi golongan rumah sakit. Rumah sakit

dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan berdasarkan jenis pelayanan, kepemilikan, kapasitas tempat tidur dan fasilitas pelayanan jangka waktu pelayanan, serta afiliasi pendidikan (Siregar, 2004).

2.3.1 Berdasarkan Jenis Pelayanan

Berdasarkan jenis pelayanan, rumah sakit dapat digolongkan menjadi: a. Rumah sakit umum

Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan sub spesialistik. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kepada berbagai penderita dengan berbagai jenis penyakit dan pelayanan diagnosis dan terapi untuk berbagai kondisi medik seperti penyakit dalam, bedah, pediatrik, psikiatrik, ibu hamil dan sebagainya.

b. Rumah sakit khusus

Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang mempunyai fungsi primer memberikan diagnosis dan pengobatan untuk penderita yang mempunyai kondisi medik khusus, baik bedah atau non bedah, misalnya Rumah Sakit Ginjal, Rumah Sakit Kusta, Rumah Sakit Jantung, Rumah Sakit Anak dan Bunda, Rumah Sakit Kanker dan lain-lain (Siregar, 2004).

2.3.2 Berdasarkan Kepemilikan

Berdasarkan kepemilikan, rumah sakit dapat digolongkan menjadi rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta.

a. Rumah sakit pemerintah

Rumah sakit pemerintah adalah rumah sakit umum milik pemerintah, baik pusat maupun daerah dan diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pemerintahan Daerah (Pemda) tingkat I dan II), maupun Badan Usaha Milik Negara. Rumah sakit umum pemerintah dapat dibedakan berdasarkan unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan peralatan menjadi empat kelas, yaitu rumah sakit umum kelas A, B, C, dan D.

b. Rumah sakit swasta

Rumah sakit swasta merupakan rumah sakit yang dimiliki dan diselenggarakan oleh yayasan yang sudah disahkan sebagai badan hukum atau badan hukum lain yang bersifat sosial.

Rumah sakit swasta terdiri dari:

1. Rumah sakit umum pratama, yaitu rumah sakit umum swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum, setara dengan rumah sakit pemerintah tipe D.

2. Rumah sakit umum swasta madya, yaitu rumah sakit umum swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas C.

3. Rumah sakit umum swasta utama, yaitu rumah sakit umum yang memberikan pelayanan medik bersifat umum, spesialistik, dan subspesialistik, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas B (Siregar, 2004).

2.3.3 Berdasarkan Fasilitas Pelayanan Dan Kapasitas Tempat Tidur

Berdasarkan fasilitas pelayanan dan kapasitas tempat tidur, rumah sakit dapat digolongkan menjadi rumah sakit kelas A, B, C, dan D.

a. Rumah Sakit Kelas A

Rumah sakit kelas A yaitu rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan sub spesialistik luas dengan kapasitas lebih dari 1000 tempat tidur.

b. Rumah Sakit Kelas B

Rumah sakit kelas B, dibagi menjadi:

a) Rumah sakit B1 yaitu rumah sakit yang melaksanakan pelayanan medik minimal 11 spesialistik dan belum memiliki sub spesialistik dengan kapasitas 300 - 500 tempat tidur.

b) Rumah sakit B2 yaitu rumah sakit yang melaksanakan pelayanan medik spesialistik dan sub spesialistik terbatas dengan kapasitas 500 -1000 tempat tidur.

c. Rumah Sakit Kelas C

Rumah sakit kelas C yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar, yaitu penyakit dalam, bedah, kebidanan atau kandungan, dan kesehatan anak dengan kapasitas 100-300 tempat tidur.

d. Rumah Sakit Kelas D

Rumah sakit kelas D yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar, dengan kapasitas kurang dari 100 tempat tidur (Siregar, 2004).

2.3.4 Berdasarkan Jangka Waktu Perawatan

Rumah sakit berdasarkan jangka waktu perawatan digolongkan menjadi: a. Rumah sakit perawatan jangka pendek

Rumah sakit perawatan jangka pendek adalah rumah sakit yang jangka waktu perawatan penderitanya kurang dari 30 hari. Rumah sakit perawatan jangka pendek pada umumnya merawat penderita penyakit akut dan kondisi gawat darurat.

b. Rumah sakit perawatan jangka panjang

Rumah sakit perawatan jangka panjang adalah rumah sakit yang jangka waktu perawatan penderitanya lebih dari 30 hari. Rumah sakit perawatan jangka panjang pada umumnya merawat penderita penyakit kronis seperti Rumah Sakit Kanker, Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Kusta, dan lain-lain (Siregar, 2004). 2.3.5 Berdasarkan Afiliasi Pendidikan

Rumah sakit berdasarkan afiliasi pendidikan dibedakan menjadi: a. Rumah sakit pendidikan

Rumah sakit pendidikan adalah rumah sakit yang melaksanakan program pelatihan bagi residen di bidang farmasi, bedah, spesialis anak, dan bidang spesialisasi lain. Residen melaksanakan perawatan penderita dibawah pengawasan staf medik rumah sakit.

b. Rumah sakit afiliasi pendidikan

Rumah sakit afiliasi pendidikan adalah rumah sakit yang tidak melaksanakan program pelatihan residen sendiri tetapi menyediakan fasilitas pelatihan bagi mahasiswa dan residen.

c. Rumah sakit non pendidikan

Rumah sakit non pendidikan adalah rumah sakit yang tidak melaksanakan program pelatihan bagi residen dan tidak memiliki afiliasi dengan perguruan tinggi (Siregar, 2004).

2.4 Struktur Organisasi Rumah Sakit

Setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Berdasarkan UU No.44 tahun 2009, organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Selain itu, disebutkan juga bahwa pemilik rumah sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala rumah sakit.

Staf medik fungsional (SMF) berada di bawah koordinasi komite medik. SMF terdiri atas dokter umum, dokter gigi, dan dokter spesialis dari semua disiplin yang ada di rumah sakit. Komite medik adalah wadah non struktural yang keanggotaannya terdiri atas ketua-ketua SMF. Kepala rumah sakit merupakan seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang rumah sakit serta memiliki kewarganegaraan Indonesia.

2.5 Tenaga Kesehatan

Berdasarkan UU No.36 tahun 2009, tenaga kesehatan merupakan setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan juga harus memiliki kualifikasi minimum, memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan

standar prosedur operasional. Kode etik dan standar profesi diatur oleh organisasi profesi masing-masing.

Menurut Peraturan Pemerintah RI No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, tenaga kesehatan terdiri dari:

a. Tenaga medis yang meliputi dokter dan dokter gigi. b. Tenaga keperawatan yang meliputi perawat dan bidan.

c. Tenaga kefarmasian yang meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.

d. Tenaga kesehatan masyarakat yang meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.

e. Tenaga gizi yang meliputi nutrisionis dan dietisian.

f. Tenaga keterapian medik yang meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapi wicara.

g. Tenaga keteknisian teknis yang meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis, optisien, ototik prostetik, teknisi transfuse darah dan perekam medis.

2.6 Instalasi Farmasi Rumah sakit

2.6.1 Definisi IFRS

Instalasi adalah fasilitas penyelenggara pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, kegiatan penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan dan pemeliharaan sarana rumah sakit. Farmasi rumah sakit adalah seluruh aspek kefarmasian yang dilakukan rumah sakit. Jadi, instalasi farmasi rumah sakit adalah suatu bagian/unit/divisi atau fasilitas di rumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri (Siregar, 2004).

2.6.2 Tujuan IFRS

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.

a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia.

b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi.

c. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat. d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. e. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan

evaluasi pelayanan.

f. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan.

g. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metoda. 2.6.3 Tugas dan Tanggung Jawab IFRS

Tugas utama IFRS adalah pengelolaan yang mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada penderita hingga pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan oleh pasien rawat inap, rawat jalan maupun semua unit di rumah sakit. Berkaitan dengan pengelolaan tersebut, IFRS harus menyediakan terapi obat yang optimal bagi semua penderita dan menjamin pelayanan bermutu tinggi dengan biaya minimal.

IFRS juga bertanggung jawab mengembangkan suatu pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik dan tepat untuk memenuhi kebutuhan berbagai bagian/unit diagnosa dan terapi, unit pelayanan keperawatan, staf medik dan rumah sakit keseluruhan untuk kepentingan pelayanan pasien yang lebih baik (Siregar, 2004).

2.6.4 Ruang Lingkup Fungsi IFRS

IFRS mempunyai berbagai fungsi yang dapat digolongkan menjadi fungsi klinik dan non klinik. Fungsi non klinik meliputi perencanaan, penetapan spesifikasi produk dan pemasok, pengadaan, pengendalian, produksi,

penyimpanan, pengemasan dan pengemasan kembali, distribusi dan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar (Siregar, 2004).

Ruang lingkup farmasi klinik mencakup fungsi farmasi yang dilakukan dalam program rumah sakit yaitu pemantauan terapi obat (PTO), evaluasi penggunaan obat (EPO), penanganan bahan sitotoksik, pelayanan di unit perawatan kritis, penelitian, pengendalian infeksi rumah sakit, sentra informasi obat, pemantauan reaksi obat merugikan (ROM), sistem pemantauan kesalahan obat, buletin terapi obat, program edukasi ‘in-service’ bagi apoteker, dokter dan perawat dan investigasi obat, konseling, pemantauan kadar obat dalam darah, ronde/visite pasien, pengkajian resep dan penggunaan obat (Siregar, 2004 dan Departemen Kesehatan RI, 2004).

2.6.5 Struktur Organisasi IFRS

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1197/Menkes/SK/X/2004, pelayanan farmasi diselenggarakan dengan visi, misi, tujuan, dan bagan organisasi yang mencerminkan penyelenggaraan berdasarkan filosofi pelayanan kefarmasian. Bagan organisasi adalah bagan yang menggambarkan pembagian tugas, koordinasi, dan kewenangan serta fungsi. Kerangka organisasi minimal mengakomodasi penyelenggaraan pengelolaan perbekalan, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, serta harus selalu dinamis sesuai perubahan yang dilakukan yang tetap menjaga mutu sesuai harapan pelanggan.

Struktur organisasi dapat dibagi menjadi tiga tingkat yaitu tingkat puncak, tingkat menengah, dan garis depan. Manajer tingkat puncak bertanggung jawab untuk perencanaan, penerapan, dan peningkatan efektifitas fungsi dari sistem mutu secara menyeluruh. Manajer tingkat menengah sebagian besar merupakan kepala bagian/unit fungsional yang bertanggung jawab untuk mendesain dan menerapkan berbagai kegiatan pelayanan yang diinginkan. Manajer garis depan terdiri atas personil pengawas yang secara langsung memantau dan mengendalikan kegiatan yang berkaitan dengan mutu pelayanan. Setiap personil IFRS harus mengetahui lingkup, tanggung jawab, kewenangan fungsi mereka,

dampaknya pada pelayanan dan bertanggung jawab untuk mencapai mutu produk dan pelayanan (Siregar, 2004).

2.7 Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)

2.7.1 Definisi PFT

Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) adalah sekelompok penasehat dari staf medik dan bertindak sebagai garis komunikasi organisasi antara staf medis dan IFRS. PFT mengevaluasi secara klinik penggunaan obat, mengembangkan kebijakan untuk pengelolaan penggunaan obat dan pemberian obat serta pengelolaan sistem formularium. Panitia ini merupakan suatu kelompok pemberi rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan terapi obat bagi staf medis dan pimpinan rumah sakit. Panitia ini berfungsi untuk menjamin tercapainya terapi obat yang rasional. Pembentukan PFT diperlukan agar hubungan antara IFRS dan semua profesional kesehatan di rumah sakit dapat berjalan dengan baik (Siregar, 2004).

2.7.2 Tujuan PFT

Tujuan Panitia Farmasi dan Terapi di rumah sakit adalah sebagai berikut: a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan

obat, serta evaluasi obat.

b. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai kebutuhan (Departemen Kesehatan RI, 2004).

2.7.3 Fungsi PFT

Berikut adalah beberapa fungsi PFT :

a. Berfungsi dalam suatu kapasitas evaluatif, edukasi, dan penasihat bagi staf medik dan pimpinan rumah sakit, dalam semua hal yang berkaitan dengan penggunaan obat (termasuk obat investigasi).

b. Mengembangkan dan menetapkan formularium obat yang diterima untuk digunakan dalam rumah sakit dan mengadakan revisi tetap. Pemilihan

pada evaluasi obyektif terhadap manfaat terapi, keamanan, dan harga. PFT harus meminimalkan duplikasi dari jenis obat dasar yang sama, zat aktif yang sama atau sediaan obat yang sama.

c. Menetapkan program dan prosedur yang membantu memastikan terapi obat yang aman dan bermanfaat.

d. Menetapkan program dan prosedur yang membantu memastikan manfaat biaya terapi.

e. Menetapkan atau merencanakan program edukasi yang sesuai bagi staf profesional rumah sakit tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penggunaan obat.

f. Berpartisipasi dalam kegiatan jaminan mutu yang berkaitan dengan distribusi, pemberian, dan penggunaan obat.

g. Memantau dan mengevaluasi reaksi obat merugikan di rumah sakit dan membuat rekomendasi yang tepat untuk mencegah berulangnya kembali. h. Memprakarsai atau memimpin program dan studi evaluasi penggunaan

obat, pengkajian hasil dari kegiatan tersebut dan membuat rekomendasi yang tepat untuk mengoptimalkan penggunaan obat.

i. Bersama IFRS merencanakan dan menetapkan suatu sistem distribusi obat dan prosedur pengendalian yang efektif.

j. PFT mempunyai tanggung jawab pada pengadaan edukasi bagi staf profesional rumah sakit. Tanggung jawab itu dipenuhi melalui penerbitan buletin terapi obat yang disahkan PFT dan sponsor kuliah tahunan yang berkaitan dengan terapi obat atau seminar bagi staf rumah sakit.

k. Membantu IFRS dalam pengembangan dan pengkajian kebijakan, ketetapan dan peraturan berkaitan dengan penggunaan obat dalam rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan lokal dan nasional. l. Mengevaluasi, menyetujui atau menolak obat yang diusulkan untuk

dimasukkan ke dalam atau dikeluarkan dari formularium rumah sakit. m. Menetapkan kategori obat yang digunakan dalam rumah sakit dan

menetapkan tiap obat pada suatu kategori tertentu.

o. Membuat rekomendasi tentang obat yang disediakan dalam daerah perawatan penderita.

2.7.4 Struktur Organisasi PFT

Susunan organisasi PFT serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat :

a. PFT harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk rumah sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada.

b. Ketua PFT dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua berasal Farmakologi. Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk.

c. PFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat PFT dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT.

d. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.

e. Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat (Departemen Kesehatan RI, 2004).

2.8 Instalasi Sterilisasi Pusat (ISP)/ Centralized Sterile Supply Department (CSSD)

2.8.1 Definisi Instalasi Sterilisasi Pusat

Instalasi sterilisasi pusat adalah unit pelayanan non struktural yang berfungsi memberikan pelayanan sterilisasi yang sesuai standar/pedoman dan memenuhi kebutuhan barang steril di rumah sakit. Instalasi ini khusus melayani ruang perawatan, klinik, laboratorium khusus seperti Cardiac Catherization Laboratory (laboratorium katerisasi jantung) dan ruang operasi (Departemen

2.8.2 Tugas dan Tujuan Instalasi Sterilisasi Pusat (ISP)

Tugas utama dari ISP adalah menyediakan seluruh kebutuhan barang atau peralatan steril rumah sakit. ISP menerima pesanan barang untuk disterilkan seperti alat-alat bedah dari instalasi bedah pusat serta obat-obat steril dari sub bagian produksi (Siregar, 2004).

Tujuan ISP adalah:

a. Membantu unit lain di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, untuk mencegah terjadinya infeksi.

b. Menurunkan angka kejadian infeksi dan membantu mencegah, serta menanggulangi infeksi nosokomial.

c. Efisiensi tenaga medis/paramedis lain serta pada media unit kegiatan-kegiatan yang pada dasarnya bersifat patient care (berorientasi pada pelayanan terhadap pasien).

d. Menyediakan dan menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk yang dihasilkan (Departemen Kesehatan RI, 2009)

2.8.3 Personil Instalasi Sterilisasi Pusat

Pemilihan tenaga kerja untuk ditempatkan di ISP harus dilatih terlebih dahulu tentang prinsip sterilisasi, monitoring autoklaf, pengoperasian sterlisasi gas, identifikasi alat bedah, menyusun dan membersihkan peralatan, tes bakteriologi dan biologi dasar. Progam pelatihan ini membutuhkan waktu dan biaya sehingga harus ada teknisi progam pelatihan untuk mengembangkan karyawan sehingga berkualitas baik dari segi teori dan teknologi (Siregar, 2004). 2.8.4 Lokasi Ideal Instalasi Sterilisasi Pusat

Ruangan ISP idealnya berada di tengah-tengah lokasi dimana pelayanan ISP dibutuhkan. Hal penting lain yang harus dipertimbangkan adalah besarnya ruangan utuk ISP. Ruang ISP harus mampu menampung baju/kain dalam jumlah besar yang berasal dari laundry dan ruang bedah serta sejumlah besar produk intravena (IV) steril dan larutan irigasi jika tidak diproduksi sendiri.

kerja per hari dan tipe sterilisasi yang dilakukan. Jika manajemen farmasi dan ISP dikombinasi, secara fisik kedua ruangan dapat digabung atau berdekatan sehingga memudahkan pengawas untuk melaksanakan tugasnya selama 24 jam (Siregar, 2004).

2.8.5 Kegiatan Instalasi Sterilisasi Pusat

ISP modern merupakan ruangan yang terdiri dari autoklaf dan peralatan sterilisasi. Barang yang masuk ke dalam ISP dicatat dalam buku penerimaan yang memuat data tentang tanggal masuk barang, nama dan jumlah barang, nama ruangan serta keterangan mengenai fisik barang.

Barang yang masuk dalam ISP dapat digolongkan sebagai berikut: a. Barang bersih

Berasal dari bagian perbekalan dan distribusi, rumah tangga dan barang pesanan untuk disterilkan.

b. Barang kotor

Berasal dari ruangan-ruangan seperti sarung tangan, pakaian, dan alat kedokteran. Proses seleksi dilakukan untuk memisahkan barang yang dapat dipakai ulang dengan barang yang sudah rusak seperti sobek, tidak tajam lagi, bekas pasien AIDS, dan sebagainya. Pemberian desinfektan dengan cara merendam barang dalam larutan desinfektan seperti lisol dan wipol, kecuali tenun operasi yang tidak mengalami proses pemberian desinfektan. Kontrol kualitas dilakukan untuk menjamin mutu sterilitas produk yang dihasilkan. Kontrol kualitas tersebut diantaranya adalah pemasangan indikator fisik pada barang-barang yang akan disterilkan, uji mikrobiologi barang-barang-barang-barang yang telah disterilkan, penentuan tanggal kadaluarsa untuk barang yang telah disterilkan (Siregar, 2004).

2.9 Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit

Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi, dan pelaporan serta evaluasi yang

2.9.1 Perencanaan

Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan seperti metode konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi.

a. Tujuan Perencanaan Obat

Tujuan utama dari perencanaan dalam farmasi adalah untuk menyusun kebutuhan obat yang tepat dan sesuai kebutuhan guna mencegah terjadinya kekurangan atau kelebihan persediaan farmasi serta meningkatkan penggunaan persediaan farmasi secara efektif dan efisien.

b. Prinsip Perencanaan

Perencanaan obat harus ditetapkan berdasarkan pada pedoman perencanaan, yaitu:

1) Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) untuk tingkat nasional, formularium rumah sakit untuk tingkat rumah sakit, standar diagnosis dan terapi untuk unit pelayanan fungsional (UPF), dan juga berdasarkan permintaan perbekalan farmasi.

2) Data catatan medik, untuk mengetahui macam-macam penyakit yang diderita pasien, rata-rata lama perawatan pasien, serta jumlah pasien dalam kurun waktu tertentu.

3) Sesuai dengan anggaran yang tersedia.

4) Penetapan prioritas berdasarkan sasaran unit pelayanan, jenis perbekalan farmasi, dan fungsinya.

5) Jumlah stok barang yang tersisa. c. Metode-Metode Perhitungan Obat

Perhitungan kebutuhan obat dilakukan untuk menghindari masalah kekosongan obat atau kelebihan obat. Metode yang biasa digunakan dalam perhitungan kebutuhan obat, antara lain :

1) Metode Konsumsi

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 8-125)

Dokumen terkait