• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Tunanetra

1. Pengertian Tunanetra

Tunanetra merupakan suatu kondisi adanya kerusakan mata yang terjadi pada seseorang, sehingga indera penglihatan sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Tin Suharmini, 2009 : 30). Anak tunanetra adalah anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan sedemikian rupa (sampai tingkatan yang signifikan) sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk untuk bersekolah, sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus. Hilangnya kemampuan melihat tersebut mengakibatkan terhambatnya perkembangan anak, baik perkembangan intelektualnya, emosi, sosial, kepribadian dan keterampilan hidupnya.

42

Mereka dengan keadaannya itu tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan di sekolah biasa bersama anak-anak yang awas tanpa layanan atau program khusus (Mega Iswari, 2007 : 48).

Menurut Barraga, 1983 (dalam Mega Iswari, 2007 : 52) tunanetra yaitu mereka yang mengalami kelainan penglihatan sedemikian rupa sehingga mengganggu belajarnya secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode pengajaran, sifat-sifat bahan yang diajarkan dan lingkungan belajarnya.

Pengertian dari segi pendidikan, oleh Barraga (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 11) tunanetra diartikan sebagai suatu cacat penglihatan sehingga mengganggu proses belajar dan pencapaian belajar secara optimal. Sehingga diperlukan metode pengajaran, pembelajaran, penyesuaian bahan pelajaran dan lingkungan belajar. Pendapat lain oleh Hardman (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 11) yang menyebutkan bahwa anak tidak dapat menggunakan penglihatannya, sehingga dalam proses belajar akan bergantung kepada indera pendengaran, perabaan dan indera lain yang masih berfungsi.

Dari beberapa pengertian tentang tunanetra yang telah diuraikan maka dapat ditegaskan bahwa anak tunanetra adalah anak yang mengalami kelainan pada sebagian atau seluruh indera penglihatannya sehingga membutuhkan layanan pendidikan atau pembelajaran yang khusus.

43 2. Penyebab Ketunanetraan

Menurut Mark Hollins (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 12) seseorang yang dilahirkan tanpa penglihatan cahaya disebut ‘buta bawaan’ (congenital blind), sedangkan penurunan penglihatan yang terjadi setelah beberapa waktu sejak dilahirkan disebut ‘buta didapat’ (adventitiously blind). Selanjutnya Heather Mason, dkk (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 12) menyebutkan beberapa penyebab ketunanetraan adalah sebagai berikut : a. Faktor genetik atau herediter; beberapa kelainan penglihatan bisa

didapat akibat diturunkan dari orangtua misalnya buta warna, albinism, retinitis pigmentosa. Seorang wanita yang kelihatannya normal, tetapi secara genentis dia dapat membawa sifat (carriers) suatu kelainan penglihatan.

b. Perkawinan sedarah; banyak ditemukan ketunanetraan pada anak hasil perkawinan dekat, misalnya keluarga dekat (incest). Pola ini menyebabkan secara genetis rentan untuk menurunkan sifat, termasuk penyakit atau kelainan.

c. Proses kelahiran; mengalami trauma pada saat proses kelahiran, lahir premature, berat lahir kurang dari 1300 gram, kekurangan oksigen akibat lamanya proses kelahiran, anak dilahirkan dengan menggunakan alat bantu.

d. Penyakit anak-anak yang akut sehingga berkomplikasi pada organ mata, infeksi virus yang menyerang syaraf dan anatomi mata, tumor otak yang menyerang pusat syaraf organ penglihatan.

44

e. Kecelakaan; tabrakan yang mengenai organ mata, benturan, terjatuh dan trauma lain yang secara langsung atau tidak langsung mengenai oragan mata, tersetrum aliran listrik, terkena zat kimia dan terkena cahaya tajam.

f. Perlakuan kontinyu dengan obat-obatan; beberapa obat untuk penyembuhan suatu penyakit tertentu ada yang berefek negatif terhadap kesehatan mata, demikian juga penggunaan obat yang over dosis sangat berbahaya terhadap organ-organ lunak seperti mata. g. Infeksi oleh binatang juga dapat merusak organ-organ selaput mata

yang tipis, bahkan dapat mengakibatkan penyakit bergulma atau borok, infeksi pada selaput mata akhirnya berkembang ke mata bagian dalam.

h. Beberapa kondisi kota dengan suhu yang panas, menyebabkan udara mudah bergerak dan membawa bibit penyakit kering yang masuk ke mata, pada daerah kering dapat ditemukan penyakit mata jenis trachoma.

Menurut Purwaka Hadi (2007 : 13) ketunanetraan dari golongan ringan sampai berat dapat juga disebabkan oleh faktor yang lain, yaitu : a. Penyakit sistematik, misalnya : diabetes mellitus, hipertensi,

opthalmopati endokrin, penyakit infeksi.

b. Dari segi medis dan kebidanan, misalnya : kelainan genetik, infeksi pada prenatal - natal dan post natal, malnutrisi saat dalam kandungan, trauma persalinan, obat-obatan dan radiasi.

45

c. Penyakit pada waktu anak-anak, misalnya : kekurangan vitamin A, diare, panas tinggi, morbili dan radang otak.

d. Trauma fisik mengenai mata, misalnya : terkena cairan kimia, terbakar api dan tertusuk.

e. Infeksi oleh virus, bibit penyakit yang dibawa serangga, jamur yang menyerang selaput mata.

f. Degenerasi atau penurunan anatomis fisiologi yang berakibat gangguan pada organ mata dan fungsi penglihatannya, misalnya pada kasus macula degeneresis, retino blastoma, kemunduraan kekuatan lensa karena usia tua.

3. Klasifikasi Ketunanetraan

Menurut kemampuan melihat, tunanetra (visual impairment) dapat dikelompokkan pada (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 18) :

a. Buta (blind), ketunanetraan jenis ini terdiri dari :

1) Buta total (totally blind) adalah mereka yang tidak dapat melihat sama sekali baik gelap maupun terang.

2) Memiliki sisa penglihatan (residual vision) adalah mereka yang masih bisa membedakan antara terang dan gelap.

b. Kurang Penglihatan (low vision), jenis-jenis tunanetra kurang lihat, yaitu :

1) Light perception, apabila hanya dapat membedakan terang dan gelap.

46

2) Light projection, tunanetra ini dapat mengetahui perubahan cahaya dan dapat menentukan arah sumber cahaya.

3) Tunnel vision atau penglihatan pusat, penglihatan tunanetra adalah terpusat (20) sehingga apabila melihat objek hanya terlihat bagian tengahnya saja.

4) Periferal vision atau penglihatan samping, sehingga pengamatan terhadap benda hanya terlihat bagian tepi.

5) Penglihatan bercak, pengamatan terhadap obyek ada bagian-bagian tertentu yang tidak terlihat.

Menurut WHO (dalam Lay Kekeh Marthan, 2007 : 59) masalah penglihatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta (blind) dan lemah penglihatan (low vision). Anak yang buta tidak dapat belajar dengan menggunakan penglihatan dan karena itu menggunakan indera lain sebagai penggantinya misalnya melalui pendengaran dan perabaannya (taktil). Anak yang lemah penglihatannya masih dapat belajar dengan memanfaatkan sisa penglihatannya. Anak buta belajar membaca dan menulis dengan huruf braille, sedangkan anak yang lemah penglihatannya dapat belajar membaca dan menulis dengan huruf-huruf yang dibesarkan ukurannya.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan maka dapat diketahui bahwa klasifikasi ketunanetraan itu ada dua, yaitu buta (blind) dan kurang penglihatan (low vision).

47 4. Karakteristik Tunanetra

Ketunanetraan yang dihadapi oleh seseorang menyebabkan terjadinya keterbatasan dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya. Kekurangan bahkan kehilangan fungsi penglihatan yang dialami tunanetra mengakibatkan mereka memiliki ciri-ciri khusus atau karakteristik tertentu yang penting untuk dipahami dalam memberikan layanan pendidikan yang sesuai bagi anak tunanetra. Karakteristik tersebut antara lain :

a. Karakteristik Kognitif

Kemampuan mengingat seorang tunanetra cenderung lebih baik daripada kemampuan berpikir konseptualnya. Menurut Suppas (dalam Mega Iswari, 2007 : 52) hambatan kognitif yang terjadi pada tunanetra dapat dikaitkan pada kenyataan sederhana sehingga mereka kurang informasi dan tertinggal dalam kuantitas informasi yang disalurkan melalui indera tersebut.

Pada dasarnya kondisi kecerdasan anak tunanetra tidak berbeda dengan anak normal umumnya. Apabila diketahui kondisi kecerdasan anak tunanetra lebih rendah dari anak normal (awas, melihat) pada umumnya hal tersebut disebabkan karena anak tunanetra mengalami hambatan persepsi, berpikir secara komprehensif dan mencari rangkaian sebab akibat (Mohammad Efendi, 2006 : 44).

48 b. Karakteristik Sosial dan Emosional

Kemampuan untuk bersosialisasi anak tunanetra sama dengan anak awas. Kelambatan dalam perkembangan sosial anak tunanetra, banyak disebabkan karena sikap, perlakuan, dan reaksi-reaksi orangtua, keluarga, teman sebaya dan masyarakat pada umumnya sebagai konsekuensi dari kecacatan mata yang diderita. Cutsforth (dalam Tin Suharsimi, 2009 : 77) menekankan bahwa kekurangmampuan menyesuaikan diri pada anak tunanetra disebabkan karena perlakuan-perlakuan masyarakat kepada anak tunanetra. Kurangnya kontak sosial menyebabkan anak tunanetra lebih canggung dalam bergaul dengan lingkungan anak-anak awas.

Kelambatan dalam perkembangan sosial juga disebabkan karena ketidakmampuan anak tunanetra untuk menerima dan merespon rangsang visual. Kurangnya rangsang visual ini kadang dapat menimbulkan persepsi yang salah. Persepsi yang salah tentang lingkungan sosialnya dapat menghambat perkembangan sosialnya.

Menurut Purwaka Hadi (2007 : 24) tunanetra sering menunjukan kepribadian yang kaku, kurangnya ekspresi dan gerak-gerik muka sehingga memberikan kesan kekakuan pada wajah, kekakuan dalam gerak tubuh dan tingkah laku serta melakukan adatan (blindsm). Untuk tunanetra total sering merasa khawatir dan takut terhadap lingkungan, sedangkan untuk tunanetra dengan sisa penglihatan (low

49

vision) sering timbul perasaan rendah diri karena sisa penglihatannya tidak mampu diperlihatkan sebagaimana anak awas.

c. Karakteristik Perilaku

Heather Mason dkk, 1999 (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 35) menemukan bahwa diantara tingkah laku yang kurang pantas dilakukan oleh tunanetra berupa mengedip-kedipkan dan menggoyang atau memutar mata. Hal semacam itu banyak dilakukan oleh penyandang tunanetra dalam bentuk tingkah laku fisik yang lain, misalnya : mengoyang-goyangkan tubuh maju mundur atau kanan kiri silih berganti, memutar badan ke kanan dan ke kiri terus menerus, dan bertepuk-tepuk tangan. Munculnya perilaku ini disebabkan karena tunanetra tidak menerima rangsangan secara visual sehingga ia akan melakukan kegiatan yang dapat menghilangkan kebosanannya.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan maka dapat diketahui bahwa karakteristik pada anak tunanetra dapat dilihat dari kognitif, sosial dan emosional serta perilaku. Karakteristik kognitif tunanetra antara lain kemampuan mengingat seorang tunanetra cenderung lebih baik dari pada kemampuan berpikir konseptualnya. Karakteristik sosial dan emosional tunanetra sering menunjukan kepribadian yang kaku, kurangnya ekspresi dan gerak-gerik muka, kekakuan tubuh dan tingkah laku. Sedangkan karakteristik perilaku yang sering mucul adalah mengedip-kedipkan dan menggoyang atau memutar mata.

50 5. Keterbatasan Tunanetra

a. Keterbatasan dalam segi fungsi kognitif

Lowenfeld, 1981 (dalam Purwaka Hadi, 2007 : 37) mengemukakan tiga hambatan dalam perkembangan kognitif pada anak tunanetra, yaitu : 1) pada tingkat dan macam pengalaman, 2) kemampuan untuk bergerak atau dinamis, 3) kontrol pada lingkungannya. Anak yang mengalami ketunanetraan diasumsikan mengalami kesulitan asimilasi dan akomodasi pada taraf pra konsep, karena pengalaman mengenai lingkungan terbatas, kesulitan melakukan hubungan langsung dengan obyek, pengamatan dengan perabaan, kesempatan yang terbatas untuk memperluas kemampuan bahasa disebabkan oleh pengalaman dasarnya.

b. Keterbatasan gerak, orientasi dan mobilitas

Kesulitan melakukan gerak pada tunanetra mengakibatkan kesulitan tuanetra untuk melakukan mobilitas di lingkungan sekitar. Kurangnya mobilitas lingkungan berdampak pada kurangnya informasi, pesan dan pengalaman yang diperoleh.

c. Keterbatasan interaksi dengan lingkungan

Tunanetra yang tergolong buta dalam penguasaan medan kurang atau bahkan tidak mampu menguasai lingkungan jarak jauh, sehingga pada dirinya sering timbul perasaan takut, cemas dan khawatir dalam menghadapi lingkungannya. Perasaan ini akhirnya dapat menyebabkan tunanetra menjadi frustasi, kesulitan percaya diri, lebih

51

suka menyendiri atau mengasingkan diri, dan kesulitan dalam mengadakan hubungan sosial.

Dokumen terkait