• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuntutan Kenaikan Upah dari Serikat Buruh

BAB IV AVROS PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA

4.2 Kondisi AVROS dan Masalah-Masalah yang Muncul Pasca

4.2.2 Tuntutan Kenaikan Upah dari Serikat Buruh

180

, serikat buruh berhaluan kiri dan anti imperialis serta sangat gigih dalam mendukung cita-cita Republik Indonesia. Kemudian dibentuk pula Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI). Pada perkembangannya, serikat-serikat buruh tidak lagi hanya berada di Jawa, di Sumatera Timur pada tahun 1949, serikat-serikat buruh terus bermunculan dengan jumlahnya yang hampir 50 serikat buruh yang terbentuk hanya dalam waktu enam bulan.181

Tidak hanya berasal dari buruh-buruh perkebunan, serikat-serikat buruh ini juga terbentuk dari para karyawan kereta api, telepon, maupun truk, antara lain Ikatan

179

Ibid.,hlm.202.

180

SOBSI adalah serikat buruh terkuat dan terbesar di Indonesia pada tahun 1950-an, jumlah anggota SOBSI mencapai 2,5 juta orang dan meliputi 34 serikat buruh. Kondisi sosial ekonomi buruh di Indonesia mulai dari masa kolonial sampai masa reformasi. Barok-barok.com/2013/03/Kondisi-sosial-ekonomi-buruh-di.html.diunduh pada tanggal, 15 Agustus 2014.

181

Pegawai Perkebunan Republik Indonesia (IPPRI), Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (OBSI), Persatuan Buruh Motor (PBM), Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII), Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI), Organisasi Buruh Perkebunan Indonesia (OBPI), Persatuan Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Perbupri), Serikat Buruh Perkebunan (SBP), Serikat Buruh Pengawas Perkebunan (SBPP), dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor (SBKB).182

Pembentukan serikat-serikat buruh ini bukanlah tanpa sebab, dengan adanya serikat-serikat buruh ini, maka mereka dapat melakukan pemogokan kerja untuk menuntut perbaikan taraf kehidupan mereka yang sejak masa kolonial tidak mengalami peningkatan.Serikat buruh menyadari bahwa walaupun para pengusaha memiliki kekayaan yang berlimpah maupun alat-alat yang lengkap dan canggih untuk produksinya, tetapi tanpa adanya tenaga buruh maka proses produksi mereka tidak akan berjalan sehingga hal ini dijadikan alat bagi buruh untuk menuntut keinginan mereka.183

182

Panitya Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat, P4/M/56/4699, dalam Inventaris P4-7752

AVROS No. 306, hlm. 1.

183

T.Keizerina Devi, Poenale Sanctie: Studi tentang Globalisasi Ekonomi Dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), Medan: Program Pascasarjana Sumatera Utara, 2004, hlm. 374.

Tahun 1950-an merupakan masa-masa kemenangan yang nyata bagi buruh. Sejak tahun 1950 pemogokan yang dilakukan oleh para serikat buruh ini berkembang pesat, apalagi hal ini didukung pula oleh mandat yang diberikan oleh pemerintah yang menjamin hak untuk berkumpul, berserikat maupun melakukan

mogok. Aksi-aksi mogok ini dilakukan dengan cara bekerja lambat dan aksi duduk-duduk atau tidak bekerja sama sekali.184

Pada tahun yang sama sebanyak 700.000 buruh perkebunan yang ada di Jawa maupun Sumatera dikerahkan untuk melakukan pemogokan yang dipimpin SARBUPRI.185 Sedangkan di Sumatera Timur aksi mogok yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh ini menyebabkan terhambatnya distribusi barang. Maka dari itu pemerintah meminta bantuan pada AVROS maupun DPV untuk mengerahkan buruh-buruh dari berbagai perkebunan yang merupakan anggotanya dan tentuya masih mau bekerja untuk menurunkan bahan-bahan makanan yang masih tertumpuk di gudang penyimpanan.186

Pemogokan yang terjadi selama tahun 1950 telah menimbulkan kerugian besar yang tidak hanya dialami oleh pengusaha perkebunan tetapi juga bagi Pemerintah Republik Indonesia. Mentri Perburuhan Wilopo menyatakan kerugian yang diderita mencapai hingga 30.000.000 gulden.187

184

Stoler, op.cit., hlm. 219-220.

185

Yoko Hayashi, , “Agencies and Clients: Labour Recruitment in Java 1870s-1950s”, dalam

Clara Working Paper, No. 14, hlm.34.

186

Devi, op.cit., hlm. 376.

187

Ibid., hlm. 389.

Maka untuk meredam aksi-aksi mogok yang merugikan ini, para panglima daerah militer mengeluarkan larangan pemogokan di daerah yang masuk dalam tanggung jawab kekuasaannya. Kemudian pada Februari 1951, larangan mogok ini diperkuat dengan digantinya larangan mogok

daerah menjadi larangan mogok secara nasional yang dikeluarkan langsung oleh Departemen Pertahanan. Larangan mogok ini diberlakukan bagi industri yang bersifat vital, dimana industri perkebunan juga termasuk didalamnya. Dikeluarkannya larangan mogok ini oleh pemerintah ternyata tidak serta merta membuat buruh takut dan berhenti mogok, karena beberapa bulan setelah larangan mogok ini dikeluarkan, kembali terjadi pemogokan dalam jumlah yang besar.188

Aksi mogok yang tetap dilakukan oleh serikat-serikat buruh membuat dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No.16 (ketetapan kabinet yang dikeluarkan ini tanpa terlebih dahulu melalui persetujuan parlemen) pada September 1951. Undang-undang ini menentukan adanya masa “penenangan” selama tiga minggu antara serikat-serikat buruh dalam menyatakan kehendaknya untuk mogok dengan saat pemogokannya sendiri. Selain itu, undang-undang ini juga menetapkan suatu sistem arbitrase wajib untuk mengolah semua masalah perselisihan perburuhan yang terjadi. Penetapan sistem arbitrasi wajib ini dilakukan dengan membentuk Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah (P4D) yang anggotanya diangkat oleh Departemen Perburuhan. Bila dilihat, mungkin sistem perundingan ini seperti sistem perundingan langsung antara buruh dan manajemen, namun pada kenyataannya pihak manapun yang kalah pada perundingan ini harus menaati keputusan dari panitia pemerintah ini. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa hasil akhir dari perundingan ini merupakan keputusan dari arbitrasi wajib dan

188

bukan karena adanya negosiasi secara kolektif. Walaupun dalam pelaksanaannya mendapat perlawanan dari serikat-serikat buruh, namun undang-undang ini tetap berlaku hingga 1957.189 Perlawanan ini muncul karena menurut serikat buruh keputusan yang dikeluarkan oleh P4P maupun P4D, tetap saja lebih berpihak pada pengusaha.190

Sementara aksi mogok terus terjadi, industri perkebunan juga harus tetap menjalankan produksinya. Namun, akibat dari aksi mogok ini adalah semakin sedikitnya jumlah buruh yang bersedia bekerja di perkebunan. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh di perkebunan, maka AVROS tetap melakukan perekrutan buruh dari Jawa dengan menggunakan jasa VEDA yang nantinya akan disalurkan kepada anggota AVROS.191

Pada tahun 1956, serikat-serikat buruh ini kembali mengajukan tuntutan kenaikan upah yang akhirnya menjadi perselisihan antara serikat buruh yang terdiri dariIPPRI, OBSI, PBM, SBII, KBKI, OBPI, Perbupri, SBP, SBPP,SBKB, Sarbupri dengan AVROS yang menjadi perwakilan dari perusahaan-perusahaan. Buruh yang tergabung dalam serikat buruh ini menuntut perbaikan taraf kehidupan mereka. Para buruh ini mengemukakan bahwa upah yang diberikan oleh perkebunan pada saat itu sudah tidak lagi sesuai bila dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus mereka

189

Ibid.

190

“Tuntutan Sarbupri Adil, Tetapi ALS dan AVROS Menolak dengan Alasan jang Ditjari-Tjari”, SARBUPRI, Maret 1957.

191

keluarkan. Ketidaksesuaian ini terjadi karena pada saat itu biaya hidup semakin meningkat.192

Menurut para buruh, sebenarnya pihak maskapai perkebunan masih mampu untuk memenuhi kenaikan upah yang dituntut oleh serikat buruh, karena pihak perkebunan sendiri telah menarik keuntungan yang berlimpah dari hasil produksi perkebunan-perkebunan yang ada. Selain itu, dengan dibatalkannya persetujuan KMB yang telah membuat Belanda memiliki hak-hak istimewa di Indonesia, seharusnya dapat memberikan perbaikan taraf kehidupan para buruh perkebunan.193

Pihak pengusaha perkebunan yang diwakili oleh AVROS dalam hal ini mencoba untuk menjelaskan bahwa pada saat itu keadaan dari perusahaan-perusahaan budidaya sedang mengalami kerugian. Kerugian ini disebabkan oleh kenaikan harga pokok yang terjadi sejak tanggal 1 Juni 1955, sehingga perkebunan tidak dapat menaikkan upah untuk buruh. Pada saat itu, upah yang diterima oleh buruh terdiri dari dua macam, yaitu upah berupa uang dan upah berupa catu atau natura.194

Pada tahun 1956, AVROS menetapkan upah terendah bagi buruh yang telah berkeluarga dan memilki dua orang anak dalam bentuk uang sebesar 4,25 rupiah dan catu (natura) sebesar 6,24 rupiah, sehingga jumlah seluruhnya 10,49 rupiah. Jumlah

.

192

Panitya Penjelesaian Perselisihan…, op.cit., hlm. 1-2.

193

Ibid.,hlm.2.

194

upah ini akan ditambahkan dengan santunan-santunan sosial yang diberikan kepada para buruh, sehingga upah bruto yang diterima oleh buruh berjumlah Rp. 16,24.195

1. Kenaikan upah 1 Djuni 1955 hanja untuk setengah bahagian

memberatkan exploitasi 1955.

AVROS memberikan alasan yang menjadi faktor penyebab kenaikan biaya pokok pada tahun 1956 yang kemudian menjadi lebih tinggi dari tahun 1955, antara lain:

2. Kenaikan sangat harga barang-barang impor disebabkan T.P.I. jang

dinaikkan dalam tahun 1955 akan tetapi memberatkan exploitasi 1956.

3. Kenaikan biaja-biaja pengangkutan kapal dan urusan pelabuhan.196

Peningkatan biaya pokok yang terjadi sejak tahun 1955 juga mempengaruhi kenaikan biaya untuk melakukan pemudaan pada tanaman perkebunan dan penanaman modal. Selain kenaikan-kenaikan biaya pokok yang terjadi di dalam negeri, perkembangan harga pasaran dunia untuk hasil produksi perkebunan pada saat itu juga masih sangat mengkhawatirkan. Para pengusaha yang diwakili oleh AVROS menganggap bahwa jumlah upah maupun santunan yang diberikan kepada buruh sudah dapat dikatakan relatif tinggi. Sedangkan untuk upah natura, pengusaha memberikan pendapatnya agar sejumlah natura yang diberikan dapat dihapuskan,

195

Ibid., hlm.2-3.

196

sehingga natura yang diberikan kepada buruh berupa beras, gula, dan minyak kelapa. Kemudian untuk upah natura lainnya dapat diganti dengan uang.197

Penggantian sebahagian upah natura dengan uang ini dimaksudkan untuk lebih menghemat biaya pengeluaran pengusaha perkebunan. Kenaikan biaya pokok yang terjadi pada saat itu telah berimbas pada kenaikan harga pangan, sehingga setiap harga naik maka pengusaha harus menambah pengeluaran untuk pembelian natura tersebut. Tetapi jika digantikan dengan uang, maka pengusaha akan memberikan sejumlah uang yang nantinya akan ditentukan besarnya. Dengan cara ini pengusaha tidak perlu lagi khawatir untuk menambah biaya pembelian upah natura saat harga-harga pokok sedang naik.198

Salah satu jenis upah natura yang harus dipertimbangkan kembali adalah ikan asin dan teh. Pemberian ikan asin dan teh sebagai upah natura bagi buruh perkebunan telah banyak menimbulkan perselisihan di perkebunan. Selisih paham ini terjadi karena terkadang pihak perkebunan memberikan ikan asin dan teh dengan kualitas yang kurang baik, terutama pada saat harga bahan-bahan sedang membumbung tinggi. Tidak hanya karena kualitas produk yang diberikan kurang baik, tetapi juga terkadang ikan asin dan teh yang diberikan oleh perkebunan,tidak dikonsumsi sendiri oleh buruh. Mereka kerap kali menjual kembali ikan asin dan teh tersebut. Maka atas

197

Ibid., hlm. 4.

198

dasar ini, pemberian upah natura berupa ikan asin dan teh perlu untuk dihapuskan dan digantikan dengan uang.199

Perselisihan yang terjadi antara buruh dan pengusaha ini, kemudian dibahas oleh Panitya Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Pada tanggal 2 sampai 6 Mei 1956, P4P mengumpulkan segala keterangan mengenai perselisihan ini dari para buruh dan para pengusaha perkebunan yang terhimpun di dalam AVROS. Setelah mendapatkan keterangan-keterangan yang dibutuhkan, maka P4P kemudian mengeluarkan surat keputusan tanggal 9 April 1956 No. P4/M/56/4381. Bersamaan dengan itu, Menteri Perburuhan juga mengeluarkan surat keputusan tanggal 9 April 1956 No. P4/56/4382 E.200

1. Bahwa dari perbandingan upah buruh perkebunan Sumatera Utara

dengan buruh perkebunan dilain daerah, njata bahwa pengupahan upah buruh perkebunan di Sumatera Utara serta jaminan sosialnya adalah lebih baik, sedang jika dibandingkan dengan pengupahan di sektor lain maka perbandingan itu tidaklah menjolok mata dan adalah lajak.

Hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh P4P menyatakan bahwa:

2. Bahwa walaupun tidak dapat disangkal, bahwa taraf penghidupan

ada meningkat, tetapi hal tersebut sebahagian tertampung oleh kenjataan, bahwa upah bruto perkebunan terdiri dari upah uang pemberian tjatu jang nilainya lebih tinggi, dalam hal mana tiap kenaikan harga tjatu harus ditanggung Pengusaha.

3. Bahwa tidak dapat disangkal, bahwa biaja pokok hasil perkebunan

pada saat ini semakin meningkat jika dibandingkan dengan tahun 1955, sedang harga-harga pendjualan dichawatirkan menurun

199

Ibid.hlm. 4-5.

200

4. Bahwa kenaikan biaja pokok pada saat ini sukar dilakukan dengan kenaikan upah tanpa kemungkinan kesulitan-kesulitan perusahaan makin bertambah.

5. Bahwa karena itu tuntutan kenaikan upah seperti yang dikemukakan

buruh-buruh pada saat ini tidak dapat dikabulkan.201

Untuk sektor upah, P4P telah menetapkan jumlah upah yang dibayarkan oleh pihak perngusaha kepada buruh perkebunan. Upah yang diberikan dapat berupa uang (upah harian atau bulanan) maupun natura yang terdiri dari beberapa jenis barang.202

1. Upah Harian

a. Buruh jang berumur dibawah 17 tahun dan belum kawin: Rp.

3,80 sehari.

b. Buruh laki atau wanita yang berumur 17 tahun keatas dan belum

kawin: Rp. 4,80 sehari.

c. Buruh wanita jang telah bersuami: Rp. 4,80 sehari.

d. Buruh harian terendah jang telah kawin atau mempunjai keluarga

(anak): 5,30 sehari.

e. Buruh harian laki/wanita jang mempunjai upah uang diatas upah

terendah, mendapat kenaikan upah uang untuk tiap hari Rp. 0,55 djika wanita jang bersuami atau ladjang dan Rp. 1,05 djika berkeluarga.

2. Upah Bulanan

a. Upah buruh bulanan laki/wanita jang tidak kawin dinaikkan : Rp.

16,50 sebulan.

b. Upah buruh bulanan laki /wanita jang kawin atau mempunjai

keluarga (anak) dinaikkan Rp. 31,50 sebulan.203

3. Upah Berupa Natura

Disamping upah seperti pada nomor 1 dan 2, buruh harian dan bulanan menerima tiap bulan pentjatuan berupa bahan dan sjarat-sjarat sebagai berikut:204

201 Ibid.hlm.4. 202 Ibid., hlm. 8. 203 Ibid. 204 Ibid., hlm. 9

Jenis barang Pekerja pria/ wanita

Istri/ suami yang tidak bekerja, maksimal satu orang Tiap anak Beras 18 kg. 12 kg. 9 kg. Gula 1 kg. ½ kg. ¼ kg. Garam ½ kg. ¼ kg. ¼ kg.

Minyak Goreng 2 ½ botol ½ botol ½ botol

Minyak Tanah 4 botol _ _

Sabun cuci 3 batang _ ½ batang

Tekstil 2 meter 1 meter 1 meter

Susu kaleng _ _ 1 kaleng

Kacang hijau ½ kg. _ _

Sumber : Panitya Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat, P4/M/56/4699

1 batang sabun = 400 gram; 1 botol= 600cc

, P4-7752

Dalam Inventaris AVROS No. 306, hlm.9.

Pembagian natura ini telah ditentukan waktu-waktu untuk pembagiannya. Untuk pembagian beras akan dibagikan 2 kali dalam satu bulan, dan untuk pembagian barang lainnya akan dibagikan selambat-lambatnya 10 hari setelah penutupan buku upah dari bulan tersebut. Natura dalam bentuk susu hanya akan diberikan kepada anak-anak yang usianya di bawah 10 tahun. Sedangkan untuk biaya tekstil tidak

sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha, melainkan 30% harga pokoknya akan dibayar oleh buruh dan 70% lagi akan dibayar oleh pihak pengusaha.205

1. Dilarangnja memberi pekerdjaan kepada buruh wanita didalam

tanah, sewaktu malam hari, dan lainnya.

Selain menuntut kenaikan upah, buruh yang tergabung kedalam serikat buruh ini juga memperjuangkan hak-hak untuk buruh wanita. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan peraturan yang melindungi kaum buruh wanita. Isi dari peraturan ini, sebagai berikut:

2. Tjuti besar bagi buruh wanita jang hamil dengan upah penuh selama

1 ½ bulan sebelum dan 1 ½ bulan sesudah melahirkan.

3. Istirahat pada hari pertama dan kedua haidh.

4. Tidak adanya perbedaan upah bagi pekerdjaan yang sama.206

Disamping pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk hak buruh wanita, SARBUPRI sendiri telah mengadakan perjanjian perburuhan dengan pihak pengusaha perkebunan untuk memberikan tempat-tempat penitipan bayi dan anak, tempat-tempat untuk melahirkan, dan pemberian susu bagi anak. Peraturan-peraturan maupun perjanjian yang telah dibuat terdengar sangat bagus, namun sebenarnya dalam pelaksanaannya masih banyak sekali yang belum sesuai.207

Kesemuanja ini sangat bagus djika didengar, serta tertulis diatas kertas. Pelaksanaannja masih belum kesemuanja beres. Pertama oleh si

Hal ini terlihat dari pernyataan sebagai berikut:

205

Ibid.

206

“Menggalang Persatuan Untuk Melaksanakan Hak Buruh Wanita”, SARBUPRI, 5 januari 1956.

207

madjikan pasti tidak akan dilaksanakan begitu sadja djika tidak didesak. Kedua, djika buruh wanita sendiri tidak mengetahui akan hak2nya maka tiap pelaksanaan dari pada djaminan2 itu dianggap sebagai kebaikan madjikan, sehingga mengurangi semangat perdjuangannya. Ketiga, dalam madjikan melaksanakan hak-hak buruh wanita itu, dia mentjari

akal, bagaimana dapat menggrowoti hak-hak tersebut…..208

Pada tanggal 25 Februari 1957, SARBUPRI mengadakan perundingan dengan AVROS mengenai pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 1957 yang diajukan oleh pihak SARBUPRI. Tidak hanya AVROS, SARBUPRI juga mengadakan perundingan dengan tuntutan yang sama dengan pihak ALS pada tanggal 5 Maret 1957. Pada tahun sebelumnya buruh perkebunan mendapatkan THR hanya sebesar ½ bulan gaji. Keputusan untuk memberikan THR sebesar ½ bulan gaji ini diambil oleh P4P. Selain buruh dari perkebunan jenis tanaman keras, perkebunan tembakau juga mengalami hal yang sama.209

Untuk pemberian THR tahun 1957, SARBUPRI meminta kenaikan pembayaran istimewa ini sebesar satu bulan upah bruto dengan minimum Rp. 100,- dan untuk ALS yang buruhnya tidak mendapatkan tekstil, maka harus ditambahkan dengan bantuan sebesar Rp.50,-. Namun, seperti biasa para pengusaha selalu memberikan alasan yang sama, antara lain kenaikan biaya eksploitasi, kesulitan-kesulitan karena peraturan keuangan pemerintah, kerugian yang dialami oleh perkebunan serat dan kopi, dan alasan-alasan lainnya. Dari pihak AVROS sendiri,

208

Ibid.

209

“Buruh Perkebunan Tembakau Sumatera Utara Juga Setengah Bulan Gaji”, SARBUPRI,

sebenarnya hanya bersedia memberikan THR kepada buruh sebesar setengah bulan gaji dan ALS hanya bersedia untuk memberikan pinjaman saja kepada buruh.210

Menurut SARBUPRI alasan-alasan yang dikemukakan oleh para pengusaha, seperti produksi yang merosot sedangkan biaya produksi semakin meningkat ditambah lagi dengan harga untuk tanaman komersial perkebunan di tingkat internasional yang belum dapat dipastikan, hanyalah sebuah lagu lama. Alasan-alasan ini sudah sangat sering dikemukakan oleh para pengusaha. Sejak para pengusaha menerima kembali pengembalian perkebunan-perkebunan mereka yang terjadi akibat dari disetujuinya isi dari KMB, sebenarnya perkebunan sudah mengalami banyak keadaan yang berlain-lainan. Pihak pengusaha tidak lagi memperhatikan pemeliharaan kebun. Mereka hanya berpikir bagaimana agar mereka dapat mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya dari perkebunan.211

Dengan perlakuan yang demikian, tidak heran jika banyak perkebunan yang mengalami kerusakan dan kapasitasnya juga semakin berkurang. Perkebunan yang telah rusak ini kemudian tidak langsung diperbaharui dengan melakukan penanaman baru tetapi malah ditelantarkan atau dijual ke pengusaha nasional. Dengan adanya hal-hal seperti ini, perkebunan mengalami penurunan volume produksi.212

210

“Perundingan THR 1957 Buntu Sarbupri Akan Beraksi Terhadap ALS cs- AVROS-PPN”,

SARBUPRI, Maret 1957. 211 Ibid. 212 Ibid. Berikut

merupakan tabel untuk produksi perkebunan besar milik rakyat maupun asing di Indonesia.

Tabel III : Produksi Perkebunan Besar Milik Rakyat dan Asing di Indonesia Jenis Tanaman 1950 1951 1952 1953 1954 1955 1956 Karet 178.876 226.383 299.387 306.782 285.854 266.173 262.506 Teh 223.197 34.028 30.597 30.968 35.486 43.490 42.570 Kopi 11.111 12.055 13.248 21.847 14.196 15.832 12.746 Kina 5.708 9.080 3.803 1.115 1.770 2.644 2.236 Coklat 875 908 806 1.220 1.162 1.219 1.468 Minyak kelapa - - - - Sawit 126.491 121.147 146.351 160.606 168.606 165.832 164.892 Biji kelapa Sawit 30.775 29.965 38.647 42.377 43.319 41.940 41.368 Serat/sisal 7.025 16.581 32.182 27.435 30.733 35.560 35.327 Sumber : “Tuntutan Sarbupri Adil, Tetapi ALS dan AVROS Menolak dengan Alasan jang Ditjari-Tjari”, SARBUPRI, Maret 1957.

• Besar produksi perkebunan dalam satuan ton.

Menurut SARBUPRI keterangan pada tabel diatas merupakan angka-angka untuk jumlah keseluruhan yang bahkan meliputi kebun produksi rakyat yang sudah terlantar. Dari angka-angka ini, SARBUPRI menjelaskan bahwa bila diperhatikan

jumlah kebun yang sudah tidak dikerjakan oleh ALS maupun AVROS pada saat itu, maka produksinya tidak menurun. Apabila dibandingkan dengan jumlah kebun yang sedang dikerjakan pada saat itu dan tahun-tahun yang lalu, maka setidaknya produksi dari perkebunan-perkebunan ini tetap. Jadi apa yang dikatakan oleh ALS maupun AVROS bahwa merosotnya produksi perkebunan disebabkan oleh buruh yang tidak bekerja dengan baik merupakan suatu kebohongan untuk menutupi maksud yang sebenarnya yaitu untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk persoalan THR, SARBUPRI berpendapat bahwa bila dilihat dari produksi karet tahun 1955 dan 1956 yang hanya mengalami penurunan sebesar 1,3%, maka tidak sepantasnya bagi para pengusaha untuk mengurangi pemberian THR apalagi sampai menolak seluruhnya.213

Setiap kali SARBUPRI ingin melakukan pertemuan untuk merundingkan masalah pemberian THR tahun 1957, pihak AVROS maupun ALS selalu mengelak. Hal ini membuat beberapa serikat buruh yang terdiri dari SBII, SARBUPRI, SOBSI, dan PERBUPRI memutuskan untuk melakukan pertemuan dengan Menteri Perburuhan yang pada saat itu dipegang oleh Sabilalrasjad. Dari hasil pertemuan tersebut, Menteri Perburuhan menyatakan bahwa sidang-sidang mengenai hal ini sedang dilangsungkan dan akan segera dikeluarkan hasilnya. Menteri juga

213

memungkinkan adanya perubahan dari tahun 1956 mengenai jumlah pembayaran THR yang diterima buruh akan lebih baik.214

Beberapa waktu kemudian, P4P mengeluarkan keputusan untuk pembayaran THR tahun 1957. Walaupun pada saat itu keputusan yang dikeluarkan oleh P4P sudah lebih baik, namun keputusan ini dianggap belum memuaskan oleh SARBUPRI. SARBUPRI menilai seharusnya P4P dapat memberikan keputusan yang lebih baik dan lebih berpihak kepada buruh.215

Sedikitnya sumber maupun minimnya pembicaraan mengenai perekrutan buruh pasca kemerdekaan, telah memperlihatkan bahwa aktivitas AVROS dalam merekrut buruh melalui VEDA selama pasca kemerdekaan mengalami penurunan yang dimulai sejak 1952 dan berakhir pada tahun 1958. Hal ini dapat dilihat dari angka-angka perekrutan yang dimulai sejak tahun 1952 VEDA merekrut sebanyak 14.424 buruh, tahun 1953 merekrut sebanyak 2.984 buruh, tahun 1954 sebanyak 2.178 buruh, tahun 1955 sebanyak 6.170 buruh, tahun 1956 sebanyak 4.904, dan tahun 1957 sebanyak 1.342.216 Hal ini disebabkan oleh para pengusaha yang pada saat itu lebih fokus pada cara untuk menghambat gerakan maupun aksi-aksi radikal yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh daripada melakukan perekrutan buruh.217

214

“Delegasi Pusat SBII-Sarbupri-SOBSI-SOBRI dan Perbupri menghadap Menteri Perburuhan”, SARBUPRI, Mei 1957.

215

“Bisa Lebih Baik Lagi”, SARBUPRI, Mei 1957.

216

Hayashi, op.cit.,hlm. 38.

217

4.3 Meleburnya DPV ke dalam AVROS

Pasca Indonesia merdeka, AVROS maupun DPV banyak sekali menghadapi masalah-masalah yang ada di dalam perkebunan. Salah satunya adalah masalah yang berasal dari lahan dan buruh. Untuk menghadapi permasalahan-permasalahan ini, maka di ambil suatu langkah awal yaitu meleburkan DPV beserta seluruh anggotanya

Dokumen terkait