• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Antagonis Isolat Bakteri Kitinolitik terhadap Sclerotium rolfsii

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Uji Antagonis Isolat Bakteri Kitinolitik terhadap Sclerotium rolfsii

Hasil uji antagonis 6 isolat bakteri kitinolitik (BK13, BK15, BK17, KR05, LK08, PB17) terhadap S. rolfsii menunjukkan bahwa ada 5 isolat yang mampu menghambat pertumbuhan S. rolfsii dengan kemampuan yang bervariasi. Kelima isolat tersebut diantaranya BK15, BK13, BK17, KR05 dan PB17. Bentuk zona hambat tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2.1 di bawah ini:

Gambar 4.2.1 Uji antagonis S. rolfsii dengan bakteri kitinolitik (a) KR05, (b)

LK08, (c) PB17, (d) BK13, (e) BK15, (f) BK17 dan (g) zona hambat

Penghambatan bakteri kitinolitik terhadap pertumbuhan S. rolfsii mulai dapat diamati pada hari kedua. Hal ini ditandai dengan adanya zona hambat disekitar daerah tumbuhnya hifa jamur yang menunjukkan adanya aktivitas hidrolisis oleh kitinase terhadap dinding sel jamur. Zona hambat ada yang terus bertambah dan ada pula yang semakin berkurang hingga hari ketujuh. Hal ini bisa disebabkan oleh jenis strain bakteri, jumlah senyawa antimikroba yang dihasilkan, konsentrasi dan kualitas senyawa antimikroba serta adanya mekanisme penghambatan yang berbeda dari jamur patogen. Hasil uji antagonis keenam isolat bakteri kitinolitik tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.5.1.

17

Tabel 4.2.1 Uji Antagonis antara Baketri Kitinolitik denganSclerotium rolfsii

Isolat Bakteri Radius zona hambat (cm) hari ke-

2 3 4 5 6 7 Bacillus sp. BK13 0,65 1,95 3,15 3,65 3,75 3,75 Enterobacter sp. BK15 0,45 2,00 2,75 3,65 3,70 3,70 Bacillus sp. BK17 0,00 0,25 0,00 0,00 0,00 0,00 Enterobacter sp. KR05 0,20 0,85 0,00 0,00 0,00 0,00 Enterobacter cloacae LK08 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Enterobacter sp. PB17 0,00 0,10 0,00 0,00 0,00 0,00

Isolat yang menunjukkan penghambatan paling besar terhadap Sclerotium rolfsii pada hari ketujuh ialah isolat Bacillus sp. BK13 dengan zona hambat sebesar 3,75 cm dan Enterobacter sp. BK15 dengan zona hambat sebesar 3,70 cm. Isolat BK17, KR05 dan PB17 hanya mampu menghambat hingga hari ketiga dengan zona hambat secara berturut-turut yaitu 0,25 cm, 0,85 cm dan 0,1 cm. Setelah hari ketiga, BK17, KR05 dan PB17 tidak memiliki zona hambat hingga hari ketujuh. Isolat LK08 sama sekali tidak menunjukkan adanya penghambatan terhadap S. rolfsii dari hari pertama hingga hari ketujuh. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryanto et al., (2011), dimana Enterobacter cloacae LK08 masih memiliki kemampuan dalam menghambat Fusarium oxysporum. Hal ini bisa disebabkan karena beberapa faktor seperti komposisi kitin yang dimiliki oleh setiap jamur tidak sama.

Daya penghambatan terbesar pada pertumbuhan Sclerotiumrolfsii ditunjukkan oleh bakteri kitinolitik BK13 dan BK15. Menurut Asril (2011), telah diketahui bahwa BK13 merupakan Bacillus sp. (Gram positif). Sedangkan BK15 merupakan

Enterobacter sp. (Gram negatif). Berdasarkan penelitian Asril (2011), Enterobacter

sp. BK15 dan Bacillus sp. BK13 mampu menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporum dan Ganoderma boninense. Menurut Garderner (2004), beberapa strain

Bacillus juga menghasilkan toksin yang menghambat pertumbuhan atau aktivitas jamur patogen. Menurut Chernin et al., (1995), sejumlah strain Enterobacter spp. dapat digunakan sebagai biokontrol jamur patogen tanaman.

Bakteri BK17, KR05, dan PB17 kurang mampu menghambat pertumbuhan

Sclerotiumrolfsii. Ketiga isolat bakteri kitinolitik tersebut hanya mampu menghambat hingga hari ketiga. Dari Gambar 4.2.1 dapat dilihat bahwa hifa jamur tumbuh

melewati kertas cakram tempat dimana bakteri kitinolitik ditumbuhkan pada media agar MGMK + yeast 2%. Hal ini disebabkan oleh spesifikasi yang berbeda dari seluruh 6 isolat yang diuji, konsentrasi suspensi bakteri yang digunakan serta media pembuatan suspensi. Dalam penelitian ini, media yang digunakan dalam pembuatan suspensi ialah akuades steril. Oleh karena itu, beberapa sel bakteri tidak mendapat nutrisi kemudian mati jika dibiarkan terlalu lama dalam suspensi. Menurut Nasikhah (2008), kekurangan nutrisi ini disebabkan karena penyimpanan bakteri dilakukan dalam air steril yang tidak bernutrisi.

4.3 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal

Pengamatan mikroskopis untuk melihat hifa abnormal S. rolfsii dilakukan pada hari ketujuh. Pertumbuhan hifa jamur tersebut yang dihambat oleh bakteri kitinolitik mulai terlihat pada hari kedua. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya zona hambat oleh bakteri kitinolitik. Penghambatan yang dilakukan oleh isolat bakteri kitinolitik mengakibatkan terbentuknya pertumbuhan abnormal pada hifa. Aktivitas antagonis bakteri kitinolitik menyebabkan hifa S. rolfsii menjadi abnormal seperti yang terlihat pada Gambar 4.3.1.

Hifa S.rolfsii mengalami berbagai perubahan bentuk hifa. Hal ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas bakteri kitinolitik yang dikultur di kedua sisi dengan jarak 3.5 cm dari tempat jamur di media MGMK + yeast 2%. Abnormalitas hifa jamur patogen terlihat menggulung, lisis, putus, hifa menggembung, kerdil dan bengkok. Bakteri tersebut memiliki mekanisme dalam menekan pertumbuhan jamur. Mekanisme aktivitas antagonis yang diberikan oleh bakteri kitinolitik terhadap jamur patogen ialah secara hiperparasitik dan enzimatik sehingga mampu digunakan sebagai pengendalian hayati terhadap jamur patogen tanaman dengan cara mendegradasi dinding selnya. Menurut Nurhayati (2011), mekanisme penghambatan patogen oleh agen pengendali hayati dengan cara mengeluarkan metabolit seperti enzim. Kitinase yang dihasilkan bakteri kitinolitik mengakibatkan terjadinya endolisis atau autolisis yaitu pecahnya sitoplasma suatu sel sehingga terjadi kerusakan dinding sel. Hal ini diduga yang menyebabkan abnormalitas bentuk hifa yang terdapat pada Gambar 4.3.1.

19

Gambar 4.3.1 Bentuk hifa Sclerotium rolfsii setelah uji antagonis dengan bakteri kitinolitik: (a) hifa normal, (b) hifa membengkak dan memendek oleh BK13, (c) hifa menggulung oleh BK15, (d) hifa putus oleh BK15, (e) hifa kerdil oleh BK15, (f) hifa lisis oleh BK15, (g) hifa bengkok oleh BK 15, dan (h) hifa mengecil oleh BK15 (h) (perbesaran 40 x 10)

4.4 Hasil Uji Patogenitas Sclerotiumrolfsii terhadap Kecambah Kedelai

Hasil uji patogenitas menunjukkan bahwa jamur tersebut bersifat patogen terhadap benih kedelai yang ditanam pada media campuran tanah-kompos (nisbah 3:1) dan suspensi S. rolfsii. Hal ini terbukti dengan adanya gejala penyakit rebah kecambah pada kedelai. Gejala penyakit rebah kecambah diawali dengan adanya miselium putih seperti kapas halus pada permukaan pangkal batang tanaman seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4.1. Miselium tersebut menyebabkan busuknya pangkal batang yang ditandai dengan perubahan warna menjadi coklat pucat pada bagian yang terserang sehingga menyebabkan kecambah menjadi rebah.

Menurut Sumartini (2012), pada permukaan tanah di sekitar tanaman yang terserang terdapat miselium putih dan sklerotia. Serangan Sclerotium sp. diawali dengan infeksi pada bagian akar atau batang yang berbatasan dengan permukaan tanah. Infeksi pada tanaman tersebut menyebabkan pengangkutan unsur hara dan air tersumbat sehingga tanaman menjadi layu lalu rebah. Patogen selanjutnya menyebar ke seluruh bagian tanaman dan menyebabkan pembusukan.

Sclerotium rolfsii menyerang sebagian benih yang belum berkecambah dan sebagian kecambah berumur 5 hari setelah tanam. Hifa jamur tersebut menginfeksi bagian tanaman dari akar dan pangkal batang. Mekanisme penyerangan ialah hifa S. rolfsii mensekresikan senyawa enzim ke bagian tanaman yang terinfeksi. Hal ini mengakibatkan dinding sel terdegradasi. Menurut Papuanga (2009), hifa jamur tersebut mensekresikan enzim selulolitik dan asam oksalat yang membuat jaringan menjadi lunak kemudian mati. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya jaringan xilem dalam mengangkut air dan unsur hara. Menurut Abadi (2003), jamur patogen penyebab layu umumnya berkolonisasi dalam jaringan vaskuler, khususnya pada xilem.

Gambar 4.4.1 Uji Patogenitas S. rolfsii terhadap benih kedelai: (a) biakan S.

rolfsii umur 7 hari (1. hifa, 2. sklerotia coklat), (b) patogenitas S. rolfsii (3. kecambah kedelai yang terinfeksi, 4. S. rolfsii), (c) reisolasi (5. kecambah, 6. hifa jamur patogen) dan (d) biakan

murni S. rolfsii hasil reisolasi umur 5 hari (7. hifa, 8. sklerotia

putih)

Reisolasi S. rolfsii dilakukan dengan mengisolasi kembali sampel kecambah kedelai yang terinfeksi miselium dari uji patogenitas pada media PDA seperti yang terlihat pada Gambar 4.4.1. Hasil reisolasi mendapatkan adanya miselium putih di sekitar bagian dari kecambah. Miselium jamur tersebut diinokulasi pada media PDA yang baru untuk mendapatkan biakan murninya dan dibandingkan dengan S. rolfsii

hasil isolasi awal.

4.5 Penghambatan Serangan Sclerotiumrolfsii pada Benih Kedelai

Hasil uji antagonis menunjukkan bahwa 2 isolat yang berpotensial menghambat

21

dilakukan pengujian secara in vivo. Pengamatan persentase rebah kecambah, tinggi tanaman, dan jumlah daun dilakukan mulai minggu pertama sampai minggu keempat. Benih kedelai yang ditanam pada media campuran tanah dan kompos yang berisi S. rolfsii rentan terserang rebah kecambah. Hal ini ditunjukkan oleh kontrol (+). Gambar 4.5.1 berikut ialah persentase rebah pada tiap perlakuan :

Gambar 4.5.1 Persentase rebah kecambah pada kedelai yang diinokulasikan

Sclerotium rolfsiidengan perlakuan bakteri kitinolitik

Gambar 4.5.1 menunjukkan bahwa serangan S. rolfsii mulai terjadi pada hari kedua setelah tanam pada benih kedelai yang ditanam dalam nampan berisi campuran tanah dan suspensi jamur patogen. Penyakit rebah kecambah pada kedelai mengalami peningkatan dari minggu pertama sampai minggu keempat. Persentase rebah tertinggi pada kontrol (+) yaitu sebesar 62,07 % dari seluruh benih yang tumbuh. Sebaliknya, kontrol (-) tidak ditemukan adanya penyakit rebah kecambah.

Menurut Nurhayati (2011), penyakit tanaman dapat terjadi bila adanya interaksi antara lingkungan, patogen dan tanaman itu sendiri. Patogenitas tinggi terjadi apabila tanaman yang rentan terinfeksi patogen karena didukung oleh keadaan lingkungan yang sesuai untuk tumbuhnya patogen. Menurut Sumartini (2012),

lembap. Jenis jamur ini dapat membentuk struktur dorman, yaitu sklerotia pada permukaan tanah atau pangkal batang. Sklerotia mempunyai kulit tebal dan keras sehingga tahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan, terutama kekeringan dan suhu tinggi. Masa dorman akan berakhir jika kondisi lingkungan cocok untuk perkembangannya. Senyawa kimia yang bersifat menguap yang dihasilkan oleh akar tanaman akan menstimulasi sklerotia untuk segera berkecambah menjadi hifa yang siap menginfeksi bagian tanaman pada daerah rizosfer (zona perakaran).

Perendaman benih kedelai dalam suspensi bakteri penghasil kitinase yaitu

Bacillus sp. BK13 dan Enterobakter sp. BK15 kemudian ditanam pada media tanah yang tidak berisi jamur digunakan untuk mengetahui pengaruh kedua bakteri tersebut pada benih. Hasil pengamatan menunjukkan, Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 tidak menyebabkan penyakit rebah kecambah. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya nilai persentase rebah selama hari pengamatan.

Perlakuan S. rolfsii + BK13 dan S. rolfsii + BK15 menunjukkan penurunan persentase rebah secara berturut-turut mencapai 35,72% dan 31,04%. Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan persentase rebah kecambah menurun yaitu pertahanan yang dilakukan oleh tanaman itu sendiri dan pertahanan yang dilakukan oleh bakteri kitinolitik Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15. Menurut Pudjihartati et al., (2008) pemberian infeksi Sclerotiumrolfsii dapat memicu tanaman inang mengeluarkan enzim kitinase dan senyawa pertanahan lainnya sebagai sistem ketahanan terhadap jamur patogen. Faktor selanjutnya ialah kedua bakteri kitinolitik yang diberikan yaitu Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen S. rolfsii di lapangan. Hal ini terlihat dengan adanya pengurangan persentase rebah kecambah dibandingkan dengan kontrol (+), seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5.2.

23

Gambar 4.5.2 Perbedaan tanaman kedelai umur 4 minggu (a) kontrol (-), (b) kontrol (+), (c) BK13, (d) BK15, (e) S. rolfsii + BK13, dan (f) S. rolfsii + BK15

Pengurangan persentase rebah tertinggi yaitu Enterobacter sp. BK15 yang mencapai 50 %. Sedangkan pengurangan persentase rebah terendah yaitu Bacillus sp. BK13 mencapai 44,5 %. Hal ini sedikit berbeda dengan data yang diperoleh ketika uji

in vitro, dimana Bacillus sp. BK13 menunjukkan daya penghambatan lebih besar daripada Enterobacter sp. BK15. Perbedaan kecenderungan daya penghambatan terhadap jamur patogen secara in vitro dan in vivo bisa terjadi karena pengaruh lingkungan. Pada uji in vitro, kemampuan kedua bakteri tersebut sebagian besar bisa dipengaruhi oleh ketersedian nutrisi media. Pada uji in vivo, kemampuan kedua bakteri tersebut dipengaruhi oleh beberapa keadaan lingkungan sekitar seperti suhu, cahaya matahari, kelembapan, dan media tanam serta patogenitas jamur yang bisa didukung oleh keadaan lingkungan tersebut.

Menurut Abadi (2003), penyakit tanaman dapat terjadi karena adanya interaksi antara patogen, tanaman inang dan faktor lingkungan. Namun, dari ketiga faktor tersebut yang lebih sering berubah adalah faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan dapat mendukung kerentanan tanaman inang saja atau hanya mendukung kehidupan patogen saja, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan agen pengendali hayati yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur patogen di lapangan.

Namun demikian, kedua bakteri kitinolitik yaitu Bacillus sp. BK13 dan

Enterobacter sp. BK15 telah mampu melindungi sebagian benih kedelai dari serangan

Sclerotium rolfsii selama masa perkecambahan. Berdasarkan sifat dan strain bakteri kitinolitik yang diuji tersebut mengakibatkan sifat patogenitas jamur terhambat dan menurun. Menurut Purwantisari et al., (2005), ada bebarapa cara penghambatan serangan jamur patogen oleh bakteri kitinolitik. Pertama, bakteri menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat mendegradasi komponen struktural jamur. Senyawa tersebut mendegradasi dinding sel jamur. Kedua, senyawa bioaktif juga mempengaruhi permeabilitas membran sel jamur sehingga mengganggu transportasi zat-zat yang diperlukan untuk metabolisme. Hal ini mengakibatkan metabolisme jamur terganggu. Ketiga, senyawa yang dihasilkan bakteri dapat berfungsi sebagai inhibitor terhadap suatu enzim yang dihasilkan oleh jamur. Apabila enzim jamur tersebut berperang penting dalam metabolisme jamur, maka aktivitas enzimatik sel akan terganggu. Akibatnya akan menekan pertumbuhan jamur. Mekanisme keempat, yaitu senyawa yang dihasilkan oleh bakteri mampu menekan sintesis protein pada jamur. Apabila sintesis protein terganggu menyebabkan jamur kekurangan protein tertentu sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu.

Menurut Gohel et al., (2005), enzim mikolitik (kitinase, protease, dan glukanase) yang dihasilkan oleh mikroorganisme mampu melisiskan dinding sel jamur dan berpotensial mengolah limbah kitin dengan menghasilkan kitinase. Oleh karena itu, beberapa mikroorganisme kitinolitik berpotensial sebagai pengendali patogen tanaman. Menurut Nalisha et al., (2006), Bacillus sp. menghasilkan senyawa bioaktif antijamur yang dapat menghambat serangan Sclerotium rolfsii. Salah satu senyawa yang efektif dihasilkan oleh Bacillus sp. dalam mengendalikan S. rolfsii ialah enzim kitinase. Menurut Giyanto (2009), Bacillus sp. dapat dikembangkan menjadi pestisida hayati karena memiliki beberapa sifat yang salah satunya ialah bersifat kitinolitik.

Pertumbuhan tanaman kedelai yang terganggu dapat diamati melalui parameter seperti tinggi tanaman dan jumlah daun. Menurut Alcivar et al., (2007), tinggi dan hasil tanaman berkurang bisa terjadi karena penyakit, defesiensi unsur hara, dan kekurangan air. Gambar 4.5.2 menunjukkan perbedaan tinggi tanaman kedelai yang diinokulasikan S. rolfsii dengan perlakuan lainnya.

25

Gambar 4.5.3 Perbedaan tanaman kedelai antara (a) kontrol (-) dan kontrol (+),

(b) BK13, (c) BK15, (d) S. rolfsii + BK13, dan (e) S. rolfsii + BK15

Pengamatan tinggi tanaman kedelai dilakukan setiap minggu. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan mengukur tanaman mulai dari pangkal batang yaitu bagian tanaman yang berbatasan dengan tanah sampai dengan ujung batang atau ujung tunas apikal. Gambar 4.5.3 menunjukkan angka tinggi tanaman kedelai.

Gambar 4.5.4 Perbedaan tinggi tanaman kedelai yang diinokulasi Sclerotium rolfsii dengan perlakuan bakteri kitinolitik

Pertambahan tinggi tanaman kedelai meningkat setiap minggunya. Pada pengamatan minggu pertama kecambah tertinggi ialah pada kontrol (-) yaitu sebesar 16,12 cm dan terendah pada kontrol (+) yaitu 5,8 cm. Pengamatan minggu keempat

diperoleh data tanaman tertinggi ialah pada perlakuan pemberian bakteri kitinoitik BK15 yaitu sebesar 71,05 cm. Tanaman terendah ialah kontrol (+) yaitu sebesar 35,65 cm. Hal ini disebabkan karena pengaruh besarnya serangan S. rolfsii. Serangan ini menyebabkan pertumbuhan kecambah kedelai menurun. Hifa jamur patogen tersebut mengkolonisasi dibagian pangkal batang yang kemudian mengganggu jaringan pengangkut dalam menyalurkan air dan unsur hara ke bagian-bagian tanaman.

Pada perlakuan benih yang direndam dalam suspensi Bacillus sp. BK13 dan

Enterobacter sp. BK15 saja, tinggi tanaman kedelai berturut-turut ialah 58,93 cm dan 71,05 cm. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bakteri tersebut tidak mengganggu pertumbuhan dan tidak bersifat patogen terhadap benih kedelai yang ditanam selama hari pengamatan. Menurut Siregar (2011), formulasi pupuk hayati yang berbahan aktif rizobakteria seperti Bacillus sp. dapat memicu pertumbuhan tinggi kedelai. Perlakuan benih yang direndam suspensi BK13 dan BK15 lalu diberi serangan S. rolfsii menunjukkan tanaman kedelai lebih tinggi dari kontrol (+) dengan tinggi berturut-turut yaitu 52,72 cm dan 54,08 cm. Hal ini bisa terjadi karena adanya mekanisme pertahanan yang diberikan oleh Bacillus sp. BK13 dan Enterobacter sp. BK15 dalam melindungi benih dari serangan jamur patogen.

Tanaman kedelai berumur 1-2 minggu yang terserang rebah kecambah akan menunjukkan beberapa gejala yang salah satunya yaitu membuat daun menjadi kuning dan mengering. Hal ini disebabkan karena jaringan pengangkut tidak mampu menyalurkan air dan unsur hara dari akar hingga ke bagian tanaman yang membutuhkan seperti daun. Jaringan yang berperan dalam melakukan asimilasi berada di daun. Oleh karena jaringan tersebut tidak mendapat cukup air untuk melakukan fotosintesis maka pertumbuhan tanaman terhambat. Jika hal ini berlanjut dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman mengalami kematian. Menurut Ohorella (2011), daun memegang peranan yang sangat penting bagi poduktivitas suatu tanaman. Jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah faktor tanah, air, cahaya dan unsur hara.

27

Jumlah daun setiap perlakuan tidak berbeda saat pengamatan minggu pertama, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.5.4. Hal ini bisa disebabkan oleh kemampuan benih untuk tumbuh dengan baik.

Gambar 4.5.5 Perbedaan jumlah daun tanaman kedelai yang diinokulasikan

Sclerotium rolfsii dengan perlakuan bakteri kitinolitik

Gambar 4.5.5 juga menunjukkan perbedaan jumlah daun baru terlihat pada minggu ketiga hingga minggu keempat. Pada minggu keempat, jumlah daun terendah ialah pada kontrol (+) yaitu sebanyak 4 helai daun trifoliat. Jumlah daun pada kontrol (-), Bacillus sp.cBK13, dan Enterobacter sp. BK15 adalah sama yaitu sebanyak 5 helai daun trifoliat. Jumlah daun meningkat pada perlakuan BK13 dan BK15 yang diinokulasikan Sclerotium rolfsii yaitu berturut-turut sebanyak 6 dan 7 helaian.

Kontrol (+) memiliki jumlah daun paling sedikit karena tanaman terserang rebah kecambah sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman menurun. Hal ini dapat dilihat dari penambahan jumlah daun terhambat yang disebabkan karena air dan unsur hara tidak tersalurkan secara sempurna.

BAB 5

Dokumen terkait