• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Antibakteri Fraksi Aktif Ekstrak Metanol Batang X. granatum

Bakteri uji yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri dari fraksi aktif ekstrak metanol batang X. granatum adalah bakteri E. coli non-klinis, E. coli dan S. aureus klinis. Hasil pengukuran diameter hambatan dari fraksi aktif ekstrak metanolbatang X. granatum disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Diameter hambatan uji antibakteri fraksi aktif ekstrak metanol batang X. granatum

Fraksi (300µg/paperdisc) dan ampisilin (25µg/paper disc) Bakteri uji Diameter hambatan (mm)

Alkaloid A Flavonoid A Tanin A

E. coli 20µl OD600 nm =0.59 (non-klinis) 5 34 10 34 6 34 E. coli 20µl OD600 nm =0.59 (klinis) 1 - 2 - - -S. aureus 20µl OD600 nm = 0.68 (klinis) 1 20 6 20 2 20 Keterangan: A = ampisilin

Pengujian aktivitas antibakteri pada fraksi aktif ekstrak metanol batang X. granatum menggunakan kontrol positif ampisilin karena kloramfenikol menyebabkan efek idiosyncratic aplastic anemia, sehingga kloramfenikol tidak aman dan tidak diizinkan digunakan pada manusia dan hewan (FDA 2004). Idiosyncratic aplastic anemia merupakan suatu penyakit yang menyebabkan sumsum tulang berhenti memproduksi sel darah merah dan sel darah putih (SEO Consulting 2007).

Ampisilin bekerja dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan, akibatnya dinding sel menjadi lemah dan karena tekanan turgor dari dalam menyebabkan dinding sel pecah/lisis sehingga bakteri mengalami kematian. Menurut Drug Bank (2006), ampisilin berfungsi menghambat sintesis dinding sel

bakteri sehingga akan terjadi lisis yang menyebabkan bakteri tidak mampu bertahan hidup.

Pemilihan antibiotik ampisilin dalam pengujian antibakteri kurang tepat jika ingin melihat hubungan aktivitas antibakteri dengan inhibitor topoisomerase I, karena mekanisme kerja ampisilin lebih kepada penghambatan sintesis peptidoglikan yang berperan dalam pembentukan dinding sel. Menurut Williams et al. (1996), antibiotik yang berfungsi dalam penghambatan sintesis protein yaitu kloramfenikol, kladomisin, tetrasiklin, spektinomisin, streptomisin, gentamisin dan mupirosin. Sedangkan antibiotik yang bersifat menghambat enzim DNA-RNA polimerase yaitu rifampin.

Bakteri E. coli klinis bersifat resisten terhadap ampisilin (ditunjukkan pada Tabel 11), diindikasikan dengan tidak terbentuk zona bening, bakteri tetap tumbuh/bakteri tidak dapat dihambat pertumbuhannya, sedangkan S. aureus klinis bersifat tidak resisten pada konsentrasi ampisilin 25 µg/paper disc. Keadaan ini terjadi karena adanya perbedaan senyawa penyusun struktur dinding sel. Dinding sel E. coli (bakteri Gram negatif) selain memiliki lapisan peptidoglikan juga ada lapisan tambahan pada dinding sel yang disebut membran luar yang berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel bakteri. Sebaliknya struktur dinding sel S. aureus (bakteri Gram positif) relatif sederhana sehingga lebih sensitif terhadap komponen antibakteri.

Menurut Madigan et al. (2003), sebagian besar dinding sel bakteri Gram positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan mengandung protein M yang merupakan molekul panjang dengan lipoteikoat membentuk mikrofibril yang memudahkan pelekatan antibakteri. Dinding sel bakteri Gram negatif mengandung tiga polimer yang terletak diluar lapisan peptidoglikan yaitu lipoprotein, porin matrik dan lipopolisakarida. Selanjutnya menurut Williams et al. (1996), membran luar pada bakteri Gram negatif terdiri dari lapisan lipopolisakarida (LPS) yang terikat satu sama lain dengan kation divalent Ca++ dan Mg++, berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel (bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa hidrofobik).

Fraksi flavonoid dan tanin dari ekstrak metanol batang X. granatum dapat menghambat E. coli non-klinis tetapi tidak menghambat E. coli klinis, hal ini

terjadi karena bakteri E. coli klinis yang digunakan diambil dari pasien yang terinfeksi bakteri tersebut dan terseleksi menghadapi antibiotik sehingga bersifat resisten terhadap bahan aktif yang mengandung senyawa antibakteri.

Ekstrak metanol batang X. granatum yang terdiri dari fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin menunjukkan aktivitas antibakteri dan diduga juga sebagai inhibitor topoisomerase I. Menurut Sukardiman et al. (2002), senyawa bahan alam yang memiliki aktivitas antikanker dan memiliki target molekul enzim DNA topoisomerase antara lain termasuk golongan alkaloid, glikosida dan flavonoid.

Agarrado (2002) menyatakan bahwa alkaloid mempunyai aktivitas biologi sebagai antibakteri dan antikanker, sehingga dapat digunakan sebagai bahan obat. Menurut Frederick et al. (2003), alkaloid dapat menginduksi apoptosis pada sel kanker manusia. Selanjutnya menurut Alexandrova et al. (2000) dalam Dardanela (2005), alkaloid dominan mempunyai khasiat obat sebagai penghambat enzim tirosin kinase dan mematikan sel abnormal seperti kanker.

Harborne (1987) menyatakan bahwa flavonoid berfungsi sebagai antivirus dan memiliki aktivitas sitotoksik dengan cara membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga dapat menghambat kerja enzim.

Menurut Robinson (1995), senyawa tanin memiliki aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor, menghambat enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase. Selanjutnya menurut Harismah (2002), sifat antibakteri tanin diakibatkan oleh gugus pirogalol dan gugus galoil. Suragih (2002) menyatakan bahwa katekin, leukoantosianin dan asam galat merupakan senyawa tanin yang terdapat pada biji X. granatum yang berperan sebagai antibakteri.

Dari hasil penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa aktivitas antibakteri dan inhibitor topoisomerase I ekstrak X. granatum disebabkan oleh kandungan senyawa aktif yaitu alkaloid, flavonoid dan tanin. Senyawa antibakteri ada hubungannya dengan inhibitor topoisomerase I, karena memiliki mekanisme yang sama yaitu mengganggu sintesis protein dan asam nukleat, sehingga dapat menekan pertumbuhan atau proliferasi sel kanker. Biosintesis protein dan asam nukleat selalu berkaitan, karena itu senyawa antibiotik yang menghambat sintesis DNA, secara langsung menghambat sintesis protein. Sebaliknya bila sintesis protein terhambat, replikasi DNA tidak terjadi.

Komponen bioaktif X. granatum diduga berikatan dengan protein pada enzim topoisomerase I, sehingga mengganggu sistem enzim yang berhubungan dengan sintesa DNA yang berakibat mengganggu transfer informasi genetik. Menurut Kim et al. (1995), mekanisme penghambatan yang terkait dengan DNA dan RNA berhubungan dengan kemampuan komponen bioaktif menginaktivasi fungsi material genetik, yaitu dengan cara menghambat aktivitas enzim RNA dan DNA polimerase sehingga mengganggu proses pembelahan sel untuk perkembangbiakan.

Corral et al. (1988) menyatakan bahwa komponen bioaktif juga dapat merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat sintesis protein dan menghambat kerja enzim intraselular. Menurut Smith et al. (1987), senyawa fenol dapat mengakibatkan lisis sel dan dapat menyebabkan denaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitoplasma dan asam nukleat. Selanjutnya menurut Mahmoud (1994) dalam Radiati (2002), gugus OH dari fenol dapat bersifat racun bagi protoplasma sel, dapat menembus dan merusak dinding sel serta mendenaturasi protein enzim dalam sitoplasma dengan membentuk ikatan hidrogen pada sisi aktif enzim.

Menurut Husain (1994), senyawa dari bahan tanaman yang bersifat antikanker dan memilki target molekul enzim DNA topoisomerase I adalah camptothecin (sejenis alkaloid) dari tanaman Camptotheca acuminata. Selanjutnya Menurut Zahir (1996), senyawa flavonoid dari Lethedone tannaensis juga memiliki aktivitas inhibitor DNA topoisomerase. Untuk menentukan senyawa aktif pada ekstrak metanol batang X. granatum yang memiliki aktivitas paling baik terhadap antibakteri dan inhibitor topoisomerase I maka perlu dikonfirmasi pada penelitian selanjutnya.

5.1. Kesimpulan

Hasil penelitian penapisan antibakteri dan inhibitor topoisomerase I dari

X. granatum disimpulkan sebagai berikut:

1) Rendemen ekstrak dalam pelarut metanol lebih besar dibandingkan

menggunakan etil asetat dan heksana, rendemen tertinggi pada ekstrak metanol batang X. granatum sebesar 22.42%.

2) Ekstrak kasar X. granatum dapat menghambat enzim topoisomerase I pada konsentrasi 50 "g/ml, kecuali pada ekstrak akar heksana.

3) Ekstrak kasar metanol dari akar, batang, daun, daging buah dan biji

X. granatum mengandung senyawa alkaloid, flavonoid dan tanin sedangkan

saponin hanya pada ekstrak biji. Ekstrak metanol yang memiliki aktivitas antibakteri adalah ekstrak akar, batang, biji dan daging buah.

4) Ekstrak terpilih metanol batang X. granatum, memiliki MIC topoisomerase I pada konsentrasi 25 "g/ml. Fraksi flavonoid dan tanin ekstrak metanol batang

X. granatum dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli non klinis dan

daya hambat terhadap bakteri S. aureus klinis hanya pada fraksi flavonoid.

5.2. Saran

1) Fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin dari ekstrak metanol batang X. granatum, perlu diuji aktivitas inhibitor topoisomerase I dan ditentukan MICnya.

2) Pemurnian fraksi terpilih yang memiliki aktivitas antibakteri dan inhibitor topoisomerase I, untuk penentuan struktur kimia.

Achmad SA. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka.

Achmadi SS. 1992. Teknik Kimia Organik. Bogor: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Agarrado MTS. 2002. Phytochemicals and pulp from vegetable crops wastes. http://www.dgt.gov.ph/index.php?option=com_under&taste=view&id=146 &itemid=75 [2 Mei 2007].

Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Thailand: IUCN. Akiyama et al. 1987. Genistein a specific inhibitor of tyrosine-specific protein

kinases. J Biol Chem. 262.5592-5595.

[AIMS] Australian Institute of arine Science. 2002. Field guide to the mangroves of queensland (Canonball Mangrove-Xylocarpus granatum). http://www.aims.gov.au/pages/reflib/fg-mangroves/pages/fgm-6465.htm [5 Maret 2006].

Ampisilin telah disepositkan di Drug Bank 2006 dengan nomor akses APRD00320.

Bell SM. 1984. Antibiotic Sensitivity Testing by The CDS Methods. Di dalam Clinical Microbiology Up Date Programe. Edited: N. Hertwig. New South Wales: The Prince Wales Hospital.

Budzianowski J. 1985. Pharmacognosy of the local plant P.officinalis. www.Cis.Um.Ed.Mt/-phcy/symp98/KevinGauci. Html-7k.

[24 Desember 2006].

Bruneton. 1993. Pharmacognosy, Phytochemistry, Medicinal Plants. Paris: Lavoisier Publishing.

Brutlag D. 2000. DNA Topoisomerase. Biochemistry 201, Advenced Molecular Biology. [Januari 7, 2000].

Cotran RS. Kumar V. Robbins SL. 1994. Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: WB Saunders Company.

Corral LG. Post LS. Montville TJ. 1988. Antimicrobial activity of sodium bicarbonat. J. Food Sci. 53.

Dardanela D. 2005. Penapisan beberapa tanaman asli Indonesia yang berpotensi sebagai antikanker secara enzimatis. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia FMIPA Institut Pertanian Bogor.

Darusman LK. Sajuthi D. Komar. Pamungkas J. 1995. Ekstraksi komponen bioaktif sebagai bahan obat dari kerang-kerangan, bunga karang, dan ganggang di perairan P. Pari Kepulauan Seribu Tahap II: Fraksinasi dan Bioassay, Buletin Kimia No 10 Bulan Desember. Bogor: Jurusan Kimia-FMIPA IPB.

Davidson. Branen. 1993. Antimicrobial in Food. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker, Inc.

Dewick PM. 2001. Medicinal Natural Product A Biosynthetic Approach. Second Edition. England: John Wiley and Sons.

Dwijoseputro. 1990. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Ed. Ke-2. Jakarta: PT Djambatan.

Elizabeth C. Ashton. Donald J. Macintosh. 2002. Preliminary assessment of the plant diversity and community ecology of the sematan mangrove forest, Serawak, Malaysia. Forest Ecology and Management 166:111-129.

[FDA] Food and Drug Administration. 2004. FDA seizes adulterated crabmeat in lousiana product contains chloramphenicol and poses unacceptable Risk. http://www.fda.gov/bhs/topics/answer/2004/AWSO1297.html

[24 Desember 2006].

Frederick et al. 2003. Apoptosis induction in human cell by sungucine from

Strychnos icaja root. Naunyn-Schemieldeberg’s Arch Pharmacol. 367:260-265.

Greenwald P. 1996. Chemoprevention of cancer. J Scintific American 9: 96-99. Griffits EJF. Miller DT. Suzuki. Lewontin RG. Gelbart WM. 1993. An

Introduction to Genetic Analysis 5 th ed. W.H. New York: Preeman and Company.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Edisi kedua. Patmawinata K. Soedro I., penerjemah. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Bandung: ITB. Hardjito L. Kingston D. 2004. Laporan RUT 2004. Bioactive compounds from

Indonesia marine invertebrates and their sustainable production through maricultured.

Harismah K. 2002. Daun Jambu Biji untuk Sariawan. http://www.suaramerdeka. com/harian/0206/15/ragam2.htm [1 April 2007].

Herba. 2003. Panduan pengembangan tanaman obat. http://www.karyasari. com. [15 Pebruari 2006].

Houghton PJ. Raman A. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extracts. Tokyo: Chapmal and Hall.

Hostetmann K. Wolfender JL. dan Rodrigue ZS. 1997. Rapid detection and subsequent isolation of biactive constituents of crude plant extracts. Planta Med. 63: 2-10.

Husain I. 1994. Elevation of topoisomerase I massenger RNA, protein and catalytic activity in human tumors: demonstration of tumor-type specificity and implication for cancer chemotherpy. Cancer Research 54(1): 539-546. Hsiang YH. 1989. Arrest of replication fork by drug-stabilized topoisomerase I

DNA cleavable complexes as a mechanism of cell killing by campthothecin.

Jia et.al. 2001. Method for the prevention and treatment of chronic venous insufficiency. United States Patent:6,210,680.

Joseph MC. 1989. Protein-linked DNA strand breaks induced in mammalian cells by camptothecan inhibitor of topoisomerase I. Cancer Research

52(2): 525-532.

Karyadi E. 2002. Memperbaiki pola makan mencegah kanker. http://cis.nci.nih.gov/fact/3-62 p. [15 Pebruari 2006].

Kanazawa A. Ikeda T. Endo T. 1995. A novel approach to mode of action of cationic biocides morphological effect on antibacterial activity. J Appl Bacterial 78:55-60.

Kim JM. Marshall MR. Cornell JA. Boston. Wei CI. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral and geraniols against Salmonella typhimurium in culture medium and on fish cubes. J Food Sci. 69(6): 1365-1366.

Lim. 2001. Guides to the mangroves of Singapore (nyireh bunga Xylocarpus granatum).http://mangrove.nus.edu.sg/guidebooks/text/1077.htm.

[10 Maret 2006]

Madigan TD. Martinko JM. Parker J. 2003. Brock Biology of Microorganism. Tenth edition. Pearson Education, Inc.

Mangan Y. 2003. Cara Bijak Menaklukan Kanker. Jakarta: Agromedia Pustaka. Makker H.P.S, Becker. 1995. Isolation of tannins from leaves of some trees and

shurubs and their properties. J Agric. Food Chem. 42: 123-129.

Markham KR. 1988. Isolation Technigues for Flavonoids. Di dalam: Harborne JB, Mabry TJ, Mabry H, editor. Part 2. The Flavonoids. New York: Academic Press.

Martono S. 1983. Isolasi dan identifikasi zat aktif berkhasiat analgetik pada daun

Gendarussa vulgaris Nees. [Laporan Penelitian]. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Univ. Gadjah Mada.

Miller R. 2005. What is cancer?

http://www.kidshealth.org/parent/medical/cancer.html [28 Nopember 2007]. Murakami A et al. 1998. Screening for in vitro antitumor-promoting activities

of edible plans from Indonesia. J Cancer Detection and Prevention

22(6):516-525.

Murhadi. 2002. Isolasi dan karakteristik komponen antibakteri dari biji atung (Parinarium glaberrrimum Hassk). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Pelczar MJ. Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Hadiotomo RS., penerjemah. Jakarta: UI-Press.

Putri NE. 2004. Inhibisi fraksi aktif biji mahoni pada pertumbuhan

Saccharomyces cerevisiae sebagai uji antikanker. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia. FMIPA Institut Pertanian Bogor.

Radiati LE. 2002. Mekanisme penghambatan virulensi bakteri entropatogen oleh ekstrak rimpang jahe (Zingiber officinale Roscoe). [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Raphael SS. 1987. Medical Laboratori Tecnology. Ed. Fourth. WB Saunders Company.

Rivai H. 1995. Azas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI-Press.

Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi Keenam. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plans.

Sabine B. 1999. Research Biologist BAOBAB Farm.

Schnack W. Mayer W. Haake M. 1990. Senyawa obat. Edisi ke-2. Wattimena JR. Soebito S., penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Schlegel HG. Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum. Baskara T., penerjemah.

Terjemahan dari: Allgemeine Mikrobiologie. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Semesi. Howell. 1992. The Mangroves of The Eastern African Region. United Nations Environment Programme (UNEP). Kenya: Nairobi.

SEO Consulting. 2007. Aplastic anemia information. http://www.what-is-aplastic-anemia.htm. [15 Maret 2007].

Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Universitas Airlangga.

Smith JL. Maures MJ. Bencivengo MM. Kunsch CA. 1987. Effect of sodium chlorida up take of substrate by Staphylococcus aureus 196. J Food Protec. 50.

Suffines M. Pezzuto JM. 1991. Assays related to cancer drugs discovery. Di dalam: Dey PM, Harborne JB (eds). Methods in Plant Biochemistry Vol. 6. London: Academic Press.

Suhartini S. 2003. Penapisan awal Caulerpa racemosa, Sesuvium portulacastrum, Xylocarpus granatum dan Ulva lactuca sebagai antimikroba [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Sukardiman, Poermono H, Mubarika S, Sismindari. 2002. Skrining aktivitas antikanker fraksi n-heksana, etil asetat, n-butanol dan ekstrak metanol benalu teh (Scurula krthopurpurea) dengan molekul target enzim DNA topoisomerase. Majalah Farmasi Airlangga 2:72-75.

Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor: PAU Ilmut Hayat, IPB. Suragih A. 2002. Telaah kandungan kimia senyawa antimikroba biji tumbuhan

mangrove Xylocarpus granatum koening [tesis]. Bandung: Program Studi Farmasi Institut Teknologi Bandung.

Suryawiria U. 1978. Mikrobiologi Lingkungan. Ed. Ke-2. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Sutaryadi. 1991. Dari Jamu Menjadi Obat Tradisional Menuju ke Fitofarmaka. Surabaya: Laboratorium Botani Farmakalogi. Fakultas Farmasi. Universitas Airlangga. Hal. 26-28.

Thomlinson. 1986. The botany of mangroves. Cambridge University Press. Cambride Tropical Biology. Series 413 pp. http://gopher.ulb.ac.be/ dagillik/mangrove/x granatum.htm. [15 Pebruari 2006].

[TopoGEN] TopoGen. 2006. Manual for topoisomerase drug screening kit. http://www.topogen.com/html [28 Nopember 2007].

Volk WA. Wheeler MF. 1988. Mikrobiologi Dasar. Ed. Ke-5. Jakarta: Erlangga.

Voigt R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Noerono S., penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wikipedia. 2007. Chloroform. http://en.wikipedia.org/wiki/Chloroform.

Williams RAD. Lambert PA. Singleton P. 1996. Antimicrobial Drug Action. Bios Scientific Publisher.

Yulia LA. 2003. Uji aktivitas tabir surya (sunscreen) dari biji tumbuhan bakau

Xylocarpus granatum.[skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Yanagihara MN et al. 2005. Leptosins isolated from marine fungus Leptoshaeria

species inhibited DNA topoisomerases I and/or II induced apoptopsis by inactivated Akt/protein kinase B. J Cancer Sciences 96(11):816-824.

Zahir A. 1996. DNA topoisomerase I inhibitor: cytotoxic flavones from Lethedon tannaensis. J Natural Product 59: 701 -703.

Zakaria FR. 2001. Pangan dan pencegahan kanker. J Teknol dan Industri Pangan

Prosedur ekstraksi bahan aktif X. granatum yaitu:

1) Sebelum ekstraksi dimulai, bahan berupa X. granatum (akar, batang, daun, daging buah dan biji) dihaluskan/diblender. Masing-masing sampel yang telah halus ditimbang sebanyak 50.00 g dan masukkan dalam erlenmeyer. Proses ekstraksi dilakukan secara bertingkat, dengan cara sampel ditambahkan pelarut sampai terendam dimulai dari heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Selanjutnya dilakukan maserasi dengan magnetic

stirrer dengan tujuan mengeluarkan bahan aktif. Maserasi selama 24 jam

pada suhu ruang dan selama maserasi erlenmeyer ditutup menggunakan aluminium foil untuk mencegah penguapan pelarut. 2) Selesai proses maserasi dilakukan penyaringan dengan corong kaca dan kertas

saring Whatman untuk memisahkan filtrat dan ampasnya. Ampas kemudian direndam dengan pelarut kedua (etil asetat), dimaserasi kembali selama 24 jam dan disaring sehingga diperoleh filtrat dari ampas kedua. Selanjutnya ampas kedua direndam kembali dengan pelarut ketiga (metanol) dimaserasi selama 24 jam dan disaring sehingga diperoleh filtrat ketiga.

3) Selanjutnya masing-masing filtrat dievaporasi dengan menggunakan evaporator vakum untuk menguapkan pelarut yang terikat dalam sampel dan apabila telah terbebas dari pelarutnya selanjutnya berturut-turut disebut ekstrak heksana, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol.

Lampiran 2 Prosedur Pengujian Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I

Prosedur pengujian aktivitas inhibitor topoisomerase I adalah:

1) Melakukan persiapan gel agarosa 1%, mula-mula agarosa sebanyak 1 g ditambahkan buffer (TAE/Tris Acid EDTA 1x) sebanyak 100 ml dipanaskan sampai semua agarosa larut sempurna. Selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan yang telah disiapkan dengan menempatkan sisir cetakan sumur tempat sampel. Perlu diperhatikan bahwa sisir harus tegak lurus sehingga migrasi DNA dipastikan dimulai dari permukaan yang lurus dan rata, serta sisir jangan sampai menyinggung alas gel sehingga sumur yang dibuat menjadi tidak bocor. Selanjutnya gel dibiarkan membeku dan sisir dilepaskan dengan hati-hati.

2) Gel agarosa yang telah dibuat dimasukkan dalam tangki elektroforesis, sehingga seluruh permukaan gel sudah terendam bufer (TAE 1x).

3) Pengujian topoisomerase I dilakukan dengan cara menambahkan bahan- bahan reaksi ke dalam tabung ependorf secara berurutan yaitu: H2O hingga volume reaksi 20 5l, 10x buffer TGS sebanyak 2 5l, supercoiled DNA (250 ng/5l) sebanyak 1 5l, sampel ekstrak X.granatum bervariasi antara

1-2 5l, enzim topoisomerase I sebanyak 2 5l (4 unit). Penambahan

bahan-bahan reaksi dilakukan di dalam es curah.

4) Pereaksi diinkubasi pada suhu 37oC dalam heating block selama 30 menit, ditambah 2 µl (1/10 dari volume pereaksi) sodium dodecyl sulfate (SDS) 10% dan untuk membersihkan sisa-sisa enzim ditambahkan 50 µg/ml proteinase K, diinkubasi kembali dalam heating block selama 30 menit. Tambahkan 2 µl (1/10 dari volume pereaksi) loading buffer dan 20 µl (volume yang sama) khloroform : isoamyl alkohol atau CIA (24:1), divortek dan disentrifugasi selama 5 detik. Setelah reaksi selesai, lapisan atas (berwarna biru) diambil dan diisikan pada gel agarose 1% pada elektroforesis.

5) Selain menyiapkan reaksi dengan sampel, juga disiapkan reaksi-reaksi yang berfungsi sebagai kontrol, dengan rincian sebagai berikut:

Kontrol 1 terdiri dari H2O, buffer, supercoiled DNA, enzim topoisomerase I, yang berfungsi untuk menunjukkan aktivitas enzim, dimana akan terjadi relaksasi DNA.

Kontrol 2 terdiri dari H2O, buffer, supercoiled DNA, pelarut sampel (DMSO 10%), yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa pelarut tidak mempengaruhi mobilitas DNA.

Kontrol 3 terdiri dari H2O, buffer, supercoiled DNA, pelarut sampel (DMSO 10%), enzim topoisomerase I, yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa pelarut tidak mempengaruhi aktifitas enzim

Kontrol 4 terdiri dari marker relaxed DNA.

Kontrol 5 terdiri dari H2O, buffer, supercoiled DNA, camptothecin (larutkan stok dalam 10% DMSO hingga 1 mM – gunakan 1/10 volume dalam reaksi), enzim topoisomerase I, berfungsi untuk mendeteksi cleavage complexes. 6) Selesai proses running dengan elektroforesis dilakukan proses staning gel

dengan cara merendam dalam zat warna 0,5 µg/ml ethidium bromida (EtBr) dan proses destaning dengan akuades. Selanjutnya pita-pita pada gel hasil elektroforesis diamati dengan menggunakan lampu UV.

7) Aktivitas inhibisi enzim DNA topoisomerase I ditentukan dengan mengamati kemampuan enzim untuk merubah bentuk supercoiled DNA menjadi bentuk relaxed DNA, serta digunakan kontrol inhibitor Camptothecin kontrol positif pada konsentrasi 100 5M (34,84 5g/ml).

Lampiran 3 Visualisasi Gel Agarose dengan Marker dan Kontrol

Lampiran 4 Prosedur Pengujian Fitokimia a. Alkaloid

Dokumen terkait