• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penapisan Antibakteri dan Inhibitor Topoisomerase I dari Xylocarpus granatum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penapisan Antibakteri dan Inhibitor Topoisomerase I dari Xylocarpus granatum"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PENAPISAN ANTIBAKTERI DAN INHIBITOR

TOPOISOMERASE I DARI Xylocarpus granatum

DEWI KARTIKA SARI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Penapisan Antibakteri dan Inhibitor Topoisomerase I dari Xylocarpus granatum” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

(3)

Abstrak

DEWI KARTIKA SARI. Penapisan Antibakteri dan Inhibitor Topoisomerase I dari Xylocarpus granatum. Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO dan PURWANTININGSIH SUGITA.

Kajian ilmiah tanaman obat yang memiliki aktivitas antibakteri dan antikanker (sitotoksik) intensif diteliti. Hal ini disebabkan banyaknya permintaan masyarakat terhadap bahan obat yang berasal dari alam yang memiliki beberapa keuntungan diantaranya aman dikonsumsi dan relatif tidak ada efek sampingnya. Salah satu tanaman pesisir yang memiliki aktivitas antibakteri dan sitotoksik adalah Xylocarpus granatum. Penelitian ini secara umum bertujuan adalah mengetahui bagian tanaman Xylocarpus granatum (akar, batang, daun, daging buah dan biji) yang memiliki aktivitas terbaik terhadap antibakteri dan inhibitor topoisomerase I.

Tanaman Xylocarpus granatum diperoleh dari Pulau Bakau, desa Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Metode yang digunakan pada pengujian aktivitas antibakteri adalah difusi agar dengan teknik agar tuang dan pengujian antikanker menggunakan enzim DNA topoisomerase I dari TopoGen, serta comptothecin sebagai kontrol positif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kasar Xylocarpus granatum dapat menghambat enzim topoisomerase I pada konsentrasi 50 :g/ml, kecuali pada ekstrak akar heksana. Ekstrak metanol dari akar, batang, daun, daging buah dan biji Xylocarpus granatum mengandung senyawa alkaloid, flavonoid dan tanin sedangkan saponin hanya pada ekstrak biji, serta ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri non-klinis S. aureus dan E. coli adalah ekstrak akar, batang,

biji dan daging buah. MIC topoisomerase I dari ekstrak metanol batang Xylocarpus granatum adalah 25 :g/ml. Fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin dari

(4)

Abstract

DEWI KARTIKA SARI. Antibacterial and Inhibitor Topoisomerase I Screening from Extract of Xylocarpus granatum Supervised by LINAWATI HARDJITO and PURWANTININGSIH SUGITA.

Plants having biological activites have been studied intensively due to the demand of natural medicines. One of coastal plants having antibacterial and cytotoxic activity is Xylocarpus granatum. This paper presented antibacterial and topoisomerase I inhibitor activities of Xylocarpus granatum extract. The antibacterial activity was assyed using agar diffusion method and topoisomerase I inhibitor activity was carried out using topoisomerase drug screening kit from TopoGen.

(5)

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

PENAPISAN ANTIBAKTERI DAN INHIBITOR

TOPOISOMERASE I DARI Xylocarpus granatum

DEWI KARTIKA SARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Xylocarpus granatum Nama : Dewi Kartika Sari NRP : C351050011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Linawati Hardjito, M.Sc. Dr.Dra. Purwantiningsih Sugita, M.S. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Hasil Perairan

Dr.Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala kurniaNya sehingga tesis ini selesai. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, dengan judul Penapisan Antibakteri dan Inhibitor Topoisomerase I dari Xylocarpus granatum. Sumber dana penelitian ini berasal dari Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) tahun anggaran 2006-2007 a/n Dr.Ir. Linawati Hardjito, M.Sc.

Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Dr.Ir. Linawati Hardjito, M.Sc. dan ibu Dr.Dra. Purwantiningsih Sugita, M.S. selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan kemudahan kepada penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan, serta ibu Dr.Ir. Yulin Lestari yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan saran dalam perbaikan penulisan tesis ini. Rekan-rekan S2 THP angkatan 2005 dan 2006 atas kebersamaan dan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Lulut, Erna, Wiwit, Dian, Lucy, Lutfi dan Ian atas kerjasamanya selama penelitian di Laboratorium. Ungkapan terima kasih tak terhingga juga disampaikan kepada kedua orang tuaku abah H. Anwar Fauzie (alm), mama Hj. Marliah Chairul, suamiku Ir. Ari Ropian, ananda Mutia Dea Wijayanti dan Devi Damayanti serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Akhir kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan isi tesis ini sehingga menjadi lebih baik. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2008

(9)

Penulis dilahirkan di Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan pada tanggal 11 Maret 1968 dari abah H. Anwar Fauzie (alm) dan mama Hj. Marliah Chairul. Penulis merupakan putri ketiga dari lima bersaudara.

Pendidikan sarjana (S1) ditempuh pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, masuk tahun 1986 dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang dan selesai pada tahun 1999. Tahun 2005 penulis kembali menempuh pendidikan S2 pada Departemen Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPS (pemerintah melalui Ditjen DIKTI).

Penulis bekerja sebagai tenaga edukatif pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru sejak tahun 1994 sampai sekarang.

(10)

Halaman

2.2. Pemanfaatan dan Kandungan Bahan Aktif X. granatum ... 6

2.2.1. Alkaloid ... 7

3.3.1. Ekstraksi komponen aktif ... 19

3.3.2. Pembersihan ekstrak kasar ... 20

3.3.3. Pengujian aktivitas inhibitor topoisomerase I ... 21

3.3.4. Pengujian fitokimia ... 21

3.3.5. Pengujian antibakteri ... 21

3.3.6. Penapisan ekstrak kasar ... 22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Ekstraksi X. granatum ... 25

4.2. Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I ... 26

4.3. Pengujian Fitokimia Ekstrak Kasar Metanol X. granatum ... 29

4.4. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Metanol X. granatum ... 30

(11)

4.7. Uji Antibakteri Fraksi Aktif Ekstrak Metanol Batang X. granatum 35 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39 DAFTAR PUSTAKA ... 40 LAMPIRAN ... 45

(12)

Halaman 1 Penapisan fitokimia serbuk simplisia biji X. granatum ... 7 2 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya ... 10 3 Hasil ekstraksi X. granatum ... 25 4 Uji inhibisi enzim DNA topoisomerase I dari ekstrak kasar

X. granatum (50 :g/ml) ... 27 5 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar metanol X. granatum ... 29 6 Diameter hambatan uji antibakteri ekstrak kasar metanol X. granatum 30 7 Hasil uji MIC ekstrak kasar metanol batang X. granatum terhadap

enzim DNA topoisomerase I ... 32 8 Hasil penapisan ekstrak kasar metanol batang X. granatum ... 33 9 Penapisan senyawa kimia ekstrak kasar metanol batang

X. granatum ... 34 10 Hasil penapisan fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin ekstrak metanol

batang X. granatum ... 34 11 Diameter hambatan uji antibakteri fraksi aktif ekstrak metanol batang

X. granatum ... 35

(13)

Halaman

1 Road map penelitian X. granatum ... 2

2 Habitat tanaman X. granatum ... 4

3 Akar dan daun X. granatum ... 5

4 Buah (biji & daging buah) X. granatum ... 5

5 Batang dan bunga X. granatum ... 5

6 Struktur dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif ... 12

7 Mekanisme kerja antibiotik pada sel bakteri ... 13

8 Struktur inhibitor topoisomerase I ... 16

9 Diagram alir keseluruhan tahapan penelitian penapisan antibakteri dan inhibitor topoisomerase I dari X. granatum ... 19

10 Proses ekstraksi bahan aktif ... 20

11 Pengujian aktivitas antibakteri ... 22

12 Penapisan ekstrak kasar dan pemurnian alkaloid ... 23

13 Pemurnian flavonoid ... 24

14 Pemurnian tanin ... 24

15 Hasil elektroforesis uji inhibisi enzim DNA topoisomerase I ekstrak kasar X. granatum pada konsentrasi 50 µg/ml ... 27

16 Hasil elektroforesis uji MIC ekstrak kasar metanol batang X. granatum terhadap enzim DNA topoisomerase I ... 32

(14)

Halaman

1 Prosedur ekstraksi bahan aktif ... 45

2 Prosedur pengujian aktivitas inhibitor topoisomerase I ... 46

3 Visualisasi gel agarose dengan marker dan kontrol ... 48

4 Prosedur pengujian fitokimia ... 49

5 Tahapan pengujian antibakteri ... 54

6 Sampel X. granatum ... 55

7 Filtrat akar, batang, daun, daging buah dan biji X. granatum dalam pelarut heksana, etil asetat dan metanol ... 56

8 Pengujian fitokimia pada ekstrak kasar metanol X. granatum ... 57

9 Diameter hambatan (mm) uji antibakteri ekstrak kasar metanol X. granatum ... 58

10 Penapisan ekstrak kasar metanol X. granatum ... 59

11 Penapisan fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin ekstrak metanol X. granatum ... 60

12 Diameter hambatan (mm) uji antibakteri fraksi aktif dari ekstrak metanol X. granatum ... 61

(15)

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropis dengan wilayah yang cukup besar, memiliki keanekaragaman sumberdaya pesisir dan laut yang tinggi dan dapat menjadi sumber berbagai produk yang bermanfaat baik untuk industri farmasi, kimia, kosmetik, pertanian dan sebagainya. Salah satu sumber daya pesisir yang telah banyak dimanfaatkan secara tradisional baik sebagai obat maupun kosmetik adalah tanaman bakau (Xylocarpus granatum), yang merupakan tanaman pesisir yang hidup di hutan mangrove. Biji Xylocarpus granatum oleh masyarakat pesisir terutama suku Bugis digunakan sebagai bahan pembuatan bedak. Di Thailand biji Xylocarpus granatum dimanfaatkan sebagai obat disentri (Suragih 2002), dan sebagai obat diare, kolera serta pembersih luka (Aksornkoae 1993) serta abu dari biji ini untuk mengobati gatal bila dicampur dengan sulfur dan minyak kelapa. Minyak dari ekstrak biji dicampur dengan tepung beras digunakan sebagai masker wajah untuk mengobati jerawat dan cairan minyaknya untuk mengobati diare dan disentri (Sabine 1999).

Menurut Suragih (2002), X. granatum mengandung tanin yang bersifat sebagai antimikroba. Selanjutnya menurut Yulia (2003), ekstrak metanol biji X. granatum dapat digunakan sebagai tabir surya/sunscreen. Suhartini (2003) menyatakan bahwa ekstrak metanol biji X. granatum memberikan hambatan terhadap bakteri Escherichia coli. Staphylococcus aureus, Vibrio carchariae dan Salmonella thyposa.

(16)

2.1. Deskripsi X. granatum

X. granatum merupakan salah satu tumbuhan pesisir jenis pohon yang

hidup di hutan mangrove yang biasanya dikenal dengan nama cannon ball

mangrove (AIMS 2002). X. granatum disebut juga kacang monkey-puzzle,

memiliki beberapa nama daerah yaitu nyirih, nyireh dan niri batu. Tumbuhan ini

memiliki daun berwarna hijau (panjang 10 cm dan lebar 4 cm), daun berbentuk

oval dan menebal pada pangkal yang bertemu dengan cabang, bunga berwarna

putih dan berukuran kecil, serta buahnya memiliki ukuran seperti jeruk besar yang

terdiri dari 12-18 biji (Thomlinson 1986). Pohon X. granatum dapat tumbuh

hingga ketinggian 25 m, tergantung pada kondisi lingkungan (Semesi dan Howell

1992). Habitat dan bagian tanaman X. granatum yaitu akar, daun, buah (biji dan

daging buah), batang dan bunga disajikan pada Gambar 2, 3, 4, dan 5.

(17)

Gambar 3 Akar dan daun X. granatum

Gambar 4 Buah (biji dan daging buah) X. granatum

Gambar 5 Batang dan bunga X. granatum

Menurut Suragih (2002) klasifikasi X.granatum adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Trecheobionta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliosida

Subklas : Rosidae

Ordo : Sapindales

Family : Meliaceae

Genus : Xylocarpus

Species : Xylocarpus granatum

Nama Lain : Carapa granatum Alston

(18)

Sistem perakaran X. granatum berada di atas tanah, pada tanaman

muda sering tidak terlihat. Kulit kayu lunak, padat dan ringan, berwarna coklat

terang hingga oranye yang disebabkan karena pengelupasan kulit kayu.

Tumbuhan X. granatum menyebar di perairan tropis dan tidak mengelompok pada

daerah tertentu (Thomlinson 1986).

X. granatum memiliki akar yang menyangga pada bagian dasar batang dan

berbentuk pita, daun berbentuk oval dan tebal pada bagian yang bertemu dengan

ranting. Bunganya berukuran kecil dan berwarna merah muda. X. granatum

memiliki buah yang keras, terbungkus seperti kapsul dengan jumlah biji berkisar

antara 12 hingga 18 yang bersatu erat dan bila matang berwarna coklat-keemasan.

Kulit kayunya berwarna merah muda-oranye lembut serta berbintik-bintik/burik

(AIMS 2002).

2.2. Pemanfaatan dan Kandungan Bahan Aktif X. granatum

Menurut Lim (2001), kayu X. granatum dimanfaatkan sebagai bahan

untuk membuat kapal, perabotan rumah tangga dan kayu bakar. Kulitnya

dapat disamak untuk selanjutnya digunakan dalam membuat pakaian dan

bahan pewarna kuning tua/jingga. Akarnya dimanfaatkan sebagai obat untuk

menyembuhkan penyakit kolera dan disentri. Biji X. granatum oleh masyarakat

pesisir terutama suku Bugis digunakan sebagai bahan pembuatan bedak.

Di Thailand biji X. granatum dimanfaatkan sebagai obat disentri (Suragih 2002),

dan sebagai obat diare, kolera serta pembersih luka (Aksornkoae 1993) serta abu

dari biji ini untuk mengobati gatal bila dicampur dengan sulfur dan minyak

kelapa. Minyak dari ekstrak biji dicampur dengan tepung beras digunakan

sebagai masker wajah untuk mengobati jerawat dan cairan minyaknya untuk

mengobati diare dan disentri (Sabine 1999).

Yulia (2003) menyatakan bahwa ekstrak metanol biji X. granatum dapat

digunakan sebagai tabir surya/sunscreen. Menurut Suhartini (2003), Minimum

Inhibitory Consentration (MIC) ekstrak metanol X. granatum terhadap bakteri

E.coli dan S.aureus didapatkan pada konsentrasi 20 µg/ml, dengan hambatan

berturut-turut 14 dan 9 mm. Sedangkan terhadap V. carchariae dan S. thyposa

(19)

Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan bahan aktif

atau golongan senyawa yang terdapat X. granatum. Hasil penapisan fitokimia

serbuk simplisia biji X. granatum disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penapisan fitokimia serbuk simplisia biji X. granatum

Golongan senyawa Pereaksi Hasil

Alkaloid Dragendorff, reaksi pengendapan

-Flavonoid serbuk Mg + HCl + amil alkohol +

Saponin uji busa +

Tanin besi (III) klorida

pereaksi Steasny

+ +

Kuinon NaOH 1 N

-Steroid/triterpensia Liebermen - Burchard +

Sumber: Suragih (2002)

Menurut Darusman et al. (1995), umumnya zat antimikrobial alami dari

sumber hayati laut merupakan hasil metabolit sekunder dari berbagai kelompok

alkaloid, terpenoid, flavonoid dan juga berasal dari senyawa metabolit primer

seperti peptida.

2.2.1. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa organik mengandung nitrogen yang banyak

ditemui pada tumbuhan. Nitrogen dalam alkaloid terdapat dalam bentuk amina

primer, sekunder dan tersier, bahkan alkaloid dengan amina kuaterner masih

ditemui di alam. Menurut Bruneton (1993), alkaloid merupakan senyawa organik

siklik yang mengandung atom nitrogen, umumnya merupakan bagian dari cincin

heterosiklik (sebagai gugus amina atau amida) dan bersifat basa. Alkaloid sebagai

basa, tidak larut atau hanya larut sebagian dalam air, larut dalam pelarut non

polar, pelarut organik agak polar dan hidroalkohol. Alkaloid dalam bentuk garam

umumnya larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut dalam pelarut organik.

2.2.2. Flavonoid

Menurut Suradikusumah (1989), flavonoid merupakan senyawa fenol

terbesar di alam mengandung 15 atom karbon tersusun dalam konfigurasi

(20)

Markham (1998) menyatakan bahwa flavonoid di alam terdapat dalam dua

bentuk yaitu flavonoid aglikon (flavonoid tanpa gula terikat) dan flavonoid

glikosida (flavonoid dengan gula terikat). Flavonoid glikosida umumnya larut

dalam air, sebaliknya flavonoid aglikon lebih mudah larut dalam pelarut seperti

eter dan polifenol. Menurut Suradikusumah (1989) flavonoid pada tumbuhan

terikat dengan gula sebagai glikosida. Senyawa yang dapat digunakan sebagai

pelarut dalam mengekstraksi flavonoid adalah senyawa polar seperti

etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, air dan

sebagainya.

2.2.3. Tanin

Menurut Harborne (1987), tanin merupakan senyawa polifenol yang

tersebar luas, terutama pada tumbuhan berpembuluh. Selanjutnya menurut

Robinson (1995) tanin terbagi dalam dua kelompok yaitu tanin terhidrolisis dan

tanin terkondensasi. Tanin termasuk senyawa polar dan dapat diekstraksi

menggunakan pelarut polar.

Harismah (2002) menyatakan bahwa tanin dapat memberikan warna

coklat, hal ini disebabkan oleh struktur tanin dengan ikatan rangkap dua

yang terkonjugasi pada polifenol sebagai kromofor/pengemban warna dan adanya

gugus OH sebagai auksokrom/pengikat warna. Senyawa tanin memiliki aktivitas

antibakteri dan antivirus. Sifat antibakteri tanin diakibatkan oleh gugus pirogalol

dan gugus galoil, sedangkan sifat penghambatan terhadap virus ditentukan

oleh struktur tersier persenyawaan gugus katekol atau pirogalol dengan gugus

galoilnya.

2.2.4. Saponin

Menurut Robinson (1995) saponin merupakan senyawa gula yang

memiliki gugus eter terikat pada atom karbon anomer. Saponin termasuk

golongan glikosida baik dari triterpena maupun sterol karena adanya ikatan gula

aglikonnya yang berupa senyawa sapogenin. Saponin bersifat tidak berwarna,

berbentuk kristal, sering mempunyai titik lebur tinggi, optis aktif pada konsentrasi

(21)

2.3. Ekstraksi Komponen Aktif

Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat

terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut (Achmadi 1992). Proses ekstraksi

pada dasarnya dibedakan menjadi dua fase yaitu: (1) fase pencucian, sel-sel

yang dirusak atau terusakkan dengan proses penghalusan langsung kontak

dengan bahan pelarut. Komponen sel yang terdapat di permukaan lebih mudah

diambil/tercuci. Pada fase ini sebagian bahan aktif berpindah ke dalam bahan

pelarut. Semakin halus serbuk bahan baku, semakin optimal jalannya proses

pencucian. (2) fase ekstraksi, untuk melarutkan komponen dalam sel yang tidak

terluka, pelarut harus masuk ke dalamnya. Mengalirnya bahan pelarut ke dalam

ruang sel menyebabkan protoplasma membengkak, pecah dan komponen aktif

tersebut terlarut, mengikuti sifat difusi melalui ruang antarmisel. Gaya yang

bekerja adalah perbedaan konsentrasi antara larutan dalam sel dengan cairan

ekstraksi yang mula-mula tanpa bahan aktif. Bahan kandungan sel akan mencapai

cairan sebelah luar sampai terbentuk suatu keseimbangan konsentrasi antara

larutan dalam dan luar sel. Seberapa jauh komponen aktif dapat diangkut

melintasi membran sel, tergantung dari lubang pori bahan (Voigt 1994).

Menurut Hostetman et al. (1997), secara umum ekstraksi dilakukan secara

berturut-turut mulai dengan pelarut non-polar (heksana atau kloroform) lalu

dengan pelarut yang semi polar (etil asetat atau dietil eter), kemudian dengan

pelarut polar (metanol atau etanol). Dengan demikian akan diperoleh ekstrak

kasar yang mengandung berturut-turut senyawa non-polar, semi polar dan

senyawa polar. Markham (1988) menyatakan bahwa komponen yang terbawa

pada proses ekstraksi adalah komponen yang berpolaritas sesuai dengan

pelarutnya.

Ekstraksi terdiri dari tahap penghancuran sampel, maserasi, penyaringan

dan evaporasi. Penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel

sehingga meningkatkan kontak antara bahan dengan pelarutnya. Maserasi adalah

proses perendaman sampel dalam pelarut dengan waktu tertentu sehingga

senyawa dalam sampel larut dalam pelarut tersebut dan umumnya proses maserasi

(22)

Pengadukan dimaksudkan untuk mencapai waktu ekstraksi yang lebih

singkat. Teknik ekstraksi didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu zat dapat

larut dalam dua fase yang tercampur, maka zat itu dapat dialihkan dari satu fase

ke-fase lainnya dengan mengocoknya bersama-sama. Beberapa pertimbangan

dalam memilih pelarut yaitu:

1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non-polar akan

melarutkan senyawa non-polar,

2) pelarut organik cenderung melarutkan senyawa organik,

3) air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam maupun

basa organik,

4) asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi ke

dalam air dengan menggunakan basa (NaOH, Na2CO3dan NaHCO3).

Memilih pelarut yang akan dipakai harus memperhatikan sifat kandungan

kimia (metabolit) yang akan diekstrak. Sifat yang penting adalah sifat kepolaran

dan gugus polar pada senyawa yang akan diekstrak seperti gugus OH-, COOH -dan lain-lain. Dengan mengetahui sifat metabolit dari bahan yang akan

diekstraksi maka dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolarannya.

Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa non-polar lebih

mudah larut dalam pelarut non-polar. Derajat kepolaran bergantung pada

ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut.

Tabel 2 menyajikan beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya.

Tabel 2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya

Pelarut Titik didih (oC) Tetapan dielektrik

(23)

Penyaringan bertujuan memisahkan sampel dengan senyawa bioaktif

yang larut dalam pelarutnya. Evaporasi dilakukan untuk menguapkan pelarut

sehingga ekstrak dapat terpisah dengan pelarutnya dan dilakukan pada suhu

30-40oC untuk mengurangi kerusakan senyawa aktif pada suhu tinggi. Hasil ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi alamiah bahan alam,

metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel serta kondisi dan lama

penyimpanan sampel.

2.4. Antibakteri

Senyawa antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan

bakteri dan dapat digunakan untuk pengobatan infeksi pada manusia, hewan dan

tumbuhan. Menurut Herbert (1988) dalam Murhadi (2002) senyawa antibakteri

yang berasal dari tanaman sebagian besar diketahui sebagai metabolit sekunder

dari golongan fenolik, terpen dalam minyak atsiri dan alkaloid.

Metabolit-metabolit sekunder tersebut sebagian besar dibiosintesis dari Metabolit-metabolit primer

seperti asam-asam amino, asetil ko-A dan metabolit antara.

Menurut Schnack et al. (1990), berdasarkan cara kerjanya antibakteri

dibedakan menjadi bakteriostatik dan bakterisida. Antibakteri bakteriostatik

bekerja dengan cara menghambat perbanyakan populasi bakteri dan tidak

mematikan, sedangkan bakterisida bekerja membunuh bakteri. Bakteriostatik

dapat bertindak sebagai bakterisida pada konsentrasi tinggi. Dwijoseputro (1990)

menyatakan bahwa antibakteri dikategorikan berspektrum luas bila efektif

terhadap banyak jenis bakteri, sedangkan antibakteri berspektrum sempit hanya

efektif terhadap bakteri tertentu.

Dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan dinding sel bakteri

Gram negatif. Menurut Madigan et al. (1999), dinding sel bakteri Gram positif

mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam

teikuronat yang bermuatan negatif. Pada bakteri Gram negatif lapisan luar

dinding sel ada yang mengandung 5-20 % peptidoglikan, selain itu terdiri dari

protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan lipid

kedua yang disebut lipopolisakarida (LPS), tersusun tidak hanya terdiri dari

fosfolipid saja tetapi juga mengandung polisakarida dan protein. Struktur dinding

(24)

Gambar 6 Struktur dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif (Williams et al. 1996)

Penggunaan senyawa antibakteri alami memiliki keuntungan karena lebih

aman jika dikonsumsi dibandingkan dengan senyawa sintetik. Penggunaan

senyawa sintetik dapat menimbulkan kerugian bagi kesehatan karena senyawa

tersebut merupakan bahan kimia dimana efek sampingnya tidak terdeteksi dengan

cepat (terakumulasi dalam tubuh). Karena alasan tersebut maka pemanfaatan

senyawa antibakteri alami berkembang luas sebagai pengganti zat antimikroba

sintetik baik untuk bahan pangan maupun bidang farmasi.

Madigan et al. (1999) menyatakan bahwa pengaruh komponen antibakteri

terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada

kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan komponen antibakteri dapat bersifat

mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikrostatik (kerusakan yang dapat pulih

kembali). Suatu komponen akan bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung

pada konsentarasi komponen dan kultur mikroba yang digunakan. Menurut

Pelczar dan Chan (1986), kerja antibakteri dipengaruhi berbagai faktor antara lain

konsentrasi zat antibakteri, spesies bakteri, jumlah bakteri dan pH lingkungan.

Menurut Davidson dan Branen (1993), penghambatan aktivitas mikroba

oleh komponen bioaktif tanaman dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara

lain: (1) gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, (2) peningkatan

permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun

(25)

material genetik. Selanjutnya menurut Kanazawa et al. (1995), terjadinya proses

penghambatan antimikroba karena pelekatan senyawa antimikroba pada

permukaan sel mikroba atau senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel mikroba.

Mekanisme kerja antibiotik pada sel bakteri disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Mekanisme kerja antibiotik pada sel bakteri(Williams et al. 1996)

2.5. Mekanisme Kanker

Material genetik disusun oleh asam nukleat yaitu Asam Deoksiribonukleat

(DNA) dan Asam Ribonukleat (RNA). DNA merupakan bahan dasar penyusun

gen dan berperan menentukan sifat-sifat organisme.

Proses perubahan biologi dan fisiologi sel karena perubahan gen dalam

kromosom mengakibatkan peningkatan/perbanyakan sel secara tidak teratur.

Menurut Cotran et al. (1994), gen yang mula-mula mengalami perubahan adalah

proto-ancogene dan tumor supressor gene. Perubahan dalam kromosom dapat

berupa perubahan numerik, misalnya sebagian kromosom hilang dan perubahan

struktur kromosom. Sel yang mengalami rangsangan terus-menerus oleh bahan

karsinogen menyebabkan sel terinisiasi atau mengalami mutasi yang

(26)

perubahan ekspresi gen (protein abnormal). Griffits et al. (1993) dan Herba

(2003) menyatakan bahwa kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan

oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol.

Ketidaknormalan tersebut dikarenakan sel telah termutasi atau telah terjadi

perubahan struktur DNA, sehingga sel mengalami perubahan baik bentuk,

ukuran, maupun fungsinya. Selanjutnya menurut Siswandono dan Soekardjo

(1995), mutasi sel terjadi kekeliruan DNA karena terpotong, tersubstitusi,

pengaturan kembali, adisi dan integrasi bahan genetik ke dalam sel, dan

perubahan ekspresi gen.

Menurut Zakaria (2001), satu sel saja yang mengalami kerusakan genetik

atau telah mengalami 5-10 kali mutasi DNA sudah cukup menghasilkan jaringan

kanker atau neoplasma dan mutasi gen ini dipacu oleh keberadaan suatu

bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Perubahan material genetik atau disebut

juga mutasi gen dapat terjadi melalui berbagai mekanisme yaitu, (1) kesalahan

replikasi yang terjadi pada saat sel-sel aus digantikan sel-sel baru, (2) mutasi pada

galur sel yang mengalami kesalahan genetika yang diturunkan dari gen orang tua,

(3) adanya faktor eksternal yang dapat mengubah struktur DNA.

Menurut para ahli kanker 80-85% penyakit kanker berasal dari luar tubuh

(eksogen) dan 10-15% karena faktor endogen yang berupa faktor keturunan dan

kesalahan replikasi sel. Sel kanker yang terdapat dalam tubuh karena faktor

genetik/keturunan dapat menjadi ganas karena pengaruh faktor luar seperti

makanan yang mengandung karsinogen, radiasi, infeksi virus dan polusi udara.

Mangan (2003) menyatakan bahwa pencegahan terhadap kanker dapat dilakukan,

terutama yang berasal dari luar tubuh yaitu dengan melakukan gaya hidup

sehat dan menjauhi faktor-faktor resiko terserang kanker. Selanjutnya menurut

Karyadi (2002), faktor-faktor luar tersebut dapat menjadi promotor untuk

menimbulkan keganasan yang secara tidak langsung menimbulkan tumor

atau kanker.

Miller (2005) menyatakan bahwa tahap-tahap penting pembentukan sel

kanker, yaitu (1) inisiasi, yaitu terjadinya perubahan pada DNA atau mutasi gen

yang disebabkan oleh berbagai faktor, (2) promosi yang meliputi perkembangan

(27)

(penyusupan ke jaringan sekitar), (4) metastatis yaitu penyebaran melalui

pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Tahap penyebaran sel kanker

dimulai ketika sel individu memisah dan memasuki aliran darah untuk

menemukan tempat berkembang di dalam tubuh.

2.6. Inhibitor Topoisomerase I

Penggunan komponen kimia yang memiliki aktivitas antitumor dapat

berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan sel tumor. Mekanisme aktivitas

antitumor melalui dua cara yaitu (1) langsung membunuh sel, dilakukan secara

in vitro, dan (2) secara tidak langsung yaitu dengan menggertak sistem imum,

dilakukan secara in vivo.

Menurut Suffnes dan Pezzuto (1991), uji antikanker secara in vitro

bertujuan untuk melihat kemampuan sitotoksik, antara lain dengan melihat

interaksinya dengan DNA. Salah satu uji yang didasarkan pada interaksi dengan

DNA dilakukan dengan cara melihat kemampuan senyawa uji untuk menghambat

enzim topoisomerase I yang digunakan pada replikasi DNA. Hsiang (1995)

Pommier (1993) dalam Sukardiman et al. (2002) menyatakan bahwa enzim DNA

topoisomerase I adalah enzim yang mempunyai fungsi cukup penting dalam

proses intraseluler dari sel kanker antara lain berperan dalam proses replikasi,

transkripsi, rekombinasi DNA dan proses proliferasi dari sel kanker.

Pencegahan kanker dengan senyawa alami diharapkan dapat mencegah

tahap awal karsinogenesis dan relatif bebas dari efek samping. Herba (2003)

menyatakan bahwa tanaman obat dengan sifat alamiahnya akan meningkatkan

daya tahan tubuh penderita terutama sel-sel yang berada di sekitar kanker.

Senyawa-senyawa aktif tanaman obat juga akan meredam keganasan racun-racun

yang dikeluarkan sel-sel kanker (antitoksik), menghambat pertumbuhan sel

kanker (sitostatika), memutus pasokan zat-zat makanan dan oksigen ke jaringan

kanker dengan cara menghentikan aliran darah ke sel kanker. Dan jika sudah

terjadi pendarahan pada kanker maka zat aktif yang terdapat pada tanaman obat

dapat menghentikan pendarahan (hemostatik). Selain itu tanaman obat juga

memiliki sifat anti inflamasi, antipiretik dan analgesik. Senyawa-senyawa aktif

tanaman obat akan bekerja serentak dalam memerangi kanker sehingga lama

(28)

Menurut Murakami et al. (1998), suatu senyawa bioaktif yang bersifat

sitotoksik umumnya bersifat nukleofilik, sehingga dapat memblok ikatan kovalen

antara derivat karsinogen yang elektrofilik dengan DNA. Hsiang (1989) dan

Joseph (1989) menyatakan bahwa dengan dihambatnya aktivitas enzim DNA

topoisomerase oleh senyawa inhibitor, maka proses terjadinya ikatan antara enzim

dengan DNA sel kanker semakin lama, sehingga akan terbentuk Protein Linked

DNA Breaks (PLDB) akibatnya terjadi kerusakaan DNA sel kanker dan

selanjutnya berpengaruh terhadap proses replikasi sel yang diakhiri dengan

kematian sel kanker. Selanjutnya menurut Volk dan Wheeler (1988) gangguan

terhadap pembentukan asam nukleat disebabkan oleh komponen bioaktif

berinteraksi dengan, (1) benang helik ganda DNA sehingga mencegah replikasi

dan transkripsi, (2) polimerase yang mengakibatkan hambatan terhadap aktivitas

enzim yang berperan pada biosintesis DNA dan RNA, sehingga menghambat

pertumbuhan dan pembelahan sel.

Yanagihara et al. (2005) menyatakan bahwa enzim DNA topoisomerase I

adalah target molekuler dari beberapa zat antikanker yang potensial, dengan

demikian inhibitor dari enzim ini potensial untuk obat antikanker. Comptothecin

dan Topotecan merupakan contoh inhibitor enzim DNA topoisomerase I dan

strukturnya disajikan pada Gambar 7.

(29)

3.1. Waktu dan tempat Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Peralatan

3.2.1. Bahan

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman

X. granatum terdiri dari akar, batang, daun, daging buah dan biji yang diperoleh dari Pulau Bakau, desa Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan.

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah heksana, etil asetat dan metanol untuk ekstraksi senyawa bioaktif X. granatum. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan bakteri S. aureus dan E. coli (klinis dan non klinis), media Mueller Hinton, paper disc, ekstrak metanol X. granatum, kloramfenikol dan ampisilin sebagai kontrol positif.

Uji fitokimia meliputi uji alkaloid menggunakan kloroform, amonia, pereaksi Dragendorff (kalium tetraiodobismutat), Meyer (kalium tetraiodomerkurat) dan Wagner (iodium dalam kalium iodida). Uji saponin menggunakan akuades, uji flavonoid menggunakan H2SO4 pekat dan uji tanin menggunakan FeCl3. Penapisan ekstrak kasar menggunakan CHCl3, H2SO4, MeOH dan NH3OH. Penapisan alkaloid menggunakan EtOH, NH3OH, CHCl3 danHCl. Flavonoid penapisannya menggunakan akuades panas, heksana, CHCl3, Et2O, dan butanol. Penapisan tanin menggunakan heksana, aseton, akuades, asam

askorbat, CHCl3dan EtOAc.

Pengujian aktivitas inhibitor topoisomerase I menggunakan gel agarosa

(30)

3.2.2. Peralatan

Alat-alat yang digunakan yaitu timbangan digital dan peralatan gelas. Alat

untuk ekstraksi senyawa bioaktif yaitu waring blender, hot plate, pengaduk magnit, erlemenyer, evaporator vakum.

Elektroforesis digunakan untuk pengujian aktivitas inhibitor topoisomerase I. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan tabung reaksi, vortex, cawan petri, lemari pendingin, inkubator.

3.3. Prosedur Penelitian

Penelitian penapisan antibakteri dan inhibitor topoisomerase I dari

X. granatum terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1) ekstraksi senyawa bioaktif akar, batang, daun, daging buah dan biji

X. granatum dengan pelarut heksana, etil asetat dan metanol,

2) pengujian inhibitor topoisomerase I terhadap semua ekstrak kasar

X. granatum,

3) pengujian fitokimia dan antibakteri terhadap ekstrak kasar metanol akar, batang, daun, daging buah dan biji X. granatum,

4) penentuan minimum inhibitor topoisomerase I terhadap ekstrak kasar metanol batang X. granatum,

5) penapisan senyawa kimia dari ekstrak metanol batang X. granatum,

6) penapisan fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin dari ekstrak metanol batang

X. granatum,

7) pengujian aktivitas antibakteri dari fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin ekstrak metanol batang X. granatum. Diagram alir keseluruhan tahapan penelitian

penapisan antibakteri dan inhibitor topoisomerase I dari X. granatum

(31)

X. granatum

akar, batang, daun, daging buah & biji)

Heksana Ekstraksi sampel Etil asetat

Metanol Ekstrak kasar dalam heksana, etil asetat & metanol

Pembersihan ekstrak Pencucian berulang

Ekstrak heksana Ekstrak etil asetat Ekstrak metanol

Uji inhibisi Topo. I

Uji fitokimia Ekstrak metanol Uji antibakteri

Uji MIC Topo. I Ekstrak metanol batang

Penapisan senyawa kimia

Penapisan fraksi

Fraksi alkaloid Fraksi flavonoid Fraksi tanin

Uji fitokimia & antibakteri

Fraksi terpilih

Gambar 9 Diagram alir keseluruhan tahapan penelitian penapisan antibakteri dan inhibitor topoisomerase I dari X. granatum

3.3.1. Ekstraksi komponen aktif

Ekstraksi komponen aktif dari X. granatum menggunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Proses ekstraksi senyawa aktif dari tanaman

(32)

Sampel X. granatum

Maserasi dengan heksana selama 24 jam

Penyaringan Filtrat Evaporasi

Residu Ekstrak heksana

Maserasi dengan etil asetat selama 24 jam

Penyaringan Filtrat Evaporasi

Residu Ekstrak etil asetat

Maserasi dengan metanol selama 24 jam

Penyaringan Filtrat Evaporasi

Residu Ekstrak metanol

Gambar 10 Proses ekstraksi bahan aktif (Hostetman et al. 1997)

3.3.2. Pembersihan ekstrak kasar

Teknik pembersihan ekstrak dilakukan dengan cara menambahkan pelarut asal pada ekstrak dan dilakukan partisi secara berulang sampai tidak didapatkan residu pada kertas saring. Prosedur kerja pembersihan ekstrak X. granatum (akar, batang, daun, daging buah dan biji) adalah sebagai berikut:

1) ekstrak hasil evaporasi dicuci dengan menambahkan pelarutnya dengan perbandingan ekstrak dan pelarut 1:2 atau ekstrak sampai terendam,

dihomogenkan dengan seker selama 1 jam dan selanjutnya didiamkan selama 24 jam dalam lemari pendingin (suhu 5oC) dan didapatkan 2 bagian terpisah yaitu bagian filtrat dan residu,

(33)

3) ekstrak yang diperoleh dicuci ulang dengan menambahkan pelarutnya kembali dan langkah selanjutnya sama dengan pencucian pertama, pencucian

dilakukan minimal 3 kali,

3.3.3. Pengujian aktivitas inhibitor topoisomerase I

Ekstrak X. granatum (akar, batang, daun, daging buah dan biji) dalam pelarut heksana, etil asetat dan metanol dilakukan uji inhibisi enzim DNA topoisomerase I. Pengujian antikanker secara in vitro bertujuan untuk melihat kemampuan sitotoksik ekstrak dalam menghambat enzim DNA topoisomerase I. Prosedur pengujian aktivitas inhibitor topoisomerase I disajikan pada Lampiran 2 dan visualisasi gel agarose dengan marker serta kontrol pada Lampiran 3.

3.3.4. Pengujian fitokimia

Uji fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada suatu ekstrak tanaman atau merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui keberadaan senyawa kimia spesifik seperti senyawa alkaloid, fenol (termasuk flavonoid), tanin, dan saponin. Prinsip dan prosedur pengujian alkaloid, flavonoid, tanin dan saponin disajikan pada Lampiran 4.

3.3.5. Pengujian antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak metanol X. granatum (akar, batang, daun, daging buah dan biji) terdiri dari tahap persiapan dan pembuatan media, penyegaran bakteri uji dan uji aktivitas antibakteri. Metode yang digunakan pada pengujian aktivitas antibakteri adalah metode difusi agar dengan teknik agar tuang. Prinsip metode ini, yaitu ekstrak akan berdifusi langsung dalam media agar yang telah mengandung bakteri uji. Bakteri uji yang digunakan adalah S.

aureus (bakteri Gram positif) dan E. coli (bakteri Gram negatif). Uji aktivitas antibakteri ekstrak metanol X. granatum pada Gambar 11 dan tahapan pengujian

(34)

Divortex hingga homogen

Dimasukkan dalam cawanpetri

Dibiarkan memadat (±15 menit)

Disimpan dalam pendingin (30 menit) Penambahan ekstrak 20 µl

(300 µg/ paper disc), kloromfenikol 10 µg/paper disc,

ampisilin 25 µg/paper disc

Diinkubasi pada suhu 37OC (12-18 jam) Disimpan dalam lemari Pendingin (30 menit)

Pengamatan dengan mengukur Zona bening yang terbentuk

Paper disc diletakkan pada cawan petri berisi bakteri Bakteri sebanyak 20 µl, OD600 nm= 0.68 (S. aureus) dan 0.59 (E. coli), dimasukan dalam 15 ml media agar

Gambar 11 Pengujian aktivitas antibakteri (Schlegel dan Schmidt 1994)

3.3.6. Penapisan ekstrak kasar

Penapisan ekstrak kasar metanol batang X. granatum untuk target pemurnian senyawa kimia, dengan metode spesifik yaitu penggunaan pelarut yang tepat dengan tujuan untuk menghilangkan komponen pengotor dan mendapatkan fraksi murni.

(35)

memerlukan waktu isolasi yang lama. Diagram alir penapisan, pemurnian alkaloid, flavonoid dan tanin ekstrak metanol batang X. granatum disajikan pada

Gambar 12, 13 dan 14.

Ekstrak kasar

Maserasi selama 24 jam dalam metanol dan air (4:1)

Penyaringan

Filtrat

Evaporasi suhu 40oC sampai 1/10 volume awal

Pengasaman dengan asam sulfat 2M (pH 3-4)

Ekstraksi 3x dengan kloroform

Lapisan kloroform Lapisan air-asam

Evaporasi Pembasaan dengan amoniak (pH 10)

Ekstrak pertengahan polar/ Ekstraksi 2x EPP/Fraksi alkaloid kloroform-metanol (3:1)

Lapisan kloroform dan metanol Lapisan air-basa

Evaporasi Ekstraksi dengan metanol Ekstrak basa/EB

Ekstrak polar/EP

(36)

Ekstrak metanol batang

Pelarutan dengan akuades panas

Penyaringan

Residu Filtrat

Partisi dengan heksana

Partisi dengan kloroform

Partisi dengan etanol

Partisi dengan etil asetat

Partisi dengan butanol

Fraksi butanol

Fraksi flavonoid Evaporasi

Gambar 13 Pemurnian flavonoid (Budzianowski 1985)

Ekstrak metanol batang

Partisi dengan heksana

Fraksi heksana

Ekstraksi dengan

aseton dan air (7:3) + asam askorbat 0,1%

Filtrat Residu

Evaporasi

Ekstrak

Partisi dengan kloroform

Partisi dengan etil asetat

Fraksi etil asetat Evaporasi Fraksi tanin

(37)

4.1. Ekstraksi X. granatum

Ekstraksi terhadap bahan tanaman bertujuan untuk memisahkan senyawa

bioaktif tanaman (biasanya dari senyawa tunggal atau kelompok senyawa).

Sebelum dilakukan proses ekstraksi sampel dikecilkan ukurannya untuk

memudahkan kontak dengan pelarut sehingga diharapkan semakin banyak

senyawa bioaktif yang dapat terekstrak. Sampel X. granatum yang telah

mengalami pengecilan ukuran disajikan pada Lampiran 6.

Rendemen merupakan perbandingan berat ekstrak yang diperoleh dengan

berat awal sampel yang digunakan. Rendemen menyatakan efektivitas pelarut

tertentu terhadap bahan dalam suatu sistem ekstraksi, tetapi tidak menunjukkan

tingkat aktivitas ekstrak tersebut. Hasil ekstraksi akar, batang, daun, biji dan

daging buah X. granatum dalam pelarut heksana, etil asetat dan metanol disajikan

pada Tabel 3 dan filtrat yang diperoleh pada Lampiran 7.

Tabel 3 Hasil ekstraksi X. granatum

Tabel 3 menunjukkan bahwa berat ekstrak yang diperoleh dipengaruhi

oleh jenis pelarut yang digunakan. Menurut Markham (1988), komponen yang

terbawa pada proses ekstraksi adalah komponen yang berpolaritas sesuai dengan

pelarutnya. Jenis pelarut yang digunakan mempengaruhi jumlah rendemen

(38)

dibandingkan menggunakan pelarut etil asetat (semi polar) dan heksana (non

polar), hal ini disebabkan pelarut metanol dapat memecah sel dan mengekstrak

bahan sampai ke bagian dalam sel.

Menurut Sukardiman et al. (2002), pelarut metanol adalah pelarut yang

dapat melarutkan seluruh kandungan kimia dari sampel yang bersifat polar

maupun non polar, karena komponen-komponen tersebut saling terkait satu

dengan lainnya melalui gugus fungsional sehingga komponen kimia yang ada

pada sampel tanaman obat dapat tersari secara sempurna. Urutan hasil rendemen

X. granatum dari beberapa bagian tanaman dengan menggunakan pelarut metanol

dari yang terkecil, yaitu: daging buah 3.97%; daun 6.75%; akar 12.54% biji

15.60% dan batang 22.42%.

Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi harus memperhatikan sifat

kandungan kimia bahan yang akan diekstrak. Dengan mengetahui sifat metabolit

yang akan diekstrak dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolaran

zatnya. Menurut Bruneton (1993), alkaloid sebagai basa larut dalam pelarut non

polar seperti heksana dan kloroform. Selanjutnya menurut Harbonne (1987), etil

asetat mampu mengekstrak senyawa fenol dan terpenoid sedangkan metanol

mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid

dan tanin.

Selesai ekstraksi, proses dilanjutkan dengan pembersihan ekstrak yang

bertujuan untuk menghilangkan pengotor yang dapat menghambat pemurnian.

Residu yang diperoleh antara lain berupa lemak, lilin dan lain-lain.

4.2. Aktivitas Inhibitor Topoisomerase I

Aktivitas inhibisi dari ekstrak tanaman ditandai dengan adanya

perubahan bentuk supercoiled DNA dari substrat menjadi bentuk relaxed DNA,

dimana pita dari DNA hasil reaksi dapat dicocokan dengan pita DNA dari marker.

Pengujian aktivitas inhibitor topoisomerase I dilakukan untuk semua bagian

tanaman X. granatum yaitu ekstrak akar, batang, daun, biji dan daging buah dalam

pelarut heksana, etil asetat dan metanol. Hasil uji topoisomerase I menunjukkan

ekstrak kasar X. granatum pada konsentrasi 50 <g/ml dapat menghambat enzim

(39)

enzim topoisomerase I. Uji inhibisi enzim DNA topoisomerase I dari ekstrak

kasar X. granatum disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 15.

Tabel 4 Uji inhibisi enzim DNA topoisomerase I dari ekstrak kasar X. granatum (50 <g/ml)

Jenis sampel (kering) Jenis pelarut Inhibisi topoisomerase I

heksana - ekstrak kasar X. granatum pada konsentrasi 50 <g/ml

Topoisomerase I Drug Screening Kit dari TopoGen dapat mendeteksi

senyawa pada ekstrak yang bersifat poison yaitu mampu menstabilkan

ikatan enzim dan substrat (nicked intermediate) yang diindikasikan dengan

peningkatan open circular (OC) DNA pada gel, seperti ditunjukkan pada kontrol

sumur no 5 (Topo I + DNA + camptothecin). Ekstrak kasar X. granatum yang

bersifat poison yaitu ekstrak etil asetat akar (no 7a), ekstrak heksana dan etil asetat

batang (no 6b dan 7b), ekstrak heksana, etil asetat dan metanol daun (no 6c, 7c

Keterangan : 1. Topo I + DNA, 2. Marker supercoiled DNA, 3. Topo I + DNA + pelarut, 4. Marker relaxed DNA, 5. Topo I + DNA + camptothecin, 6. Ekstrak heksana, 7. Ekstrak etil asetat, 8. Ekstrak metanol, a) akar, b) batang, c) daun, d) daging buah, e) biji

(40)

dan 8c), ekstrak etil asetat daging buah (no 7d), ekstrak heksana dan etil asetat

biji (no 6e dan 7e). Senyawa pada ekstrak bersifat katalitik ditunjukkan dengan

dihambatnya aktivitas relaksasi yang ditandai tetap utuhnya substrat, tetap

berbentuk supercoiled DNA atau tidak terbentuk relaxed DNA, seperti

ditunjukkan pada kontrol sumur no 2 (marker supercoiled DNA). Ekstrak kasar

X. granatum yang bersifat katalitik yaitu ekstrak metanol akar dan batang (no 8a

dan 8b), ekstrak heksana dan metanol daging buah (no 6d dan 8d), serta ekstrak

metanol biji (no 8e). Sedangkan ekstrak heksana akar tidak dapat menghambat

enzim topoisomerase I, terlihat dengan terbentuknya relaxed DNA seperti kontrol

no 1 (Topo I + DNA) dan kontrol no 4 (marker relaxed DNA).

Jenis pengujian inhibitor topoisomerase I pada ekstrak X. granatum adalah

prescreen test yaitu untuk mengetahui apakah suatu senyawa merupakan senyawa

bioaktif, dengan mekanisme penghambatan langsung membunuh sel kanker secara

in vitro. Menurut Sukardiman et al. (2002), senyawa yang memiliki hambatan

terhadap aktivitas enzim DNA topoisomerase sebagian besar menyebabkan

kematian sel kanker dengan cara menginduksi/apoptosis dimana sel kanker akan

mati dengan memakan sesama sel kanker, sehingga pada aplikasi kliniknya nanti

diharapkan akan lebih selektif yaitu hanya membunuh sel kankernya saja tanpa

membunuh sel normal.

Menurut Putri (2004), salah satu cara untuk menguji kemampuan inhibisi

suatu senyawa terhadap topoisomerase I yaitu dengan menguji kemampuan

senyawa itu dalam menghambat pertumbuhan S. cerevisiae. Selanjutnya menurut

Dewick (2001), golongan alkaloid yaitu irinotecan dan camptothecin dapat

menghambat pertumbuhan S. cerevisiae dengan mekanisme kerja sebagai

inhibitor enzim topoisomerase I, yaitu dengan cara mengikat dan menstabilkan

komplek kovalen DNA-topoisomerase. Sutaryadi (1991) menyatakan bahwa

golongan alkaloid yang bersifat antitumor antara lain pirosilisin, isokinolin,

benzofenantridin, indol, sefalotaksus dan camptothecin.

Akiyama (1987) menyatakan genistein merupakan golongan flavonoid

yang banyak digunakan sebagai standar dalam menganalisis inhibitor dari tirosin

kinase. Menurut Murakani et al. (1999), quarsetin dan kaemferol termasuk

(41)

sebagai senyawa antikanker. Selanjutnya menurut Mangan (2003), quarsetin

berfungsi menghambat proliferasi sel leukimia dan sel ovari manusia secara

in vitro.

4.3. Pengujian Fitokimia Ekstrak Kasar Metanol X. granatum

Menurut Suhartini (2003), ekstrak metanol biji X. granatum mengandung

bahan antibakteri. Selanjutnya Hardjito dan Kingston (2004) melaporkan bahwa

ekstrak metanol X. granatum memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker

rahim A2780. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan rendemen yang

dihasilkan pada penelitian ini paling tinggi maka dipilih ekstrak metanol

X. granatum untuk tahap pengujian selanjutnya.

Pengujian fitokimia merupakan uji kualitatif awal terhadap ekstrak kasar

untuk mengetahui jenis senyawa metabolit sekunder/golongan senyawa yang

terkandung pada ekstrak. Golongan senyawa dalam ekstrak dapat ditentukan

dengan mengamati perubahan warna dan terbentuknya endapan setelah

ditambahkan pereaksi yang spesifik untuk setiap uji kualitatif. Uji fitokimia

ekstrak kasar metanol X. granatum disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 8.

Tabel 5 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar metanol X. granatum

Uji fitokimia Ekstrak kasar metanol X. granatum

Akar Batang Daun Biji Daging buah 1. Alkaloid

Tabel 5 menunjukkan bahwa uji fitokimia ekstrak kasar metanol akar,

batang, daun, biji dan daging buah X. granatum mengandung senyawa kimia

golongan alkaloid, flavonoid dan tanin. Sedangkan senyawa golongan saponin

hanya ditemukan pada ekstrak biji X. granatum. Bioaktivitas tanaman sangat

dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam bahan

dan perbedaan kandungan senyawa kimia menunjukan perbedaan aktifitas

(42)

4.4. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Metanol X. granatum

Uji aktivitas antibakteri bertujuan untuk melihat ada tidaknya aktivitas

antibakteri pada semua ekstrak X. granatum. Pengujian dilakukan dengan

membuat larutan stok 0.015 g ekstrak dalam 1 ml pelarutnya (metanol). Dari stok yang dibuat diambil 20 µl untuk menghasilkan konsentrasi ekstrak 300 µg/paper disc.

Kontrol positif yang digunakan dalam pengujian antibakteri adalah kloramfenikol pada konsentrasi 10 µg/paper disc dari larutan stok 0.0005 g dalam 1 ml akuades steril. Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri non-klinis, koleksi Lab. Bioteknologi THP, IPB. Inokulum sebanyak 20 µl OD600 nm= 0.68 untuk

S. aureus (Gram positif) dan OD600 nm= 0.59 untuk E. coli (Gram negatif), yang

diperoleh dari inkubasi selama 18 jam pada suhu 37oC.

Menurut Schlegel dan Schmidt (1994), aktifitas antibakteri ditandai

dengan terbentuknya zona bening disekitar paper disc yang telah mengandung

bahan aktif. Ukuran zona hambat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

mikroorganisme uji (strain dan fisiologi bakteri uji), medium kultur, metode uji

serta kecepatan difusi zat. Diameter hambatan ekstrak kasar metanol X. granatum

terhadap bakteri S. aureus dan E. coli non-klinis disajikan pada Tabel 6

dan Lampiran 9.

Tabel 6 Diameter hambatan uji antibakteri ekstrak kasar metanol X. granatum

Ekstrak (300 µg/paper disc) dan kloramfenikol (10 µg/paper disc) Bakteri uji Diameter hambatan (mm)

Akar K Batang K Daun K Biji K D.buah K

Tabel 6 menunjukkan bahwa ekstrak kasar metanol X. granatum yang

dapat menghambat bakteri uji adalah akar, batang, biji dan daging buah sedangkan

pada daun tidak memiliki aktivitas antibakteri. Diameter hambatan uji antibakteri

(43)

dan 7 mm untuk E. coli. Menurut metode CDS (Calibrated Dichotomous

Sensitivity), jika diameter hambat yang terbentuk lebih besar atau sama dengan

6 mm maka ekstrak dikategorikan memiliki aktivitas antibakteri, sebaliknya

jika diameter hambat lebih kecil dari 6 mm atau tidak terbentuk maka ekstrak

tersebut tidak memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Bell 1984). Antibakteri

dikategorikan sangat kuat jika daerah hambatnya lebih besar dari 20 mm, kuat jika

daerah hambat 10-20 mm, sedang jika daerah hambat 5-10 mm. Daerah hambat

lebih kecil dari 5 mm artinya kekuatan antibakteri yang dimiliki zat tersebut

sangat lemah (Suryawiria 1978). Merujuk pada metode tersebut maka ekstrak

kasar metanol batang X. granatum dikategorikan memiliki aktivitas antibakteri

sedang.

Zona hambat dari kloramfenikol mempunyai diameter lebih besar

dibandingkan diameter zona hambat dari ekstrak X. granatum, walaupun

konsentrasi yang digunakan lebih rendah dari konsentrasi ekstrak. Kloramfenikol

merupakan zat antibakteri murni, sehingga dalam konsentrasi kecil dapat

menghambat pertumbuhan bakteri dengan kekuatan tinggi. Sedangkan ekstrak

X. granatum yang digunakan masih merupakan ekstrak kasar (crude extract).

Menurut Raphael (1987), kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida,

yaitu antibiotik bakteriostatik yang tidak membunuh bakteri melainkan

menghambat sintesis protein yang sangat diperlukan dalam perbanyakan dan

pembelahan sel bakteri.

4.5. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)Topoisomerase I

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol batang X. granatum

memberikan rendemen paling besar yaitu 22.42% dan dapat menghambat

enzim topoisomerase I serta memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan

E. coli. Dengan alasan tersebut ekstrak metanol batang X. granatum dipilih

untuk pengujian lanjut penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)

topoisomerase I, penapisan ekstrak kasar untuk target pemurnian senyawa kimia

dan pengujian aktivitas antibakteri pada fraksi aktif.

Penentuan MIC bertujuan untuk mengetahui konsentrasi terkecil dari

(44)

uji MIC ekstrak kasar metanol batang X. granatum terhadap enzim DNA

topoisomerase I disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 16.

Tabel 7 Hasil uji MIC ekstrak kasar metanol batang X. granatum terhadap enzim DNA topoisomerase I

Jenis ekstrak Konsentrasi (<g/ml)

Aktivitas inhibisi topoisomerase I

5

-10

-Metanol batang X. granatum 25 +

50 +

75 +

100 +

Gambar 16 Hasil elektroforesis uji MIC ekstrak kasar metanol batang X. granatum terhadap enzim DNA topoisomerase I

Hasil pengujian MIC menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak 5 dan

10 <g/ml tidak dapat menghambat kerja enzim topo I, terlihat dengan

terbentuknya relaks DNA seperti pada kontrol no 1 dan no 4. Konsentrasi

ekstrak 25 <g/ml bersifat poison artinya mampu menstabilkan ikatan enzim dan

substrat dan terjadi peningkatan open circular (OC) DNA pada gel, seperti

ditunjukkan pada kontrol no 5. Konsentrasi ekstrak 50, 75 dan 100 <g/ml bersifat

katalitik ditunjukkan dengan substrat DNA tetap utuh berbentuk supercoiled

DNA dan tidak terbentuk relaxed DNA karena terhambatnya aktivitas relaksasi,

seperti pada kontrol no 2.

Ikatan inhibitor dengan enzim dapat mengubah kemampuan enzim

dalam mengikat substrat, sehingga mengubah kemampuan daya katalisator enzim.

Hal ini disebabkan karena struktur enzim yang sudah berikatan dengan inhibitor

mengalami perubahan fisik dan kimiawi sedemikian rupa sehingga aktivitas

Keterangan : 1. Topo I + DNA, 2. Marker supercoiledDNA, 3. Topo I + DNA + pelarut, 4. Marker relaxed DNA, 5. Topo I + DNA + camptothecin, 6.a) Ekstrak metanol batang

X. granatum 5 <g/ml, b) 10 <g/ml, c) 25 <g/ml, d) 50 <g/ml, e) 75 <g/ml, f) 100 <g/ml

(45)

hayatinya menjadi terhambat. Menurut Yanagihara et al. (2005), inhibitor

topoisomerase bekerja sebagai racun topoisomerase yaitu mengubah enzim

topoisomerase menjadi toksin yang berpotensi menyebabkan kematian sel.

Semua sel membutuhkan topoisomerase tetapi sel kanker tumbuh dengan cepat

dan membutuhkan lebih banyak enzim ini. Dengan dihambatnya enzim

topoisomerase maka obat kanker akan lebih selektif yaitu lebih banyak

menghancurkan sel kanker dari pada sel sehat.

Menurut Zahir (1996), senyawa flavonoid dikatakan efektif sebagai

inhibitor enzim topoisomerase bila memiliki nilai MIC kurang dari 10 <g/ml.

Selanjutnya Menurut Swanson dan Pezzuto (1990) dalam Sukardiman et al.

(2002), bila suatu zat memiliki aktivitas inhibisi terhadap enzim DNA

topoisomerase, maka zat tersebut berpotensi sebagai antikanker jika nilai MED

(minimum efficient dose) 20 µg/ml. MIC ekstrak metanol batang X. granatum

terhadap topoisomerase I adalah 25 <g/ml, hal ini disebabkan ekstrak yang

digunakan masih kasar atau belum murni. Untuk konfirmasi perlu dilakukan uji

MIC pada konsentrasi 15 dan 20 <g/ml.

4.6. Penapisan Ekstrak Kasar Metanol Batang X. granatum

Penapisan ekstrak kasar metanol batang X. granatum dilakukan untuk

target pemurnian senyawa kimia. Hasil penapisan ekstrak metanol batang

X. granatum disajikan pada Tabel 8 dan 9 serta Lampiran 10.

Tabel 8 Hasil penapisan ekstrak kasar metanol batang X. granatum

Jenis EPP = Ekstrak polar pertengahan EP = Ekstrak polar (fase metanol)

Hasil penapisan ekstrak metanol batang X. granatum menunjukkan

rendemen tertinggi pada ekstrak polar/EP yaitu 84.99 %. Ekstrak yang hanya

mengandung alkaloid terdapat pada ekstrak pertengahan polar/EPP (fase

kloroform). Menurut Wikipedia (2007), pelarut kloroform merupakan salah satu

(46)

Tabel 9 Penapisan senyawa kimia ekstrak metanol batang X. granatum

Jenis uji Jenis ekstrak

EK EPP EB EP

Ekstrak basa/EB dan ekstrak polar/EP masih belum murni karena senyawa

flavonoid dan tanin masih tercampur, sehingga dilakukan penapisan ekstrak lebih

lanjut dan ekstrak yang diperoleh dilakukan pengujian fitokimia untuk mengetahui

kemurnian fraksi. Hasil penapisan fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin ekstrak

metanolbatang X. granatum pada Tabel 10 dan Lampiran 11.

Tabel 10 Hasil penapisan fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin ekstrak metanol batang X. granatum

Jenis uji Jenis fraksi

Fraksi alkaloid Fraksi flavonoid Fraksi tanin 1. Alkaloid

Ekstrak metanol batang X. granatum yang memiliki aktivitas antibakteri,

dari hasil penapisan ekstrak didapatkan fraksi alkaloid, flavonoid dan tanin.

Mekanisme kerja aktivitas antibakteri fraksi dari X. granatum, diduga dengan

menghambat sintesis peptidoglikan yang berperan dalam pembentukan dinding sel

bakteri, merusak membran sel dan keluarnya substansi sel seperti protein dan

asam nukleat yang berakibat sel berangsur-angsur mati.

Menurut Darusman et al. (1995), zat antimikroba alami dari sumberdaya

pesisir dan laut merupakan hasil metabolit sekunder dari kelompok senyawa

fenol/fenolik, alkaloid, terpenoid, dan juga berasal dari senyawa metabolit primer

seperti peptida. Selanjutnya Menurut Davidson dan Branen (1993), senyawa

flavonoid termasuk kelompok fenolik yang memiliki aktivitas antibakteri, dengan

mekanisme kerja merusak membran sel dari mikroorganisme. Bagian membran

(47)

permeabilitas membran sel bakteri. Kim et al. (1995) menyatakan bahwa reaksi

antara komponen membran fosfolipid dengan senyawa fenolik mengakibatkan

perubahan komposisi fosfolipid membran, yang diikuti dengan pembengkakan sel,

selanjutnya terjadi kerusakan membran sitoplasma dan mengakibatkan keluarnya

kandungan intraseluler sel.

4.7. Uji Antibakteri Fraksi Aktif Ekstrak Metanol Batang X. granatum

Bakteri uji yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri dari

fraksi aktif ekstrak metanol batang X. granatum adalah bakteri E. coli non-klinis,

E. coli dan S. aureus klinis. Hasil pengukuran diameter hambatan dari fraksi aktif

ekstrak metanolbatang X. granatum disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Diameter hambatan uji antibakteri fraksi aktif ekstrak metanol batang X. granatum

Fraksi (300µg/paperdisc) dan ampisilin (25µg/paper disc) Bakteri uji Diameter hambatan (mm)

Alkaloid A Flavonoid A Tanin A

batang X. granatum menggunakan kontrol positif ampisilin karena kloramfenikol

menyebabkan efek idiosyncratic aplastic anemia, sehingga kloramfenikol tidak

aman dan tidak diizinkan digunakan pada manusia dan hewan (FDA 2004).

Idiosyncratic aplastic anemia merupakan suatu penyakit yang menyebabkan

sumsum tulang berhenti memproduksi sel darah merah dan sel darah putih

(SEO Consulting 2007).

Ampisilin bekerja dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan,

akibatnya dinding sel menjadi lemah dan karena tekanan turgor dari dalam

menyebabkan dinding sel pecah/lisis sehingga bakteri mengalami kematian.

(48)

bakteri sehingga akan terjadi lisis yang menyebabkan bakteri tidak mampu

bertahan hidup.

Pemilihan antibiotik ampisilin dalam pengujian antibakteri kurang tepat

jika ingin melihat hubungan aktivitas antibakteri dengan inhibitor topoisomerase

I, karena mekanisme kerja ampisilin lebih kepada penghambatan sintesis

peptidoglikan yang berperan dalam pembentukan dinding sel. Menurut Williams

et al. (1996), antibiotik yang berfungsi dalam penghambatan sintesis protein yaitu

kloramfenikol, kladomisin, tetrasiklin, spektinomisin, streptomisin, gentamisin

dan mupirosin. Sedangkan antibiotik yang bersifat menghambat enzim

DNA-RNA polimerase yaitu rifampin.

Bakteri E. coli klinis bersifat resisten terhadap ampisilin (ditunjukkan

pada Tabel 11), diindikasikan dengan tidak terbentuk zona bening, bakteri tetap

tumbuh/bakteri tidak dapat dihambat pertumbuhannya, sedangkan S. aureus klinis

bersifat tidak resisten pada konsentrasi ampisilin 25 µg/paper disc. Keadaan ini

terjadi karena adanya perbedaan senyawa penyusun struktur dinding sel. Dinding

sel E. coli (bakteri Gram negatif) selain memiliki lapisan peptidoglikan juga ada

lapisan tambahan pada dinding sel yang disebut membran luar yang berfungsi

sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel

bakteri. Sebaliknya struktur dinding sel S. aureus (bakteri Gram positif) relatif

sederhana sehingga lebih sensitif terhadap komponen antibakteri.

Menurut Madigan et al. (2003), sebagian besar dinding sel bakteri Gram

positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan

mengandung protein M yang merupakan molekul panjang dengan lipoteikoat

membentuk mikrofibril yang memudahkan pelekatan antibakteri. Dinding sel

bakteri Gram negatif mengandung tiga polimer yang terletak diluar lapisan

peptidoglikan yaitu lipoprotein, porin matrik dan lipopolisakarida. Selanjutnya

menurut Williams et al. (1996), membran luar pada bakteri Gram negatif terdiri

dari lapisan lipopolisakarida (LPS) yang terikat satu sama lain dengan kation

divalent Ca++ dan Mg++, berfungsi sebagai penghalang masuknya

senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel (bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa hidrofobik).

Fraksi flavonoid dan tanin dari ekstrak metanol batang X. granatum dapat

(49)

terjadi karena bakteri E. coli klinis yang digunakan diambil dari pasien yang

terinfeksi bakteri tersebut dan terseleksi menghadapi antibiotik sehingga bersifat

resisten terhadap bahan aktif yang mengandung senyawa antibakteri.

Ekstrak metanol batang X. granatum yang terdiri dari fraksi alkaloid,

flavonoid dan tanin menunjukkan aktivitas antibakteri dan diduga juga sebagai

inhibitor topoisomerase I. Menurut Sukardiman et al. (2002), senyawa bahan

alam yang memiliki aktivitas antikanker dan memiliki target molekul enzim DNA

topoisomerase antara lain termasuk golongan alkaloid, glikosida dan flavonoid.

Agarrado (2002) menyatakan bahwa alkaloid mempunyai aktivitas biologi

sebagai antibakteri dan antikanker, sehingga dapat digunakan sebagai bahan obat.

Menurut Frederick et al. (2003), alkaloid dapat menginduksi apoptosis pada sel

kanker manusia. Selanjutnya menurut Alexandrova et al. (2000) dalam Dardanela

(2005), alkaloid dominan mempunyai khasiat obat sebagai penghambat enzim

tirosin kinase dan mematikan sel abnormal seperti kanker.

Harborne (1987) menyatakan bahwa flavonoid berfungsi sebagai antivirus

dan memiliki aktivitas sitotoksik dengan cara membentuk senyawa kompleks

dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga dapat menghambat kerja enzim.

Menurut Robinson (1995), senyawa tanin memiliki aktivitas antioksidan,

menghambat pertumbuhan tumor, menghambat enzim reverse transkriptase

dan DNA topoisomerase. Selanjutnya menurut Harismah (2002), sifat antibakteri

tanin diakibatkan oleh gugus pirogalol dan gugus galoil. Suragih (2002)

menyatakan bahwa katekin, leukoantosianin dan asam galat merupakan senyawa

tanin yang terdapat pada biji X. granatum yang berperan sebagai antibakteri.

Dari hasil penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa aktivitas

antibakteri dan inhibitor topoisomerase I ekstrak X. granatum disebabkan oleh

kandungan senyawa aktif yaitu alkaloid, flavonoid dan tanin. Senyawa antibakteri

ada hubungannya dengan inhibitor topoisomerase I, karena memiliki mekanisme

yang sama yaitu mengganggu sintesis protein dan asam nukleat, sehingga dapat

menekan pertumbuhan atau proliferasi sel kanker. Biosintesis protein dan asam

nukleat selalu berkaitan, karena itu senyawa antibiotik yang menghambat sintesis

DNA, secara langsung menghambat sintesis protein. Sebaliknya bila sintesis

Gambar

Gambar 2   Habitat tanaman X. granatum
Gambar 3   Akar dan daun X. granatum
Tabel 1.  Penapisan fitokimia serbuk simplisia biji X. granatum
Tabel 2.  Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi senyawa dengan metode uji tabung dan kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun pandan wangi mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, saponin,

Hasil skrining fitokimia menunjukan ekstrak etanol daun awar-awar mengandung senyawa flavonoid, saponin, alkaloid dan tanin yang memiliki aktivitas antibakteri..

Hal ini dikuatkan dengan uji fitokimia yang telah dilakukan bahwa ekstrak biji alpukat positif mengandung golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin,

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) ekstrak etanol kulit batang dan buah Kersen mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin, dan polifenol dalam kadar yang

Ekstrak etanol daun benalu kopi positif mengandung senyawa metabolit sekunder. alkaloid, flavonoid, saponin, tanin

Golongan senyawa yang mempunyai aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun jambu biji terhadap Shigella sonnei yaitu flavonoid, saponin dan tanin. Perlu dilakukan

Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Etanol 96% Biji Kapulaga Jawa Uji Senyawa Hasil Pengujian Alkaloid + Flavonoid + Saponin - Steroid - Terpenoid + Tanin + Keterangan : + Ada Senyawa

Hasil skrining senyawa metabolit sekunder biji kopi robusta Identifikasi senyawa Hasil Alkaloid + Flavonoid + Saponin + Tanin + Triterprnoid + Fenol + Skrining