• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Uji Antibakteri

4.4.1. Uji Antibakteri menggunakan metode difusi cakram

Metode difusi cakram adalah uji antibakteri yang dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk menyeleksi adanya aktivitas antibakteri dari daun kecombrang terhadap bakteri uji, dalam ini diwakili oleh bakteri gram positif Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif yaitu Escherichia coli. Aktivitas antibakteri diketahui dengan melihat ada tidaknya daerah hambatan (zona hambat) disekeliling

cakram pada pertumbuhan bakteri di media padat. Semakin besar diameter zona hambat, maka semakin besar aktivitas antibakteri.

Hasil penelitian diperoleh variasi diameter zona hambat yang dihasilkan ekstrak air daun kecombrang terhadap bakteri S. aureus dan E. coli dapat dilihat pada Gambar 7. Ekstrak air daun kecombrang dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli pada konsentrasi tertinggi yaitu 100%. Namun, ekstrak air daun kecombrang sudah dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada konsentrasi 20%. Dari hasil tersebut mengindikasikan bahwa untuk menghambat pertumbuhan E. coli

dibutuhkan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan untuk menghambat S. aureus.

Hasil diameter zona hambat ekstrak air daun kecombrang terhadap S. aureus

pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% didapatkan besar zona hambat yang berbeda-beda, yaitu berturut adalah 8,663 mm, 14,223 mm, 15,33 mm, 20,08 mm, dan 21,36 mm. Dari hasil uji diketahui semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin tinggi daya hambatnya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi semakin banyak kandungan bahan aktif antibakterinya. Menurut Jenie dan Kuswanto (1994) bahwa keefektifan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan tergantung pada sifat mikroba uji, konsentrasi dan lamanya waktu kontak. Sifat biostatistik dapat meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi yang ditambahkan.

35

Gambar 7. Diameter zona hambat ekstrak air daun kecombrang pada Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

Mengacu pada standart umum yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (1988) disebutkan bahwa mikroba dinyatakan peka terhadap antimikroba asal tanaman apabila mempunyai ukuran diameter daya hambatannya 12 - 24 mm. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa ekstrak air daun kecombrang peka atau sensitif pada konsentrasi 40% terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus dengan diameter daya hambat yang dihasilkan lebih dari standart yang ditentukan oleh Departemen Kesehatan yaitu berdiameter 12 sampai 24 milimeter. Namun ekstrak air daun kecombrang tidak peka atau sensitif terhadap E. coli karena kurang dari standart yang ditentukan oleh Departemen Kesehatan.

Berdasarkan analisis statistik menggunakan anova satu arah pada ekstrak air daun kecombrang terhadap S. aureus didapatkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak sehingga hipotesis yang diterima adalah tidak ada perbedaan yang nyata dan signifikan. Hal ini dikarenakan tidak ada perbedaan yang terlalu jauh antara diameter zona hambat dengan besarnya konsentrasi yang digunakan. Berdasarkan analisa

statistik menggunakan anova satu arah pada ekstrak air daun kecombrang terhadap

E. coli didapatkan analisa yaitu H0 ditolak dan H1 diterima sehingga hipotesis yang diterima adalah perbedaan yang nyata dan signifikan antara diameter zona hambat dengan besarnya konsentrasi yang digunakan.

Ekstrak air daun kecombrang memiliki efektifitas menghambat lebih tinggi terhadap S. aureus dibanding E. coli. Dalam Palmer et al. (1998) bakteri gram positif seperti S. aureus lebih sensitif terhadap 21 jenis minyak atsiri tumbuhan dibandingkan bakteri gram negatif. Kusmiyati dan Agustini (2006) menuliskan aktivitas ekstrak B dari kultur Porphyridium cruentum tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif (E. coli), tetapi dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif (Bacillus subtilis dan S. aureus). Selain itu, Hartini et al. (2008) membuktikan hasil aktivitas antimikroba ekstrak etanol buah, ekstrak etanol kulit batang pulasari, ekstrak etanol buah adas dan kulit batang pulasari (4 : 3) menunjukkan bahwa aktivitas terhadap S. aureus lebih besar dibandingkan terhadap

E. coli.

Respon yang berbeda dari dua golongan bakteri terhadap senyawa ini disebabkan karena adanya perbedaan kepekaan pada bakteri gram positif dan bakteri Gram negatif terhadap senyawa antibakteri yang terkandung dalam ekstrak air daun kecombrang. Bakteri gram positif cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri. Hal ini disebabkan oleh struktur dinding sel bakteri gram positif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja, sedangkan struktur dinding sel bakteri gram

35

negatif lebih kompleks dan berlapis tiga, yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa peptidoglikan dan lapisan dalam lipopolisakarida (Pelczar dan Chan, 1986).

Pengaruh antimikroba juga dipengaruhi oleh pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi. Air bersifat relatif polar sehingga senyawa yang tersari relatif bersifat polar. Kepolaran senyawa inilah yang mengakibatkan senyawa ini lebih mudah menembus dinding sel bakteri Gram positif sehingga terlihat diameter zona hambat S. aureus lebih besar dibandingkan dengan E. coli. Hal ini disebabkan mayoritas dinding sel bakteri gram negatif terdiri atas kandungan lipid yang lebih banyak daripada sel bakteri gram positif yang mayoritas kandungan dinding selnya adalah peptidoglikan. Sehingga, jika senyawa yang bersifat polar sukar untuk melalui dinding sel gram negatif.

Hougton dan Raman (1998) menuliskan senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar lebih mudah larut dengan pelarut nonpolar. Naufalin (2005) membuktikan komponen bioaktif pada ekstrak bunga kecombrang berbeda-beda sesuai dengan polaritasnya. Komponen fitokimia ekstrak heksana terdiri dari steroid, triterpenoid, alkaloid, dan glukosida. Komponen fitokimia ekstrak etil asetat adalah steroid, terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan glikosida. Sedangkan ekstrak etanol menghasilkan komponen fenolik, terpenoid, alkaloid, saponin, dan glikosida.

Menurut Kanazawa et al. (1995) suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba maksimum, karena untuk interaksi

suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan hidrofilik-hidrofilik (HLB : hydrophilic lipopphilic balance). Menurut Branen dan Davidson (1993), polaritas senyawa merupakan sifat fisik senyawa antimikroba yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa antimikroba larut dalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba,tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik; sehingga senyawa antibakteri memerlukan keseimbangan hidrofilik-hidrofilik untuk mencapai aktivitas yang optimal.

Pada metode ini digunakan kloramfenikol (10 µg) sebagai kontrol positif untuk pengujian aktivitas antibakteri, karena merupakan salah satu antibiotika yang mempunyai spektrum kerja yang luas. Dalam Pratiwi (2002) menuliskan antibiotik memberikan efek dengan cara bereaksi pada subunit 50S ribosom dan menghalangi aktivitas enzim peptidil transferase. Enzim ini berfungsi membentuk ikatan peptida antara asam amino baru yang baru melekat pada tRNA dengan asam amino yang masih berkembang. Sebagai akibatnya sintesis protein bakteri akan terhenti seketika.

35

80 %

100 %

Gambar 8. Diameter zona hambat bakteri uji terhadap kloramfenikol Hasil pengujian antibakteri kloramfenikol (10 µg) yang dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil penelitian diketahui kalau kloramfenikol (10 µg) adalah antibiotik yang berspektrum luas atau memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri gram positip dan bakteri gram negatif, dalam penelitian diwakili oleh S. aureus dan E. coli yaitu dengan menghasilkan diameter zona hambat sebesar 17,5 mm dan 22,66 mm. Dalam Prescott dan Klein (2009) menuliskan bakteri terhadap kloramfenikol (30 µg) dibagi tiga yaitu yang memiliki diameter 12 mm termasuk resisten, 13-17 mm termasuk intermediet dan lebih dari 18 mm merupakan bakteri yang sensitif. Berdasarkan zona hambat yang didapatkan diketahui bahwa kedua bakteri tersebut termasuk kategori yang bersifat sensitif terhadap kloramfenikol karena dihsilkan zona hambat lebih besar dari 18 mm.

Diameter zona hambat ekstrak air pada konsentarasi 80% daun kecombrang pada S. aureus sebesar 20,08 mm melebihi zona hambat kloramfenikol 10 µg yaitu

17,5 mm. Namun pada E. coli zona hambat ekstrak air daun kecombrang pada konsentrasi 100% sebesar 10 mm sangat berbeda bila dibandingkan dengan zona hambat kloramfenikol 10 µg yaitu 22,66 mm. Sehingga dapat diketahui ekstrak air daun kecombrang pada konsentarasi 60% memiliki kemampuan yang sama dengan kloramfenikol (10 µg) dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus. Namun, ekstrak air daun kecombrang memiliki kemampuan menghambat bakteri E. coli yang lebih rendah dibanding kloramfenikol (10 µg).

4.4.2. MIC (Minimum Inhibitory Consentration)

Hasil uji antibakteri menggunakan metode difusi cakram diketahui ekstrak air daun kecombrang mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji. Sehingga perlu diketahui nilai dari konsentrasi hambat minimum (KHM) atau MIC (Minimum Inhibitory Consentration) yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90% dari inokulum asal selama inkubasi 24 jam (Cossentio et al. 1999). Konsentrasi pada pengujian KHM mengacu terhadap konsentrasi terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada metode difusi cakram, yaitu konsentrasi untuk E. coli adalah 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30% dan untuk S. aureus adalah 50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan 100%.

Hasil pengujian KHM diketahui persentasi penghabatan ekstrak air daun kecombrang terhadap bakteri uji pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai KHM ekstrak air daun kecombrang terhadap E. coli adalah pada konsentrasi 90%, dimana konsentrasi tersebut sudah dapat mematikan 92,57%. Sedangkan nilai

35

KHM ekstrak air daun kecombrang terhadap S. aureus pada konsentrasi 15%, dimana konsentrasi tersebut sudah dapat mematikan 96.11%.

Tabel 6. Hasil MIC atau konsentrasi hambat minimum pada ekstrak air daun kecombrang Jenis Bakteri Konsentrasi Ekstrak (%) Jumlah Bakteri (sel/ml) inkubasi 24 jam (Nt) % Penghambatan = 100 % - (Nt/No x 100 %) 50 TBUD - 60 TBUD - 70 1,12. 106 32,4 80 4. 106 76,1 90* 1,24. 106 92,57 100 7,4. 105 95,6 Escherichia coli (sel vegetatif awal No= 1,62. 107 sel/ml) 5 TBUD - 10 2,84. 106 89,37 15* 1,04. 106 96,11 20 - 100 25 - 100 Stapylococcus aureus (sel vegetatif awal No= 2,67.107 sel/ml)

30 - 100

Ket: * = MIC atau konsentrasi hambat minimum pada ekstrak air daun kecombrang terhadap bakteri uji

Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi cakram dan metode kontak memberikan hasil konsentrasi ekstrak yang berbeda. Hal ini karena perbedaan laju difusi antibakteri pada jenis media yang berbeda. Tabak et al. (1996) telah membandingkan pengukuran medium padat dan medium cair untuk melihat pengaruh ekstrak thyme pada bakteri Helicobacter pilory, hasilnya diketahui bahwa pengahambatan timol lebih efektif pada medium cair dibandingkan dengan medium padat. Pada konsentrasi timol 3,5 mg/ml penghambatannya pada medium padat masih dapat teramati, sedangkan pada medium cair sudah membunuh semua bakteri yang ada. Demikian juga yang telah dilakukan oleh Wan et al. (1998), minyak

essensial basil tidak memberikan pengaruh penghambatan terhadap Pseudomonas flourescens dengan metode difusi agar, sedangkan bila menggunakan medium cair pengaruh penghambatan dapat teramati. Pada medium padat, difusi antimikroba akan tertahan dengan adanya agar pada medium.

Hasil penelitian Juliantina et al. (2009) menunjukkan bahwa ekstrak etanol sirih merah (Piper crocatum) mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan dan membunuh S. aureus (gram positif) pada konsentrasi 25%. Sedangkan kemampuan menghambat pertumbuhan dan membunuh E. coli (gram negatif) pada konsentrasi 6,25%. Hasil penelitian Suryani dan Stepriyani (2007) menunjukkan bahwa infusa daun mahkota dewa memiliki daya antibakteri terhadap

Staphylococcus aureus dengan MIC 3,125%. Infusa daun mahkota dewa tidak memiliki daya antibakteri terhadap Eschericia coli dengan MIC lebih besar dari 25%. Parwata dan Dewi (2008) menuliskan hasil uji aktivitas minyak atsiri dari rimpang lengkuas (Alpinia galanga L.) terhadap bakteri E. coli pada konsentrasi 100 ppm dan 1000 ppm menunjukkan diameter daerah hambatan sebesar 7 mm dan 9 mm, sedangkan minyak atsiri hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 1000 ppm sebesar 7 mm. Dari penelitian diatas diketahui kemampuan antibakteri dari ekstrak air daun kecombrang lebih rendah dibanding dengan ekstrak etanol sirih merah (Piper crocatum) dan infusa daun mahkota dewa. Namun ekstrak air daun kecombrang memiliki aktifitas antibakteri lebih tinggi dibanding dengan minyak atsiri dari rimpang lengkuas (Alpinia galanga L.).

35

Dokumen terkait