• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji antioksidan dan antibakteri ekstrak air daun kecombrang (etlingera elatior) (Jack) R.M.Smith) sebagai pengawet alami terhadap escherichia coli dan staphylococus aureus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji antioksidan dan antibakteri ekstrak air daun kecombrang (etlingera elatior) (Jack) R.M.Smith) sebagai pengawet alami terhadap escherichia coli dan staphylococus aureus"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

UJI ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR

DAUN KECOMBRANG (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith)

SEBAGAI PENGAWET ALAMI TERHADAP Escherichia

coli DAN Staphylococcus aureus

RINA NINGTYAS

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

(2)

Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

RINA NINGTYAS 106095003214

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

UJI ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR DAUN

KECOMBRANG (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) SEBAGAI

PENGAWET ALAMI TERHADAP Escherichia coli DAN

Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

RINA NINGTYAS 106095003214

Menyetujui :

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

DR. Ira Djajanegara, M.Sc Dra. Nani Radiastuti, M.Si

NIP.

19640826.199302.2.004

NIP.

19650902.20011.2.001

Menget

ahui :

Ketua Prodi Biologi

(4)

telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam Sidang Munaosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Biologi.

Menyetujui :

Penguji 1, Penguji 2,

DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud Dini Fardila, M.Si NIP .1969404.200501.2.005 NIP.19800330.200901.2.009

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

DR. Ira Djajanegara, M.Sc Dra. Nani Radiastuti, M.Si NIP .19640826.199302.2.004 NIP.19650902.20011.2.001

Mengetahui :

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Prodi Biologi

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI DAN LEMBAGA MANAPUN

Jakarta, Desember 2010

(6)

Penggunaan bahan pengawet dan antioksidan sintetis tidak direkomendasikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena diduga dapat menimbulkan penyakit kanker (carcinogenic agent). Kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) adalah

tanaman asli Indonesia yang berpotensi sebagai pengawet alami. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan antibakteri dan antioksidan ekstrak air daun kecombrang yang berpotensi sebagai pengawet alami. Ekstraksi dilakukan dengan maserasi menggunakan pelarut aquadest. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

ekstrak air daun kecombrang mengandung senyawa bioaktif berdasarkan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dengan nilai LC50 53,08 ppm. Hasil pengujian antioksidan dengan metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) diketahui aktivitas antioksidan sangat kuat dengan nilai IC50 24,394 mg/l. Aktivitas antibakteri ekstrak diamati dengan metode difusi cakram menunjukkan ekstrak dapat menghambat pertumbuhan E. coli dan S. aureus. Hasil pengujian antibakteri ekstrak air daun kecombrang terhadap S. aureus pada

konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% diperoleh zona hambatan yang berbeda yaitu 8,663 mm, 14,223 mm, 15,33 mm, 20.08 mm dan 21,36 mm. Ekstrak air daun kecombrang menghambat pertumbuhan E. coli hanya pada konsentrasi 100% dengan

zona hambat sebesar 10 mm. Diameter zona hambat kloramfenikol 10 μg mendekati zona hambat diameter ekstrak air daun kecombrang pada S. aureus konsentrasi 60% sebesar

17,5 mm. Pada E. coli zona hambat kloramfenikol 10 μg sangat berbeda bila

dibandingkan dengan zona hambat ekstrak air daun kecombrang yaitu 22,66 mm. Nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) E. coli pada konsentrasi 90%, sedangkan untuk S. aureus pada konsentrasi 15%. Identifikasi ekstrak air daun kecombrang menggunakan

GC-MS (Kromatografi gas spektroskopi massa) diperoleh 62 senyawa dengan jumlah tertinggi adalah butanadiol dan eicosane.

(7)

ABSTRACT

Antioxidant and Antibacterial Of Kecombrang Leaf Extract (Etlingera elatior (Jack)

R.M. Smith) As Natural Preservative Against Escherichia coli and Staphylococcus aureus

The use of synthetic preservatives and antioxidants are not recommended by the Food and Drug Supervisory Agency (BPOM) for allegedly can cause cancer (carcinogenic agent). Kecombrang (Etlingera elatior (Jack) RM Smith) is a plant native to Indonesia

which has the potential as a natural preservative. The purpose of this research is to determine the ability of antibacterial and antioxidant of kecombrang leaf extract as a natural preservative. The extraction was done by maceration using aquadest solvent. The

results showed that kecombrang leaf extract contain bioactive compounds based on the BSLT method (Brine Shrimp Lethality Test) with LC50 value 53,08 ppm. Antioxidants test with DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) method was resulted in a very strong antioxidant activity at IC50 24,394 mg/l. Antibacterial activity of extracts was observed with disc diffusion method and it showed the extract can inhibit the growth of E. coli and S. aureus. The results antibacterial testing of kecombrang leaf extract for S. aureus at

20%, 40%, 60%, 80% and 100% concentrations resulted in different inhibition zone, which were 8,663 mm, 14,223 mm, 15,33 mm, 20,08 mm and 21,36 mm respectively. However, kecombrang leaf extract inhibited E. coli growth only at concentration 100%

and the inhibition zone was 10 mm. Chloramphenicol 10 μg/l inhibition zone diameter similar to kecombrang leaf extract on S. aureus at 60% concentration, inhibition which

was 17,5 mm. The inhibition zone E. coli of chloramphenicol 10 μg was very different

compared to kecombrang leaf extract was 22,66 mm. The KHM value (Minimum Inhibitory Consentration) for E. coli at 90% concentration, while for S. aureus at 15%

concentration. There were 62 compounds identified in kecombrang leaf extract use GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometer) and the highest number compound was

found butanediol and eicosane .

(8)

Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan ridhonya,

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Daun Kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) Sebagai Pengawet

Alami Terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus” disusun sebagai syarat

tugas akhir pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Selama penyusunan skripsi, berbagai pihak telah banyak memberikan bantuan dan dorongan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini disampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih terutama diberikan kepada :

1. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Ibu Dr. Lily Surayya E.P, M.Env.Stud., selaku Ketua Prodi Biologi Fakultas Sains

dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Ibu Priyanti, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Biologi.

4. Ibu Fahma Widjayanti. M.Si selaku pembimbing akademik.

5. Ibu Dr. Ira Djajanegara, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dra. Nani Radiastuti, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu

dan tenaga untuk memberikan bimbingan, saran dan dorongan hingga terselesaikannya skripsi ini.

(9)

6. Dosen-dosen Penguji baik seminar proposal, hasil maupun sidang (Ibu Megga

R.Pikoli, M.Si, Ibu Reno Fitri, M.Si, Bapak Lao Ode Sumarlin, M.Si, Ibu Lily Surayya E.P, M.Env.Stud dan Ibu Dini Fardila, M.Si)

7. Kepala Lab. Biologi, Ibu Megga R. Pikoli, M.Si beserta Staf laboratorium k’bahri, mba’Ida, mba’Puji. Kepala Lab. Kimia beserta Staf laboratorium k’erni dan p’haris.

Kepala Lab. Pangan beserta staf laboratorium pangan k’ pipit dan mba’ prita.

8. Balitro (Balai Penelitian Obat dan Aromatik) Bogor, Herbarium Bogoriense - LIPI Cibinong, dan Laboratorium Forensik Mabes Polri, Jakarta Selatan.

9. Semua dosen yang telah mengajarkan penulis selama kuliah S1 ini, terutama dosen-dosen di Prodi Biologi yang telah memberikan ilmu yang tiada terhingga dengan

penuh kesabaran dan keikhlasan, Laboran di laboratorium utama lantai 4 yang selama ini telah memberikan ilmu dan pengalaman teknik dalam laboratorium dan tata usaha di lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan informasi kepada penulis.

10.Untuk Mama dan ayah tercinta yang tidak pernah lelah memberi bantuan materil dan non materil, atas segala kasih sayang tulus, doa dan motivasi yang tak terhenti

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adik-adikku (Dyas dan Nana) dan keponakan ku tersayang (Nadya) atas segala keceriaan dan senyuman yang selalu

menemani.

11.Sahabat-sahabat ku, Yelvi, Nunu, dan Iis (ayank-ayangan).

12.Adeng Hudaya, sahabat dan partner penelitian yang telah bersama dalam suka dan

duka dalam penelitian dan mengejar Januari.

(10)

14.Temen-temen dari Farmasi yang penelitian bareng (Alim, Tiwi, Yaya, Sobir, Dani, Silma, Nadia dll) dan temen2 semua dari Kimia (Pipit, Mita, Indra dll)

15. Temen2 KKN ( Muhib, Hasan, Prop, Ubaid dan Ali)

Akhirnya, penulis berdoa semoga amal baik yang telah diberikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Amin. Semoga skripsi ini dapat

memberikan sumbangan pemikiran demi kemajuan dan keberhasilan bersama. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

1.5. Manfaat Penelitian………..…… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….….. 6

2.1. Pengawet Alami... 6

2.2. Kecombrang………... 8

2.2.1. Klasifikasi Kecombrang………... 8

2.2.2. Deskripsi Kecombrang... 9

2.2.3. Manfaat dan Kandungan Kecombrang... 10

2.3. Ekstraksi ... 11

2.4. Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)... 13

2.5. Antioksidan... 14

2.6. Antibakteri... 16

2.6.1. Mekanisme Kerja Antibakteri... 18

2.6.2. Pengukuran Aktivitas Antibakteri... 18

2.7. Kloramfenikol... 20

2.8. Bakteri Uji... 21

(12)

2.9.1. Prinsip Dasar GC-MS... 24

3.3.3.2. Persiapan Larutan Sampel yang akan diuji.... 28

3.3.3.3. Prosedur Uji Toksisitas dengan Metode BSLT……….. 28

3.3.4. Pengujian Antioksidan... 30

3.3.4.1. Pembuatan Kurva Standar... 30

3.3.4.2. Pengujian Antioksidan... 30

3.3.5. Pembuatan Medium... 31

3.3.5.1. Pembuatan Medium Nutrient Agar (NA) dan Nutrient Broth (NB)……… 31

3.3.5.2. Pembuatan Medium Mueller Hinton Agar (MHA)……… 31

3.3.6. Peremajaan Bakteri Uji dan Pembuatan Suspensi Bakteri……… 32

3.3.7. Pembuatan Inokulum... 32

(13)

3.3.8. Pengujian Antibakteri... 32

3.3.7.1. Difusi Cakram... 32

3.3.7.2. MIC (Minimum Inhibitory Consentration)…. 33 3.3.9. Analisis GCMS... 33

3.4. Analisis Data... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1. Ekstraksi Daun Kecombrang... 34

4.2. Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)... 35

4.3. Uji Antioksidan... 38

4.4. Uji Antibakteri... 41

4.3.1. Uji Antibakteri menggunakan metode difusi cakram.. 41

4.3.2. MIC (Minimum Inhibitory Consentration)... 48

4.5. Analisis GC-MS... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 58

5.1. Kesimpulan……….…... 58

5.2. Saran……….…... 59

DAFTAR PUSTAKA... .. 60

LAMPIRAN... 68

(14)

Tabel 1. Bahan Alami di Indonesia yang Mempunyai Efek Antibakteri... 7 Tabel 2. Perhitungan Akumulasi Mati Tiap Konsentrasi... 29

Tabel 3. Perhitungan Akumulasi Hidup Tiap Konsentrasi... 29 Tabel 4. Hasil Uji BSLT Ekstrak Air Daun Kecombrang... 36 Tabel 5. Hasil Pengujian Aktifitas Antioksidan Ekstrak Air Daun

Kecombrang………. 40 Tabel 6. Hasil MIC atau Konsentrasi Hambat Minimum pada Ekstrak

Air Daun Kecombrang………. 49 Tabel 7. Hasil GC-MS Ekstrak Air Daun Kecombrang………. 52

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar1. Kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith)……… 9

Gambar 2. Struktur DPPH... 16 Gambar 3. Kloramfenikol... 21 Gambar 4. Ekstraksi Daun Kecombrang (a) Serbuk daun kecombrang,

(b) Hasil ekstrak daun kecombrang……… 35 Gambar 5. Reaksi DPPH DenganAntioksidan... 38

Gambar 6. Kurva Standar BHA (Butil hidroksianisol)... 39 Gambar 7. Diameter Zona Hambat Ekstrak Air Daun Kecombrang pada

Escherichia coli dan Staphylococcus aureus……… 43

Gambar 8. Diameter Zona Hambat Bakteri Uji terhadap Kloramfenikol... 47

Gambar 9. Kromatogram Hasil GC-MS Ekstrak Air Daun Kecombrang

dengan Pelarut Etanol... 51 Gambar10. Struktur Kimia Lima Senyawa Terbanyak dengan

Similaritas Minimal 90% (1)butanediol (C4H10O2), (2) penol (C6H5O-) (3) nanodecane (C19H40), (4) Trycosane (C23H48), dan

(5) Eicosane (C20H42)………. 53

(16)

ix

Lampiran 2. Kerangka Berpikir... 69

Lampiran 3. Pengukuran Nilai LC50 Daun Kecombrang Uji BSLT... 70

. Lampiran 4. Jumlah Inokulum Bakteri... 71

Lampiran 5. Penghambatan Escherichia coli (1,67. 107 sel/ml)... 72

Lampiran 6. Penghambatan Staphylococcus aureus (2,26. 107 sel/ml)... 73

Lampiran 7. Kontrol Positip dan Kontrol Negatif... 74

Lampiran 8. Data Statistik Staphyloccocus aureus... 75

Lampiran 9. Data Statistik Escherichia coli... 76

Lampiran 10. Uji Antioksidan... 77

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia di samping

pendidikan, kesehatan dan sandang lainnya yang akan terus meningkat sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk. Namun, bahan pangan tersebut mudah mengalami perubahan yang tidak diinginkan seperti pembusukan dan ketengikan (Barus, 2009).

Kerusakan bahan pangan ini umumnya disebabkan oleh mikroorganisme melalui proses enzimates dan oksidasi, terutama yang mengandung protein dan lemak

sementara karbohidrat mengalami dekomposisi. Dalam rangka menghambat proses kerusakan pangan digunakan bahan pengawet dan antioksidan sintetis seperti formalin, asam benzoat, BHA (butilated hydroxyanisol), BHT (butylated

hidroxytoluene) dan TBHQ (tertierbutylated hydroxyanisole) (Tranggono, 1990)

Penggunaan bahan pengawet dan antioksidan sintetis tidak direkomendasikan

oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena diduga dapat menimbulkan penyakit kanker (carcinogen agent). Karena itu perlu dicari alternatif lain yaitu bahan

pengawet dan antioksidan alami yang bersumber dari bahan alam (Barus, 2009).

Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai pengawet alami adalah kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith), yang merupakan tanaman rempah asli

(18)

tanaman ini adalah sebagai salah satu jenis sayuran dan dapat digunakan juga sebagai pengobat luka dan penghilang bau badan (Hidayat dan Hutapea, 1991).

Hasil penelitian oleh Jaafar et al. (2007) pada daun, batang, bunga dan

rimpang tanaman ini menunjukkan adanya beberapa jenis minyak esensial yang kemungkinan bersifat bioaktif. Penelitian Chan et al. (2007) ekstrak etanol dan

metanol dari daun tanaman ini memiliki aktivitas antoksidan dengan cara mengukur

Ferric-Reducing Antioxidant Power (FRAP) dan Abrorbic Acid Equivalent Capacity

(AEAC). McKeen et al. (1997) melaporkan ekstrak etanol dari daun tanaman

kecombrang ini memiliki kemampuan membunuh mikroba secara kualitatif dengan metode disc diffusion dan secara kuantitatif dengan metode tube dilution terhadap

bakteri gram positif (Bacillus cereus dan Bacillus megatrium) dan gram negatif

(Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa).

BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) adalah uji pendahuluan untuk mengetahui

adanya senyawa aktif dalam suatu ekstrak. Juniarti (2009) melakukan uji BSLT menggunakan larva udang Artemia salina sebagai pendahuluan uji antioksidan untuk

mengetahui adanya senyawa aktif dalam ekstrak daun saga dengan nilai LC50 606,736 ppm. Hasil positif dari uji ini menunjukkan adanya senyawa aktif yang berpotensi sebagai antimikroba, antioksidan, dan antikanker.

Dalam Rohman dan Riyanto (2005), ekstrak etanol daun kemuning diuji daya antioksidan dengan menggunakan metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil).

Andayani et al. (2008) dan Hanani (2005) juga menguji aktifitas antioksidan dengan

(19)

3

metode ini adalah metode yang sederhana untuk evaluasi aktifitas antioksidan dari senyawa bahan alam (Fraglino, 1999)

Naufalin (2005) menguji aktifitas bunga kecombrng dengan menggunakan

metode difusi cakram sebagai pendahuluan adanya aktifitas ekstrak terhadap bakteri uji. Selanjutnya, ekstrak dilakukan uji KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) sebagai

uji untuk mengetahui adanya konsentrasi terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Cossentio et al. (1999) menuliskan KHM adalah konsentrasi

yang dapat menghambat 90% bakteri uji dalam waktu 24 jam. Bakteri uji yang

digunakan adalah bakteri yang biasa mengkontaminasi bahan pangan yaitu

Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Selain itu, kedua bakteri ini adalah

perwakilan bakteri gram negatif dan positif.

Beberapa hasil penelitian telah dilakukan dengan mengekstrak daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) menggunakan pelarut etanol

(McKeen et al. 1997; Habsah et al. 2005; Chan et al. 2007) dan heksana

(Widiatmojo, 2009). Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pelarut air yang

berbeda dari penelitian sebelumnya. Selain itu, pelarut air biasa diterapkan dalam pembuatan makanan sehari-hari maupun industri makanan.

Mengingat adanya potensi dari daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack)

R.M. Smith) sebagai pengawet alami, maka perlu dikumpulkan bukti ilmiah yang terkait dengan kemampuannya sebagai antibakteri terutama pada ekstrak airnya.

(20)

organik tidak dapat diterapkan dalam pembuatan makanan sehari-hari maupun industri makanan. Sehingga perlu dilakukan kajian menggunakan pelarut air terhadap kemampuannya sebagai antioksidan dan antibakteri.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith)

memiliki senyawa bioaktif berdasarkan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality

Test)?

2. Apakah ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith)

memiliki aktivitas antioksidan?

3. Apakah ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith)

memiliki aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli dan Stphylococcus

aureus?

1.3. Hipotesis

1. Ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) memiliki

senyawa bioaktif berdasarkan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test).

2. Ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) memiliki

aktivitas antioksidan.

3. Ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) memiliki

(21)

5

1.4. Tujuan Penelitian

1. Untuk meneliti ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M.

Smith) memiliki senyawa bioaktif berdasarkan metode BSLT (Brine Shrimp

Lethality Test).

2. Untuk mengetahui ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack)

R.M. Smith) memiliki kemampuan antioksidan.

3. Untuk meneliti ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M.

Smith) memiliki aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan bukti ilmiah yang terkait tentang ekstrak air daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) terhadap

kemampuannya sebagai pengawet alami. Penggunaan pengawet alami diharapkan mengurangi penggunaan bahan pengawet sintetis yang diduga dapat menimbulkan

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengawet Makanan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, yang

dimaksud dengan pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau

menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang

disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet yang diijinkan penggunaannya dalam

makanan antara lain asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, natrium nitrit dan

kalium sulfit (Fardiaz, 2002).

Efektivitas dari bahan pengawet ditentukan oleh konsentrasi, macam bahan

pengawet, dan lingkungan bagi bahan pengawet itu ditambahkan. Semakin tinggi

konsentrasi bahan pengawet yang diberikan semakin besar pula efektivitasnya, jika

bahan pengawet tidak membahayakan bagi kesehatan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Menurut Food and DrugsAdministration (FDA), keamanan suatu pengawet makanan harus mempertimbangkan jumlah yang mungkin dikonsumsi dalam produk makanan

atau jumlah zat yang akan terbentuk dalam makanan dari penggunaan pengawet, efek

akumulasi dari pengawet dalam makanan dan potensi toksisitas yang dapat terjadi

dari pengawet jika dicerna oleh manusia atau hewan termasuk potensi menyebabkan

kanker (Andrew, 2006).

Pengawet kimia selama ini umum digunakan sebagai barier tambahan untuk

(23)

7

konsumen terhadap bahaya keracunan yang mungkin terjadi karena penggunaan

pengawet kimia yang berlebihan, memaksa industri pangan untuk menghindari

penggunaan pengawet kimia pada produknya, atau mencari alternatif lain yang lebih

alami untuk mempertahankan atau memperpanjang umur simpan produk.

Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari

tanaman rempah (seperti jahe, kayu manis, andaliman, daun salam dan sebagainya)

maupun dari produk hewani (seperti lisozim, laktoperoksidase, kitosan dan

sebagainya) sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai perguruan tinggi

di Indonesia. Pada Tabel 1 dapat dilihat beberapa hasil penelitian in vitro tanaman di Indonesia yang mempunyai efek antibakteri yang berpotensi sebagai pengawet alami.

Tabel 1. Bahan alami di Indonesia yang mempunyai efek antibakteri.

No Bahan Bagian Sumber Pustaka

1 Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff Boerl)

Daging

Buah Buah

Rohyami (2008)

2 Jeruk (Citrus auratifolia Swingle:

Rutaceae Daun

4 Cabe Jawa (Pipet petrofractum Vahl.

Piperaceae) Daun 6 Rosella (Hibiscus sabdariffa L) Bunga Ekstrak

metanol Yani (2010)

7 Bawang putih (Allium sativum L.) Umbi Ekstrak

Etanol Sativa (2009)

8 Belimbing (Averrhoea carambola L) Daun Ekstrak metanol

(24)

9

Jambu biji (Psidium guajaya L.) daging buah putih dan daging buah merah

Daun Ekstrak etanol

Adnyana et al.

(2004)

10 Jambu mede (Anacardium occidentale

L) Buah Infusa

12 Lengkuas (Languas galanga Stunz.) Rimpang Minyak atsiri

Parwata dan Dewi (2008)

2.2. Kecombrang

2.2.1. Klasifikasi Kecombrang

Kecombrang memiliki beberapa nama latin, seperti Nicolaia speciosa Horan,

Nicolaia elatior Horan, Etlingera elatior, Phaeomeria maggnifica, Phaemoria spesiosa, P .intermedia Valet (Tampubolon et al. 1983). Nama-nama daerah lain tanaman ini yaitu Kala (Gayo), Puwar kijung (Minangkabau), Kecombrang (Jawa

Tengah) Horije (Sunda), Atimengo (Gorontalo), Katimbang (Makasar), Salahawa

(Seram), Petikala (Ternate), Petikala (Tidore) (Hidayat dan Hutapea, 1991),

sedangkan di luar negeri dikenal dengan ginger bud (Inggris), xiang bao jiang (Cina),

kantan (Malaysia), boca de dragon (Spanyol) dan kaa laa (Thailand).

Tumbuhan kecombrang merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di

Indonesia. Penggunaan kecombrang sebagai bahan obat sangat banyak ragamnya.

Tumbuhan ini digunakan sebagai bahan pangan dan juga dapat digunakan untuk

(25)

9

2.2.2. Deskripsi Kecombrang

Tanaman kecombrang merupakan tanaman tahunan yang berbentuk semak

dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang semu, tegak, berpelepah,

membentuk rimpang, dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, lanset, ujung dan

pangkal runcing tetapi rata, panjang daun sekitar 20-30 cm dan lebar 5-15 cm,

pertulangan daun menyirip, dan berwarna hijau. Bunga kecombrang merupakan

bunga majemuk yang berbentuk bongkol dengan panjang tangkai 40-80 cm. Panjang

benang sari ± 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan putih. Mahkota

bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah jambu. Biji kecombrang

berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih atau merah jambu. Buahnya

kecil dan berwarna coklat. Akarnya berbentuk serabut dan berwarna kuning gelap

(Syamsuhidayat, 1991)

(26)

2.2.3. Manfaat dan Kandungan Kecombrang

Hampir seluruh bagian dari tumbuhan ini dapat dimanfaatkan. Dalam

kecombrang terkandung zat aktif seperti saponin, flavonoida, dan polifenol. Zat aktif

tersebut dikenal sebagai deodoran alami yang akan mengurangi bau badan yang

kurang enak bagi orang yang mengkonsumsinya. Kecombrang juga kaya vitamin dan

mineral. Khasiat lain dari kecombrang adalah memperbanyak ASI, dan pembersih

darah. Hal ini sangat baik bagi ibu yang sedang menyusui. Di beberapa kalangan

masyarakat, kecombrang dipercaya sebagai penetral kolesterol (Anonim, 2010). Hal

ini tidaklah mengejutkan mengingat adanya beberapa hasil penelitian yang

menunjukkan kandungan senyawa-senyawa bioaktif dari tanaman ini seperti

antibakteri, antioksidan dan antikanker.

Hasil penelitian oleh Jaffar et al. (2007) pada daun, batang, bunga dan rimpang tanaman ini menunjukkan adanya beberapa jenis minyak esensial yang

kemungkinan bersifat bioaktif. Ekstraksi minyak esensial dilakukan dengan metode

hidrodistilasi sedangkan analisanya dilakukan dengan alat GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometer). Dari penelitian ini terungkap kandungan minyak esensial tertinggi adalah pada daun yaitu sebesar 0,0735%, bunga sebesar

0,0334%, batang sebesar 0,0029% dan rimpang sebesar 0,0021%. Komponen utama

minyak esensial pada daun adalah β-pinene (19,7%), caryophyllene (15,36%) dan β

-farnesene (27,9%).

(27)

11

metode disc diffusion dan secara kuantitatif dengan metode tube dilution terhadap bakteri gram positif (Bacillus cereus dan Bacillus megatrium) dan gram negatif (Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa). Hasil pengujian menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dengan konsentrasi hambatan minimum berkisar 100–800

μg/ml dan konsentrasi lethal minimum berkisar 400–800 μg/ml. Hal ini menunjukkan

potensi pemakaian daun tanaman ini sebagai pengawet makanan alami.

Ekstrak etanol dan metanol dari bunga, daun dan rhizome tanaman ini diuji aktivitas antioksidannya dengan cara mengukur Ferric-Reducing Antioxidant Power

(FRAP) dan Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC). Hasil penelitian tersebut megindikasikan semua ekstrak mengandung aktivitas antioksidan

dimana ekstrak yang berasal dari daun menunjukkan aktivitas tertinggi diikuti ekstrak

bunga dan terrendah adalah ekstrak rimpang (Chan et al. 2007). Dibuktikan bahwa senyawa-senyawa aktif 1,7-bis (4-hydroxyphenyl)- 2,4,6- heptatrienone,

demethoxycurcumin dan 1,7-bis (4-hydroxyphenyl)- 1,4,6-heptatrien- 3-one dari

rimpang tanaman ini mempunyai kekuatan menghambat peroksidasi pada lemak yang

lebih kuat daripada α-tocopherol sebagai kontrol positif (Habsah et al. 2005).

2.3. Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair

dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi

yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi merupakan proses

(28)

cara. Ekstraksi menggunakan pelarut didasarkan pada kelarutan komponen terhadap

komponen lain dalam campuran (Suyitno et al. 1989).

Ekstraksi tumbuhan adalah proses penarikan zat aktif dalam tumbuhan dengan

menggunakan pelarut tertentu. Senyawa atau kandungan dalam tumbuhan memiliki

kelarutan berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Pelarut-pelarut yang biasa

digunakan antara lain: kloroform, eter, aseton, alkohol, metanol, etanol dan etil asetat

(Harbone, 2006).

Metode ektraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah maserasi.

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat yang mudah

larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air,

air-etanol, pelarut lain. Keuntungan metode ini adalah pengerjaan dan peralatan yang

digunakan sederhana dan mudah diperoleh. Namun, kerugian metode ini yaitu

pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Endah, 2008).

Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah air. Air adalah pelarut

yang kuat, melarutkan banyak jenis zat kimia. Zat-zat yang bercampur dan larut

dengan baik dalam air (misalnya garam-garam) disebut sebagai zat-zat "hidrofilik"

(larut air), dan zat-zat yang tidak mudah tercampur dengan air (misalnya lemak dan

minyak), disebut sebagai zat-zat "hidrofobik" (tidak larut dalam air). Kelarutan suatu

zat dalam air ditentukan oleh dapat tidaknya zat tersebut menandingi kekuatan gaya

tarik-menarik listrik (gaya intermolekul dipol-dipol) antara molekul-molekul air. Jika

suatu zat tidak mampu menandingi gaya tarik-menarik antar molekul air,

(29)

13

2.4. Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Metode uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) diperkenalkan oleh Meyer pada tahun 1982 yang digunakan untuk memantau adanya aktifitas farmakologi

(terutama anti kanker) dari suatu fraksi atau fraksi-fraksi tanaman. Metode BSLT ini

mempunyai keunggulan: waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, praktis, tidak

memerlukan teknik aseptis, tidak memerlukan perawatan khusus, menggunakan

sampel relatif sedikit, tidak memerlukan serum hewan, hasil uji berkorelasi baik

dengan beberapa metode uji sitotoksik. Prinsip uji BSLT adalah menarik hubungan

antara konsentrasi larutan fraksi atau ekstrak terhadap respon kematian Artemia salina (Wahyono dan Rahman, 1995).

Artemia salina Leach merupakan organisme sejenis udang-udangan yang berukuran kecil dan dikenal dengan nama brine shrimp. Artemia salina Leach digunakan sebagai hewan uji untuk menentukan ketoksikan suatu senyawa dalam

ekstrak tumbuhan yang diwujudkan sebagai racun terhadap hewan uji. Senyawa

bioaktif kebanyakan bersifat toksik pada dosis tinggi. Jadi, pengujian dengan

organisme yang sederhana secara zoologis dapat digunakan secara monitor yang

meyakinkan untuk skrining dan fraksinasi dalam penemuan senyawa bioaktif yang

baru (Baraja, 2008).

(30)

konsentrasi terkecil (LC10) dan konsentrasi terbesar (LC90) yang dapat mematikan

Artemia salina.

Hasil uji BSLT akan diketahui adanya senyawa bioaktif dengan mengetahui

nilai LC50. Nilai LC50 merupakan angka yang menunjukan konsentrasi ekstrak yang

dapat menyebabkan kematian sebesar 50% dari jumlah hewan uji. Dalam Meyer

(1982 dalam Juniarti et al. 2009), suatu zat dikatakan aktif bila nilai LC50 < 1000 ppm untuk ektrak dan < 30 ppm untuk suatu senyawa.

2.5. Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi

berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegahnya terbentuknya radikal.

Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat mencegah reaksi oksidasi, dengan

mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya kerusakan sel

dapat dihambat (Winarsi, 2007).

Radikal bebas adalah senyawa kimia yang memiliki satu atau lebih elektron

tidak berpasangan pada orbital terluarnya, sehingga dapat menyerang

senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid, dan protein. Radikal ini akan merebut

elektron dari molekul lain yang ada disekitarnya untuk menstabilkan diri, sehingga

spesies kimia ini sering dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan

(31)

15

Dalam Winarsi (2007), secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi 2,

yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antoksidan enzimatis misalnya enzim

Super Oksidase Dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan non-enzimatis masih dibagi dalam dua kelompok lagi yaitu antioksidan larut lemak

seperti –tokoferol, karetonoid, flavonoid, quinon, dan bilirubin dan antioksidan larut

air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat

heme. Antioksidan non-enzimatis dalam sayuran dan buah-buahan. Komponen yang

bersifat antioksidan dalam sayuran dan buah-buahan meliputi vitamin C, E dan

ß-karoten, flavonoid, isoflavon, antosianin, katekin, isokatekin dan asam lipoat.

Senyawa fitokimia ini membantu melindungi sel dari kerusakan oksidatif yang

disebabkan oleh radikal bebas.

Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau

polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin,

tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan

kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam

klorogenat, dan lain-lain (Pokorni et al. 2001).

Fungsi utama antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil

terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses

kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri

makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta

(32)

satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan

pengolahan makanan (Hernani dan Raharjo, 2005). Antioksidan tidak hanya

digunakan dalam industri farmasi, tetapi juga digunakan secara luas dalam industri

makanan, industri petroleum, industri karet dan sebagainya (Tahir et al. 2003).

Pemeriksaan antioksidan dalam penelitian dilakukan dengan metode DPPH

(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). Uji kimia ini telah digunakan secara luas pada penelitian

fitokimia untuk menguji aktivitas penangkap radikal dari ekstrak atau senyawa murni.

DPPH adalah suatu radikal stabil yang mengandung nitrogen organik, berwarna ungu

gelap dengan absorbansi yang kuat pada panjang gelombang maksimum 517 nm.

Setelah bereaksi dengan antioksidan warna larutan akan berkurang dan berubah

menjadi kuning. Perubahan warna ini dapat diukur secara spektrofotometri

(Reynertson, 2007)

1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) Gambar 2. Struktur DPPH

Penurunan intensitas warna yang terjadi disebabkan oleh berkurangnya ikatan

(33)

17

satu elektron oleh zat antioksidan, menyebabkan tidak adanya kesempatan elektron

tersebut untuk beresonansi (Pratimasari, 2009).

2.6. Antibakteri

Penggunaan senyawa antimikroba khususnya yang alami, secara umum

meningkat dari tahun ke tahun. Senyawa antimikroba merupakan senyawa yang

mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa

antimikroba yang terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tanaman diketahui dapat

menghambat beberapa mikroorganisme patogen maupun perusak pangan (Branen dan

Davidson, 1993).

Senyawa antimikroba yang berasal dari tanaman, sebagian besar diketahui

merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama golongan fenolik dan terpena.

Sebagian besar metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer seperti

dari asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat, dan metabolit antara (Helber,

1995). Ditambahkan oleh Nychas dan Tassou (2000), beberapa senyawa yang bersifat

antimikroba alami berasal dari tanaman diantaranya adalah fitoaleksin, asam organik,

minyak essensial (atsiri), fenolik dan beberapa kelompok pigmen tanaman atau

senyawa sejenis.

Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi, menimbulkan penyakit, dan

merusak bahan pangan. Mikroorganisme dapat dihilangkan, dihambat dan dibunuh

dengan cara fisik maupun kimia. Senyawa antimikroba adalah zat yang dapat

(34)

pengobatan infeksi pada manusia, hewan dan tumbuhan. Antimikroba meliputi

antifungi, antibakteri, antiprotozoa dan antivirus (Inayati, 2007).

Antibakteri adalah suatu bahan yang mematikan bentuk-bentuk vegetatif

bakteri (Pelczar dan Chan, 1988). Antibakteri adalah suatu zat yang dapat mencegah

terjadinya pertumbuhan dan reproduksi bakteri. Antibakteri merupakan senyawa yang

berfungsi sebagai bahan pengawet makanan untuk memperpanjang umur simpan

suatu makanan dengan cara menghambat pertumbuhan mikroba. Efektifitas dari suatu

bahan pengawet antibakteri ditentukan oleh konsentrasi dan jenis bahan pengawet.

Umumnya bahan pengawet makanan hanya bersifat bakteriostatik karena jumlah

yang ditambahkan ke dalam makanan sangat kecil agar tidak berbahaya bagi

kesehatan manusia (Supardi dan Sukamto, 1999).

Utami (2010) telah menguji aktivitas antibakteri distilat rimpang lengkuas

merah dan ekstrak daun mengkudu dengan metode difusi kertas cakram dengan

menggunakan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Khoiriyah (2010) juga

menggunakan konsentrasi yang sama untuk menguji aktivitas antibakteri dari minyak

atsiri Jahe.

2.6.1. Mekanisme Kerja Antibakteri

Mekanisme penghambatan dan kerusakan mikroorganisme oleh senyawa

antibakteri berbeda-beda. Penghambatan mikroba oleh senyawa antibakteri secara

umum dapat disebabkan oeh: (1) gangguan pada komponen penyusun sel; terutama

komponen penyusunan dinding sel, (2) reaksi dengan membran sel yang dapat

(35)

19

penghambatan terhadap sintesis protein dan (4) gangguan fungsi material genetik

(Davidson, 2001). Menurut Kanazama et al. (1995) mekanisme terjadinya proses tersebut diatas disebabkan oleh adanya pelakatan senyawa antimikroba pada

permukaan sel mikroba dan senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel.

2.6.2. Pengukuran Aktivitas Antibakteri

Di dalam Kusmiyati dan Agustini (2006), Pengukuran aktivitas antibakteri

dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Metode difusi

merupakan salah satu metode yang sering digunakan, metode difusi dapat dilakukan 3

cara yaitu metode silinder, lubang dan cakram kertas. Metode pengenceran yaitu

mengencerkan zat antimikroba dan dimasukkan ke dalam tabung-tabung reaksi steril.

Ke dalam masing-masing tabung itu ditambahkan sejumlah mikroba uji yang telah

diketahui jumlahnya. Pada interval waktu tertentu, dilakukan pemindahan dari tabung

reaksi ke dalam tabung-tabung berisi media steril yang lalu diinkubasikan dan diamati

penghambatan pertumbuhan.

Seleksi aktivitas antibakteri dengan difusi sumur dan difusi cakram digunakan

sebagai uji pendahuluan. Metode ini dipengaruhi oleh ketebalan lapisan agar dan

volume ekstrak yang terserap dalam cakram (Dorman dan Deans, 2000). Metode

cakram kertas yaitu meletakkan cakram kertas yang telah direndam larutan uji di atas

media padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Setelah diinkubasi, pertumbuhan

bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling cakram

(36)

Penghambatan mikroorganisme oleh suatu senyawa antibakteri dinyatakan

dengan nilai MIC (Minimum Inhibitory Consentration) yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme sebanyak 90 % dari inokulum

asal selama inkubasi 24 jam (Cossentio et al., 1999). Nilai MIC dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration) senyawa antibakteri dari ekstrak rempah-rempah maupun tanaman berbeda-beda bergantung pada jenis mikroorganisme dan senyawa

antimikroba.

Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh terhadap sensitifitas antibakteri

terhadap senyawa antimikroba. Bakteri pada fase stasioner lebih sensitif terhadap

antibakteri (Thompson dan Hinton, 1996). Pengujian antibakteri dilakukan pada fase

midlog yaitu pertengahan fase logaritmik (eksponensial), yaitu dimana bakteri sedang aktifnya membelah diri, sehingga pengaruh senyawa antibakteri dapat dilihat dengan

adanya kematian atau hambatan pada pertumbuhan bakteri.

2.7. Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik spektrum luas yang berasal dari

beberapa jenis Streptomyces misalnya S. venezuelae, S. phaeochromogenes var. chloromyceticus, dan S.omiyamensis (Kurniawan, 2006). Antibiotik ini memberikan efek dengan cara bereaksi pada subunit 50S ribosom dan menghalangi aktivitas enzim

peptidil transferase. Enzim ini berfungsi membentuk ikatan peptida antara asam

(37)

21

berkembang. Sebagai akibatnya sintesis protein bakteri akan terhenti seketika

(Pratiwi, 2002).

Dalam Kurniawan (2006) dijelaskan kloramfenikol mempunyai rumus kimia

yang cukup sederhana yaitu 1-(pnitrofenil)- 2-dikloroasetamido-1,3-propandiol:

Gambar 3. Struktur kloramfenikol

Kloramfenikol adalah salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui

paling stabil dalam segala pemakaian. Kloramfenikol memiliki stabilitas yang sangat

baik pada suhu kamar dan kisaran pH 2 sampai 7, stabilitas maksimumnya dicapai

pada pH 6. Pada suhu 25oC dan pH 6, memiliki waktu paruh hampir 3 tahun (Connors, 1992).

2.8. Bakteri Uji

Berdasarkan perbedaannya dalam menyerap warna, bakteri dibagi atas dua

golongan yaitu bakteri gram positif dan gram negatif. Bakteri gram positif menyerap

zat warna pertama yaitu kristal violet yang menyebabkannya berwarna ungu,

sedangkan bakteri gram negatif menyerap zat warna kedua yaitu safranin dan

(38)

kandungan peptidoglikan yang tinggi (dapat mencapai 50%) dibandingkan bakteri

gram negatif (sekitar 10%). Sebaliknya kandungan lipida dinding sel bakteri gram

positif lebih rendah sedangkan pada dinding sel bakteri gram negatif tinggi yaitu

sekitar 11-22% (Lay, 1992).

2.8.1. Escherichia coli

Escherichia coli adalah salah satu contoh dari bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek (kokobasil), selnya berukuran 0,5-1,0 x 1,0-3,0 μm. Bakteri ini tidak membentuk spora, tidak tahan asam, sebagian besar bergerak (motil) dengan flagel

peritricus (merata tersebar ke seluruh permukaan sel) tetapi ada pula yang nonmotil,

dan beberapa strain mempunyai kapsul. Bakteri ini dapat tumbuh secara anaerob

fakultatif (umumnya bersifat kemoheterotrof). Nilai pH optimum untuk pertumbuhan

adalah 7,0-7,5 serta kisaran suhu pertumbuhannya 10oC - 40oC dengan suhu optimum 37oC. E.coli sangat sensitif terhadap panas (Fardiaz, 1983).

Khotimah (2009) telah meneliti fase pertumbuhan E. coli dengan menggunakan metode turbidimetri pada medium Nutrient Broth, diketahui fase adaptasi berlangsung dari menit ke-0 sampai menit ke-210, selanjutnya diikuti

dengan fase logaritmik berlangsung dari menit ke-210 sampai menit ke-450. Setelah

itu, bakteri berada pada fase stasioner dimana jumlah sel yang tumbuh hampir sama

dengan jumlah sel yang mati dan akhirnya bakteri mengalami penurunan jumlah sel,

hal ini diakibatkan oleh nutrisi yang semakin berkurang atau terakumulasinya limbah

(39)

23

E. coli bersifat patogen oportunis, banyak ditemukan pada manusia dan hewan sebagai penghuni normal dalam saluran pencernaan, habitat pada umumnya adalah

tanah, lingkungan aquatik, makanan, air seni, dan tinja (Fardiaz, 1983). Karena

sifatnya patogen, bakteri ini dapat menyebabkan beberapa infeksi primer pada usus

(misalnya diare pada anak), infeksi pada saluran pada kemih, pneumia, abses, dan

maningritis pada bayi yang baru lahir (Jawezt et al. 1996). 2.8.2. Staphylococcus aureus

Staphylococcus adalah salah satu perwakilan dari bakteri gram positif, bentuk kokus dengan susunan berpasangan atau bergerombol, seperti anggur. Bersifat

aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, oksidase negatif, bersifat non motil,

tidak membentuk spora. Staphylococcus tumbuh dengan cepat pada beberapa tipe media dan aktif melakukan metabolisme serta melakukan fermentasi karbohidrat.

Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam pigmen, dari warna putih hingga kuning gelap (Brooks et al. 2005).

Fase pertumbuhan S. aureus dengan menggunakan metode turbidimetri pada medium Nutrient Broth, diketahui fase adaptasi berlangsung dari menit ke-0 sampai menit 360, selanjutnya diikuti dengan fase logaritmik berlangsung dari menit

ke-360 sampai menit ke-600. Setelah itu, bakteri berada pada fase stasioner dimana

jumlah sel yang tumbuh hampir sama dengan jumlah sel yang mati dan akhirnya

bakteri mengalami penurunan jumlah sel, hal ini diakibatkan oleh nutrisi yang

(40)

Hanya galur-galur tertentu S. aureus menghasilkan enterotoksin. Pada umumnya galur ini adalah koagulasi positif, yaitu mempunyai kemampuan

mengkoagulasi plasma darah yang diberi sitrat atau oksalat. Enterotoksin ini tahan

panas, tidak berubah walau telah didihkan selama 30 menit. Dibiarkannya makanan

yang tercemar pada suhu ruang selama 8 sampai 10 jam cukup untuk menghasilkan

toksin dalam jumlah yang memadai untuk menyebabkan keracunan makanan.

Walaupun makanan ini disimpan dalam lemari es selama berbulan-bulan, toksinnya

tidak akan termusnahkan. Jika dilakukan pemanasan kembali pada makanan tersebut,

maka tidak mengurangi kandungan toksin tersebut (Irianto, 2006)

2.9. GC-MS

2.9.1. Prinsip Dasar GC-MS

Kromatografi gas spektroskopi massa adalah teknik analisis yang

menggabungkan dua metode analisis yaitu Kromatografi Gas dan Spektroskopi

Massa. Kromatografi gas merupakan metode analisis dimana sampel terpisahkan

secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat

dilihat berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis

dimana sampel yang akan dianalisis diubah menjadi ionnya, dan massa dari

ion-ion tersebut dapat diukur (hasil deteksi dapat dilihat berupa spektrum massa) (Lingga,

2004).

Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang

(41)

25

dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa mendapat spektrum bobot

molekul pada suatu komponen yang dapat dibandingkan langsung dengan Library (reference) pada software. Sampel-sampel yang dapat dianalisis dengan menggunakan GCMS, harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya (Lingga, 2004):

1) Dapat diuapkan pada hingga suhu 400oC

2) Secara termal stabil (tidak terdekomposisi pada suhu 400oC)

3) Sampel-sampel lainnya dapat dianalisis setelah melalui tahapan preparasi

khusus.

2.8.2 Proses Pemisahan Pada GC-MS

Pemisahan komponen senyawa dalam GC-MS terjadi di dalam kolom

(kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam

adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas pembawa

(Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu ± 99,995 %) (Hermanto,

2008).

Lebih lanjut Hermanto (2008), proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat

perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat

disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di

dalam kolom. Selanjutnya komponen-komponen yang telah dipisahkan tersebut

masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai detektor secara instrumentasi, MS

(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Kimia dan Pangan

Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Analisis GC-MS

dilaksanakan di Laboratorium Forensik Mabes Polri, Jakarta Selatan. Adapun waktu

penelitian dilaksanakan pada Bulan April sampai Oktober 2010.

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan

Bahan yang digunakan adalah daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) yang diperoleh dari Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), larva

udang (Brine Shrimp), larutan garam 10%, Nutrient Agar, Nutrient Broth, Mueller Hinton Agar, biakan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi PLT UIN Jakarta, kloramfenikol, kertas

cakram dan kertas whatman no.1.

3.2.2. Alat

Alat yang digunakan adalah belender, alat penyerbuk (grinding mill), vakum evaporator, vial, beaker glass, tabung reaksi, erlenmeyer, cawan petri, timbangan analitik, spekrofotometer, GC-MS Agilent 19091S-436 HP-5MS dan autoklaf.

(43)

3.3. Cara Kerja

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah preparasi sampel,

ekstraksi dengan maserasi, uji adanya senyawa bioaktif dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), pembuatan medium, peremajaan bakteri uji, pembuatan inokulum, uji antibakteri dengan metode difusi (cakram kertas), uji MIC (Minimum Inhibitory Consentration) dan Analisis senyawa menggunakan GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometer). Tahapan penelitian akan dilakukan sebagai berikut:

3.3.1. Preparasi Sampel

Daun kecombrang kering didapatkan dari Balai Tanaman Obat dan Aromatik

(Balitro) Bogor dan dideterminasi di Herbarium Bogoriense - LIPI Cibinong.

3.3.2. Ekstraksi

Ekstrak daun dihasilkan melalui ekstraksi yang dilakukan dengan

menggunakan metode maserasi. Daun kering diserbukkan dengan menggunakan

grinding mill, kemudian serbuk daun kecombrang direndam dengan aquabidest

selama 3 hari. Setelah itu hasil rendaman disaring dengan kertas saring Whatman

no.1. Hasilnya dipekatkan menggunakan vakum rotary evaporator dengan suhu 50oC dengan kecepatan90 rpm sehingga yang tersisa adalah ekstrak daun berupa gel.

(44)

3.3.3. Uji Senyawa Bioaktif dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) 3.3.3.1. Penetasan Larva udang

Bejana disiapkan untuk penetasan larva udang. Proses pemetasan larva di

dalam bejana yang diletakkan lampu untuk menghangatkan suhu dalam penetasan,

sedangkan diruangan sebelahnya diberi larutan garam (Larutan Nacl 10% (b/v)). Ke

dalam larutan garam dimasukkan ± 50-100 mg telur udang untuk diteteskan. Pada

bagian telur ditutup dengan allumunium foil, dan lampu dinyalakan selama 48 jam

untuk menetaskan telur. Larva udang diambil dengan menggunakan pipet dan

selanjutnya akan digunakan untuk uji BSLT.

3.3.3.2. Persiapan Larutan Sampel yang akan diuji

Ekstrak sampel dibuat dalam konsentrasi 10, 100, 200, 500, dan 1000 ppm

dalam larutan garam.

3.3.3.3. Prosedur Uji Senyawa Bioaktif dengan Metode BSLT

Sebanyak 100 μL larutan garam yang mengandung larva udang sebanyak

10-12 ekor dipipet dan dimasukkan ke dalam vial. Kemudian, larutan garam tersebut

ditambahkan masing-masing sebanyak 100 μL ekstrak air daun kecombrang dengan

konsentrasi 10, 100, 200, 500 dan 1000 ppm. Untuk setiap konsentrasi dilakukan 3

kali pengulangan (triplikat). Larutan diaduk sampai homogen. Untuk kontrol

dilakukan tanpa penambahan sampel. Larutan dibiarkan selama 24 jam, kemudian

dihitung jumlah larva yang mati dan masih hidup dari tiap vial. Angka mati dihitung

dengan menjumlahkan larva yang mati dalam setiap konsentrasi (3 vial). Angka

(45)

hidup dihitung dengan menjumlahkan larva yang hidup dalam setiap konsentrasi (3

vial).

Tabel 2. Perhitungan akumulasi mati tiap konsentrasi (Juniarti et al. 2009)

Konsentrasi

(ppm) Angka Mati

10 Angka mati pada konsentrasi 10 ppm

100 Angka mati pada konsentrasi 10 ppm + angka mati pada konsentrasi 100 ppm

200 Angka mati pada konsentrasi 10 ppm + angka mati pada konsentrasi 100 ppm + angka mati pada konsentrasi 200 ppm

500

Angka mati pada konsentrasi 10 ppm + angka mati pada konsentrasi 100 ppm + angka mati pada konsentrasi 200 ppm + angka mati pada konsentrasi 500 ppm

1000

Angka mati pada konsentrasi 10 ppm + angka mati pada konsentrasi 100 ppm + angka mati pada konsentrasi 200 ppm + angka mati pada konsentrasi 500 ppm + angka mati pada konsentrasi 1000 ppm

Tabel 3. Perhitungan akumulasi hidup tiap konsentrasi (Juniarti et al. 2009) Konsentrasi

(ppm) Angka Hidup

10

Angka hidup pada konsentrasi 1000 ppm + angka hidup pada konsentrasi 500 ppm + angka hidup pada konsentrasi 200 ppm + angka hidup pada konsentrasi 100 ppm + angka hidup pada konsentrasi 10 ppm

100

Angka hidup pada konsentrasi 1000 ppm + angka hidup pada konsentrasi 500 ppm + angka hidup pada konsentrasi 200 ppm + angka hidup pada konsentrasi 100 ppm

200 Angka hidup pada konsentrasi 1000 ppm + angka hidup pada konsentrasi 500 ppm + angka hidup pada konsentrasi 200 ppm

500 Angka hidup pada konsentrasi 1000 ppm + angka hidup pada konsentrasi 500 ppm

1000 Angka hidup pada konsentrasi 1000 ppm

(46)

Selanjutnya dihitung mortalitas dengan cara: akumulasi mati dibagi jumlah

akumulasi hidup dan mati (total) dikali 100%. Nilai LC50 merupakan konsentrasi dimana zat menyebabkan kematian 50% yang diperoleh dengan menggunakan

softwear regresi. Suatu zat dikatakan aktif bila nilai LC50 < 1000 ppm untuk ektrak

dan < 30 ppm untuk suatu senyawa.

3.3.4. Uji Antioksidan

3.3.4.1. Pembuatan Kurva Standar

200 µl BHA standar konsentrasi 0 ppm, 18 ppm, 36 ppm, 72 ppm, dan 90

ppm dimasukkan masing-masing ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, 800 µl Tris

Hcl pH 7,4 dan 1 ml DPPH ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Larutan dalam

tabung reaksi divortex hingga homogen dan diinkubasi 20 menit di ruang gelap.

Selanjutnya diukur jumlah antioksidan dengan melihat serapannya dengan

spekrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm.

3.3.4.2. Pengujian Antioksidan

200 µl sampel konsentrasi 0 ppm (kontrol), 10 ppm, 30 ppm, 50 ppm, 70 ppm,

dan 90 ppm dimasukkan masing-masing ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya, 800 µl

Tris Hcl pH 7,4 dan 1 ml DPPH ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Larutan dalam

tabung reaksi divortex hingga homogen dan diinkubasi 20 menit di ruang gelap.

Selanjutnya jumlah antioksidan diukur dengan melihat serapannya dengan

spekrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm.

(47)

Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya hambatan serapan

radikal DPPH melalui perhitungan persentase inhibisi serapan DPPH dengan

menggunakan rumus :

% Inhibisi = Abs. Kontrol – Abs. Sampel x 100 % Abs. Kontrol

Ket :

Abs. kontrol : Serapan radikal kontrol

Abs. Sampel : Serapan sampel

Selanjutnya ditentukan harga IC50, yakni konsentrasi larutan uji yang memberikan peredaman DPPH sebesar 50% dengan menggunakan softewear regresi.

3.3.5. Pembuatan Medium

3.3.5.1. Pembuatan Medium Nutrient Broth (NB) dan Nutrient Agar (NA)

Sebanyak 8 gram bubuk NB atau 23 gram NA dilarutkan dalam 1 liter

aquadest dalam enlenmeyer kemudian diaduk menggunakan magnetic stirer sampai homogen. Selanjutnya larutan disterilisasi di autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

3.3.5.2. Pembuatan Medium Mueller Hinton Agar (MHA)

Sebanyak 38 gram MHA dilarutkan dalam 1 L aquadest kemudian dipanaskan dan diaduk dengan menggunakan magnetik stirer sampai homogen. Media disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1,5 atm dan selama 15 menit. Setelah disterilisasi, medium Medium MHA dimasukkan ke dalam cawan petri

sebanyak 15 ml dan dibiarkan mengeras.

(48)

3.3.6. Peremajaan Bakteri Uji dan Pembuatan Suspensi Bakteri

Bakteri uji dibiakkan pada agar miring steril kemudian diinkubasi pada suhu

37oC selama 24 jam. Bakteri yang telah dibiakkan pada agar miring ditambahkan larutan fisiologis NaCl 0,9% steril sebanyak 5 ml kemudian dihomogenkan dengan

vortek

3.3.7. Pembuatan Inokulum

Suspensi bakteri uji sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam 100 ml medium NB.

Selanjutnya medium NB diinkubasi di shaker inkubator dengan kecepatan shaker 120 rpm, suhu ruang, sampai bakteri uji mencapai 8 jam.

3.3.8. Pengujian Antibakteri 3.3.8.1. Difusi Cakram

Pengujian ini dilakukan dengan metode difusi kertas cakram dengan

menggunakan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Biakan dalam NB

sebanyak 0.1 ml dimasukkan ke dalam 15 ml MHA yang sudah padat. Ekstrak

kecombrang dibuat dengan dengan berbagai konsentrasi sebanyak 0,03 ml diambil

menggunakan mikropipet 0,01 ml pada kertas cakram steril berdiameter 1,6 cm

kemudian ditanam pada medium MHA padat dalam cawan petri. Setelah itu

diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Selanjutnya diameter zona hambat diukur dan dibandingkan dengan zona hambat pada kontrol kloramfenikol 10µg.

(49)

33 3.3.8.2. MIC (Minimum Inhibitory Consentration)

Penentuan MIC dilakuan dengan metode kontak. Sebanyak 1 ml ekstrak dan

0,1 ml inokulum dimasukkan ke tabung uji yang berisi medium NB 3,9 ml yang telah

disterilkan. Selanjutnya, tabung uji diinkubasi dalam shaker incubator pada suhu kamar selama 24 jam dengan kecepatan 120 rpm. Setelah diinkubasi, media diambil

sebanyak 10 µl dan ditanam pada media NA. Setelah 24 jam dilakukan perhitungan

jumlah bakteri yang tumbuh. Nilai MIC yaitu konsentrasi minimum ekstrak yang

dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji sebanyak 90% selama 24 jam.

3.3.9. Analisa GC-MS

Dalam penelitian ini digunakan analisa GC-MS untuk menganalisa dan

mengidentifikasi senyawa yang terdapat pada hasil ekstraksi daun kecombrang.

GCMS yang digunakan adalah Agilent 19091S-436 HP-5MS. Untuk menganalisa

hasil ekstraksi daun kecombrang sebanyak ± 0.5 µl sampel dimasukkan kedalam

kolom polar, 0.25mm, 60m, 0.25um.

3.4. Analisis Data

Semua analilisa akan diulang sebanyak tiga kali dari sampel yang berbeda dan

(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Ekstraksi Daun Kecombrang

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair

dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah air.

Pelarut air adalah pelarut yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan

insdustri pangan. Selain itu, penggunaan pelarut air diharapkan mampu mengekstrak

zat aktif yang bersifat polar. Dalam Naufalin (2005), ekstrak heksana (nonpolar)

bunga kecombrang tidak menunjukkan aktifitas antibakteri, sedangkan ekstrak etanol

(polar) bunga kecombrang mampu menghambat aktifitas antibakteri terhadap

Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, Salmonella

Typhimurium, Escherichia coli, Aeromonas hydrophilia, dan Pseudomonas aeruginosa. Walaupun aktifitas antibakteri ekstrak etil asetat (semipolar) menunjukkan aktifitas yang lebih tinggi daripada ekstrak etanol (polar).

Hasil ekstraksi daun kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) secara maserasi dengan menggunakan air menghasilkan 59 ml ekstrak dari 90 gram serbuk

daun kecombrang kering (Gambar 4a) dalam 1500 ml pelarut air. Hasil ekstrak

berwarna kecoklatan dan penampakan cairan agak kental (Gambar 4b) dengan

(51)

35

(a) (b)

Gambar 4. Ekstraksi Daun Kecombrang (a) Serbuk daun kecombrang, (b) Hasil

ekstrak daun kecombrang

4.2. Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Uji BSLT adalah uji pendahuluan yang dilakukan untuk mengetahui adanya

suatu senyawa aktif didalam ekstrak, yang ditandai dengan matinya hewan uji yaitu

Artemia salina. Senyawa bioaktif kebanyakan bersifat toksik pada dosis tinggi. Jadi, pengujian dengan organisme yang sederhana secara zoologis dapat digunakan secara

monitor yang meyakinkan untuk skrining dan fraksinasi dalam penemuan senyawa

bioaktif baru (Baraja, 2008). Senyawa-senyawa tersebut kemungkinan merupakan

senyawa bioaktif yang dapatsdigunakan dalam dunia kedokteran misalnya sebagai

antikanker (Khurniasari, 2004).

Pada Tabel 4 menunjukkan persentasi mortalitas Artemia salina sebesar 7,35% sampai 100%. Pada konsentrasi 0 ppm persentasi kematiannya sebesar 7,35%,

(52)

ppm persentasi kematiannya 100% dan 1000 ppm persentasi kematiannya sebesar

100%. Selanjutnya data tersebut dimasukkan ke dalam softwear regresi hasilnya nilai

LC50Artemia salina terhadap ekstrak air daun kecombrang adalah 53,08 ppm. Tabel 4. Hasil Uji BSLT Ekstrak Air Daun Kecombrang

Ket: * = Hasil LC50 didapat dengan menggunakan softwear regresi

Konsentrasi

Dari Tabel 4 terlihat semakin tinggi konsentrasi ekstrak, mortalitas Artemia salina juga semakin besar. Hal ini sesuai dengan Harborne (1994) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka sifat toksiknya akan

semakin tinggi, sehingga semakin tinggi kematian Artemia salina. Adanya larva uji dalam kontrol yang mati disebabkan karena kematian yang alami. Menurut

Nurhayati et al. (2006) Artemia yang mati pada kontrol mengalami penurunan aktivitas. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan artemia sesaat sebelum mati. Semakin

(53)

35

Sedangkan Artemia yang mati dalam tabung percobaan karena perlakuan, mengalami disorentasi gerak (gerakaannya tidak teratur). Artemia dalam tabung ini tetap aktif bergerak, akan tetapi tetap berputar-putar dalam satu titik.

Menurut Meyer (1982 dalam Juniarti et al. 2009), suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50 < 1000 ppm untuk ekstrak dan < 30 ppm untuk suatu senyawa. Nilai LC50 merupakan angka yang menunjukan konsentrasi ekstrak yang

dapat menyebabkan kematian sebesar 50% dari jumlah hewan uji. Berdasarkan uji

bioaktivitas didapatkan hasil nilai LC50 adalah 53,08 ppm, sehingga ekstrak air daun kecombrang dikatakan aktif atau memiliki senyawa aktif. Senyawa aktif ini dapat

berupa antimikroba (antibakteri dan antikapang), antioksidan dan antikanker.

Sifat aktif dari daun kecombrang disebabkan oleh kandungan senyawa yang

ada di dalamnya. Dari hasil analisa GCMS diketahui ekstrak air daun kecombrang

dengan pelarut etanol mengandung 62 komponen senyawa (Lampiran 14). Dalam

Hidayat dan Hutapea (1991), daun kecombrang mengandung saponin dan flavonoida

Sedangkan berdasarkan hasil GCMS, minyak atsiri daun kecombrang memiliki 62

komponen kimia, yang terbanyak adalah 3-carene (28,167%) dan ß-pinen

(20,937%), keduanya merupakan golongan monoterpena yang mempunyai aktivitas

antimikroba (Widiatmojo, 2009). Dalam Jaffar et al. (2007) minyak esensial daun

(54)

4.3. Uji Antioksidan

Antioksidan adalah bahan yang dalam kadar rendah dapat mencegah

terjadinya oksidasi dari substrat yang mudah teroksidasi. Metode uji antioksidan

dengan DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) dipilih karena metode ini adalah metode

sederhana untuk evaluasi aktivitas antioksidan dari senyawa bahan alam (Fagliano

1999). DPPH adalah suatu radikal stabil yang mengandung nitrogen organik,

berwarna ungu gelap dengan absorbansi yang kuat pada panjang gelombang maks

517 nm. Setelah bereaksi dengan antioksidan warna larutan akan berkurang dan

berubah menjadi kuning. Perubahan warna ini dapat diukur secara spektrofotometri

(Reynertson, 2007). Peredaman tersebut dihasilkan oleh bereaksinya molekul Difenil

Pikril Hidrazil dengan atom hidrogen yang dilepaskan satu molekul komponen

sampel sehingga terbentuk senyawa Difenil Pikril Hidrazin (Gambar 5).

O2N

DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) + Antioksidan → 1,1-Difenil-2-picrilhidrazin + Antioksidan

Gambar 5. Reaksi DPPH DenganAntioksidan

Untuk mengetahui banyaknya senyawa antioksidan dalam ekstrak daun

(55)

35

Pembuatan kurva standar dilakukan dengan menggunakan BHA (butil

hidroksianisol). Dalam Widianti (2010), BHA adalah antioksidan sintesis yang biasa

digunakan untuk lemak dan minyak makanan. BHA digunakan sebagai pembanding

pada antioksidan pada ekstrak air daun kecombrang. Hasil kurva standar dapat

dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Kurva standar BHA (butil hidroksianisol)

Kurva standar juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

konsentrasi dengan persentasi inhibisi. Hal ini diperlihatkan dengan nilai r (koefisien

korelasi). Nilai r yang mendekati 1 membuktikan bahwa persamaan regresi tersebut

adalah linier dan simpangan baku yang kecil menunjukkan ketepatan yang cukup

tinggi. Nilai koefisien korelasi menyatakan bahwa terdapat korelasi antara

konsentrasi sampel dengan persentase inhibisi sebesar 0,96. Hal ini menunjukkan

bahwa lebih dari 96% keakuratan data dipengaruhi oleh konsentrasi bahan,

(56)

Tabel 5. Hasil pengujian aktifitas antioksidan ekstrak air daun kecombrang

Ket: * = Hasil LC50 didapat dengan menggunakan softwear regresi

Hasil pengujian aktifitas antioksidan ekstrak air daun kecombrang dapat

dilihat pada Tabel 5. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi

konsentrasi pelarut, maka semakin tinggi persentase inhibisinya, hal ini disebabkan

pada sampel yang semakin banyak, maka semakin tinggi kandungan antioksidannya

sehingga berdampak juga pada tingkat penghambatan radikal bebas yang dilakukan

oleh zat antioksidan tersebut.

Dalam Mardawati et al. (2008), secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50, kuat untuk IC50

bernilai 50-100, sedang jika IC50 bernilai 100-150, dan lemah jika IC50 adalah 151-200. IC50 adalah bilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak (mikrogram/mililiter) yang mampu menghambat proses oksidasi sebesar 50 %.

(57)

35

Dalam Rohman dan Riyanto (2005), ekstrak etanol daun kemuning diuji daya

antioksidannya dengan metode DPPH dan hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak

etanol daun kemuning mempunyai nilai IC50 sebesar 126,17 μg/ml, 15 kali lebih lemah dibanding dengan vitamin E (IC50 vitamin E = 8,27 μg/ml). Zuhra et al. (2008) menuliskan senyawa flavonoid dari daun katuk (Sauropus androginus (L) Merr.) memiliki nilai IC50 sebesar 80,81 μg/ml. Dalam Andayani et al. (2008), nilai IC50 dari ekstrak metanol buah tomat adalah 44,06 µg/ml. Hanani (2005) meneliti nilai

IC50 dari vitamin C dan BHT (butil hidroksitoluen) yaitu 3,45 µg/ml dan 3,81 µg/ml. Dengan membandingkan nilai IC50, maka diketahui ekstrak air daun kecombrang

memiliki kemampuan antioksidan lebih rendah dibandingkan dengan vitamin E,

vitamin C dan BHT (butil hidroksitoluen) namun lebih tinggi dibanding dengan

ekstrak etanol daun kemuning, daun katuk (Sauropus androginus (L) Merr.) dan ekstrak metanol buah tomat.

4.4. Uji Antibakteri

4.4.1. Uji Antibakteri menggunakan metode difusi cakram

Metode difusi cakram adalah uji antibakteri yang dilakukan sebagai uji

pendahuluan untuk menyeleksi adanya aktivitas antibakteri dari daun kecombrang

Gambar

Tabel 1.      Bahan Alami di Indonesia yang Mempunyai Efek Antibakteri...
Gambar1.   Kecombrang (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith)……………
Tabel 1. Bahan alami di Indonesia yang mempunyai efek antibakteri.
Gambar 1. Kecombrang (     Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) (Dokumen Pribadi, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian klausul- klausul dan ketentuan lain yang tidak diubah dinyatakan masih berlaku dan mengikat dalam proses pelelangan ini. Demikian Addendum ini dibuat

The findings of the study show that the rhetorical or the generic structures of the RAs in Islamic related journals published in Indonesia is not in line with the general generic

Mengikuti pemikiran Gerungan dalam karya Usman pengojek konvensional perlu mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan atau menciptakan lingkungan baru

Napak tilas Diana dalam dunia kreatif telah membawa nama Indonesia ke kancah internasional, antara lain di Super Design Show 2018, pameran yang merupakan bagian dari perhelatan

Pengaruh motivasi terhadap kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap rumah sakit umum daerah Swadana Tarutung Tapanuli Utara tahun 2008. Pascasarjana Universitas

Harga adalah sejumlah uang yang ditagihkan atas suatu produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukarkan para pelanggan untuk memperoleh manfaat dari memiliki atau

Studi pustaka diperlukan untuk mengetahui teknik pembuatan karya dan sejarah legenda Ciung Wanara yang dituangkan dalam sebuah karya cerita bergambar.. Dari segi

Penelitian kembali mengenai pengaruh kecerdasan emosional dan pengaruh perilaku etis terhadap kinerja dengan fokus dan lokus pada Auditor Pemerintah Daerah Provinsi