• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Uji Asumsi Klasik .1 Multikolonieritas

Uji ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal (Ghozali,2007). Untuk mendeteksi adanya multikolonieritas dapat dilihat dari Value Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF > 10 maka terjadi multikolonieritas dan sebaliknya jika VIF < 10 tidak terjadi multikolonieritas (Wijaya, 2009).

Untuk analisinya dapat kita lihat dalam output hasil estimasi pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.10

Hasil Estimasi Multikolonietritas

Model Unstandardized Coefficients Standared Coefficien ts T Sig. Correlations Collinearity Statistics B Std. Error Beta

Zero-order Partial Part

Toleran ce VIF 1 (Consta nt) 65.173 16.383 -3.978 .001 jenis kelamin 17.210 3.100 .544 5.551 .000 .258 .795 .468 .740 1.352 Umur 1.825 .444 .394 4.112 .001 .534 .696 .347 .774 1.292 tingkat pendidik an .014 .002 .848 7.264 .000 .619 .864 .612 .522 1.916 tingkat upah -007 .005 -178 2.430 .000 .020 .319 .121 .458 2.181 a. Dependent Variabel: kesempatan kerja

Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan dalam variabel- variabel yang digunakan maka pemenuhan asumsi dari model statistika regresi berganda adalah bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Pengujian ada tidaknya multikolonieritas yaitu dengan melihat nilai hasil tolerance VIF apakah koefisien korelasi antar variabel bebas lebih besar atau lebih kecil dari 10.

Dari hasil estimasi dilihat dari nilai tolerance VIF diatas bahwa nilai X1 (jenis kelamin) 0,740 < 10 maka tidak ada gejala multikolonieritas dalam variabel tersebut, Variabel X2 (umur) dilihat dari hasil estimasi nilai tolerance VIF sebesar 0,774 < 10 artinya tidak terdapat gejala multikolonieritas di dalam variabel X2 (umur). Variabel X3 (tingkat pendidikan) dari hasil estimasi nilai tolerance sebesar 0,522 < 10 artinya tidak terdapat gejala multikolonieritas dalam variabel X3 (tingkat pendidikan). Kemudian variabel X4 (tingkat upah) dari hasil estimasi nilai tolerance sebesar 0,458 < 10 artinya tidak terdapat gejala multikolonieritas dalam variabel X4 (tingkat upah).

Dan dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa di dalam hasil estimasi yang dilakukan di atas semua variabel-variabel tidak mengalami gejala multikoloneritas atau hasil estimasi tersebut multikolonieritas terpenuhi.

4.3.2 Heterokedasititas

Pengujian ini digunakan untuk melihat apakah variabel penganggu mempunyai varian yang sama atau tidak. Heteroskedasititas mempunyai suatu keadaan bahwa varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain berbeda. Salah satu metode yang digunakan untuk menguji heterokedasititas

akan mengakibatkan penaksiran koefisien-koefisien regresi menjadi tidak efisien. Hasil penafsiran akan menjadi kurang dari semestinya. Heteroskedasititas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi linier, yaitu bahwa variasi residual sama untuk semua pengamatan atau disebut homokedastisitas.Untuk mendeteksi adanya gejala heterokedastisitas dalam model persamaan regresi digunakan metode glejser. Metode ini melakukan regresi antara nilai absolut dari tiap variabel independen. Apabila koefisien regresi tersebut signifikan maka terdapat heterokedastisitas di dalam data (Gujarati Damondar,2003). Selain metode glejser digunakan untuk mendeteksi ada atau tidak adanya heterokedasititas dapat juga di gunakan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (dependen) yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada atau tidaknya heterokedasititas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu X adalah residual ( Y prediksi - Y sesungguhnya) yang telah di studentized.

Dasar analisisnya adalah sebagai berikut :

1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit).

2. Jika ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedasititas.

Gambar 4.1 Hasil Uji Heteroskedasititas 

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa tidak terjadi heteroskedasititas sebab tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y. Sehingga dapat dikatakan uji ini heteroskedastitas terpenuhi.

Uji heteroskedassititas dengan menggunakan metode glejser, uji glejser dengan cara meregresikan antara variabel independen dengan nilai absolute residualnya. Jika nilai signifikan antara variabel independen dengan absolute residual lebih dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. Untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat dari tabel sebagai berikut.

Tabel 4.11

Hasil Estimasi Heterokedastisitas

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) -3.650 9.104 -.401 .693 tingkat upah -.007 .003 -.704 -2.597 .018 jenis kelamin .185 1.766 .023 .105 .918 Umur -.470 .249 -.398 -1.890 .045 tingkat pendidikan .114 .104 .278 1.089 .290 a. Dependent Variable: RES2

Berdasarkan output diatas dapat diketahui bahwa nilai signifikasi variabel jenis kelamin (X1) sebesar 0,918 lebih besar dari 0,05 artinya tidak ada gejala heteroskedastisitas pada variabel jenis kelamin. Sementara itu, diketahui nilai signifikansi variabel umur (X2) sebesar 0,45 lebih besar dari 0,05 artinya terjadi gejala heteroskedastisitas pada variabel tersebut, nilai signifikansi pada variabel tingkat pendidikan (X3) sebesar 0,290 lebih kecil dari 0,05, artinya tidak ada gejala heteroskedassititas pada variabel tingkat pendidikan, Sementara itu pada nilai signifikansi tingkat upah (X4) sebesar 0,18 lebih besar dari 0,05, artinya tidak ada gejala masalah heteroskedatisitas pada variabel tingkat upah.

4.3.3 Autokorelasi

Uji autokorelasi merupakan pengujian asumsi dalam regresi dimana variabel dependen tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri. Maksud korelasi dengan diri sendiri adalah bahwa nilai variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai variabel sebelumnya atau nilai periode

sesungguhnya. Salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah dengan uji Breusch-Godfrey (BG Test) (Gujarati 2003). koefisienautoregressive secara keseluruhan sama dengan nol, menunjukkan tidak terdapat autokorelasi pada setiap orde. Secara manual apabila X2 tabel lebih besar dibandingkan nilai R-Square, maka model tersebut bebas autokorelasi.

Dari hasil estimasi model summaryb bahwa nilai X2 (Tabel Chi kuadrat) sebesar 35.89 lebih besar dari nilai R-square sebesar 0,872 sehingga dari hasil estimasi secara keseluruhan terdapat disimpulkan bahwa di dalam data tidak terdapat masalah autokorelasi.

Dasar pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut:

Hipotesis Keputusan Jika

Tidak ada

autokorelasi positif Tolak 0 < dl < du

Tidak ada

autokorelasi positif No Decisien dl - ≤ d ≤ du

Tidak ada

autokorelasi negatif Tolak

4 - dl < d < 4

Tidak ada

autokorelasi negatif no Decisien 4 – du ≤ d ≤ 4 - dl

Tidak ada

autokorelasi Tidak ditolak du – d – 4-du

Untuk analisisnya dapat dilihat dari hasil output Model summary sebagai berikut:

Tabel 5.1

Hasil Estimasi Uji Autokorelasi

Durbin-Watson 1.107

Sig. F Change 0,000

 

Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai Durbin-Watson sebesar 1.107 Pada tingkat signifikan = 5 %, dilihat berdasarkan DW-tabel menunjukkan bahwa nilai dl = 0,9864 dan du = 1.67855 ; k = 4, dan hasil estimasi didapat yaitu 0 < 1,107 ≤ 0.9864 di dalam hasil estimasi tersebut. Karena DW hitung lebih kecil dari dl atau 0 < d < dl, maka dapat dinyatakan bahwa model terkena masalah autokorelasi.

Secara umum penelitian ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Penjelasan kemaknaan dari masing-masing independen terhadap variabel dependen dijelaskan sebagai berikut:

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Hasil ini memberikan bukti emperis bahwa jenis kelamin penduduk laki-laki lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk perempuan dalam mendapatkan kesempatan kerja/ peluang kerja (Payamant Simanjuntak).

Berdasarkan penelitian bahwa variabel umur memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Hasil ini memberikan bukti emperis

bahwa umur yang semakin tua (jumlah penduduk yang tidak produktif) akan semakin sulit dalam mendapatkan kesempatan kerja. Koefisien regresi umur sebesar 1,825 menyatakan bahwa setiap pertambahan umur sebesar 1 tahun akan menyebabkan kesempatan kerja bertambah sebesar 1,825%. Kondisi demikian secara umum dikaitkan dengan tingkat produktivitas yang lebih baik dari golongan usia muda dibanding dengan golongan usia tua. Dalam hal ini pemberi pekerja akan mempertimbangkan produktivitas kerja yang akan diberikan kepada orang yang bekerja. Dengan kondisi persaingan kerja yang semakin besar, pemberikerja akan berperan aktif dalam menyeleksi tenaga kerja yang akan diperkerjakannya. Salah satu pertimbangan yaitu umur pencari kerja. Dalam hal ini perusahaantentu akan mencaritenaga kerja yang masih cenderung produktif. Pada usia yang relatife tua, meskipun sudah memiliki pengalaman dalam bekerja yang lebih banyak, namun kondisi fisik yang semakin tua maka produktifitasnya juga akan mengalami penurunan. Sehingga dalam persaingan tenaga kerja pada usia yang relatif tua cenderung kurang memiliki peluang untuk mendapatkan kesempatan kerja.

Berdasarkan penelitian bahwa variabel tingkat pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Hasil ini memberikan bukti yang emperis bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka peluang untuk bekerja akan semakin tinggi juga untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan return biaya pendidikannya. Koefisien regresi pendidikan adalah 0,14 menyatakan bahwa setiap peningkatan pendidikan sebesar 1 tahun akan menyebabkan kesempatan kerja meningkat sebesar 14 %. Alasan utama atas diperolehnya

pengaruh positif dan signifikan ini terkait dengan pertimbangan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung mempengaruhi informasi di pasar kerja, dengan begitu pencari kerja lebih leluasa dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan mencari kerja yang cocok dalam mendapatkan pekerjaan.

Berdasarkan penelitian ini bahwa variabel tingkat upah memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Hasil ini memberikan bukti yang emperis bahwa semakin tinggi tingkat upah maka dalam peluang untuk mendapatkan kesempatan kerja akan semakin rendah.

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Variabel jenis kelamin memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Melalui estimasi kesempatan kerja dapat di ketahui bahwa kesempatan kerja yang di Kota Medan, Penduduk laki-laki memiliki kesempatan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perempuan.

2. Variabel umur memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Setiap penambahan 1 tahun umur maka mempengaruhi kesempatan kerja.

3. Variabel tingkat pendidikan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Artinya bahwa semakin tinggi pendidikan yang di ditempuh maka kesempatan kerja untuk memiliki pekerjaannya akan semakin tinggi.

4. Variabel tingkat upah memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kesempatan kerja. Setiap penambahan tingkat upah sebesar 1 Rupiah maka akan mempengaruhi kesempatan kerja.

   

 

5.2 Saran

Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran sebagai upaya untuk membantu mengatasi masalah kesempatan kerja khususnya kesempatan kerja yang ada di Kota Medan sebagai berikut :

1. Pada usia tertentu para pencari kerja diharapkan lebih aktif dalam mencari informasi tentang lowongan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang dimilikinya, sebab sebagian besar perusahaan lebih mengutamakan pencari kerja dengan usia muda, mereka beranggapan bahwa seseorang yang berusia muda merupakan usia yang masih produktif.

2. Perlunya menanamkan jiwa kewirausahaan bagi kelompok pencari kerja dengan pendidikan yang tinggi. Dalam hal ini memberi implikasi bahwa jiwa kewirausahaan akan menjadi solusi dalam menciptakan pekerjaan, sehingga pencari kerja memiliki kesempatan kerja dengan pendidikan tinggi dituntut lebih kreatif dan inovatif.

3. Diharapkan pencari kerja mempunyai bekal pengetahuan serta pengalaman kerja. Dengan mimiliki pengalaman kerja tenaga kerja akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, dengan kata lain tenaga kerja yang berpengalaman lebih siap untuk memasuki dunia kerja dibanding dengan tenaga kerja yang tidak berpengalaman.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2014. Data Jumlah penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin, dan Umur 2010-2012. Medan: BPS Profinsi Sumatera Utara.

BPS 2014.Data Pendidikan Provinsi Sumatera Utara 2010-2012. Medan: BPS Profinsi Sumatera Utara.

Barthos Basir.2004.Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Basri, Furukh,dkk. 2012. “Education,Health, and Employment in Pakistan: A Co-integration Analysis”, Research on Humanities and Social Sciences, Vol. 2 No. 5, hal 1-12.

Damondar,Gujarati. 2003. Basic Economic. New York : Mc Graw Hill.

Imam, Ghozali. 2002. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Universitas Diponegoro.

Merizal, Yos. 2008. Analisis Pengaruh pendidikan, Tingkat Upah Minimum Kabupaten, dan Kesempatan Kerja Rehadap Pengangguran Terdidik di Kabupaten Semarang. Semarang. UNDIP Press.

Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia.Jakarta: PT Grafindo Parsada. Nainggolan, Indra Oloan. 2009. Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi

Kesempatan Kerja Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Suamtera Utara.Skripsi; Medan:Program Sarjana Universitas sumatera Utara.

Nasri Bachtiar, dan Elfindri.2004. Ekonomi Ketenagakerjaan. : Universitas Andalas.

Setiawan, Satrio Adi. 2010. Pengaruh Umur, Pendidikan, Pendapatan, Pengalaman Kerja Dan Jenis Kelamin Terhadap Lama mencari Kerja Bagi Tenaga Kerja Terdidik Di Kota Magelang. Semarang: UNDIP Press.

Siagian, Sondang P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Simanjuntak, Payaman J. 2001. Manajemen Dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: FE UI Press.

Sumarsono.Sony.2003. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan. Jakarta: Graha Ilmu.

Suryanto Dwi. 2011. Analisis Pengaruh Tenaga Kerja, Tingkat Pendidikan, dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Subosukawoosraten Tahun 2004-2008. Tesis program PascaSarjana. Yogyakarta UNDIP Press.

Sulistyaningsih, E. 1993.Dampak Perubahan Struktur Ekonomi, Pada Struktur Kebutuhan Kualitas Tenaga Kerja Di Indonesia, 1980-1990: Pendekatan Input-Output.Disertasi Program Doktor PascaSarjana. Bogor: IPB Press. Suroto. 1992. Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan

Kerja.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Todaro,Michael.2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.Jakarta: Erlangga Widarjono, A. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan

Bisnis, Edisi kedua, Yogyakarta: Ekononisia Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

Undang-Undang No.13 Tahun 2003.Ketenagakerjaan.

Utami, Tuminajati Budi. 2009. “Pengaruh Upah Minimum Kabupaten, Produk Domestik Regional Bruto, Angkatan Kerja dan Investasi Terhadap Kesempatan Kerja di Kabupaten Jember”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Pembangunan, Vol 1 No.1.hal 1-20

LAMPIRAN 1

Dokumen terkait