• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN INDEK DOW JONES

5.2.2. Uji Asumsi Klasik

Untuk menghasilkan analisis data yang akurat, maka model regresi linier berganda harus memenuhi beberapa asumsi klasik. Asumsi-asumsi klasik yang harus

dipenuhi antara lain uji normalitas, uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.

5.2.2.1. Uji normalitas data

Uji ini berguna untuk tahap awal dalam metode pemilihan analisis data. Jika data normal, gunakan statistik parametrik dan jika data tidak normal gunakan statistik non parametrik, atau lakukan treatment agar data normal. Data yang baik adalah data yang mempunyai pola distribusi normal, yaitu distribusi data tersebut tidak menceng ke kiri atau menceng ke kanan. Menurut Ghozali (2005), uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah model regresi, variabel independen, dan variabel dependennya memiliki distribusi data normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Uji normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov Smirnov atau analisis grafis. Distribusi data dikatakan normal jika signifikansi >0.05. Untuk melihat normalitas data dapat juga dilakukan dengan melihat histogram atau normal probabilitas plot.

5.2.2.2. Multikolinieritas

Uji multikolinieritas adalah bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi yang cukup besar antar sesama variabel bebas (X). Korelasi yang terlalu tinggi antar sesama X akan berpengaruh pada menurunnya korelasi secara simultan terhadap variabel Y. Untuk mendeteksi terjadinya multikolinieritas digunakan uji serempak yaitu apabila secara serempak variabel berpengaruh nyata tetapi secara parsial lebih banyak variabel yang tidak nyata, dengan nilai koefisien korelasi antara variabel lebih besar dari 0,8 dari masing-masing variabel independen. Selain itu dapat

juga menggunakan nilai Variance Inflating Factor (VIF) masing-masing variabel independen pada model, dengan kriteria data penelitian bebas dari masalah heteroskedastisitas jika nilai Variance Inflating Factor (VIF) < 5.

Tabel 5.6. Hasil Uji Multikolinieritas

Correlations IHSG_Y Inflasi_X1 Nilai Tukar_X2 DowJones_X 3

Pearson Correlation IHSG_Y 1.000 -.689 -.406 .310

Inflasi_X1 -.689 1.000 -.002 .037

Nilai Tukar_X2 -.406 -.002 1.000 -.764

DowJones_X3 .310 .037 -.764 1.000

Sig. (1-tailed) IHSG_Y . .000 .001 .011

Inflasi_X1 .000 . .494 .395 Nilai Tukar_X2 .001 .494 . .000 DowJones_X3 .011 .395 .000 . N IHSG_Y 54 54 54 54 Inflasi_X1 54 54 54 54 Nilai Tukar_X2 54 54 54 54 DowJones_X3 54 54 54 54

Tabel 5.7. Hasil Uji Heteroskedastisitas Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. Collinearity Statistics B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 4874.404 1229.165 3.966 .000

Inflasi_X1 -86.211 10.555 -.692 -8.168 .000 .997 1.003

Nilai Tukar_X2 -.245 .089 -.361 -2.749 .008 .415 2.409

DowJones_X3 .019 .040 .060 .458 .649 .415 2.412

a. Dependent Variable: IHSG_Y

Kriteria yang digunakan adalah jika nilai koefisien korelasi antara variabel bebas lebih kecil dari nilai 0,8 maka data bebas dari masalah multikolinieritas. Dari Tabel 5.6, ketika variabel-variabel independen regresikan maka nilai korelasi lebih kecil dari nilai 0.8 yaitu (inflasi = 0.002 dan 0,037; nilai tukar = 0.002 dan 0.764; Indeks Dow Jones = 0.37 dan 0.764). Nilai Variance Inflating Factor (VIF) juga menunjukkan semua variabel independen lebih kecil dari 5 hal ini dapat lihat pada Tabel 5.7 (1,003 < 5; 2,409 < 5; 2,412 < 5), sehingga dapat dikatakan bahwa data penelitian bebas dari masalah multikolinieritas, atau model ini regresi ini baik karena tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas.

5.2.2.3. Uji heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Jika varian residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang

baik adalah homokedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Gejala heteroskedastisitas dapat diuji dengan menggunakan metode grafik yaitu dengan melihat ada tidaknya pola tertentu yang tergambar pada scatterplot (Ghozali, 2005).

Dasar pengambilan kesimpulan dari grafik scatterplot adalah jika ada pola tertentu seperti titik-titik (point-point) yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka telah terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi.

Gambar 5.9. Hasil Uji Heteroskedastisitas

Diketahui dari Gambar 5.9 bahwa hasilnya tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi.

5.2.2.4. Autokorelasi

Uji Autokorelasi adalah keadaaan di mana variabel pengganggu berkorelasi dengan variabel lainnya. Menurut Algifari (2000), uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi antar anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (data time series) atau ruang (data cross section). Pengujian autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Konsekuensi dari adanya autokorelasi dalam suatu model regresi adalah varians sampel tidak dapat menggambarkan varians populasi. Autokorelasi timbul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Model regresi yang baik adalah yang bebas dari autokorelasi.

Untuk menguji apakah hasil estimasi model regresi tersebut tidak mengandung korelasi serial diantara disturbance term-nya, maka dapat dilakukan uji, 2005). Dasar pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi sebagai berikut:

1. Bila nilai DW terletak diantara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du) maka koefisien autokorelasi = 0, berarti tidak ada autokorelasi.

2. Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound sebesar (dl) maka koefisien autokorelasi > 0, berarti ada autokorelasi positif.

3. Bila nilai DW lebih besar dari (4-dl) maka koefisien autokorelasi < 0, berarti ada autokorelasi negatif.

4. Bila nilai DW terletak antara du dan dl atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

Hasil pengujian autokorelasi menggunakan analisis Durbin Watsons (DW) dengan nilai DW hitung sebesar 0,250. Untuk mengintepretasikan hasil analisis ini dilakukan dengan mencari nilai DW tabel dengan N=54 dan k=3, di mana N=54 didapatkan dari jumlah responden yang diuji dalam penelitian ini, dan k=3 adalah banyaknya jumlah prediktor atau variabel bebas. Berdasarkan pada tabel DW didapatkan nilai DU= 1,6800. dan nilai DL= 1,4464. Seperti pada Tabel 5.8 berikut:

Tabel 5.8. Hasil Uji Autokorelasi Model Summaryb Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Change Statistics Durbin-Watson R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change 1 .801a .642 .621 330.86683 .642 29.899 3 50 .000 .250

a. Predictors: (Constant), DowJones_X3, Inflasi_X1, Nilai Tukar_X2

b. Dependent Variable: IHSG_Y

Diketahui dari Tabel 5.8 tersebut, bahwa nilai DW hitung sebesar 0.25 lebih kecil daripada nilai DU pada DW tabel, sehingga dengan kriteria dw < dl, maka ada autokorelasi positif. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa model yang diuji ini terjadi persoalan autokorelasi, hal ini disebabkan karena data inflasi dihitung berdasarkan data tahun lalu. Data inflasi yang kita uji diambil dari Bank Indonesia.

Dokumen terkait