• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji hemaglutination assay (HA) dan hemaglutination inhibition (HI)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus Newcastle disease (ND)

2.4 Uji hemaglutination assay (HA) dan hemaglutination inhibition (HI)

Beberapa jenis virus mempunyai sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah

hewan tertentu, misalnya Newcastle disease mengaglutinasi sel darah merah unggas. Untuk kepentingan diagnostik konvensional, virus diisolasi dan di propagasi pada

TAB terlebih dahulu kemudian baru dilanjutkan dengan uji HA dan HI. Mengingat

banyak variasi prosedur untuk uji HA dan HI, dibawah ini adalah salah satu contoh

prosedur uji menggunakan plat mikrop V dengan volume akhir 0,075 ml yang

direkomendasikan oleh OIE (2012). Reagen yang perlu disiapkan adalah PBS

isotonic (pH 7,0-7,2), RBC ayam yang berasal dari ayam SPF atau jika tidak ada

ayam SPF diusahakan dari ayam yang tidak divaksin dan sudah dievaluasi tidak

memiliki antibodi terhadap APMV-1. Sel RBC dicuci sebanyak 3 kali dengan PBS

sebelum digunakan.

Serum ayam jarang memberikan reaksi non-spesifik sehingga preperlakuan

pada serum tidak begitu penting, cukup dipanaskan 560C untuk menghilangkan

: Kedalam 0,5 ml serum ditambahkan 0,025 ml RBC ayam, kemudian dicampurkan

dengan cara dibolak-balik supaya tercampur merata dan selanjutnya didiamkan pada

suhu ruang selama 30 menit. Serum dipisahkan dari RBC dan komponen yang sudah

diikat oleh RBC dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 800 g selama 2-5

menit. Kemudian serum dipisahkan dengan hati-hati supaya tidak tercampur lagi

dengan butiran /pellet RBC yang terbentuk.

Prosedur Uji HA. Kedalam setiap sumuran (1-12) plat mikro steril,

dimasukkan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua ditambahkan virus

(cairan allantois yang akan diuji) sebanyak 0,025 ml dan selanjutnya diencerkan

berseri kelipatan dua mulai dari sumuran kedua sampai sumuran kesebelas dengan

menggunakan pengencer mikro. Kemudian ditambahkan PBS 0,025 ml pada semua

sumuran (1-12). Selanjutnya ke dalam setiap sumuran ditambahkan 0,025 ml RBC

1% (v/v), diayak selama 30 detik seterusnya dieramkan pada suhu kamar selama 1

jam dan reaksi diamati setiap 15 menit ada atau tidaknya reaksi aglutinasi sel darah

merah. Reaksi positif ditandai dengan adanya reaksi aglutinasi. Nilai titrasi dibaca

pada pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan reaksi hemaglutinasi lengkap.

Prosedur uji HI. Pada masing-masing sumuran (1-12) mikroplat steril

kemudian ditambahkan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua diisi

dengan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua diiisi dengan 0,025 ml

serum yang akan diuji dan selanjtnya diencerkan secara berseri kelipatan dua mulai

dari sumuran kedua sampai sumuran ke sepuluh dengan menggunakan pengencer

mikro. Kemudian 0,025 ml antigen virus ND 4 HAU ditambahkan mulai dari

0,025 ml PBS. Selanjutnya diayak selama 30 detik dan dieramkan pada suhu kamar

selama 30 detik. Selanjutnya dieramkan pada suhu kamar selama 1 jam dan diamati

setiap 15 menit dan tidak adanya hambatan aglutinasi sel darah merah. Hanya

sumuran yang menunjukkan reaksi sama dengan kontrol (sumuran yang hanya berisi

0,05 ml PBS dan 0,025 ml RBC) dinyatakan positif. Titer HI dihitung dari

pengenceran serum tertinggi yang menyebabkan hambatan aglutinasi. Titer HI yang

didapat menentukan status imun dari unggas yang terinfeksi. Unggas dinyatakan

positif jika nilai titer HI nya adalah 1/16 (24 atau disebut juga log2 4) atau lebih, pada

prosedur pengujian menggunakan antigen 4 HAU. Pada uji HI, ada kemungkinan

terjadi reaksi silang terutama antara APMV-1 dengan APMV-3 ( terutama yang

berasal dari burung liar) atau APMV-7. Untuk mengurangi resiko ini, saat ini sudah

tersedia panel serum racun atau MoAb spesifik untuk APMV-1, APMV-3 dan

APMV-7. Penggunaan MAb terhadap APMV-1 yang diproduksi pada mencit telah

digunakan pada uji HI, untuk dapat mengidentifikasi virus secara tepat tanpa ada

kemungkinan reaksi silang dengan APMV serotype lainnya seperti yang terjadi

dengan menggunakan serum poliklonal (Adi and Astawa, 2014).

2.5 Imunohistokimia (IHK)

IHK merupakan suatu teknik penelusuran kuat yang dapat memberikan

informasi tambahan untuk penilaian rutin morfologi jaringan. IHK digunakan untuk

mempelajari penanda seluler yang menentukan fenotipe tertentu yang dapat

kajian molekuler dan patologi jaringan dapat di sempurnakan dengan teknik IHK

(Key, 2009).

Menurut Snider (2013), pendekatan dalam deteksi antigen-antibodi sebagai

dasar dari IHK terbagi menjadi dua, yaitu dengan deteksi langsung dan tidak

langsung, dan dalam pemilihan pendekatan yang digunakan tergantung padatingkat

target ekspresi antigen. Dalam deteksi antibodi secara langsung, antibodi terhadap

antigen target (antibodi primer) adalah penghubung dengan sebuah enzim. Enzim

yang paling sering digunakan adalah horseradish Peroxidase (HRP) atau Alkaline Phospatase (AP). Kerja enzim ini akan diaktifkan dengan penambahan substrat. Pada deteksi langsung tidak memerlukan langkah tambahan untuk penambahan

antibodi sekunder. Kelemahan teknik ini kemungkinan sulit untuk dideteksi jika

protein yang ditemukan dalam jumlah sedikit.

Pada metode IHK tidak langsung, deteksi menggunakan antibodi sekunder

yang bereaksi dengan antibodi primer berlabel untuk memperkuat sinyal, dengan

demikian sensitifitas uji meningkat, antibodi sekunder lazimnya berlabel enzim

HRP/AP kemudian direaksikan dengan substrat untuk menghasilkan kromogenik

(Snider, 2013). Metode IHK tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara

misalnya: Avidin-Biotin Compleks (ABC), Labeled Streptovidin Biotin (LSAB), dan

Phosphatase-Anti-Phosphatase (PAP) (Boenisch, 2001).

Pewarnaan IHK dengan metode Avidin Biotin Peroksidase Kompleks (ABC)

yang melibatkan penggunaan antibodi sekunder berlabel biotin diikuti oleh

penambahan dari Avidin Biotin Peroksidase Kompleks, memberikan hasil lebih baik

tempat ikatan dari biotin secara kompleks dihasilkan karena avidin dengan

peroksidase berlabel biotin (Boenisch, (2001).

Dalam pembentukan kompleks , avidin berfungsi sebagai jembatan antara

molekul peroksidase berlabel biotin yang mengandung beberapa gugus biotin,

berfungsi sebagai penghubungantara molekul avidin. Akibatnya, sbuah pola-pola

kompleks yang mengandung beberapa molekul peroksidase kemungkikan terbentuk.

Ikatan dari kompleks inipada gugus biotin berhubungan dengan hasil antibodi

sekunder atas pewarnaan dengan intensitas yang tinggi (Hsu et al., 1981).

Gambar 2.3. Metode IHK tidak langsung.

Keterangan: A)Metode Avidin-Biotin Complex (ABC), B) Metode Labeled Streptavidine Biotin (LSAB). Sumber: Handbook IHC Staining Method, DAKO (2009).

Dalam metode yang sama, metode LSAB juga menggunakan antibodi

sekunder bitinylated. Dimana antibodi sekunder akan menghubungkan antibodi primer untuk menghubungkan streptavidin-peroksidase, akan tetapi kompleks yang

terbentuk lebih kecil dari pada kompleks yang terbentuk oleh metode ABC, dan itu

sulit dijangkau epitope, jadi metode LSAB memiliki sensitifitas lebih baik dari pada

A

Streptavidin Enzym Complex

Tissue Antigen Biotinylated Secondary antibody Primary Antibody

B

Avidin-Biotin Complex Biotinylated Secondary antibody Primary Antibody Tissue Antigen

Avidin adalah glikoprotein dan memiliki titik isoelektrik (pl) berkisar 10, ini

memiliki kecendrungan untuk mengikat secara khusus seperti lektin dan komponen

jaringan yang bermuatan negative pada pH fisiologis. Streptovidin memiliki titik

isoelektrik yang lebih netral dan tidak memilikigugus karbohidrat.

Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan kurang spesifik dalam pengikatan jaringan. Molekul

biotin adalah konjugasi yang mudah untuk antibodi dan enzim. Dalam metode ABC

antibodi sekunder adalah penghubung diantara primer jaringan yang terikat dan

sebuah avidin-biotin-peroksidase kompleks (Heras et al., 1995). Pada teknik imunohistokimia antibodi yang biasanya digunakan adalah antibodi monoclonal,

dimana antibodi moonoklonal adalah antibodi monospesifik yang dapat mengikat

satu eitop saja. Bahwasanya antibodi monoklonal memiliki antigen binding surface

yang sama (Sudiana, 2005).

Gambar 2.4. Super SensitiveTM Polymer-HRP IHC Detection System (Biogenex, 2013)

Super Sensitive Polimer-HRP digunakan juga dalam immunostaining untuk

memperoleh sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dalam sistem yang

menggunakan Biotin-streptavidin sering ditemui masalah pada latar. Dengan tidak

menggunakan Biotin-streptavidin masalah latar dapat dihilangkan. Waktu inkubasi

lebih sedikit (30 menit sampai 2 jam). Super Sensitive Polimer-HRP Detection Substrate

Polymer-HRP Secondary Antibody Primary Antibody Antigen

System adalah sistem deteksi terbaru yang menggunakan teknologi polimer non-biotin yang menggunakan dua komponen utama yaitu Super Enchancer TM dan

reagen Polimer-HRP. Sistem ini tidak berdasarkan pada sistem biotinavidin, masalah

yang terkait dengan endogen biotin benar-benar dihilangkan. Jaringan atau preparat

yang beku atau yang sudah difiksasi, dipotong, dan dilekatkan pada slide. Digunakan

paraffin sebagai perekat, penanganan dengan larutan retrievel antigen, kemudian

diblokir dengan larutan pemblokir protein dan kemudian diinkubasi dengan antibodi

primer. Antibodi primer yang terikat terdeteksi dengan penambahan antibodi

sekunder terkonjugasi dengan horseradish peroksidase polimer dan substrat DAB

atau substrat AEC. Ketika warna cukup terlihat, slide yang dicuci dengan air untuk

Dokumen terkait