• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji keabsahan data

Dalam dokumen BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 22-37)

1. Member chek responden 1

Member chek responden 1 dilakukan pada hari kamis 12 Mei 2016 pukul 09.00 di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Salatiga pada saat responden selesai menemani ankanya jajan, peneliti membawa hasil rekaman dan transkip wawancara yang telah dibuat dan didengarkan oleh peneliti. Peneliti memberikan transkip wawancara dan rekaman kepada responden supaya dilihat dan didengar langsung serta dikoreksi jika ada data yang dimasukkan tidak sesuai dengan pernyataan responden, setelah responden melihat transkip dan mendengarkan rekaman tersebut responden mengatakan bahwa data-data tersebut sudah sesuai dengan pernyataan responden.

2. Member chek responden 2

Member chek responden 2 dilakukan pada hari Senin 16 Mei 2016 pukul 10.00 Wib di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Salatiga, peneliti membawa hasil rekaman dan transkip wawancara yang telah dibuat oleh peneliti. Peneliti memberikan transkip wawancara dan

hasil rekaman tersebut kepada responden supaya dilihat dan didengar langsung serta dikoreksi jika ada data yang dimasukkan tidak sesuai dengan pernyataan responden, setelah responden melihat dan mendengarkan hasil rekaman tersebut responden mengatakan bahwa data-data tersebut sudah sesuai dengan pernyataan responden.

3. Member chek responden 3

Member chek responden 3 dilakukan pada hari Selasa 17 Mei 2016 pukul 08.30 Wib di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Salatiga sebelum jam istirahat pada saat responden bercerita dengan ibu-ibu yang disampingnya, peneliti meminta waktu responden sebentar. Peneliti membawa hasil rekaman dan transkip wawancara yang telah dibuat oleh peneliti, peneliti memberikan transkip wawancara dan rekaman kepada responden supaya dilihat dan didengar langsung serta dikoreksi jika ada data yang dimasukkan tidak sesuai dengan pernyataan responden , setelah responden melihat transkip wawancara dan mendengar hasil rekaman tersebut responden mengatakan bahwa data-data tersebut sudah sesuai dengan pernyataan responden.

4. Member chek responden 4

Member chek responden 2 dilakukan pada hari Rabu 18 Mei 2016 pukul 10.00 di Sekolah luar biasa (SLB) Negeri, peneliti membawa hasil rekaman dan transkip wawancara yang telah dibuat dan di dengarkan oleh peneliti. Peneliti memberikan hasil transkip wawancara dan rekaman kepada responden supaya di lihat dan dindengar langsung serta di koreksi jika ada data yang dimasukkan tidak sesuai dengan pernyataan responden, setelah responden melihat transkip dan mendengarkan rekaman tersebut responden mengatakan bahwa data-data tersebut sesuai dengan pernyataan responden.

4.6. Pembahasan

Dari hasil penelitian yang didapatkan ibu yang memiliki anak tunagrahita menggunakan strategi koping untuk mengatasi situasi yang menekan. Strategi koping tersebut ada dua yaitu yang berpusat pada masalah problem focused coping yaitu bentuk strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan cara mempelajari keterampilan-keterampilan yang baru, mencari dukungan sosial baik internal maupun eksternal serta melakukan bentuk usaha langsung dan yang berpusat pada

emosi yaitu emotional focused coping dilakukan responden dalam menghadapi keadaan anaknya.

Jenis strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focused coping) digunakan saat pertama kali responden mengetahui anaknya punya masalah dalam pertumbuhannya. Keadaan anak yang mengalami tunagrahita tidak membuat responden menjadi putus asa tapi membuat responden bersikap tegar dengan kondisi yang terjadi pada anak mereka responden berusaha mencari informasi tentang bagaimana cara menangani anak tunagrahita. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aisyah (2008) di Semarang tentang strategi koping pada orang tua yang memiliki cacat mental, koping yang digunakan orang tua adalah koping yang berorientasi pada tugas (task oriented) dengan tetap memberikan hak anak dengan memberikan pengobatan baik medis maupun non medis, memberikan pendidikan dan menyekolahkan anak, serta kasih sayang yang menjadi kebutuhan anak.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada empat responden didapatkan bahwa responden melakukan usaha langsung ketika mengetahui anaknya bermasalah pada pertumbuhan dan perkembangannya dengan cara membawa anaknya langsung ke dokter untuk melakukan pengobatan

medis, dan terapi. Dalam hal ini salah satu responden juga melakukan usaha secara langsung dengan melakukan pengobatan alternatif lainnya dengan cara ke tukang pijat syaraf. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa tindakan responden dalam melakukan usaha langsung dengan cara mencari pengobatan di berbagai tempat seperti ke dokter, ahli terapi dan pijat syaraf, pengobatan ini dilakukan responden untuk memperoleh kesembuhan anak. Hal ini ini juga terlihat pada saat peneliti melakukan observasi di sekolah ketika pulang sekolah salah satu responden langsung mengantar anaknya ke tukang pijat tradisional. Tindakan yang dilakukan oleh responden tersebut menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rustiana, 2003) termasuk dalam problem focused coping bentuk confrontive coping yaitu tindakan individu yang diarahkan pada penyelesaian masalah secara langsung.

Selain melakukan usaha secara langsung dengan cara melakukan pengobatan medis, terapi dan pijat tradisional ke empat responden juga melakukan usaha dengan cara mencari dukungan sosial dan emosional dari keluarga, teman maupun orang di sekitar responden. Satu responden juga mengatakan bahwa usaha yang dilakukan yaitu dengan cara menceritakan masalah yang dihadapinya terhadap

teman-temannya agar bisa mendapatkan solusi ataupun saran terhadap masalah yang di hadapinya dengan cara seperti itu responden bisa mendapatkan kenyaman emosional. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramadi & Lasmono (2003) yang menyatakan bahwa dukungan sosial yang terdiri dari informasi atau nasehat baik nasehat verbal maupun nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau yang didapat karena kehadiran orang-orang terdekat mempunyai efek emosional atau perilaku bagi individu.

Adanya dukungan sosial juga berdampak terhadap proses kesembuhan anak. Salah satu reponden mengatakan bahwa dukungan yang ia dapatkan dari keluarga yaitu berupa nasehat bahkan ada juga dalam bentuk tindakan langsung. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tati (2004) yang menyatakan bahwa mengatasi masalah yang dihadapi dengan melakukan strategi koping dapat dibantu dengan adanya dukungan sosial.

Dari hasil penelitian yang didapatkan dari ke empat responden sumber dukungan sosial yang paling sering didapatkan berasal dari keluarga yaitu suami. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Houtson, 1991) yang menyatakan bahwa dukungan dari suami merupakan

faktor pendukung paling penting pada keluarga yang memiliki anak dengan keterbelakangan mental. Keluarga merupakan sumber dukungan yang paling utama karena keluarga merupakan orang yang terdekat dan selalu ada ketika individu membutuhkan pertolongan. Gove, dkk (1990) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat memberikan kekuatan dan mengurangi kesulitan seseorang dalam menjalani kehidupannya.

Penelitian lain yang dilakukan Triana dan Andriani (2010) di Semarang tentang stres dan koping keluarga pada anak tunagrahita, didapatkan penggunaan koping dalam problem focused coping berupa mencari informasi dari orang lain, mencari dukungan sosial keluarga baik internal maupun eksternal, dan mencari pengobatan alternatif lainnya. Mempunyai anak tunagrahita atau cacat mental merupakan masalah tersendiri bagi orang tua terutama bagi seorang ibu, dimana seorang ibu akan membutuhkan dukungan untuk menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya.

Selain itu responden juga melakukan dengan cara membuat perencanaan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, dalam hal ini responden melakukan usaha dengan cara mengajarkannya di rumah serta menyekolahkan anaknya di SLB agar bisa memperolah pendidikan seperti

anak lainnya, salah satu responden mengatakan melakukan usaha dengan menyekolahkan anaknya di TK umum sebelumnya tapi karena kondisi anaknya tidak menyesuaikan dengan anak lainnya responden langsung menyekolahkan anaknya di sekolah anak berkebutuhan khusus, dan saat ini ke empat anak responden tersebut sekolah di SLB Negeri Salatiga. Hal ini sejalan dengan pernyataan Firdaus (2004) yang menyatakan perilaku koping yang positif dapat memberikan manfaat kepada seorang untuk dapat melanjutkan hidup dengan mempertahankan keseimbangan emosi, citra diri yang positif serta merencanakan kembali masa depan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Dalam menghadapi pandangan negatif dari lingkungan sekitar dan keadaan sang anak responden melakukan usaha untuk mengontrol diri dengan cara diam, sabar dan mencoba untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan anak. Menurut Stone dan Neale (dalam Indirawati, 2006) tindakan responden tersebut disebut dengan self controlling (pengendalian diri) yaitu individu akan menunjukkan dirinya dalam berusaha menguasai dan mengendalikan diri, khususnya dalam perasaan dan tindakan. Tiga responden mengatakan untuk mengontrol emosinya dalam menghadapi keadaan anaknya yaitu dengan cara bersabar, responden bersabar dengan cara

tidak mengeluh kepada Tuhan (Atok, 2007), sedangkan strategi lain yang yang digunakan untuk mengontrol emosinya yaitu dengan cara menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya. Keempat responden mengatakan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya dengan cara bersikap santai menghadapi dan mengikuti kemauan anak (Smet, 1994).

Salah satu responden juga mengatakan dalam mengontrol emosinya yaitu dengan cara berdoa membuat hati responden bisa tenang dalam menghadapi keadaan anaknya, hal ini sejalan dengan teori (Fitriani, 2000) yang mengatakan bahwa doa adalah salah satu cara untuk meminta pertolongan kepada Tuhan. Berdoa, bersabar, menyesuaikan diri dan berpikir positif serta yakin kepada Tuhan bahwa anak adalah titipan yang harus di rawat.

Selain mengontrol perasaan dan tindakannya dengan cara diam, sabar dan pasrah kepada Tuhan, ke empat responden juga melakukan strategi koping dengan cara menghindar. Usaha yang dilakukan untuk menghindar tersebut yaitu dengan cara melakukan aktivitas-aktvitas fisik di dalam maupun diluar rumah, jalan-jalan dan berpikir tenang seperti menganggap masalah yang dihadapi biasa-biasa saja. Pernyataan responden tersebut memiliki keterkaitan dengan

teori Lazarus dan Folkman (1984) yang menyatakan bahwa dalam mekanisme koping ibu yang memiliki anak tunagrahita akan melakukan suatu usaha untuk mengontrol perasaan emosional yang sangat menekan, dalam hal ini responden melakukan usaha dengan cara lain yang lebih menyenangkan dan menghindari masalah dengan makan, tidur ataupun aktivitas lainnya.

Dari hal tersebut peneliti mengungkapkan bahwa tindakan responden dalam mengalihkan pikiran terhadap masalah yang dihadapi merupakan jalan terbaik dikarenakan jika responden mengalami stres berkepanjangan hal tersebut akan berdampak terhadap kesehatan psikologis responden. Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa ketika seorang mengetahui dirinya punya masalah ia akan berusaha untuk menghindari pemikirannya terhadap masalah yang dihadapi.

Selain menghindari memikirkan masalah yang dihadapi dengan cara jalan-jalan atau melakukan aktivitas diluar maupun di dalam rumah keempat responden ini juga mengatakan bahwa masalah yang dihadapi tersebut bukan merupakan beban yang berat karena responden yakin anak mereka bisa disembuhkan. Hurlock (1974) mengatakan bahwa, jika Ibu menemukan sendiri harapannya disesuaikan dengan kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain

dalam mencapai tujuannya dengan memiliki harapan yang realistiks, maka akan semakin besar tercapainya harapan itu. Oleh karena itu ada baiknya ketika responden memiliki harapan yang realistik sesuai dengan kemampuannya dan usaha yang dilakukan pada anak. Responden kedua mengatakan senang dan merasa nyaman menjalani hari-harinya bersama anaknya, tanggung jawabnya sebagai seorang ibu ia jalankan sebaik-baiknya dengan harapan anaknya bisa kembali normal seperti anak yang lain pada umumnya. Sama halnya dengan responden kedua, ketiga responden lain nya juga memiliki harapan yang positif pada situasi yang dihadapi. Harapannya agar anaknya kelak bisa normal seperti anak yang lainnya.

Didapatkan hasil penelitian bahwa responden 1, 2 dan 4 menerima keadaan anaknya dengan segala kekurangan yang dimiliki dengan sepenuh hati dan menyadari tanggung jawab sebagai seorang ibu. Menurut Sulastrini (2002), menyatakan bahwa salah satu bentuk penerimaan orang tua adalah toleransi terhadap kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh anaknya. Meskipun ada responden 3 yang kadang menerima dan kadang tidak menerima keadaan anaknya. Tiga responden mengatakan bersikap pasrah kepada Tuhan terhadap masalah yang menimpa anaknya dan

mengembalikan semua kepada Tuhan dan percaya kepada Tuhan bahwa anak adalah titipan yang harus dirawat dan dijaga, hal ini menurut (Safaria, 2005) yang menyatakan bahwa keluarga dengan anak tungrahita senantiasa pasrah terhadap ketentuan Tuhan.

Ke empat responden juga mengatakan keadaan yang terjadi pada anaknya merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan baik, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Anita, 2009). Responden mengatakan bahwa apa yang menimpa anak mereka merupakan rencana Tuhan dalam hidup mereka dan mereka percaya bahwa apa yang terjadi terhadap anak mereka pasti akan ada jalan keluarnya. Dengan menerima keadaan yang terjadinya pada anaknya responden juga sambil berusaha memikirkan jalan keluarnya. Responden kedua mengatakan bahwa ia rela meninggalkan hobinya demi merawat anaknya, sama halnya responden ke empat juga mengatakan bahwa tidak semua orang atau ibu yang bisa menerima keadaan anak seperti itu, tapi ia bersyukur dari awal mengetahui anaknya punya masalah responden bisa menerima hal itu.

Selain menerima keadaan anaknya dan menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita keempat responden juga berusaha mencari

berusaha jalan keluanya dengan cara berdoa kepada Tuhan agar diberi kekuatan terhadap masalah yang mereka hadapi. Tiga responden mengatakan responden bahwa apa yang terjadi pada anaknya merupakan ujian dan cobaan hidup yang harus dihadapi, hal ini sejalan dengan pernyataan (Alex, 2009) yang menyatakan bahwa ujian adalah sebuah keharusan dalam kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia dan sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri. Dua responden juga mengambil makna dari masalah yang dihadapi dengan mengambil pelajaran hidup dari keadaan tersebut, responden percaya bahwa setiap peristiwa dialami dapat diambil hikmahnya (Hafiz, 2010).

Responden 3 dan 4 mencoba membuat sebuah makna positif atau pelajaran yang bisa diambil dari keadaan yang terjadi pada anak mereka. Responden ketiga mengatakan bahwa makna yang bisa ia ambil dari keadaan anaknya yaitu Tuhan menguji kesabarannya, ia percaya bahwa dengan keadaan anaknya seperti itu responden bisa menjadi orang lebih sabar lagi. Sama halnya dengan responden ketiga, responden ke empat juga mengatakan bahwa makna yang bisa ia ambil yaitu dalam hidup kita tidak boleh meremehkan orang, ia percaya bahwa anak yang berkebutuhan khusus mempunyai kelebihan sendiri bahkan

sebagai seorang ibu ia berusaha untuk mendukung dan tidak menyalahkan dirinya sendiri. Sementara responden kedua mengatakan bahwa ibadah itu merupakan jalan terbaik untuk menghadapi masalah, ia percaya bahwa dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan masalah yang ia alami akan ada jalan keluarnya.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Nirmala, 2013) yang menyatakan bahwa Ibu yang mempunyai anak berkebutuhan khusus mempunyai makna hidup dan optimisme yang tinggi sehingga seorang ibu dapat mengisi kehidupannya dengan penuh makna, mempunyai harapan masa depan, mampu berfikir positif dan mempunyai motivasi untuk memperoleh tujuan hidup. Cara memaknai masalah yang dihadapi secara positif dengan cara berdoa dan beribadah dilakukan responden untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

Dari hal di atas peneliti menyimpulkan bahwa dalam dalam melakukan strategi koping terhadap masalah yang dihadapi responden juga mengalami proses dimana terdapat hikmah yang dapat mereka ambil dari masalah tersebut dan dengan masalah yang mereka alami itu responden juga lebih mendekatkan diri kepada Tuhan serta percaya bahwa ibadah itu jalan terbaik untuk menghadapi masalah. Pernyataan

tersebut juga didukung oleh Lazarus dan Folkman (1984) bahwa dari masalah yang setiap orang alami tidak hanya berdampak pada perubahan fisik, psikologis tapi juga berdampak pada perubahan spritual. Dari hal di atas peneliti juga berasumsi bahwa agama juga mempengaruhi responden dalam melakukan strategi koping tersebut.

Selain bentuk strategi problem focused coping dan emotional focus coping yang di lakukan responden, dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhi koping itu, yaitu keyakinan dan pandangan positif terhadap keadaan yang menimpa sang anak, keyakinan tersebut merupakan sumber daya psikologis yang sangat penting bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita. Selain itu responden juga mempunyai keterampilan sendiri dalam mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Keterampilan tersebut membantu responden mencari informasi, menganalisa setiap masalah dengan tujuan untuk mengambil tindakan secara langsung dan tepat.

Responden juga mempunyai kemampuan dalam komunikasi dan bersosiolisasi dengan lingkungan sekitar dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai soial yang ada di masyarakat. Selain itu faktor yang mempengaruhi juga berupa materi yang meliputi sumber daya berupa uang, dalam

hal ini materi juga sangat dibutuhhkan bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita dalam mekakukan koping demi pengobatan medis, terapi dan pengobatan alternatif lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi koping yang dilakukan ibu yang memiliki anak tunagrahita tersebut sejalan dengan teori (Jaya, 2015) yaitu setiap individu mempunyai cara masing-masing dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu.

Berdasarkan pernyataan di atas dalam melakukan strategi koping juga dibutuhkan sumber koping bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita. Menurut Jaya (2015) sumber koping yang menolong manusia beradaptasi terhadap stres yaitu motivasi, dalam hal ini ada beberapa responden mendapatkan motivasi dari keluarga maupun lingkungan disekitar sumber koping juga berupa teknik pertahanan, dalam hal ini responden sudah melakukan tehnik pertahanan yang baik yaitu dengan cara mengontrol perasaan saat responden mengetahui anaknya bermasalah.

Dalam dokumen BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 22-37)

Dokumen terkait